Istana Utama semakin gaduh, saling berbisik, seluruh abdi dalem menatap ke arah Raja Abra yang sedang mengacungkan pedang ke leher Khandra. Khandra yang masih duduk di tempatnya terdiam, sama sekali dia tidak gentar. Tatapan menjurus ke arah depan menatap tepat pada Petapa Bagaspati yang ada di seberang sana. Ki Kastara langsung melangkah mendekati Raja Abra. ‘Dasar lelaki pemarah yang tidak bisa mengendalikan emosi. Apa dia mau semua terbongkar?’ kesal Ki Kastara. “Tahan Gusti Prabu!” Ki Kastara menahan pedang yang hampir merobek leher Khandra. Raja Abra sendiri memang tengah menahan amarah luar biasa, utusan sang kakak datang membawa kabar kekecewaan yang ditunjukkan pada Abra. Raja Arutala menyalahkan Abra atas apa yang terjadi pada Permaisuri Rengganis. Lelaki itu menatap Ki Kastara, Ki Kastara menggelengkan kepala. Raja Abra mengembuskan napas panjang lalu kembali menarik pedang. ‘Aku selalu diabaikan, bahkan selalu kalah dari Kakang Arutala. Dia yang mendapatk
Raja Abra berdiri di teras halaman menatap lurus ke arah Taman Sari, terlihat Rengganis menikmati teh seraya memandang kebun bunga yang tumbuh subur. Senyuman itu, mendadak Raja Abra merindukan wajah ayu Rengganis. Rasanya dia ingin memeluk tubuh itu. Sang raja gegas melangkah cepat untuk mendekati. Namun, semakin cepat dia berjalan malah terlihat semakin menjauh lalu menghilang entah ke mana. Raja Abra memanggil-manggil nama Rengganis, kini dirinya berdiri di tempat asing entah di mana, seperti di sebuah hutan pinus, dia sendirian. Rasa rindu pada dirinya membuat Abra bak orang linglung berlari ke sana- ke mari menyusuri hutan pinus. “Rengganis!” teriak Abra. Semua bayangan lenyap, Abra membuka mata, melihat sekeliling ruangan. Ah, dia sedang berada di kamar miliknya. Ah, semua hal manis tentang Rengganis yang baru saja hanya mimpi belaka. Abra menoleh ke arah samping di mana Mandhavi terlelap dalam tidurnya. Aroma bunga melati tercium harum, semakin menambah r
Siang harinya di Kerajaan Baskara, Raja Abra memerintahkan para anak buahnya untuk menghukum gantung Ki Chandra beserta sang istri. Walau dua orang tersebut menyembah bahkan mencium kaki Raja Abra sekali pun. Namun, hatinya sudah tertutup, hukum mati tetap dilaksanakan. Bukan hanya pasal Ki Chandra, ketegangan lain pun terjadi antara Raja Abra, Selir Madhavi dan Ki Kastara, Raja Abra yang sudah terkena ajian jaran goyang dari Rengganis menjadi abai pada Madhavi. Sang selir melebarkan mata melihat keadaan Abra yang memprihatinkan. Lelaki mabuk itu melempar beberapa barang ketika kesal membuat kamar istirahat berantakan. “Sudah cukup Gusti Prabu, mari istirahat. Hari sudah menjelang pagi!” ajak Madhavi. Wanita tersebut meraih tangan Raja Abra. “Keluar dari kamarku jalang, aku muak melihat wajahmu!” umpat Raja Abra yang mendengar suara Madhavi yang membuat telinga dan kepalanya sakit. Madhavi melebarkan mata, tidak pernah Abra membentaknya sedemikian rupa. ‘Lelak
Prajurit di bawah kuasa Ki Kastara tersebut mengatakan bahwa anak rombongan Raja Arutala sudah sampai di perbatasan. Tentunya Ki Kastara dan Selir Madhavi terkejut bukan main mendengar berita yang telah dilontarkan sang prajurit. “Gawat, aku akan menemui Raja Abra untuk bersiap, ayo Selir Madhavi,” ajak Ki Kastara. Mereka berjalan cepat menuju ruangan Raja Abra yang sedang mabuk. Sedangkan sosok yang sedang mengamati menghentikan pengintaian. Dia tidak lagi mengekor mereka, akan sangat berbahaya jika tidak segera meninggalkan tempat tersebut. Lelaki yang menyamar sebagai prajurit itu berjalan pergi. “Hei kau mau ke mana ke belakang? Ki Kastara berjalan ke arah depan?” seorang prajurit yang berjaga bertanya. ‘Gawat jika ketahuan,’ bisiknya. Beruntung saat bersamaan lelaki itu buang angin, membuat prajurit yang berdiri di dekat pintu Ki Kastara menutup hidung. “Perutku sakit, apa bisa aku pulang cepat hari ini. Kepalaku juga mendadak pusing sekali?”
“Gawat Kenapa?” Suara yang sang panglima perang itu rindukan terdengar nyaring. Senapati Khandra menoleh ke arah belakang. Rengganis tampak cantik tersenyum menggunakan kain sari berwarna hijau. “Permaisuri Rengganis,” panggil Khandra. Lelaki itu berjalan mendekat dengan malu-malu. Rasa bahagia tidak terlukiskan dengan kata. “Aku merindukan dirimu, Khandra,” kata Rengganis terlebih dahulu saat melihat Khandra menundukkan kepala memberi hormat. Wanita itu menghambur ke pelukan Khandra sebelum lelaki tersebut menyatukan tangan ke depan membentuk hormat. “Aku dengar Raja Arutala sudah dalam perjalanan menuju Istana Baskara. Kita tidak bisa berlama-lama di sini mari kita berbincang sembari kembali!” ajak Senapati Khandra. Tawa Rengganis berderai, “Aku tidak menyangka Raja Arutala bertindak cepat, pasang umpan untuk melemahkan pertahanan Abra berhasil,” ungkap Rengganis. ‘Aku ingin lihat siapa dari mereka berdua yang bertahan. Mereka tidak akan sadar
Ki Kastara yang sengaja berdiri di belakang para abdi dalem kerajaan masih menatap nyalang ke arah Raja Arutala. Rasanya ingin sekali menebas leher penguasa Kerajaan Bamantara tersebut. ‘Sial, semua usahaku akan hancur sia-sia jika hal ini semakin panas,’ bisiknya dalam hati. Ki Kastara mendekat ke arah salah seorang abdi dalem yang berada di pihakknya. “Perintahkan anak buahmu untuk menyusul Senapati Khandra ke tempat latihan. Aku yakin Raja Arutala akan berulah!” perintah Ki Kastara berbisik. Lelaki yang diajak bicara mengangguk dan langsung mengendap-endap keluar. ‘Sial, aku tidak bisa keluar istana sekarang. Bisa saja Raja Abra dan Madhavi melakukan hal bodoh,’ umpat Ki Kastara dalam hati. Raja Arutala dan adiknya masih bersitegang, Raja Arutala yang tidak pernah akur dengan Abra sengaja memprovokasi agar lelaki tersebut marah. Terlebih kekacauan akan ulah kebodohan yang dilakukan Raja Abra sungguh membuat Raja Arutala menertawakan hal tersebut. “Kau ket
Setelah mengantarkan Rengganis ke Curug Sidangkrong, kini Khandra gegas kembali ke istana. Sebagian besar dia sudah mendengar cerita dari Kayana. Tengah malam, lelaki tersebut menghadap ke Istana Utama. Perang melawan Raja Arutala akan dilaksanakan di perbatasan. Raja Abra sudah meminta bantuan dari sekutu dan beberapa kerajaan yang ada di bawah kuasanya. Ki Kastara pun mengumpulkan anak buahnya yang telah dia sebar dari beberapa tempat. Khandra dimohon untuk mempersiapkan ribuan pasukan miliknya untuk membantu menghalau. “Susul mereka ke perbatasan!” perintah Raja Abra. “Kita hadang mereka sebelum menyeberangi lautan sembari menunggu bala bantuan dari Kerajaan sekutu datang!” Khandra hanya diam mematung di tempat duduknya, ‘Apa dia tidak tahu akibatnya jika mengibarkan bendera perang. Sepertinya memasang Raja Arutala sebagai umpan adalah keputusan tepat yang dilakukan Permaisuri Rengganis dibandingkan meminta bantuan kerajaan sekutu. Aku hanya tidak menduga Raja Ar
Teriakan memilukan langit sore penuh debu dan juga berwarna merah darah. Dermaga porak-poranda sebagai saksi biksu di mana Raja Abra memproklamirkan perang. Prajurit yang hanya menjalankan tugas, seorang hamba sahaya banyak yang mati bergelimpangan. Tidak ada yang berani mendekat, para warga tanpa dosa yang berada di sekitar pun banyak yang kehilangan, kapal untuk mencari ikan, harta benda, dan tempat bernaung mereka. Petapa Bagaspati serta anak buahnya membantu sebisa mungkin warga untuk mengungsi ke tempat aman. Ki Chandra sukses memukul mundur pasukan Raja Arutala. Tentu Raja Arutala kalah jumlah, tetapi dia sudah menduga hal tersebut akan terjadi. Raja Arutala menyuruh para prajurit dan anak buahnya tetap di dermaga. Sedang dirinya dengan beberapa orang saja sudah berlayar menggunakan perahu kayu nelayan agar tidak ada pengintai Raja Abra curiga. Sampai di kerajaan Bamantara tentu Raja Arutala segera mengumpulkan puluhan ribu pasukan, juga memanggil ratusan kesatria b