Nyi Gendeng Sukmo makhluk tak kasat mata mendadak muncul melayang di belakang Raja Arutala. Rengganis yang melihat hal tersebut melebarkan mata, dia segera mengubah raut mukanya agar Raja Arutala tidak curiga. "Lelaki mata keranjang ini sudah terkena ajian jaran goyang Rengganis, jangan takut." Nyi Gendeng Sukmo berucap, tentu Raja Arutala tidak melihat apalagi mendengar suara wanita iblis tersebut. "Lakukan semua hal sesuai rencana awal," ujarnya membelai wajah Raja Arutala lalu turun ke leher. Raja Arutala merasakan hawa berbeda, bulu kuduknya berdiri. Lelaki itu menoleh ke arah kanan-kiri dengan dahi mengkerut. Rengganis bertanya agar lelaki itu tidak menaruh curiga, "Ada apa Raja Arutala?" Dia ikut mengernyitkan kening. "Ah, tidak apa-apa aku hanya merasakan aura berbeda ada di sekitar kita," keluh Raja Arutala. "Hahahaha, kau cukup peka Raja Arutala," cucit Nyi Gendeng Sukmo diawali tawa. Wanita demit itu kemudian memutar tub
Istana Utama semakin gaduh, saling berbisik, seluruh abdi dalem menatap ke arah Raja Abra yang sedang mengacungkan pedang ke leher Khandra. Khandra yang masih duduk di tempatnya terdiam, sama sekali dia tidak gentar. Tatapan menjurus ke arah depan menatap tepat pada Petapa Bagaspati yang ada di seberang sana. Ki Kastara langsung melangkah mendekati Raja Abra. ‘Dasar lelaki pemarah yang tidak bisa mengendalikan emosi. Apa dia mau semua terbongkar?’ kesal Ki Kastara. “Tahan Gusti Prabu!” Ki Kastara menahan pedang yang hampir merobek leher Khandra. Raja Abra sendiri memang tengah menahan amarah luar biasa, utusan sang kakak datang membawa kabar kekecewaan yang ditunjukkan pada Abra. Raja Arutala menyalahkan Abra atas apa yang terjadi pada Permaisuri Rengganis. Lelaki itu menatap Ki Kastara, Ki Kastara menggelengkan kepala. Raja Abra mengembuskan napas panjang lalu kembali menarik pedang. ‘Aku selalu diabaikan, bahkan selalu kalah dari Kakang Arutala. Dia yang mendapatk
Raja Abra berdiri di teras halaman menatap lurus ke arah Taman Sari, terlihat Rengganis menikmati teh seraya memandang kebun bunga yang tumbuh subur. Senyuman itu, mendadak Raja Abra merindukan wajah ayu Rengganis. Rasanya dia ingin memeluk tubuh itu. Sang raja gegas melangkah cepat untuk mendekati. Namun, semakin cepat dia berjalan malah terlihat semakin menjauh lalu menghilang entah ke mana. Raja Abra memanggil-manggil nama Rengganis, kini dirinya berdiri di tempat asing entah di mana, seperti di sebuah hutan pinus, dia sendirian. Rasa rindu pada dirinya membuat Abra bak orang linglung berlari ke sana- ke mari menyusuri hutan pinus. “Rengganis!” teriak Abra. Semua bayangan lenyap, Abra membuka mata, melihat sekeliling ruangan. Ah, dia sedang berada di kamar miliknya. Ah, semua hal manis tentang Rengganis yang baru saja hanya mimpi belaka. Abra menoleh ke arah samping di mana Mandhavi terlelap dalam tidurnya. Aroma bunga melati tercium harum, semakin menambah r
Siang harinya di Kerajaan Baskara, Raja Abra memerintahkan para anak buahnya untuk menghukum gantung Ki Chandra beserta sang istri. Walau dua orang tersebut menyembah bahkan mencium kaki Raja Abra sekali pun. Namun, hatinya sudah tertutup, hukum mati tetap dilaksanakan. Bukan hanya pasal Ki Chandra, ketegangan lain pun terjadi antara Raja Abra, Selir Madhavi dan Ki Kastara, Raja Abra yang sudah terkena ajian jaran goyang dari Rengganis menjadi abai pada Madhavi. Sang selir melebarkan mata melihat keadaan Abra yang memprihatinkan. Lelaki mabuk itu melempar beberapa barang ketika kesal membuat kamar istirahat berantakan. “Sudah cukup Gusti Prabu, mari istirahat. Hari sudah menjelang pagi!” ajak Madhavi. Wanita tersebut meraih tangan Raja Abra. “Keluar dari kamarku jalang, aku muak melihat wajahmu!” umpat Raja Abra yang mendengar suara Madhavi yang membuat telinga dan kepalanya sakit. Madhavi melebarkan mata, tidak pernah Abra membentaknya sedemikian rupa. ‘Lelak
Prajurit di bawah kuasa Ki Kastara tersebut mengatakan bahwa anak rombongan Raja Arutala sudah sampai di perbatasan. Tentunya Ki Kastara dan Selir Madhavi terkejut bukan main mendengar berita yang telah dilontarkan sang prajurit. “Gawat, aku akan menemui Raja Abra untuk bersiap, ayo Selir Madhavi,” ajak Ki Kastara. Mereka berjalan cepat menuju ruangan Raja Abra yang sedang mabuk. Sedangkan sosok yang sedang mengamati menghentikan pengintaian. Dia tidak lagi mengekor mereka, akan sangat berbahaya jika tidak segera meninggalkan tempat tersebut. Lelaki yang menyamar sebagai prajurit itu berjalan pergi. “Hei kau mau ke mana ke belakang? Ki Kastara berjalan ke arah depan?” seorang prajurit yang berjaga bertanya. ‘Gawat jika ketahuan,’ bisiknya. Beruntung saat bersamaan lelaki itu buang angin, membuat prajurit yang berdiri di dekat pintu Ki Kastara menutup hidung. “Perutku sakit, apa bisa aku pulang cepat hari ini. Kepalaku juga mendadak pusing sekali?”
“Gawat Kenapa?” Suara yang sang panglima perang itu rindukan terdengar nyaring. Senapati Khandra menoleh ke arah belakang. Rengganis tampak cantik tersenyum menggunakan kain sari berwarna hijau. “Permaisuri Rengganis,” panggil Khandra. Lelaki itu berjalan mendekat dengan malu-malu. Rasa bahagia tidak terlukiskan dengan kata. “Aku merindukan dirimu, Khandra,” kata Rengganis terlebih dahulu saat melihat Khandra menundukkan kepala memberi hormat. Wanita itu menghambur ke pelukan Khandra sebelum lelaki tersebut menyatukan tangan ke depan membentuk hormat. “Aku dengar Raja Arutala sudah dalam perjalanan menuju Istana Baskara. Kita tidak bisa berlama-lama di sini mari kita berbincang sembari kembali!” ajak Senapati Khandra. Tawa Rengganis berderai, “Aku tidak menyangka Raja Arutala bertindak cepat, pasang umpan untuk melemahkan pertahanan Abra berhasil,” ungkap Rengganis. ‘Aku ingin lihat siapa dari mereka berdua yang bertahan. Mereka tidak akan sadar
Ki Kastara yang sengaja berdiri di belakang para abdi dalem kerajaan masih menatap nyalang ke arah Raja Arutala. Rasanya ingin sekali menebas leher penguasa Kerajaan Bamantara tersebut. ‘Sial, semua usahaku akan hancur sia-sia jika hal ini semakin panas,’ bisiknya dalam hati. Ki Kastara mendekat ke arah salah seorang abdi dalem yang berada di pihakknya. “Perintahkan anak buahmu untuk menyusul Senapati Khandra ke tempat latihan. Aku yakin Raja Arutala akan berulah!” perintah Ki Kastara berbisik. Lelaki yang diajak bicara mengangguk dan langsung mengendap-endap keluar. ‘Sial, aku tidak bisa keluar istana sekarang. Bisa saja Raja Abra dan Madhavi melakukan hal bodoh,’ umpat Ki Kastara dalam hati. Raja Arutala dan adiknya masih bersitegang, Raja Arutala yang tidak pernah akur dengan Abra sengaja memprovokasi agar lelaki tersebut marah. Terlebih kekacauan akan ulah kebodohan yang dilakukan Raja Abra sungguh membuat Raja Arutala menertawakan hal tersebut. “Kau ket
Setelah mengantarkan Rengganis ke Curug Sidangkrong, kini Khandra gegas kembali ke istana. Sebagian besar dia sudah mendengar cerita dari Kayana. Tengah malam, lelaki tersebut menghadap ke Istana Utama. Perang melawan Raja Arutala akan dilaksanakan di perbatasan. Raja Abra sudah meminta bantuan dari sekutu dan beberapa kerajaan yang ada di bawah kuasanya. Ki Kastara pun mengumpulkan anak buahnya yang telah dia sebar dari beberapa tempat. Khandra dimohon untuk mempersiapkan ribuan pasukan miliknya untuk membantu menghalau. “Susul mereka ke perbatasan!” perintah Raja Abra. “Kita hadang mereka sebelum menyeberangi lautan sembari menunggu bala bantuan dari Kerajaan sekutu datang!” Khandra hanya diam mematung di tempat duduknya, ‘Apa dia tidak tahu akibatnya jika mengibarkan bendera perang. Sepertinya memasang Raja Arutala sebagai umpan adalah keputusan tepat yang dilakukan Permaisuri Rengganis dibandingkan meminta bantuan kerajaan sekutu. Aku hanya tidak menduga Raja Ar
Next Novel: Tumbal Pengantin Iblis By: KarRa “Awalnya Kalina menerima balutan bibir itu, hingga sebuah bayangan muncul samar dalam ingatan. Sosok lelaki tampan tertutup cahaya putih, spontan Kalina mendorong tubuh Elard. “Maaf,” pinta Kalina merasa bersalah. Tidak terbersit dirinya untuk mendorong Elard, hanya saja bayangan yang selalu mengintai itu sangat menyiksa, menyesakkan dada. “Kau baik-baik saja, Sayang?” tanya Elard mengernyitkan kening melihat wajah sang kekasih pucat pasi. “Kau---?” “Bayangan dalam mimpiku terlintas dalam ingatan. Aku lelah jika harus seperti ini,” keluh Kalina. Dia mengingat setelah insiden kecelakaan dirinya sering bermimpi bertemu dengan seorang lelaki bersayap, lelaki tampan bak malaikat. Namun, bayangan lelaki itu kini semakin sering muncul, bahkan saat dirinya berdekatan dengan Elard. Sang tunangan pun tahu, Elard orang yang tahu tentang mimpi yang dia alami. Mimpi, tentu saja bukan. Apa yang terjadi pada Kalina
Pertempuran berlangsung cukup lama, Ki Kastara memiliki beberapa pendekar bayangan dengan ilmu bela diri dan kanuragan tinggi. Crask! Terdengar daging yang dihunus. Crash! Sebilah pedang berlumur darah berhasil merobek perut lawan. Teriakan menggema tanpa henti, beberapa prajurit Baskara sudah mulai tumbang. Anak buah Ki Kastara banyak yang tumbang. 'Kurang ajar, bagaimana mungkin mata-mata yang aku taruh di padepokan Elang Putih tidak memberi kabar jika Guru Besar keluar?' Ki Kastara memperhatikan satu per satu kesatria bayarannya tewas mengenaskan. Lelaki itu menggertakkan gigi hingga bergemeletuk. 'Apa mungkin mereka tewas? Atau jangan-jangan malah kabur?' dengkusnya masih dalam hati. Beberapa waktu sebelumnya, di mana aura berbeda melingkupi Padepokan Elang Putih. Saat itu Guru Besar tengah memberi arahan pada murid didiknya. Lelaki itu mendadak berhenti dan menoleh ke arah kanan-kiri serta atas, membuat beberapa murid kebingungan bukan main. Saat ini mereka tengah dud
Empu Jagat Trengginas menutup mata, merasakan kesejukan, dunia pak tua itu terkesan damai. Suara-suara binatang hutan memekik perlahan memudar, pun bunyi-bunyian khas hutan menjadi tidak terdengar. Lelaki sepuh tersebut masih memusatkan perhatian pada satu titik. Menyatu bersama alam, mendadak waktu bahkan seperti lambat berjalan dalam satu pusat pikiran. Hingga setetes air dari daun yang menetes jatuh ke kubangan pun terdengar. Clang! Air itu jatuh, Empu Jagat Trengginas tersenyum mendengar derap langkah kuda. Aura yang sangat dia kenal terasa meski jarak mereka berjauhan. Daun dari ranting pohon mulai berguguran tertiup angin. Empu Jagat Trengginas membuka mata, gerakannya secepat kilat berlari menyusuri hutan tanpa kendala, ah bukan tanpa kendala. Hanya saja gerakan lelaki sepuh iru terlampau cepat. Bertepatan pada daun jatuh di tanah. Kaki lelaki itu melompati ranting pohon lalu menapak di tanah. Seorang lelaki gagah menunggang kuda kemudian menarik tali. Kuda me
Sudah berhari-hari Kayana dan juga pasukan kesatria bayangan berkeliling hutan tanpa tahu jalan keluar. Mereka sudah merasakan gusar lantaran berulang kali melewati tempat sama. Mereka turun dari kuda kemudian duduk di akar pohon besar yang menjulang keluar tanah. Mereka tampak lelah dan letih secara bersamaan. Seorang lelaki tiba-tiba datang melompat dari atas pohon. Kakinya berpijak di tanah kering dengan tangan membawa bungkusan daun. "Kau lama sekali mencari makan," ujar Kayana. "Ah, maaf. Aku baru mengisi bumbung air untuk kita minum di air terjun arah sana. Ini sudah kesekian kalinya berputar-putar di tempat yang sama," keluh lelaku itu meletakkan buah-buahan hutang yang di pertik di tanah dekat mereka semua duduk. "Sepertinya kita terkena uyut mimang," ujar salah seorang. "Ah, sungguh sial!" keluh Kayana menggaruk kepala. "Ketua, sekarang kita harus bagaimana?" Salah seorang lagi bertanya pada Kayana membuat lelaki itu semakin pening.
Rengganis dan Guru Besar sempat berbincang-bincang sebelum Kayana pergi. Lelaki itu berpesan pada Khandra untuk berjalan ke arah berlawanan yang Kayana tuju. Perjalanan tidak tentu arah mencari Ki Kastara juga Empu Jagat Trengginas semakin pelik. Jika Sajani berjalan ke arah ujung utara demi meminimalisir pencarian. Sebenarnya jalan yang di tempuh ketiga kesatria tersebut sudah dalam saran Guru Besar. Kini sepasang kesatria elang putih terpisah di jalan masing-masing. Pun tidak jauh berbeda dengan Khandra yang diutus Guru Besar menjelajahi arah selatan. Berharap Empu Jagat Trengginas dapat ditemukan. "Guru, guru mengatakan jika di arah utara banyak sekali hutan yang berkabut tertutup uyut mimang. Apa Kayana akan baik-baik saja?" tanya Rengganis usai Gautam dan Goga meningggalkan istana. "Tenang saja, Kayana bukan sembarangan pendekar bela diri tanah air. Dia salah satu murid terbaik yang hamba miliki," ungkap Guru Besar yakin. "Semoga saja Empu Jagat Trengginas da
Saat Rengganis dan juga Guru Besar yang sesungguhnya merupakan Mang Damar itu tengah membahas serius kelanjutan rencana. Di luar Istana sudah dibuat geger akan kemunculan para bandit. Siapa lagi jika bukan Gautam dan Goga. Mereka muncul dengan mendorong gerobak berisi mayat Madhavi. Para warga berteriak histeris antara terkejut dan takut. Hingga keributan itu terdengar sampai ruangan Taman Sari. “Ada ribut apa di luar?” tanya Rengganis teralihkan perhatian atas teriakan orang-orang. Mang Damar menutup mata, dia mencoba merasakan aura yang ada di sekitar. “Nampaknya ada tamu tidak terduga berencana bertemu Permaisuri,” kata Mang Damar tersenyum. “Tapi saat ini saya tidak bisa menerima tamu, Mang Damar pun paham dengan keadaan saya, bukan?” “Sungguh sangat paham, tetapi jika tidak ditemui nantinya Permaisuri yang akan repot,” ujar Mang Damar. “Baiklah, selama Guru Besar berada di samping saya,” jawab Rengganis. Mang Damar kembali menggunakan ca
Sajani merasa tak enak hati, takut pula jika para bandit tersebut bersikap tidak suka akan tindakan tidak sopannya. Gautam dan Goga memandang tajam bak menguliti. Lalu keduanya terbahak membuat perut buncit itu mengangguk-angguk. “Maaf atas ketidaksopanan saya,” kata Sajani lagi. “Hahaha … tidak masalah Cah Ayu, aku bahkan dengan senang hati akan mengantarkan kau ke arah sumber suara,” ujar Gautam lantas berdiri. Sajani tersenyum angkuh, “Jika Kisanak tidak keberatan,” sambut Sajani tersenyum. “Hahaha … dasar wanita culas!” ejek Goga. Sajani hanya tertawa mencibir, dia tidak akan mengambil hati pada ucapan kasar terkesan sampah yang terlontar dari mulut para bandit. Karena memang demikianlah mereka. Mereka pun melangkah ke arah sumber suara. Mata Sajani melebar menangkap sosok wanita tidak asing tengah dilecehkan seorang lelaki. “Kau kenal dengannya bukan?” Gautam bertanya seraya bersandar pada dinding gua pengap itu. “Ma … Madhavi,” bisikny
Derap lompatan kaki kuda terdengar, sebagai pertanda sang empunya terlalu tergesa memacunya. Kayana menatap lurus ke arah depan, mulai membelah hutan yang mulai dingin nan lembab. Belum lagi guyuran hujan turut serta. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan langkah. Demi mencari pelaku kejhahatan yang sesungguhnya tidak peduli semak berduri maupun hujan lebar diterjang. “Kayana, kita sudah berjalan terlalu lama, mari istirahatkan diri,” teriak salah seorang kawan. Kayana menarik tali kuda membuat terhenti, dia menoleh sekeliling yang ditemui hanya pepohonan tertutup semak-belukar. “Kita istirahat jika menemukan perkampungan, akan sangat bahaya jika berada di hutan asing. Terlebih banyak bandit berkeliaran di saat cuaca seperti ini,” ujar Kayana. “Baiklah, mari bergegas!” ajak salah seorang. Hyat! Mereka kembali memacu kuda membelah semakin belukar, entah akan sampai mana mereka berjalan tanpa tentu arah tersebut. hutan terlalu mengerikan juga membuat tersesat.
Rengganis memeluk tubuh Khandra, lelaki itu tersenyum berusaha membuat nyaman sang permaisuri. Entah bagaimana mengartikan hubungan keduanya. Baik Khandra maupun Rengganis pun tidak paham. Rengganis menutup mata, menghidu aroma keringat Khandra yang khas. Rasanya sungguh menenangkan, Permaisuri Rengganis benar-benar terlena dia mempererat pelukan. Hingga tanpa sadar tangan itu menelusup ke bagian pakaian mirip rompi yang dikenakan Khandra saat ini. Tangan halusnya meraba perut rata, berotot, dan berbentuk selayaknya lelaki perkasa. Mendapat perlakuan itu darah Khandra berdesir. Aroma wangi rambut Rengganis membuat sisi lain lelaki itu bangkit. Ada keinginan menarik segera sang permaisuri agar kembali berbaring kemudian membuat berteriak di bawahnya. Sayang, bayangan wajah pias Rengganis usai sadar tadi berlarian dalam ingatan Khandra. Tidak kuasa ia bertindak terlalu jauh. Khandra menghela napas berat. "Permaisuri, apa tidak sebaiknya saya pergi setelah Kayana dan pasukan baya