[Gimana ujian hari ini, Nay?] Sebenarnya aku sempat berharap kalau pesan yang masuk itu dari Ayah, tapi pada bar notifikasi sudah sangat jelas nama Kak Makmur tertera di sana.
Kuhela napas panjang sebelum membalas dan mengabarkan bahwa semua berjalan dengan lancar.
Beberapa kali bertukar pesan, aku semakin merasakan perhatian cukup besar dari setiap pertanyaan yang Kak Makmur kirimkan.
Kak Yuni yang tiba-tiba memasuki kamar membuatku segera meletakkan kembali ponsel tanpa membalas pesan terakhir Kak Makmur. Tampak wanita yang duduk di depan meja rias itu malah menghadap ke arahku.
“Nay, apa kamu dekat dengan Ijul akhir-akhir ini?” tanya Kak Yuni dengan tegas.
Aku terdiam menunduk, rasa dingin mulai menyapa kedua kaki yang menjuntai. Sesekali, aku menggerakkan kaki hanya untuk mengusir gelisah.
“Kakak dengar Ijul ada masuk ke rumah padahal kamu sedang sendirian. Selain itu, kamu juga sering berduaan Makmur malam-malam di pel
Selama ujian berlangsung, aku yang hanya mengurung diri di rumah ditambah lagi Kak Yuni selalu mengawasi, membuat Kak Ijul tak bisa sedikit pun mengganggu. Hal itu sedikit melegakan, dan aku berhasil menyelesaikan ujian dengan lancar serta cukup baik.Aku yang duduk di pelatar sedikit terkejut saat melihat Kak Aulia sekeluarga berpakaian rapi bahkan membawa tas cukup besar. “Mau ke mana, Kak?” sapaku padanya.“Anak-anak udah pada kangen sama neneknya, Nay. Jadi minta dianterin dulu ke sana,” sahut Kak Aulia.Aku hanya mengangguk, kemudian mengamati bagaimana Kak Aulia membawa dua anaknya bersamaan tas besar, sedang Kak Makmur membonceng ketiga anak mereka yang lain. Usai melambai, sepeda motor yang mereka kendarai mulai melaju meninggalkan halaman dengan kecepatan sedang.Kutengadahkan wajah, sesekali menggerakkan kaki yang menjuntai. Siang ini, cuacanya cukup cerah walau tak terlalu panas. Desir angin yang mengenai membuat beberap
Mungkin, sedikit keberuntungan masih berpihak padaku. Dengan beralasan baru selesai mandi dan belum memakai apa-apa, aku berhasil meyakinkan Kak Yuni menunggu di depan agar Kak Ijul bisa keluar tanpa ketahuan.Namun, aku yang tak bisa memuntahkan kembali obat itu pada akhirnya tetap mendapatkan efek. Tak hanya butiran dan warna, sensasi yang ditimbulkan pun sedikit berbeda sekarang. Di samping rasa pusing serta mual, kepala dipenuhi fantasi-fantasi liar.[Kak, tolong ….] Gemetaran aku memaksakan jari mengetik pesan untuk Kak Makmur. Walau tak sepenuhnya menulis dengan benar, aku berharap dia masih bisa memahami.“Nay, waktunya makan malam,” panggil Kak Yuni dari depan pintu kamar. Aku yang terkesiap tergesa melepaskan ponsel dari genggaman.Aku berbalik menatapnya, kemudian menggeleng sebagai jawaban. Selain tak adanya keinginan menyentuh atau menelan makanan apa pun, perut terasa seperti dililit dengan keras. Aku meringkuk memegangi pe
“Sudah bangun, Nay?” tanya Kak Yuni tepat saat aku baru membuka mata.Aku mengerjap-ngerjap sesaat, mengumpulkan kesadaran baru kemudian memindai sekitar. Tampak wanita yang baru menyapaku itu tengah membuka tirai dan jendela kamar.“Sejak kapan kamu punya maag sampai parah begitu, Nay? Mulai hari ini, kamu harus makan yang teratur! Tiap ngerasa lapar jangan ditunda-tunda lagi. Kalau masih gak enak badan, gosok gigi cuci muka sama ganti baju aja, trus makan,” pesannya panjang lebar.Aku bangkit dari berbaring, hanya mengangguk tepat saat Kak Yuni berpaling menatap.Setelah Kak Yuni meninggalkan kamar, barulah aku berani mengangkat bantal untuk mengambil obat yang tadi malam disembunyikan. Kak Makmur dan Kak Aulia sepertinya benar-benar tak menceritakan apa-apa selain mengatakan aku yang sakit maag saja. Dan, sesuai saran mereka pula obat yang dibelikan Kak Yuni terpaksa kusembunyikan karena memang tak diperlukan.Meski masih
Cukup mengejutkan ketika melihat Husin yang tiba-tiba datang, terlebih dia tampak berpakaian lebih rapi dengan ditambah sedikit wewangian. Setiap tak sengaja bersitatap dengannya, ingatan tentang ciuman itu selalu berhasil membuat pipiku terasa memanas.“Aku boleh ajak Nayla jalan-jalan?”Mendengar pertanyaan itu, aku segera menoleh ke arah Kak Yuni. Membulatkan kedua mata berusaha menyampaikan isyarat padanya agar permintaan itu ditolak saja. Tampak wanita yang tak pernah mengenakan daster sekali pun itu sedang berpikir setelah menarik simpul senyum misterius di sudut bibirnya.Hingga jawaban yang diberikannya itu membuat Husin semringah, tapi tidak denganku yang hanya bisa mengempaskan napas kasar. Jika Kak Yuni saja mengizinkan, lalu bagaimana aku harus menolaknya?“T-Tapi Kak Yuni minta aku buat fokus belajar dulu, kan?” kelitku.“Cuma satu kali! Kakak juga pernah muda, Nay,” goda Kak Yuni yang tiba-tiba bang
Setelah mengajak makan, tak lupa membelikan apa yang diminta Kak Yuni, Husin membawaku pergi ke pantai yang cukup jauh dari perbatasan kota. Suasana semakin sunyi seiring pendar jingga yang menghitam. Kami duduk bersisian pada pasir, menatap sisa-sisa senja yang tenggelam pada pantulan air laut di bawahnya.Cukup mengejutkan karena ternyata kesempatan ini bertepatan bulan yang sedang purnama. Bintang-bintang bertaburan di langit, bulan yang sempurna dikelilingi cahaya terang yang terasa menenangkan. Beberapa saat, hanya ada suara air laut yang menghantam pinggiran pantai.Diamku terusik oleh tangan Husni yang lagi-lagi menggenggam tanpa izin.“Kalau alasan kamu menolakku karena sedang fokus ujian, aku bakal nunggu kamu sampai lulus nanti, Nay,” ungkapnya dengan nada penuh pengharapan.“Maaf, Sin. Tapi aku bener-bener gak kepikiran buat menjalin hubungan istimewa dengan siapa pun, kapan pun itu.” Kutolak dengan hati-hati. Tak hanya
Malam semakin larut, Kak Yuni pun tampak telah benar-benar nyenyak dalam tidurnya. Kukantongi ponsel kemudian berjalan dengan sangat hati-hati meninggalkan kamar. Baru membuka pintu depan, angin malam yang menyambut sejenak menyisakan gigil. Kutahan rasa dingin saat terus melangkahkan kaki menuju pantai.Beberapa kali aku menoleh ke belakang untuk memastikan tak ada yang mengikuti. Setelah apa yang terjadi seharian ini, aku hanya ingin mencari ketenangan sendiri. Rasanya benar-benar melelahkan saat semua yang terjadi malah menjadi rumit.Terkadang, aku berpikir luka-luka ini akan sedikit membaik seiring waktu. Tetapi kenyataannya, aku hanya terus berusaha menutupi dengan rapi saja agar bisa berpura-pura telah melupakannya.Sesekali, kedua tangan yang terlipat di depan dada kugerakkan mengusap bahu pelan. Gerak kecil yang aku tak tahu untuk sekadar mengurangi rasa dingin atau malah tengah memeluk diri yang lemah.Walau banyak hal-hal yang tak bisa dipa
[Kenapa kamu menghindariku, Nay?][Gimana keadaan kamu? Aku benar-benar khawatir.]Satu per satu orang yang datang pada akhirnya hanya kubiarkan pergi berlalu seiring waktu. Hari-hari yang mungkin sama di mata orang-orang, sejujurnya malah sudah banyak berubah bagiku. Entah itu Kak Ijul yang akhirnya tak pernah lagi mengganggu, Husin yang benar-benar berhenti muncul, hingga aku yang terlalu malu dan hanya bisa menghindari Kak Makmur.Seringkali, rasanya cukup membingungkan saat Kak Makmur terus mengirimi pesan yang menanyakan keadaan. Padahal dia seharusnya sudah cukup melihat keadaanku yang tentu sudah jauh lebih baik-baik saja.Aku mengempaskan tubuh pada ranjang, membiarkan ponsel yang masih menyala tergeletak di sisi lalu perlahan-lahan meredup dengan sendirinya. Sekali lagi, aku hanya bisa membiarkan pesan-pesan itu berakhir dua centang biru tanpa terbalas.Baru aku hendak berpejam, Kak Yuni tiba-tiba memasuki kamar. Kualihkan pandangan pada w
Kak Yuni baru saja pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan serta kassa baru. Kaki yang masih sakit jika menjejak membuatku hanya bisa tinggal di rumah dan menunggu. Sejak kemarin, aku lebih banyak menghabiskan waktu dalam kamar agar tak terlalu merepotkan karena berjalan ke kamar mandi pun terpaksa harus dibantu.Selain setiap sisi kamar maupun langit-langit, aku hanya bisa menikmati sedikit pemandangan dari jendela yang terbuka. Kipas angin yang menyala cukup membuat rasa panas sedikit berkurang.Getar pada ponsel diiringi jeda sesaat pada musik yang sedang kudengarkan. Saat membalikkan layar, tampak satu pesan Kak Makmur pada bar notifikasi.[Gimana keadaan kamu, Nay?]Sejenak, aku yang telah membuka pesan itu hanya berdiam hingga layar ponsel kembali meredup. Menimbang-nimbang antar rasa malu dan juga rasa segan karena pun merasa harus berterima kasih pada banyak pertolongan yang sudah dia berikan.Meski kedua pilihan itu membawa pada pertimb
"Ah, Nay. Aku tidak memaksa kalau kamu tidak ingin menceritakannya." Je kembali menambahkan setelah menyadari jeda diamku yang cukup lama.Sejenak, aku menghela napas kasar. Menutupinya pun, Je telah terlalu banyak melihat sisi burukku.Tampak Je telah kembali fokus dengan jalanan di depan.Aku menunduk, menautkan jari jemari, sesekali melepas dan menggenggami kedua jempol bergantian. "Overdosis alkohol ... aku pindah karena dikeluarkan dari sekolah sebelumnya," ungkapku.Je menoleh. Raut wajahnya tak banyak berubah. Sepertinya, dia memang pandai mengaturnya untuk menghargaiku meski pun sebenarnya hal itu tak perlu dilakukan."Itu juga pertama kalinya. Aku masih ingat jelas teman-teman yang lain berada di sekelilingku, dengan penasaran terus menyuruhku minum. Ternyata, senyum puji mereka palsu. Yang benar-benar jujur, hanya tatap kecewa yang Kak Anoy layangkan waktu itu." Kembali mengenang hal itu, rasanya ada sesuatu yang menjerat dada hingga terasa berat dan sesak.Tanpa ragu, Je me
Setelah merasa berlari cukup jauh, kuhentikan langkah dan bersandar pada tembok tinggi yang sepertinya adalah pagar dari bangunan di sebelah. Gang ini sepi, sejak pertama memasuki, hampir tak terlihat rumah satu pun selain bangunan-bangunan berpagar tinggi di sisi kanan dan kirinya. Rerumputan di pinggiran pun membuat gang ini seolah semakin sempit.Perlahan, tubuhku merosot hingga berjongkok. Wajah yang menunduk, kubenamkan pada kedua lutut yang juga berada dalam lingkar peluk.Sebenarnya, apa yang sedang terjadi padaku? Apakah aku benar-benar sudah gila hingga berhalusinasi seperti itu? Aku pun sama sekali tak bisa mempercayai bahwa ini mimpi terpanjang sekali pun. Rasa sakit, seluruh apa-apa yang kualami benar-benarlah nyata, tetapi ….Derap langkah yang terdengar semakin mendekat disusul tepukan pelan pada pundak. Aku terkesiap mengangkat wajah, sesosok pria bertopi yang masih memakai tas pinggang tampak perlahan berjongkok di hadapan. Saat pandangan
Aku tak mengerti kenapa pria itu begitu mendesak untuk pulang. Setelah bersiap dan memberi kabar pada Kak Amran agar diberitahukan pada Bu Dama, dia segera melajukan mobil yang kami naiki. Selain pakaian ganti dan beberapa keperluan lain, dia juga membelikanku sarapan tak lupa cemilan.Ternyata, dia masih tak sedikit pun alpa dalam memperhatikanku. Banyak tanya terbesit yang terpaksa kutepis saja. Apa pun itu caranya, bagaimanapun, aku hanya sedang merasa kembali bahagia. Dan, jika lagi-lagi pertemuan kami hanya sementara, bagaimana bisa aku mengakhirinya dengan penyesalan karena tak berani menyatakan perasaan? Aku yang telah kotor dan hina, apa pantas bersama pria tak bersalah sepertinya?Sosok itu tampak hanya terus diam dalam fokusnya menyetir. Aku sendiri, hanya berani mencuri pandang tanpa berani mengganggu apalagi mengajak sedikit bicara. Hanya suara musik yang diputar dalam volume rendah yang menemani perjalanan panjang kami.“Jangan biasakan menggi
“Nay! Dengarkan aku!” Suara panggilan itu terdengar di antara dengungan-dengungan keras yang memenuhi telinga.Aku masih memegangi dada yang terasa sesak, degup yang sangat kencang di dalam menimbulkan rasa sakit. Seluruh otot terus terasa menegang hingga pada beberapa titik aku mulai merasa seolah mati rasa. Keringat semakin membasahi.Uluran tangan itu memberikan bantal, kemudian mengalihkan kedua tanganku sendiri untuk memeluknya. Aku meremas keras bagian ujung-ujung bantal, berusaha mengalihkan perasaan-perasaan sakit yang seperti menerjang seluruh tubuh.“Tarik napas, lalu keluarkan pelan-pelan,” instruksinya yang kemudian diiring hitungan berulang. Kuikuti apa yang bisa kudengar, hingga satu per satu rasa sesak itu seperti diurai.“Aku sangat mengerti keadaan kamu sekarang, Nay. Kamu gak sendirian,” ucapnya yang terasa seperti tetes-tetes air menghujani, mendinginkan, dan sangat menenangkan.Aku yang mulai
Satu hari lagi telah terlewati, dengan kuanggap cukup baik. Mesin yang masih belum selesai diperbaiki, menandakan besok pun aku masih harus bertemu dengan Kak Amran. Je yang menjemputku sebelum toko benar-benar tutup pun, terlihat kurang menyukai keberadaan pria itu. Dia hanya menyapa seperlunya, dan segera mengajakku pergi.“Dia orang baru, Nay? Tapi Bu Dama gak kasih tau kalau bakal nyari orang lagi,” tanya Je beberapa saat setelah sepeda motor melaju meninggalkan toko.“Bukan. Ada mesin yang bermasalah, jadi dia itu teknisi yang datang buat service aja,” sahutku.Je hanya berdeham, kemudian menambah kecepatan hingga kami lebih cepat meninggalkan perkampungan. Kurapatkan sweater yang menjadi salah satu dari isi tote bag pemberian Je. Saat sepeda motor dibelokkan ke arah jembatan yang menghubungkan antar kota pun, aku hanya berpiikir bahwa Je akan mengajak makan malam seperti biasa. Namun, dugaanku salah karena dia malah berhenti pada se
Aku menghitung satu per satu jumlah lembaran dari setiap berkas, lalu menuliskan di kertas kecil dan turut menyelipkannya saat menjepit agar mudah mentotalkan harganya. Kak Amran yang sibuk membongkar bagian-bagian mesin, tapi tak jarang dia melirik ke arahku lalu tertawa kecil. Aku berusaha tetap mengabaikan dengan menganggapnya tak ada.“Kamu gak cape ngitung, Nay?” tanyanya meski tangan terus berkutat memegang obeng.“Mau cape juga, ya, gimana lagi,” jawabku sekenanya.Kak Amran kembali fokus pada pekerjaannya. Belum aku selesai menghitung, seorang bapak berperut buncit yang tampak sudah cukup berumur memanggil dan meletakkan sebuah plastik besar
Je menghentikan sepeda motornya di depan toko. “Kamu yakin bisa kerja, Nay? Mata kamu masih bengkak, wajah kamu juga keliatan pucat,” tanyanya khawatir setelah aku turun. Tak lupa dia memberikan makanan yang sebelumnya dibeli untuk sarapanku.“Kamu terlalu berlebihan mengkhawatirkanku. Sudah, pergi sana. Makasih!” usirku setelah memegangi kantong plastik. Pagi ini, aku sengaja hanya meminta nasi bungkus agar Je tak memilih apalagi membelikan sesuatu yang mahal.“Kunci toko mana? Biar aku yang bukain!” tagihnya.“Aku mau belajar sendiri!” tolakku yang tak ingin lebih ketergantungan padanya.“Kenapa? Itu berat, memangnya kuat?”“Je, biarin aku belajar sendiri. Aku … pasti bakal minta bantu kalau kesulitan nanti.” Aku memohon dengan tegas.Sejak kejadian tadi malam, tak ada sedikit pun yang berubah dari sikap Je terhadapku. Sepertinya, hanya aku yang merasa malu seka
“A-ada apa, Je?” tanyaku tak bisa menyembunyikan getar pada suara yang keluar.Je menuntunku untuk turun dan berdiri menghadapku. Tangannya menggenggam kedua tanganku dengan erat. “Nay, apa pun yang terjadi, jangan takut. Kamu gak sendiri,” ucapnya tanpa bisa kumengerti untuk apa, dan juga kenapa.Tak lama berselang, sepeda motor lain berhenti menghampiri kami. Je melepaskan genggaman tangannya dan berdiri membelakangiku untuk menghadap orang itu.“Lama tidak bertemu di luar rumah, ya, Nay. Akhir-akhir ini, kita hanya menghabiskan waktu di kamar tanpa bisa banyak bicara,” sapa pemilik sepeda motor yang lebih tepatnya tengah menghinaku itu.“Apalagi yang kamu inginkan? Berhenti mengganggu Nayla!” potong Je.“Kamu benar-benar akan mengakhiri hubungan kita seperti ini, Nay? Aku sama Aulia sudah memutuskan buat cerai, jadi gak akan ada yang menghalangi atau perlu kamu takuti lagi sekarang,” bu
Kuteruskan langkah menuju rumah belakang tanpa berniat memedulikan sosok itu. Aku yang menunduk, hanya bisa merasakan keberadaan Je serta melihat sepasang kaki kami yang beriringan melangkah. Begitu menaiki pelatar rumah belakang, tergesa kuketuk pintu tempat Kak Aulia tinggal. Tak lama, wanita itu membukakan, sedikit terkejut saat melihatku dan segera menyambut masuk.“Malam banget, Nay. Dari mana aja?” tanya Kak Aulia.“Aku udah dapat kerjaan, Kak. Kost juga, semua karena bantuan Je,” sahutku menjelaskan.Serta merta Kak Aulia mengucap syukur dengan senyum penuh yang mengembang sempurna di bibirnya.“A-aku udah mulai kerja, trus juga dua atau tiga hari lagi pindah ke kost, Kak. Malam ini, aku juga bakal nginep di rumah temen. Dia temen paling akrab aku di sekolah, mau pindah ke kota lain juga. Apa aku boleh habisin waktu sama dia dulu, Kak?” jelasku sebelum meminta izin dengan teramat hati-hati.Tampak Kak Auli