Rasanya, sudah lama sekali sejak aku terakhir mengunjungi pantai pada tengah malam seperti ini. Dingin dari embusan angin yang cukup kencang menusuk hingga ke tulang meski aku telah berpakaian cukup tebal.
Perasaan ini, debar-debar ini, dan juga sesak ini … masih saja tak berbeda walau jelas alasanku ke sini bukan orang yang sama.
Jernih air laut yang tak tercemari seakan memantulkan terangnya langit malam. Kerlip bintang yang sesekali disembunyikan awan tipis tak jua kehilangan pesonanya.
Aku sengaja duduk pada akar pohon yang menonjol, menjuntaikan kedua kaki sambil menikmati pemandangan di sekitar. Tempat ini, tetaplah terlihat indah meski dalam diamnya menyimpan banyak cerita kelam. Tempat di mana pahit yang ditorehkan selalu menjadi rasa pilu tak terlupakan.
“Aku tadi ngerampungin kerjaan dulu baru bisa ke sini, Nay. Udah nunggu lama?” tanya sosok yang menepuk pundak, kemudian melompat ke hadapan.
Aku menoleh ke arahnya dan
Persiapan perpisahan yang dilakukan di sekolah membuatku merasa memiliki sedikit celah untuk bernapas. Setidaknya, hanya di tempat ini saja aku tak pernah mendapat gangguan apa-apa.Setelah membagikan satu lembar kertas berisi lagu perpisahan yang harus dihafalkan, Pak Haris kembali pamit meninggalkan kelas. Tak ada lagi jam pelajaran malah membuat suasana kelas terasa lebih bebas dan menyenangkan.Udin dan tiga murid laki-laki lain memasuki kelas membawa dua buah kayu serta tali. Di depan kelas, mereka tampak simbuk membuat sebuah tandu darurat sambil terus berdebat tentang ikatan yang seharusnya.Suasana yang semula terpecah karena kegiatan masing-masing, berubah terpusat pada mereka. Beberapa menit setelahnya, Udin serta Tarmizi menyeringai puas dan memamerkan kepada kami.Dibanding tengah memeragakan evakuasi darurat seperti yang dilakukan, mereka lebih seperti bermain-main. Para murid laki-laki saling tunjuk dan mendorong satu sama lain untuk dit
[Dasar anak gak tahu malu! Sudah dibilang jangan pernah menginjakkan kaki ke rumah lagi!] Balasan itu serupa jarum panjang yang menusuk dan menembus jantung.Seperti udara yang tiba-tiba dirampas dari pernapasan, rasa sesak diiringi nyeri membuatku terdiam memukul-mukul dada sendiri. Pesan berisi berita kelulusan serta keinginan untuk pulang yang kukirimkan pada Ibu beberapa menit lalu, sama sekali tak mendapat respon baik.Rasa panas berlomba-lomba menumpuk di pelupuk mata, meski begitu aku malah tertawa. Tertawa begitu keras hingga sudut mata hanya mengantarkan sedikit basah dan kedua pipi yang terasa kebas. Aku, hampir-hampir tak mengingat lagi bagaimana harus mendeskripsikan rasa sakit dan kecewa yang mendera.Beberapa saat, tubuhku mulai lemas. Masih dengan sisa tawa yang tak benar-benar mereda, kuangkat kaki yang semula menjuntai pada pinggiran ranjang. Menekuk kedua lutut, kemudian membenamkan wajah ke dalamnya. Gelap menyambut saat mata berpejam. Namun,
“Udah jelas, aku gak mau sakit karena maksain mau hidup sama orang yang gak pantas dipertahankan seperti itu.” Tak terdengar keraguan sedikit pun pada ucapan Kak Aulia yang menjadi jawaban dari pertanyaan Kak Yuni.Hal yang semakin membuatku merasa harus lebih berusaha keras untuk menyimpan rahasia sebenarnya.**[Nay, bisa ketemu di pantai belakang SMA 1? Kebetulan, ada yang mau kubicarakan.]Andai tidak membuka pesan itu, mungkin aku takkan tahu siapa pengirimnya karena pada bar notifikasi hanya terlihat kalimat di baris pertama yang juga terpotong di bagian akhir.[Kalau Bapak mau, ke rumah Nayla aja,] balasku yang tak berani untuk menolak langsung permintaan itu walaupun pasti akan terlihat jelas tengah bersikap kurang sopan.[Gak enak sama kakak kamu malam itu, Nay. Kita di luar sekolah, panggil namaku aja. Aku belum terlalu tua, kan?]Tanpa sadar, aku yang membaca balasan dari Pak Je malah terkikik kecil. Yang kuketa
Kak Yuni sibuk mengemasi barang-barang yang akan dibawa. Tak terasa, waktu yang dia jadwalkan untuk pindah telah berada di depan mata. Hanya hitungan jam yang tersisa untukku memutuskan.“Nay, hiduplah buat masa depan kamu. Jangan terus-terusan terjebak masa lalu seperti ini. Sampai saat ini, kamu sudah melakukannya dengan sangat baik, kan? Ke depannya, kamu hanya perlu mempertahankan saja apa yang sudah kamu perbaiki,” nasehat Kak Yuni di sela sibuk gerak tangannya yang memasukkan pakaian ke dalam koper.Aku hanya bergeming, tersenyum getir.“Apa kamu gak rindu sama orang tua kamu? Kalau memang kamu berubah pikiran buat pulang ke rumah Ibu, biar nanti Kakak sama Anto yang anterin. Kasihan Ayah kamu bolak-balik buat jemput ke sini,” tawarnya yang jauh di dalam lubuk hati sangat ingin kuiyakan.“Sebenarnya aku masih mau di sini. Rasanya, keberadaanku bisa diterima dengan lebih baik. Sangat berbeda, jika bukan di tempat ini,&rd
[Yuni bilang kamu gak mau ikut pindah sama dia? Dibiarin malah ngelunjak, banyak tingkah. Mau tinggal sendirian? Ngekost? Kamu pikir uang dari mana? Belum lagi buat biaya makan sama sekolah kamu!]Aku termenung membaca pesan yang baru masuk dari kontak Ibu. Belum usai menelan getir dari setiap kata yang tertulis di sana, satu pesan baru kembali masuk.[Daripada gitu, mending langsung kerja aja. Gak usah sekolah, nanti baru setengah jalan udah bikin masalah lagi. Ujung-ujungnya cuma ngabisin uang orang tua aja!]Lagi, jauh dari kendali yang kuinginkan, tawa malah pecah dengan keras seiring genggaman pada ponsel yang mulai melemah hingga terlepas dan jatuh ke lantai. Semakin rasa nyeri menggerogoti dada, semakin keras pula aku tertawa. Rasanya, batas antara perasaan sedih, bahagia, dan perasaan lain yang kumiliki sudah begitu samar sampai-sampai aku tak tahu bagaimana harus mengekspresikannya dengan benar.Cukup lama hingga aku berhasil mengontrol diri untu
Di atas tumpukan pakaian, ponsel yang tergeletak tampak menampilkan nyala dari lampu notifikasi. Pemilik pakaian yang sedang pergi ke kamar mandi untuk mandi membuatku memberanikan diri mengambil dan mengintip.Saat mengetuk layarnya, ponsel terkunci dengan kata sandi, tapi pesan yang masuk masih bisa terlihat saat bar notifikasi ditarik.[Pulang kerja nanti kita ke penginapan biasa, yuk, Mas! Kata kamu, Aulia lagi di rumah orang tuanya juga, kan?]Kedua mata membulat tak percaya. Gegas aku mengambil ponsel sendiri dan memotret layar ponsel Kak Makmur yang menampilkan isi pesan itu. Bunyi langkah yang mendekat membuatku hampir tak memiliki waktu untuk mengekspresikan rasa terkejut, gegas kukembalikan ponsel milik Kak Makmur pada tempatnya.Kak Makmur memasuki kamar tepat saat aku telah berbaring dan menarik kembali selimut. Pria yang selalu segera mandi setelah melepaskan hasratnya itu tampak duduk di pinggiran ranjang dan memunguti satu per satu pakaiann
Aku yang sedang menjemur cucian sedikit terkejut dengan kedatangan Je. Dia tampak membawakan beberapa paper bag cukup besar saat menuruni sepeda motor dan berjalan menghampiri. Kuangkat ember dan membuang sisa air pewangi terlebih dahulu sebelum meminta izin meletakkannya kembali ke kamar mandi.“Kamu pasti akan memerlukan semua ini,” sambut Je saat aku telah kembali menghampirinya di pelatar.Ragu, kubuka paper bag tersebut. Masing-masing, terisi baik dari buku serta alat tulis, tas. Tak hanya itu, bahkan sepaket rok sekolah, topi, dasi, kaos kaki, jilbab, seragam olahraga hingga beberapa lembaran potongan kain bergambar lambing sekolah lengkap.“J-Je, gimana aku bayar semua ini?” tanyaku terbata setengah tak percaya saat memikirkan nominal yang harus dibayarkan untuk itu semua.“Aku belum tahu ukuran buat seragam sekolah kamu, jadi sementara itu dulu,” ujarnya yang sama sekali tak menanggapi pertanyaanku.Kutut
Aku yang masih mematut diri di depan cermin rias terkesiap saat mendengar bunyi langkah mendekat. Terlebih saat menyadari pemilik langkah yang ternyata telah memasuki kamar dan berdiri tepat di belakang.“Ini di luar kesepakatan kita sebelumnya,” keluhku yang mengingat bahwa malam ini bukanlah saat yang tepat untuk dia datang.“Aku gak suka kalau ada bekas sentuhan tangan lain,” ungkapnya berjalan semakin mendekat dan memegangi kedua bahu, sedikit meremas pelan seolah tengah memijat. Meski begitu, aku cukup merasakan ketidaksukaannya yang tersampaikan.“Dari awal aku memang hanya barang bekas, kan? Kakak sendiri berani melewati batas karena mengetahui hal itu, kan?” Aku bertanya datar, walau pandangan hanya tertuju pada pantulan bayang wajahku sendiri.Sigap, pria itu beralih ke samping, tanpa izin mengangkat dan membawa tubuhku ke ranjang. Tak seperti biasanya, sikapnya kali ini terasa lebih kasar saat melepaskan satu
"Ah, Nay. Aku tidak memaksa kalau kamu tidak ingin menceritakannya." Je kembali menambahkan setelah menyadari jeda diamku yang cukup lama.Sejenak, aku menghela napas kasar. Menutupinya pun, Je telah terlalu banyak melihat sisi burukku.Tampak Je telah kembali fokus dengan jalanan di depan.Aku menunduk, menautkan jari jemari, sesekali melepas dan menggenggami kedua jempol bergantian. "Overdosis alkohol ... aku pindah karena dikeluarkan dari sekolah sebelumnya," ungkapku.Je menoleh. Raut wajahnya tak banyak berubah. Sepertinya, dia memang pandai mengaturnya untuk menghargaiku meski pun sebenarnya hal itu tak perlu dilakukan."Itu juga pertama kalinya. Aku masih ingat jelas teman-teman yang lain berada di sekelilingku, dengan penasaran terus menyuruhku minum. Ternyata, senyum puji mereka palsu. Yang benar-benar jujur, hanya tatap kecewa yang Kak Anoy layangkan waktu itu." Kembali mengenang hal itu, rasanya ada sesuatu yang menjerat dada hingga terasa berat dan sesak.Tanpa ragu, Je me
Setelah merasa berlari cukup jauh, kuhentikan langkah dan bersandar pada tembok tinggi yang sepertinya adalah pagar dari bangunan di sebelah. Gang ini sepi, sejak pertama memasuki, hampir tak terlihat rumah satu pun selain bangunan-bangunan berpagar tinggi di sisi kanan dan kirinya. Rerumputan di pinggiran pun membuat gang ini seolah semakin sempit.Perlahan, tubuhku merosot hingga berjongkok. Wajah yang menunduk, kubenamkan pada kedua lutut yang juga berada dalam lingkar peluk.Sebenarnya, apa yang sedang terjadi padaku? Apakah aku benar-benar sudah gila hingga berhalusinasi seperti itu? Aku pun sama sekali tak bisa mempercayai bahwa ini mimpi terpanjang sekali pun. Rasa sakit, seluruh apa-apa yang kualami benar-benarlah nyata, tetapi ….Derap langkah yang terdengar semakin mendekat disusul tepukan pelan pada pundak. Aku terkesiap mengangkat wajah, sesosok pria bertopi yang masih memakai tas pinggang tampak perlahan berjongkok di hadapan. Saat pandangan
Aku tak mengerti kenapa pria itu begitu mendesak untuk pulang. Setelah bersiap dan memberi kabar pada Kak Amran agar diberitahukan pada Bu Dama, dia segera melajukan mobil yang kami naiki. Selain pakaian ganti dan beberapa keperluan lain, dia juga membelikanku sarapan tak lupa cemilan.Ternyata, dia masih tak sedikit pun alpa dalam memperhatikanku. Banyak tanya terbesit yang terpaksa kutepis saja. Apa pun itu caranya, bagaimanapun, aku hanya sedang merasa kembali bahagia. Dan, jika lagi-lagi pertemuan kami hanya sementara, bagaimana bisa aku mengakhirinya dengan penyesalan karena tak berani menyatakan perasaan? Aku yang telah kotor dan hina, apa pantas bersama pria tak bersalah sepertinya?Sosok itu tampak hanya terus diam dalam fokusnya menyetir. Aku sendiri, hanya berani mencuri pandang tanpa berani mengganggu apalagi mengajak sedikit bicara. Hanya suara musik yang diputar dalam volume rendah yang menemani perjalanan panjang kami.“Jangan biasakan menggi
“Nay! Dengarkan aku!” Suara panggilan itu terdengar di antara dengungan-dengungan keras yang memenuhi telinga.Aku masih memegangi dada yang terasa sesak, degup yang sangat kencang di dalam menimbulkan rasa sakit. Seluruh otot terus terasa menegang hingga pada beberapa titik aku mulai merasa seolah mati rasa. Keringat semakin membasahi.Uluran tangan itu memberikan bantal, kemudian mengalihkan kedua tanganku sendiri untuk memeluknya. Aku meremas keras bagian ujung-ujung bantal, berusaha mengalihkan perasaan-perasaan sakit yang seperti menerjang seluruh tubuh.“Tarik napas, lalu keluarkan pelan-pelan,” instruksinya yang kemudian diiring hitungan berulang. Kuikuti apa yang bisa kudengar, hingga satu per satu rasa sesak itu seperti diurai.“Aku sangat mengerti keadaan kamu sekarang, Nay. Kamu gak sendirian,” ucapnya yang terasa seperti tetes-tetes air menghujani, mendinginkan, dan sangat menenangkan.Aku yang mulai
Satu hari lagi telah terlewati, dengan kuanggap cukup baik. Mesin yang masih belum selesai diperbaiki, menandakan besok pun aku masih harus bertemu dengan Kak Amran. Je yang menjemputku sebelum toko benar-benar tutup pun, terlihat kurang menyukai keberadaan pria itu. Dia hanya menyapa seperlunya, dan segera mengajakku pergi.“Dia orang baru, Nay? Tapi Bu Dama gak kasih tau kalau bakal nyari orang lagi,” tanya Je beberapa saat setelah sepeda motor melaju meninggalkan toko.“Bukan. Ada mesin yang bermasalah, jadi dia itu teknisi yang datang buat service aja,” sahutku.Je hanya berdeham, kemudian menambah kecepatan hingga kami lebih cepat meninggalkan perkampungan. Kurapatkan sweater yang menjadi salah satu dari isi tote bag pemberian Je. Saat sepeda motor dibelokkan ke arah jembatan yang menghubungkan antar kota pun, aku hanya berpiikir bahwa Je akan mengajak makan malam seperti biasa. Namun, dugaanku salah karena dia malah berhenti pada se
Aku menghitung satu per satu jumlah lembaran dari setiap berkas, lalu menuliskan di kertas kecil dan turut menyelipkannya saat menjepit agar mudah mentotalkan harganya. Kak Amran yang sibuk membongkar bagian-bagian mesin, tapi tak jarang dia melirik ke arahku lalu tertawa kecil. Aku berusaha tetap mengabaikan dengan menganggapnya tak ada.“Kamu gak cape ngitung, Nay?” tanyanya meski tangan terus berkutat memegang obeng.“Mau cape juga, ya, gimana lagi,” jawabku sekenanya.Kak Amran kembali fokus pada pekerjaannya. Belum aku selesai menghitung, seorang bapak berperut buncit yang tampak sudah cukup berumur memanggil dan meletakkan sebuah plastik besar
Je menghentikan sepeda motornya di depan toko. “Kamu yakin bisa kerja, Nay? Mata kamu masih bengkak, wajah kamu juga keliatan pucat,” tanyanya khawatir setelah aku turun. Tak lupa dia memberikan makanan yang sebelumnya dibeli untuk sarapanku.“Kamu terlalu berlebihan mengkhawatirkanku. Sudah, pergi sana. Makasih!” usirku setelah memegangi kantong plastik. Pagi ini, aku sengaja hanya meminta nasi bungkus agar Je tak memilih apalagi membelikan sesuatu yang mahal.“Kunci toko mana? Biar aku yang bukain!” tagihnya.“Aku mau belajar sendiri!” tolakku yang tak ingin lebih ketergantungan padanya.“Kenapa? Itu berat, memangnya kuat?”“Je, biarin aku belajar sendiri. Aku … pasti bakal minta bantu kalau kesulitan nanti.” Aku memohon dengan tegas.Sejak kejadian tadi malam, tak ada sedikit pun yang berubah dari sikap Je terhadapku. Sepertinya, hanya aku yang merasa malu seka
“A-ada apa, Je?” tanyaku tak bisa menyembunyikan getar pada suara yang keluar.Je menuntunku untuk turun dan berdiri menghadapku. Tangannya menggenggam kedua tanganku dengan erat. “Nay, apa pun yang terjadi, jangan takut. Kamu gak sendiri,” ucapnya tanpa bisa kumengerti untuk apa, dan juga kenapa.Tak lama berselang, sepeda motor lain berhenti menghampiri kami. Je melepaskan genggaman tangannya dan berdiri membelakangiku untuk menghadap orang itu.“Lama tidak bertemu di luar rumah, ya, Nay. Akhir-akhir ini, kita hanya menghabiskan waktu di kamar tanpa bisa banyak bicara,” sapa pemilik sepeda motor yang lebih tepatnya tengah menghinaku itu.“Apalagi yang kamu inginkan? Berhenti mengganggu Nayla!” potong Je.“Kamu benar-benar akan mengakhiri hubungan kita seperti ini, Nay? Aku sama Aulia sudah memutuskan buat cerai, jadi gak akan ada yang menghalangi atau perlu kamu takuti lagi sekarang,” bu
Kuteruskan langkah menuju rumah belakang tanpa berniat memedulikan sosok itu. Aku yang menunduk, hanya bisa merasakan keberadaan Je serta melihat sepasang kaki kami yang beriringan melangkah. Begitu menaiki pelatar rumah belakang, tergesa kuketuk pintu tempat Kak Aulia tinggal. Tak lama, wanita itu membukakan, sedikit terkejut saat melihatku dan segera menyambut masuk.“Malam banget, Nay. Dari mana aja?” tanya Kak Aulia.“Aku udah dapat kerjaan, Kak. Kost juga, semua karena bantuan Je,” sahutku menjelaskan.Serta merta Kak Aulia mengucap syukur dengan senyum penuh yang mengembang sempurna di bibirnya.“A-aku udah mulai kerja, trus juga dua atau tiga hari lagi pindah ke kost, Kak. Malam ini, aku juga bakal nginep di rumah temen. Dia temen paling akrab aku di sekolah, mau pindah ke kota lain juga. Apa aku boleh habisin waktu sama dia dulu, Kak?” jelasku sebelum meminta izin dengan teramat hati-hati.Tampak Kak Auli