Rengganis atas bantuan Varen mencari keberadaan anak buah Ki Chandra di pelabuhan. Banyaknya kenalan Chandra di dermaga, membuat mereka mempermudah pencarian. Terutama kapal yang hendak menuju ke arah Kerajaan Bamantara hanya tiga buah. Varen dan anak buahnya berhasil menangkap kedua orang suruhan Ki Chandra berhasil diringkus. Tangan mereka diikat ke belakang, mata juga tertutup kain. Keduanya diseret ke sebuah bangunan tua lewat jalan tikus. Varen lalu melemparkan keduanya ke sebuah ruang berdebu. Uhuk! Uhuk! Mereka terbatuk, Varen dengan cepat membuka penutup mata. Kedua orang tersebut terkejut. Melihat di sudut ruang ada Rengganis berdiri. Rengganis melangkahkan kaki mendekati lalu menarik pedang dari salah satu anak buah Varen. "Katakan apa yang sebenarnya Ki Chandra rencanakan?" Manik hitam itu mengintimidasi. "Pe … Pe … Permaisuri …." Mendadak mereka tergagap. "Tidak sulit pemangsa menangkap buruannya, hahaha," sindir Rengganis lalu men
Varen melebarkan mata, yah, apa yang dilakukan memang salah. Dia menelan ludah dengan susah payah. Keringat dingin menetes di bawah terik matahari. Wajahnya pucat pasi, lelaki tersebut takut bukan main melihat wajah serius Rengganis. Nampaknya, Rengganis sangat menyukai pemandangan di sampingnya itu. Mereka berdua kini berdiri mematung di ujung kapal kayu yang hanya muat tidak lebih dari sepuluh orang dan beberapa barang bawaan. "Ahahaha, astaga Varen," tawa Rengganis menggelegar melihat pemuda di hadapannya itu gemetaran. "Aku hanya bercanda," lanjutnya. Wajah pucat Varen berubah berseri kembali, pemuda itu terlihat menghela napas lega. "Varen, tapi aku benar akan memenggal kepalamu jika kau berkhianat," tegas Rengganis. "Permaisuri, hamba akan setia dan siap membantu pada ahli waris Kerajaan Baskara yang sesungguhnya. Hamba yakin Permaisuri pasti mampu memimpin seperti Raja terdahulu," kata Varen yakin, lelaki itu menyatukan kedua tangan di depan dengan waj
Khandra melompat kembali ke atas genting. Beberapa anak buah Ki Chandra berlarian ke arah depan. Begitu pula dengan Ki Chandra juga keluarga yang menghampiri. Khandra mengendap-endap masih dari atas, dia melihat rombongan prajurit datang bersama Ki Kastara. Lelaki itu masuk ke dalam rumah beserta Raja Abra. Nampaknya sang Raja marah besar melihat wajahnya memerah, mata melebar dan alis terpaut. Lelaki bergelar raja tersebut murka, dia membalikkan kursi kayu yang ada di bagian depan. "Keluar kau Chandra!" teriak Raja Abra lantang. "Hormat hamba, Gusti Prabu," ujar Ki Chandra bersimpuh lalu menyatukan kedua tangan ke depan membentuk hormat. "Ada apa ini, Kakang?" bisik Larasati. Wanita sepuh itu dan putrinya ikut duduk dan memberi hormat. "Pengkhianat!" bentak Raja Abra lalu menendang tubuh Ki Chandra hingga terperosok ke samping. "Romo!" teriak Gendis yang langsung membantu sang ayah berdiri. "Mohon ampun, Gusti Prabu. Apa yang —
Matahari sudah turun, langit sore memancarkan kemerahan dari ufuk barat. Khandra berjalan menyusuri pasar tradisional menuju ke kedai milik Mbok Berek. Tempat itu selalu ramai pengunjung, hiruk pikuk menyambut langkahnya seiring beberapa pasang mata menangkap sosok Khandra yang tidak asing. Senapati gagah, berpakaian celana hitam panjang di mana pada pinggang terlilit batik, tidak lupa baju yang mirip rompi warna keemasan memperlihatkan lengannya yang berotot. Ah, wanita mana yang tidak akan terpesona melihat kulit langsat terang menggiurkan itu. Seperti wanita pada umumnya, Sajani pun seperti tersihir akan daya pikat Khandra. Wanita itu mengulas senyum malu-malu menyambut kehadirannya. Khandra melihat ke arah Sajani membuat wanita itu salah tingkah. Padahal hal yang terjadi sesungguhnya Khandra menatap Kayana, sahabat seperjuangan dan anak buahnya kini. "Kau lama sekali kawan," protes Kayana. Khandra menarik kursi kayu dan mendudukinya, "Aku baru saja men
Rengganis sempat tertidur di sebuah dipan yang terbuat dari bambu, kapal bergoyang membuat dirinya semakin pusing dan mual. Akhirnya dia memutuskan untuk keluar dari ruangan. Beberapa orang terlihat duduk di bagian depan termasuk Varen. Yah, bisa dibilang cukup nyaman bagi Rengganis berkat bantuan pemuda itu. Entah bagaimana jika dia menyeberangi lautan luas itu tanpa bantuannya. Mungkin Rengganis akan sama seperti pedagang kecil lain yang berdesakan. "Apa kita hampir sampai?" tanya Rengganis yang melihat keadaan sekitar mulai gelap. Varen mendekati lalu menyatukan tangan di depan memberi hormat. "Sebentar lagi, Permaisuri," jawabnya. Rengganis menganggukkan kepala kemudian berkata, "Aku ingin semua berjalan lancar dan cepat. Sudah cukup waktu terbuang sia-sia. Kerajaan milikku harus kembali," decis Rengganis. "Aku harap kau juga bergerak cepat, Varen," ujar Rengganis. Varen yang paham akan permohonan Rengganis lalu tersenyum. "Itu mudah s
Rengganis memulai siasat, tiga hari dia hanya berdiam diri dalam kediaman sederhana itu. Tepat dini hari Rengganis terbangun kemudian mengulik penjelasan dari para pelayan pasal Kerajaan Bamantara. Wanita itu pun lalu bersiap ke pasar mengikuti pelayan milik Varen. Di mana dia hendak mencari informasi lebih lengkap melalui dayang di istana. "Kau yakin mereka akan ke sini, Cah Ayu?" tanya Rengganis di tengah hiruk pikuk pasar. "Saya yakin Permaisuri—" "Panggil aku mbak yu saja jika dalam keramaian, jangan sampai kita dicurigai!" Rengganis mengingatkan gadis cantik itu. Gadis itu menutup mulut lalu menundukkan kepala, "Baik Mbak Yu, saya yakin para dayang akan datang ke mari. Teman saya salah satu dayang istana," cerocos gadis tersebut. Rengganis tersenyum melihat tingkah laku gadis itu, sama sekali dia tidak berkomentar pada ocehannya. Hanya mendengarkan, sebuah hiburan tersendiri melihat tingkah ambigu gadis ceria itu. Pendengaran Rengganis f
Rengganis yang tidak pernah berada di dapur cukup terkejut melihat segala tetek bengek yang ada di dalam ruangan. Tungku api dan hal lain yang tidak pernah dia sentuh sebelumnya membuat dia kebingungan bukan main. "Cah Ayu, kau seperti kebingungan?" tanya wanita yang membawanya tadi. "Ah, maaf Mbok. Saya baru pertama kali masuk ke dapur, maksudnya masuk ke dapur seluas ini," kilahnya. "Hei, kau dengar. Semalam Raja Arutala sempat ribut dengan Ratu Zarina karena salah paham," ujar salah seorang dayang menata buah di nampan membuat Rengganis menoleh ke arahnya. 'Sepertinya efek Jaran Goyang sudah bekerja dengan baik,' batin Rengganis tersenyum menyeringai. "Iya, aku juga dengar, Ratu Zarina salah paham dengan Raja Arutala yang memikirkan Permaisuri Rengganis, istri adiknya, hahahaha,' sahut salah seorang lagi lalu tertawa. "Mereka manis sekali, Ratu Zarina terlalu cemburu pada orang yang salah," keluh yang lain. "Tapi
Rengganis memejamkan mata, kedua dayang itu menariknya hingga sampai ke depan pintu. Rengganis berhenti, dia mematung bertahan hingga membuat kedua dayang tersebut kesusahan menariknya. Rengganis lalu membuka mata, tatapan mata tajam memerah. "Lepaskan aku," lirih Rengganis. "Kau ini apa-apaan? Jangan membuat malu, ayo keluar!" pekiknya. "Aku bilang lepas, siapa kalian berani sekali menyentuhku!" Kali ini Rengganis berteriak hingga membuat semakin gaduh. Dia mengibaskan tangan, lalu melemparkan dua dayang tersebut hingga tersungkur. Ratu Zarina dan Raja Arutala menoleh ke arah suara. "Kanda Prabu, mari kita pergi—" Ratu Zarina hendak mengalihkan perhatian sang suami. "Beginikah sambutan yang kau berikan untukku Ratu Zarina?" tegas Rengganis, wanita itu melangkah dengan tegas tanpa takut ke arah Ratu Zarina yang kini sudah terlihat pucat pasi. "Sungguh sopan sekali, kau bahkan pura-pura tidak mengenaliku!" cebik Rengganis. Raja A