Teriakan memilukan langit sore penuh debu dan juga berwarna merah darah. Dermaga porak-poranda sebagai saksi biksu di mana Raja Abra memproklamirkan perang. Prajurit yang hanya menjalankan tugas, seorang hamba sahaya banyak yang mati bergelimpangan. Tidak ada yang berani mendekat, para warga tanpa dosa yang berada di sekitar pun banyak yang kehilangan, kapal untuk mencari ikan, harta benda, dan tempat bernaung mereka. Petapa Bagaspati serta anak buahnya membantu sebisa mungkin warga untuk mengungsi ke tempat aman. Ki Chandra sukses memukul mundur pasukan Raja Arutala. Tentu Raja Arutala kalah jumlah, tetapi dia sudah menduga hal tersebut akan terjadi. Raja Arutala menyuruh para prajurit dan anak buahnya tetap di dermaga. Sedang dirinya dengan beberapa orang saja sudah berlayar menggunakan perahu kayu nelayan agar tidak ada pengintai Raja Abra curiga. Sampai di kerajaan Bamantara tentu Raja Arutala segera mengumpulkan puluhan ribu pasukan, juga memanggil ratusan kesatria b
Kayana mengenakan pakaian berwarna putih sebagai pertanda siap siaga, tanda itu hanya anak buah di bawah Khandra yang paham. Sehingga beberapa prajurit di bawahnya segera mengganti pakaian sebagai pembeda antara lawan dan kawan. Anak buah Ki Kastara heran melihat pakaian prajurit berwarna putih. “Seragam kalian bagus, mengapa kami tidak diberikan hal sama?” Salah seorang prajurit berpakaian hitam bertanya. “Karena hanya yang berjiwa suci mempertahankan tanah air yang punya, bukan pengkhianat seperti kalian,” ujar Sajani menarik pedangnya. “Apa?” orang itu melebarkan mata, semua anak buah Ki Kastara terkejut bukan kepalang. “Jangan biarkan ada seorang anak buah Ki Kastara yang melarikan diri, bunuh mereka semua!” teriak Kayana penuh kebencian. “Serang!” Lawan pun menantang. Pertempuran sengit terjadi di antara dua kubu berpakaian putih anak buah Khandra dan berpakaian hitam anak buah Ki Kastara. Gua tempat singgah istirahat, tempat pel
Sementara Raja Abra dan Ki Kastara beserta ribuan prajurit terbaik yang mereka miliki menuju dermaga. Khandra mempersiapkan diri untuk kembali ke tempat pelatihan. Dia sedang mengeluarkan kuda yang dimiliki. Istana di jaga ketat oleh prajurit bayangan terbaik yang dimiliki Khandra. Suasana istana tampak senyap, hanya beberapa ocehan para wanita di dapur mempersiapkan makanan untuk di bawa ke medan perang. Mengingat pasal perang memang hal yang sangat membuat Khandra cukup sensitif, mengingat dampak perang itu selalu bukan hal baik. “Senapati Khandra.” Suara halus seorang wanita memanggil. Khandra menoleh, terlihat Selir Madhavi berjalan mendekat dengan senyum yang sungguh menjijikkan bagi Khandra. “Ada apa Selir Madhavi?” tanya Khandra. Madhavi menoleh ke arah para dayangnya sebentar sebagai pertanda agar meninggalkan mereka berdua. Para dayang tersebut menundukkan kepala dan berjalan mundur lalu pergi. “Bisakah kau menemaniku jalan-jalan, aku butuh seorang te
Crash! Tring! Ribuan panah berhamburan ke udara memenuhi langit di lautan perbatasan Kerajaan Baskara dan wilayah kekuasaan Kerajaan Bamantara. Kapal-kapal kecil yang membawa prajurit Bamantara yang hampir menepi ke dermaga beberapa telah karam. Mayat-mayat bergelimpangan, bau asin air laut bercampur bau anyir darah. Air lautan berubah merah dalam waktu sekejab. Tidak mau kalah, lelaki bertubuh kekar nan gagah, seorang panglima perang Kerajaan Bamantara pun berdiri menjulang di ujung kapal. “Hyat!” sebisa mungkin prajurit Bamantara menghalau anak panah dengan pedang atau pun tombak mereka. Trang! Trang! Anak panah dihalau menggunakan perisai, meski banyak pula prajurit Bamantara yang bergelimpangan gugur. “Tarik panah kalian!” teriak panglima Kerajaan Bamantara ketika hampir menepi ke dermaga. “Lepas!” Dia kembali berteriak lantang saat kapal menepi. Kembali anak panah berhamburan saling beradu di langit dermaga. Teriakan memilukan awal dari sebuah pertumpahan d
Sementara di Istana Utama Kerajaan Baskara, Selir Madhavi yang tengah asyik mencari perhatian Senapati Khandra dikejutkan dengan kehadiran tamu tidak diundang yang sedang duduk dengan angkuhnya di kursi singgasana. “Apa kabar Selir Madhavi?” Suara halus seorang wanita menyambut kedatangannya ke Istana Utama, tepatnya di ruang singgasana raja. “Permai … suri … Rengganis,” ujar Selir Madhavi mendadak tergagap. “Prajurit, tangkap wanita pengkhianat ini!” teriaknya lantang. “Pengkhianat?” Permaisuri Rengganis yang santai duduk di singgasana kemudian menegakkan tubuh. Dia memincingkan mata membuat satu alisnya naik. “Ini kerajaan milikku, Jalang!” Permaisuri Rengganis mengumpat. “Senapati Khandra, tangkap wanita itu, dia … dia yang telah melenyapkan bayi dalam kandunganku,” pinta selir Madhavi memelas. Wanita itu menuding ke arah Permaisuri Rengganis tanpa tahu malu. “Kapan kau akan sadar dengan situasi juga statusmu Madhavi?” Rengganis merasa mir
Bau anyir semakin kuat, burung pemangsa bangkai mulai berputar-putar di atas langit dermaga. Seorang prajurit lari tunggang langgang menuju ke tempat penjagaan raja. “Gawat Gusti Prabu Abra, pasukan kita kalah jumlah. Lebih baik Gusti Prabu segera meninggalkan tempat ini kembali ke Kerajaan Baskara,” sarannya. Raja Abra semakin tersulut emosi, hari sudah menjelang sore. Namun, dari tadi dia tidak mendapati pasukan bantuan dari Khandra, juga Ki Kastara yang maju ke barisan depan entah di mana sekarang. “Ke mana Ki Kastara, dia baik-baik saja bukan?” tanya Raja Abra. “Ampun Gusti, kami tidak tahu, kami sudah mencari ke mana-mana,” ujar lelaki tadi. Raja Abra berkacak pinggang, “Sialan, apa Ki Kastara tewas?” “Jika tewas, pasti akan banyak orang berteriak memberi tahu,” ujar prajuritv tadi. “Jangan bilang dia melarikan diri?” Mata Abra terbuka lebar, “Sungguh lelaki tua pengkhianat, kurang ajar!” geram Raja Abra. Amarah memuncak itu sementa
Senapati Khandra khawatir dengan keadaan Rengganis yang masuki sendirian ke dalam sebuah balai pengobatan. Bukan tanpa persiapan lelaki tersebut membawa sang permaisuri pergi ke sarang musuh. Ratusan kesatria bayangan yang dia miliki pun turut serta. Sajani juga Kayana bersiap di tempat masing-masing menghimpun bala bantuan. Jika sewaktu-waktu Senapati Khandra memberikan tanda mereka akan bersiap menuju ke dermaga. “Semoga Permaisuri Rengganis baik-baik saja,” ujar Khandra yang sedang dalam tempat persembunyian. “Aku akan menyusup dan mengintip, kalian tetap di sini dan tunggu aba-aba dariku. Jangan menyerang tanpa perintah!” ujar Khandra pada anak buahnya. Beberapa kesatria bayangan yang mengintai di dekat Khandra mengangguk. Satu gerakan melompat, Khandra menghilang ke udara menggunakan jurus peringan tubuh, energi dalam tubuhnya benar-benar tersamarkan bersama angin. Tapak kaki yang menapak ranting pohon pun seperti burung mampir bertengkar lalu dengan cepat melo
Tengah malam Raja Abra kembali ke kerajaan, tidak ada hal mencurigakan. Petapa Bagaspati dan para sesepuh menyambut dengan hangat, seolah tidak ada hal sulit terjadi. Para dayang menyiapkan air mandi untuk raja. Raja Abra masih diperlakukan layaknya raja meski kini semua yang ada di istana adalah pengikut setia mendiang Raja Arkha. “Di mana Madhavi, biasanya dia menunggu kedatanganku?” Raja Abra yang tengah berendam air hangat bertabur bunga mawar sesuai dengan apa yang diperintahkan Rengganis pada para dayang. “Selir Madhavi sedang mempersiapkan diri menyambut Gusti Prabu, dia menunggu di kamarnya,” jawab salah seorang dayang yang tengah menyiapkan makan malam di meja dekat tempat mandi. “Dia pikir aku akan sudi menemuinya setelah apa yang dilakukan Ki Kastara sang paman. Aku ingin memberi perhitungan padanya atas apa yang dilakukan sang paman. Suruh dia ke mari!” titahnya. Para dayang saling pandang, “Sendiko dawuh Gusti Prabu,” jawab mereka kompak.
Next Novel: Tumbal Pengantin Iblis By: KarRa “Awalnya Kalina menerima balutan bibir itu, hingga sebuah bayangan muncul samar dalam ingatan. Sosok lelaki tampan tertutup cahaya putih, spontan Kalina mendorong tubuh Elard. “Maaf,” pinta Kalina merasa bersalah. Tidak terbersit dirinya untuk mendorong Elard, hanya saja bayangan yang selalu mengintai itu sangat menyiksa, menyesakkan dada. “Kau baik-baik saja, Sayang?” tanya Elard mengernyitkan kening melihat wajah sang kekasih pucat pasi. “Kau---?” “Bayangan dalam mimpiku terlintas dalam ingatan. Aku lelah jika harus seperti ini,” keluh Kalina. Dia mengingat setelah insiden kecelakaan dirinya sering bermimpi bertemu dengan seorang lelaki bersayap, lelaki tampan bak malaikat. Namun, bayangan lelaki itu kini semakin sering muncul, bahkan saat dirinya berdekatan dengan Elard. Sang tunangan pun tahu, Elard orang yang tahu tentang mimpi yang dia alami. Mimpi, tentu saja bukan. Apa yang terjadi pada Kalina
Pertempuran berlangsung cukup lama, Ki Kastara memiliki beberapa pendekar bayangan dengan ilmu bela diri dan kanuragan tinggi. Crask! Terdengar daging yang dihunus. Crash! Sebilah pedang berlumur darah berhasil merobek perut lawan. Teriakan menggema tanpa henti, beberapa prajurit Baskara sudah mulai tumbang. Anak buah Ki Kastara banyak yang tumbang. 'Kurang ajar, bagaimana mungkin mata-mata yang aku taruh di padepokan Elang Putih tidak memberi kabar jika Guru Besar keluar?' Ki Kastara memperhatikan satu per satu kesatria bayarannya tewas mengenaskan. Lelaki itu menggertakkan gigi hingga bergemeletuk. 'Apa mungkin mereka tewas? Atau jangan-jangan malah kabur?' dengkusnya masih dalam hati. Beberapa waktu sebelumnya, di mana aura berbeda melingkupi Padepokan Elang Putih. Saat itu Guru Besar tengah memberi arahan pada murid didiknya. Lelaki itu mendadak berhenti dan menoleh ke arah kanan-kiri serta atas, membuat beberapa murid kebingungan bukan main. Saat ini mereka tengah dud
Empu Jagat Trengginas menutup mata, merasakan kesejukan, dunia pak tua itu terkesan damai. Suara-suara binatang hutan memekik perlahan memudar, pun bunyi-bunyian khas hutan menjadi tidak terdengar. Lelaki sepuh tersebut masih memusatkan perhatian pada satu titik. Menyatu bersama alam, mendadak waktu bahkan seperti lambat berjalan dalam satu pusat pikiran. Hingga setetes air dari daun yang menetes jatuh ke kubangan pun terdengar. Clang! Air itu jatuh, Empu Jagat Trengginas tersenyum mendengar derap langkah kuda. Aura yang sangat dia kenal terasa meski jarak mereka berjauhan. Daun dari ranting pohon mulai berguguran tertiup angin. Empu Jagat Trengginas membuka mata, gerakannya secepat kilat berlari menyusuri hutan tanpa kendala, ah bukan tanpa kendala. Hanya saja gerakan lelaki sepuh iru terlampau cepat. Bertepatan pada daun jatuh di tanah. Kaki lelaki itu melompati ranting pohon lalu menapak di tanah. Seorang lelaki gagah menunggang kuda kemudian menarik tali. Kuda me
Sudah berhari-hari Kayana dan juga pasukan kesatria bayangan berkeliling hutan tanpa tahu jalan keluar. Mereka sudah merasakan gusar lantaran berulang kali melewati tempat sama. Mereka turun dari kuda kemudian duduk di akar pohon besar yang menjulang keluar tanah. Mereka tampak lelah dan letih secara bersamaan. Seorang lelaki tiba-tiba datang melompat dari atas pohon. Kakinya berpijak di tanah kering dengan tangan membawa bungkusan daun. "Kau lama sekali mencari makan," ujar Kayana. "Ah, maaf. Aku baru mengisi bumbung air untuk kita minum di air terjun arah sana. Ini sudah kesekian kalinya berputar-putar di tempat yang sama," keluh lelaku itu meletakkan buah-buahan hutang yang di pertik di tanah dekat mereka semua duduk. "Sepertinya kita terkena uyut mimang," ujar salah seorang. "Ah, sungguh sial!" keluh Kayana menggaruk kepala. "Ketua, sekarang kita harus bagaimana?" Salah seorang lagi bertanya pada Kayana membuat lelaki itu semakin pening.
Rengganis dan Guru Besar sempat berbincang-bincang sebelum Kayana pergi. Lelaki itu berpesan pada Khandra untuk berjalan ke arah berlawanan yang Kayana tuju. Perjalanan tidak tentu arah mencari Ki Kastara juga Empu Jagat Trengginas semakin pelik. Jika Sajani berjalan ke arah ujung utara demi meminimalisir pencarian. Sebenarnya jalan yang di tempuh ketiga kesatria tersebut sudah dalam saran Guru Besar. Kini sepasang kesatria elang putih terpisah di jalan masing-masing. Pun tidak jauh berbeda dengan Khandra yang diutus Guru Besar menjelajahi arah selatan. Berharap Empu Jagat Trengginas dapat ditemukan. "Guru, guru mengatakan jika di arah utara banyak sekali hutan yang berkabut tertutup uyut mimang. Apa Kayana akan baik-baik saja?" tanya Rengganis usai Gautam dan Goga meningggalkan istana. "Tenang saja, Kayana bukan sembarangan pendekar bela diri tanah air. Dia salah satu murid terbaik yang hamba miliki," ungkap Guru Besar yakin. "Semoga saja Empu Jagat Trengginas da
Saat Rengganis dan juga Guru Besar yang sesungguhnya merupakan Mang Damar itu tengah membahas serius kelanjutan rencana. Di luar Istana sudah dibuat geger akan kemunculan para bandit. Siapa lagi jika bukan Gautam dan Goga. Mereka muncul dengan mendorong gerobak berisi mayat Madhavi. Para warga berteriak histeris antara terkejut dan takut. Hingga keributan itu terdengar sampai ruangan Taman Sari. “Ada ribut apa di luar?” tanya Rengganis teralihkan perhatian atas teriakan orang-orang. Mang Damar menutup mata, dia mencoba merasakan aura yang ada di sekitar. “Nampaknya ada tamu tidak terduga berencana bertemu Permaisuri,” kata Mang Damar tersenyum. “Tapi saat ini saya tidak bisa menerima tamu, Mang Damar pun paham dengan keadaan saya, bukan?” “Sungguh sangat paham, tetapi jika tidak ditemui nantinya Permaisuri yang akan repot,” ujar Mang Damar. “Baiklah, selama Guru Besar berada di samping saya,” jawab Rengganis. Mang Damar kembali menggunakan ca
Sajani merasa tak enak hati, takut pula jika para bandit tersebut bersikap tidak suka akan tindakan tidak sopannya. Gautam dan Goga memandang tajam bak menguliti. Lalu keduanya terbahak membuat perut buncit itu mengangguk-angguk. “Maaf atas ketidaksopanan saya,” kata Sajani lagi. “Hahaha … tidak masalah Cah Ayu, aku bahkan dengan senang hati akan mengantarkan kau ke arah sumber suara,” ujar Gautam lantas berdiri. Sajani tersenyum angkuh, “Jika Kisanak tidak keberatan,” sambut Sajani tersenyum. “Hahaha … dasar wanita culas!” ejek Goga. Sajani hanya tertawa mencibir, dia tidak akan mengambil hati pada ucapan kasar terkesan sampah yang terlontar dari mulut para bandit. Karena memang demikianlah mereka. Mereka pun melangkah ke arah sumber suara. Mata Sajani melebar menangkap sosok wanita tidak asing tengah dilecehkan seorang lelaki. “Kau kenal dengannya bukan?” Gautam bertanya seraya bersandar pada dinding gua pengap itu. “Ma … Madhavi,” bisikny
Derap lompatan kaki kuda terdengar, sebagai pertanda sang empunya terlalu tergesa memacunya. Kayana menatap lurus ke arah depan, mulai membelah hutan yang mulai dingin nan lembab. Belum lagi guyuran hujan turut serta. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan langkah. Demi mencari pelaku kejhahatan yang sesungguhnya tidak peduli semak berduri maupun hujan lebar diterjang. “Kayana, kita sudah berjalan terlalu lama, mari istirahatkan diri,” teriak salah seorang kawan. Kayana menarik tali kuda membuat terhenti, dia menoleh sekeliling yang ditemui hanya pepohonan tertutup semak-belukar. “Kita istirahat jika menemukan perkampungan, akan sangat bahaya jika berada di hutan asing. Terlebih banyak bandit berkeliaran di saat cuaca seperti ini,” ujar Kayana. “Baiklah, mari bergegas!” ajak salah seorang. Hyat! Mereka kembali memacu kuda membelah semakin belukar, entah akan sampai mana mereka berjalan tanpa tentu arah tersebut. hutan terlalu mengerikan juga membuat tersesat.
Rengganis memeluk tubuh Khandra, lelaki itu tersenyum berusaha membuat nyaman sang permaisuri. Entah bagaimana mengartikan hubungan keduanya. Baik Khandra maupun Rengganis pun tidak paham. Rengganis menutup mata, menghidu aroma keringat Khandra yang khas. Rasanya sungguh menenangkan, Permaisuri Rengganis benar-benar terlena dia mempererat pelukan. Hingga tanpa sadar tangan itu menelusup ke bagian pakaian mirip rompi yang dikenakan Khandra saat ini. Tangan halusnya meraba perut rata, berotot, dan berbentuk selayaknya lelaki perkasa. Mendapat perlakuan itu darah Khandra berdesir. Aroma wangi rambut Rengganis membuat sisi lain lelaki itu bangkit. Ada keinginan menarik segera sang permaisuri agar kembali berbaring kemudian membuat berteriak di bawahnya. Sayang, bayangan wajah pias Rengganis usai sadar tadi berlarian dalam ingatan Khandra. Tidak kuasa ia bertindak terlalu jauh. Khandra menghela napas berat. "Permaisuri, apa tidak sebaiknya saya pergi setelah Kayana dan pasukan baya