Prajurit di bawah kuasa Ki Kastara tersebut mengatakan bahwa anak rombongan Raja Arutala sudah sampai di perbatasan. Tentunya Ki Kastara dan Selir Madhavi terkejut bukan main mendengar berita yang telah dilontarkan sang prajurit. “Gawat, aku akan menemui Raja Abra untuk bersiap, ayo Selir Madhavi,” ajak Ki Kastara. Mereka berjalan cepat menuju ruangan Raja Abra yang sedang mabuk. Sedangkan sosok yang sedang mengamati menghentikan pengintaian. Dia tidak lagi mengekor mereka, akan sangat berbahaya jika tidak segera meninggalkan tempat tersebut. Lelaki yang menyamar sebagai prajurit itu berjalan pergi. “Hei kau mau ke mana ke belakang? Ki Kastara berjalan ke arah depan?” seorang prajurit yang berjaga bertanya. ‘Gawat jika ketahuan,’ bisiknya. Beruntung saat bersamaan lelaki itu buang angin, membuat prajurit yang berdiri di dekat pintu Ki Kastara menutup hidung. “Perutku sakit, apa bisa aku pulang cepat hari ini. Kepalaku juga mendadak pusing sekali?”
“Gawat Kenapa?” Suara yang sang panglima perang itu rindukan terdengar nyaring. Senapati Khandra menoleh ke arah belakang. Rengganis tampak cantik tersenyum menggunakan kain sari berwarna hijau. “Permaisuri Rengganis,” panggil Khandra. Lelaki itu berjalan mendekat dengan malu-malu. Rasa bahagia tidak terlukiskan dengan kata. “Aku merindukan dirimu, Khandra,” kata Rengganis terlebih dahulu saat melihat Khandra menundukkan kepala memberi hormat. Wanita itu menghambur ke pelukan Khandra sebelum lelaki tersebut menyatukan tangan ke depan membentuk hormat. “Aku dengar Raja Arutala sudah dalam perjalanan menuju Istana Baskara. Kita tidak bisa berlama-lama di sini mari kita berbincang sembari kembali!” ajak Senapati Khandra. Tawa Rengganis berderai, “Aku tidak menyangka Raja Arutala bertindak cepat, pasang umpan untuk melemahkan pertahanan Abra berhasil,” ungkap Rengganis. ‘Aku ingin lihat siapa dari mereka berdua yang bertahan. Mereka tidak akan sadar
Ki Kastara yang sengaja berdiri di belakang para abdi dalem kerajaan masih menatap nyalang ke arah Raja Arutala. Rasanya ingin sekali menebas leher penguasa Kerajaan Bamantara tersebut. ‘Sial, semua usahaku akan hancur sia-sia jika hal ini semakin panas,’ bisiknya dalam hati. Ki Kastara mendekat ke arah salah seorang abdi dalem yang berada di pihakknya. “Perintahkan anak buahmu untuk menyusul Senapati Khandra ke tempat latihan. Aku yakin Raja Arutala akan berulah!” perintah Ki Kastara berbisik. Lelaki yang diajak bicara mengangguk dan langsung mengendap-endap keluar. ‘Sial, aku tidak bisa keluar istana sekarang. Bisa saja Raja Abra dan Madhavi melakukan hal bodoh,’ umpat Ki Kastara dalam hati. Raja Arutala dan adiknya masih bersitegang, Raja Arutala yang tidak pernah akur dengan Abra sengaja memprovokasi agar lelaki tersebut marah. Terlebih kekacauan akan ulah kebodohan yang dilakukan Raja Abra sungguh membuat Raja Arutala menertawakan hal tersebut. “Kau ket
Setelah mengantarkan Rengganis ke Curug Sidangkrong, kini Khandra gegas kembali ke istana. Sebagian besar dia sudah mendengar cerita dari Kayana. Tengah malam, lelaki tersebut menghadap ke Istana Utama. Perang melawan Raja Arutala akan dilaksanakan di perbatasan. Raja Abra sudah meminta bantuan dari sekutu dan beberapa kerajaan yang ada di bawah kuasanya. Ki Kastara pun mengumpulkan anak buahnya yang telah dia sebar dari beberapa tempat. Khandra dimohon untuk mempersiapkan ribuan pasukan miliknya untuk membantu menghalau. “Susul mereka ke perbatasan!” perintah Raja Abra. “Kita hadang mereka sebelum menyeberangi lautan sembari menunggu bala bantuan dari Kerajaan sekutu datang!” Khandra hanya diam mematung di tempat duduknya, ‘Apa dia tidak tahu akibatnya jika mengibarkan bendera perang. Sepertinya memasang Raja Arutala sebagai umpan adalah keputusan tepat yang dilakukan Permaisuri Rengganis dibandingkan meminta bantuan kerajaan sekutu. Aku hanya tidak menduga Raja Ar
Teriakan memilukan langit sore penuh debu dan juga berwarna merah darah. Dermaga porak-poranda sebagai saksi biksu di mana Raja Abra memproklamirkan perang. Prajurit yang hanya menjalankan tugas, seorang hamba sahaya banyak yang mati bergelimpangan. Tidak ada yang berani mendekat, para warga tanpa dosa yang berada di sekitar pun banyak yang kehilangan, kapal untuk mencari ikan, harta benda, dan tempat bernaung mereka. Petapa Bagaspati serta anak buahnya membantu sebisa mungkin warga untuk mengungsi ke tempat aman. Ki Chandra sukses memukul mundur pasukan Raja Arutala. Tentu Raja Arutala kalah jumlah, tetapi dia sudah menduga hal tersebut akan terjadi. Raja Arutala menyuruh para prajurit dan anak buahnya tetap di dermaga. Sedang dirinya dengan beberapa orang saja sudah berlayar menggunakan perahu kayu nelayan agar tidak ada pengintai Raja Abra curiga. Sampai di kerajaan Bamantara tentu Raja Arutala segera mengumpulkan puluhan ribu pasukan, juga memanggil ratusan kesatria b
Kayana mengenakan pakaian berwarna putih sebagai pertanda siap siaga, tanda itu hanya anak buah di bawah Khandra yang paham. Sehingga beberapa prajurit di bawahnya segera mengganti pakaian sebagai pembeda antara lawan dan kawan. Anak buah Ki Kastara heran melihat pakaian prajurit berwarna putih. “Seragam kalian bagus, mengapa kami tidak diberikan hal sama?” Salah seorang prajurit berpakaian hitam bertanya. “Karena hanya yang berjiwa suci mempertahankan tanah air yang punya, bukan pengkhianat seperti kalian,” ujar Sajani menarik pedangnya. “Apa?” orang itu melebarkan mata, semua anak buah Ki Kastara terkejut bukan kepalang. “Jangan biarkan ada seorang anak buah Ki Kastara yang melarikan diri, bunuh mereka semua!” teriak Kayana penuh kebencian. “Serang!” Lawan pun menantang. Pertempuran sengit terjadi di antara dua kubu berpakaian putih anak buah Khandra dan berpakaian hitam anak buah Ki Kastara. Gua tempat singgah istirahat, tempat pel
Sementara Raja Abra dan Ki Kastara beserta ribuan prajurit terbaik yang mereka miliki menuju dermaga. Khandra mempersiapkan diri untuk kembali ke tempat pelatihan. Dia sedang mengeluarkan kuda yang dimiliki. Istana di jaga ketat oleh prajurit bayangan terbaik yang dimiliki Khandra. Suasana istana tampak senyap, hanya beberapa ocehan para wanita di dapur mempersiapkan makanan untuk di bawa ke medan perang. Mengingat pasal perang memang hal yang sangat membuat Khandra cukup sensitif, mengingat dampak perang itu selalu bukan hal baik. “Senapati Khandra.” Suara halus seorang wanita memanggil. Khandra menoleh, terlihat Selir Madhavi berjalan mendekat dengan senyum yang sungguh menjijikkan bagi Khandra. “Ada apa Selir Madhavi?” tanya Khandra. Madhavi menoleh ke arah para dayangnya sebentar sebagai pertanda agar meninggalkan mereka berdua. Para dayang tersebut menundukkan kepala dan berjalan mundur lalu pergi. “Bisakah kau menemaniku jalan-jalan, aku butuh seorang te
Crash! Tring! Ribuan panah berhamburan ke udara memenuhi langit di lautan perbatasan Kerajaan Baskara dan wilayah kekuasaan Kerajaan Bamantara. Kapal-kapal kecil yang membawa prajurit Bamantara yang hampir menepi ke dermaga beberapa telah karam. Mayat-mayat bergelimpangan, bau asin air laut bercampur bau anyir darah. Air lautan berubah merah dalam waktu sekejab. Tidak mau kalah, lelaki bertubuh kekar nan gagah, seorang panglima perang Kerajaan Bamantara pun berdiri menjulang di ujung kapal. “Hyat!” sebisa mungkin prajurit Bamantara menghalau anak panah dengan pedang atau pun tombak mereka. Trang! Trang! Anak panah dihalau menggunakan perisai, meski banyak pula prajurit Bamantara yang bergelimpangan gugur. “Tarik panah kalian!” teriak panglima Kerajaan Bamantara ketika hampir menepi ke dermaga. “Lepas!” Dia kembali berteriak lantang saat kapal menepi. Kembali anak panah berhamburan saling beradu di langit dermaga. Teriakan memilukan awal dari sebuah pertumpahan d