Beranda / Fantasi / Dendam Permaisuri yang Terbuang / 60. Mana Kawan Mana Lawan?

Share

60. Mana Kawan Mana Lawan?

Penulis: KarRa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56
Khandra melangkah ke arah ujung ruangan berdinding kayu tersebut. Dia membuka pengait jendela dan membukanya. Sorot sang surya memancar menyeruak masuk ke dalam. Pemuda itu lantas duduk di bangku samping amben, di mana pada bagian depan ada meja yang berisi tumpukan lontar, juga beberapa buku usang.

"Mengingat keributan semakin membesar seperti ini." Petapa Bagaspati mulai berkata. "Aku sungguh khawatir pada Permaisuri Rengganis. Bukan cuma kubu Raja Abra yang menginginkan. Namun, akan ada banyak mengincarnya. Lebih menakutkan jika mereka berbuat hal diluar dugaan," ujarnya lagi cemas.

Kayana menatap Khandra lantas menggerakkan kepala sedikit mendongak. Sebagai kode agar sahabat karibnya itu menjawab. Namun, Khandra bergeming tanpa kata, mulut masih tertutup.

"Kakek, kita doakan saja semoga Permaisuri Rengganis baik-baik saja," cakap Kayana pada akhirnya. 'Dasar kau.' Kayana melemparkan tatapan tajam pada Khandra sebentar.

"Kulak nuwun (permisi)." Suara
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   61. Pertemuan para Sesepuh

    Malam harinya, di sebuah gubuk tua beratap rumbia. Bangunan milik Petapa Bagaspati yang berada di tempat paling belakang, yang biasa digunakan sebagai tempat menyimpan lumbung padi. Adalah tempat yang merangkap untuk pertemuan penting. Beberapa orang tua duduk lesehan mengelilingi meja untuk para sesepuh atau orang yang lebih tua. Sedangkan Kayana dan para muda-mudi lain duduk di belakang mereka. Petapa Bagaspati dituntun Ki Chandra melangkah ke arah depan. Tatapan mata di ruangan remang tersebut terlihat iba. Melihat kondisi sang petapa nan sahaja dan menjadi panutan para bawahan, sungguh memprihatinkan. Dalam samar damar menyala temaram, apinya terombang-ambing menari tersapu angin. "Sugeng ndalu (selamat malam) untuk semua saudaraku, mari kita mulai musyawarah." Ki Chandra mulai memberikan sambutan. "Tentunya kita yang berada di sini, mengharapkan Permaisuri Rengganis segera ditemukan sebelum Gusti Prabu Abra atau kerabat mendiang Raja Arkha menemukan terlebih da

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   62. Sepasang Pendekar Elang Putih

    Khandra menginterupsikan kepada orang-orang yang ada di tempat. Dia menggunakan kode tangan untuk yang lain tetap bercakap-cakap seperti biasa agar si penguntit tidak curiga. Kayana yang baru saja membuka pintu jendela, dia melirik sekelebat bayangan hitam di semak sampingnya dengan ekor mata lalu menutup kembali. Khandra bangkit berdiri diikuti Mang Damar dan Kayana lalu masik ke dalam ruang belakang dan keluar. Ketiganya bergerak cepat menggunakan jurus peringan tubuh. Bergerak cepat melompat dan menari lalu berhenti di dekat kuda yang sangat mencurigakan. "Ada kuda di sekitar sini, apa ini milik mereka?" tanya Kayana. "Bisa jadi, kita tunggu saja mereka di sini," ungkap Mang Damar, "aku merasakan ada dua aura yang berbeda mendekati tempat ini," lanjutnya. Sring! Suara pedang beradu dengan sarungnya. Kayana memutar pedang dengan tangan lalu bersembunyi di balik pohon dekat kuda diikat. Sedang Mang Damar dan Khandra menyingkir ke samping, bersedekap dengan awas

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   63. Ajian Jaran Goyang

    Senapati gagah itu tidak ingin gegabah dalam bertindak. Terlebih ada yang lebih sepuh, berpengalaman lebih baik dibandingkan dirinya. Masalah kekuatan pastilah Khandra lebih kuat, hanya saja untuk pengalaman. Mang Damar termasuk prajurit bayangan yang sangat dipercaya mendiang Raja Arkha. Bertindak dalam diam, dan tanpa jejak. Bahkan para sesepuh pun tidak tahu jika Mang Damar prajurit bayangan di sisi sang Raja. Para sesepuh hanya menganggap lelaki tua itu sebagai mantan abdi dalem yang lemah. Sungguh luar biasa, semakin padi berisi akan semakin merunduk. "Mengingat keributan yang sudah terjadi, sepertinya ada banyak pihak yang saling memata-matai." Mang Damar memberi jawaban atas pertanyaan Khandra. "Mungkin saja ini anak buah Ki Kastara atau bisa jadi Petapa Bagaspati?" celetuk Kayana. "Entahlah, ayo kita kembali," ajak Khandra. Hyat! Hyak! Hap! Mereka melompat dengan cepat dan berlari untuk kembali ke kedai. *** Sementara itu di Curug Sidangk

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   64. Ki Kastara Menemukan Tempat Persembunyian

    Mbok Berek berjalan cepat menelusuri hutan belantara untuk menuju tempat persembunyian. Dia baru saja pulang dari pasar diantar salah seorang kesatria. Hatinya gundah gulana, perasaan tidak enak menyelimuti. Ditambah sang surya yang mulai naik, sengatnya begitu luar biasa membakar kulit. 'Duh Gusti, ada apa dengan perasaan ini?' tanyanya dalam hati. Cepat dia melangkah untuk menerobos semak belukar. Wajahnya sumringah ketika mendapati mulut gua tempat persembunyian sudah lebih dekat. Khandra dan Kayana sedang berada di depan menyambut dengan senyum. "Celaka, ada yang mengikuti Simbok," bisik Khandra ketika Mbok Berek mendekat. "Astaga, benarkah, bagaimana ini?" Mbok Berek kebingungan bukan kepalang. "Cilaka dua belas, Gusti." "Tenang Mbok, jangan panik," kata Kayana dengan berbisik. "Jadi, tempat apa ini Senapati Khandra, apa kau menghimpun pasukan untuk melakukan pemberontakan pada Rajamu, hah!" Suara lelaki terdengar dari arah belakang saat Mbok

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   65. Ritual Terakhir Jaran Goyang

    "Ah, sialan!" Teriakan menggema. Raja Abra terlihat mondar-mandir di depan aula Istana Utama. Yah, lelaki tersebut sedang dirundung masalah. Pusing memikirkan di mana harus mencari Rengganis. Para tetua dan kerabat jauh mendiang Raja Arkha terus saja mendesak. Bahkan jika Rengganis sampai tidak ditemukan, mereka akan menuntut Abra menikahi salah satu putri dari kerabat jauh pemilik sah Kerajaan Baskara. Hal tersebut tentu membuat Madhavi merajuk. Mereka salah langkah awal, menyingkirkan Rengganis bukan suatu pilihan terbaik melainkan sebaliknya. Madhavi pun lebih memilih untuk menerima Rengganis kembali. Wanita itu berpikir jika Rengganis, wanita lemah yang bisa dikendalikan sesuka hati mereka akan lebih mudah dibandingkan putri kerabat jauh raja yang pastinya sudah mendapatkan tekanan dari para sesepuh, mengingat apa yang terjadi saat ini di Kerajaan Baskara. "Apa yang harus aku lakukan sekarang!" Raja Abra geram sendiri lalu meninju tembok. "Berhenti mel

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   66. Tersandung Oyot Mimang

    "Aihihihi." Nyi Gendeng Sukmo tertawa melihat Rengganis yang begitu bersemangat. Balas dendam membuat Permaisuri Kerajaan Baskara itu hilang akal. Oh, betapa Rengganis yang malang. "Jangan terburu-buru, Rengganis. Kau perlu mempelajari jurus dan ajian yang lain untuk pertahanan dirimu, Cah Ayu. Kau harus lebih kuat sebelum kembali ke Kerajaan Baskara," cicit Nyi Gendeng Sukmo. "Jaran goyang sudah kau kuasai. Sekarang mari aku ajarkan untuk menggunakan selendang merah milikku. Kita keluar dari gua!" ajak Nyi Gendeng Sukmo. "Kau yakin Nyi, Mbok Berek baru saja keluar, apa dia sudah pergi menjauh?" "Aihihihi." Gendeng Sukmo tertawa, "Kau lupa, aku penunggu Curug Sidangkrong. Aku bisa menutup kawasan Bukit Alang-alang ini Rengganis," kata Nyi Gendeng Sukmo menyombongkan diri. 'Apalagi sekarang aku bisa memanfaatkan tubuhmu itu, ah, benar-benar tubuh yang luar biasa.' Nyi Gendeng Sukmo tertawa dalam hati. 'Aku hampir lupa jika wanita itu adalah iblis,' ke

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   67. Jurus Petir Selendang Merah

    Suara burung berkicauan memecah keheningan antara Mbok Berek dan lelaki pengelana asing yang ditemuinya. Wanita tua itu bingung mencari alasan tepat. "Anu Tuan, em …." Mbok Berek mulai bersuara. "Saya kehilangan rombongan, kami pedagang dari kampung seberang, Tuan," jawab Mbok Berek. "Hutan ini sangat berbahaya, Mbok. Bagaimana kalian bisa berjalan melewati tempat ini?" "Yah, mau bagaimana lagi, tidak ada jalan lain, bukan? Dan untuk masuk ke kawasan desa tetangga lewat pintu masuk, pasti para prajurit penjaga akan mengambil pajak dari kami. Padahal dagangan kami belum tentu laku." Mbok Berek mengurut dada sedih luar biasa, bukan bohongan, dia memang sedih mengingat ketidakadilan yang pernah terjadi. "Mbok, tabahkan hati Simbok, doakan saja yang terbaik untuk Kerjaan Baskara," kata pendekar itu. "Saya tidak bisa menghantar lagi, karena kita sudah berbeda arah. Dari arah sini Mbok lurus saja, jangan pernah menoleh ke belakang, ingat itu!" Dia memperingatkan

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   68. Keluar Persembunyian

    Jantung Rengganis berdetak cepat, panik sudah pasti, dia tidak pernah berada di keadaan yang sungguh sangat membuat dirinya takut akan kematian. “Jangan panik Rengganis, kibaskan selendang merah untuk menghalau semua pohon yang jatuh!” Suara Nyi Gendeng Sukmo terdengar lantang. “Hyat! Hiat!” teriak Rengganis lantang lalu dia mengibaskan selendang merah ke arah pepohonan yang hampir menimpa tubuhnya. Blar! Brak! Pohon tersebut terpental menjauh. Nyi Gendeng Sukmo tersenyum melihat Rengganis berhasil menghalau. ‘Gadis yang pintar,’ gumam Nyi Gendeng Sukmo. Wanita tersebut kemudian melangkah mendekat ke arah Rengganis dengan mengulas senyum. Rengganis terengah-engah sembari mengurut dada, menetralisir tubuhnya yang sedang terguncang lantaran insiden yang sebenarnya tidak dia sadari sebelumnya. “Nyi aku berhasil,” kata Rengganis bersemangat. “Kau murid yang luar biasa Rengganis,” kata Nyi Gendeng Sukmo. Demit tersebut mengingat betapa susahnya dia dahulu

Bab terbaru

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   Next Novel KarRa & Pengumuman Giveaway

    Next Novel: Tumbal Pengantin Iblis By: KarRa “Awalnya Kalina menerima balutan bibir itu, hingga sebuah bayangan muncul samar dalam ingatan. Sosok lelaki tampan tertutup cahaya putih, spontan Kalina mendorong tubuh Elard. “Maaf,” pinta Kalina merasa bersalah. Tidak terbersit dirinya untuk mendorong Elard, hanya saja bayangan yang selalu mengintai itu sangat menyiksa, menyesakkan dada. “Kau baik-baik saja, Sayang?” tanya Elard mengernyitkan kening melihat wajah sang kekasih pucat pasi. “Kau---?” “Bayangan dalam mimpiku terlintas dalam ingatan. Aku lelah jika harus seperti ini,” keluh Kalina. Dia mengingat setelah insiden kecelakaan dirinya sering bermimpi bertemu dengan seorang lelaki bersayap, lelaki tampan bak malaikat. Namun, bayangan lelaki itu kini semakin sering muncul, bahkan saat dirinya berdekatan dengan Elard. Sang tunangan pun tahu, Elard orang yang tahu tentang mimpi yang dia alami. Mimpi, tentu saja bukan. Apa yang terjadi pada Kalina

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   Pemungkas (Tamat)

    Pertempuran berlangsung cukup lama, Ki Kastara memiliki beberapa pendekar bayangan dengan ilmu bela diri dan kanuragan tinggi. Crask! Terdengar daging yang dihunus. Crash! Sebilah pedang berlumur darah berhasil merobek perut lawan. Teriakan menggema tanpa henti, beberapa prajurit Baskara sudah mulai tumbang. Anak buah Ki Kastara banyak yang tumbang. 'Kurang ajar, bagaimana mungkin mata-mata yang aku taruh di padepokan Elang Putih tidak memberi kabar jika Guru Besar keluar?' Ki Kastara memperhatikan satu per satu kesatria bayarannya tewas mengenaskan. Lelaki itu menggertakkan gigi hingga bergemeletuk. 'Apa mungkin mereka tewas? Atau jangan-jangan malah kabur?' dengkusnya masih dalam hati. Beberapa waktu sebelumnya, di mana aura berbeda melingkupi Padepokan Elang Putih. Saat itu Guru Besar tengah memberi arahan pada murid didiknya. Lelaki itu mendadak berhenti dan menoleh ke arah kanan-kiri serta atas, membuat beberapa murid kebingungan bukan main. Saat ini mereka tengah dud

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   133. Menghabisi Ratu Rengganis

    Empu Jagat Trengginas menutup mata, merasakan kesejukan, dunia pak tua itu terkesan damai. Suara-suara binatang hutan memekik perlahan memudar, pun bunyi-bunyian khas hutan menjadi tidak terdengar. Lelaki sepuh tersebut masih memusatkan perhatian pada satu titik. Menyatu bersama alam, mendadak waktu bahkan seperti lambat berjalan dalam satu pusat pikiran. Hingga setetes air dari daun yang menetes jatuh ke kubangan pun terdengar. Clang! Air itu jatuh, Empu Jagat Trengginas tersenyum mendengar derap langkah kuda. Aura yang sangat dia kenal terasa meski jarak mereka berjauhan. Daun dari ranting pohon mulai berguguran tertiup angin. Empu Jagat Trengginas membuka mata, gerakannya secepat kilat berlari menyusuri hutan tanpa kendala, ah bukan tanpa kendala. Hanya saja gerakan lelaki sepuh iru terlampau cepat. Bertepatan pada daun jatuh di tanah. Kaki lelaki itu melompati ranting pohon lalu menapak di tanah. Seorang lelaki gagah menunggang kuda kemudian menarik tali. Kuda me

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   132. Pukulan Dahsyat Ajian Brajamusti

    Sudah berhari-hari Kayana dan juga pasukan kesatria bayangan berkeliling hutan tanpa tahu jalan keluar. Mereka sudah merasakan gusar lantaran berulang kali melewati tempat sama. Mereka turun dari kuda kemudian duduk di akar pohon besar yang menjulang keluar tanah. Mereka tampak lelah dan letih secara bersamaan. Seorang lelaki tiba-tiba datang melompat dari atas pohon. Kakinya berpijak di tanah kering dengan tangan membawa bungkusan daun. "Kau lama sekali mencari makan," ujar Kayana. "Ah, maaf. Aku baru mengisi bumbung air untuk kita minum di air terjun arah sana. Ini sudah kesekian kalinya berputar-putar di tempat yang sama," keluh lelaku itu meletakkan buah-buahan hutang yang di pertik di tanah dekat mereka semua duduk. "Sepertinya kita terkena uyut mimang," ujar salah seorang. "Ah, sungguh sial!" keluh Kayana menggaruk kepala. "Ketua, sekarang kita harus bagaimana?" Salah seorang lagi bertanya pada Kayana membuat lelaki itu semakin pening.

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   131. Ajian Saipi Angin

    Rengganis dan Guru Besar sempat berbincang-bincang sebelum Kayana pergi. Lelaki itu berpesan pada Khandra untuk berjalan ke arah berlawanan yang Kayana tuju. Perjalanan tidak tentu arah mencari Ki Kastara juga Empu Jagat Trengginas semakin pelik. Jika Sajani berjalan ke arah ujung utara demi meminimalisir pencarian. Sebenarnya jalan yang di tempuh ketiga kesatria tersebut sudah dalam saran Guru Besar. Kini sepasang kesatria elang putih terpisah di jalan masing-masing. Pun tidak jauh berbeda dengan Khandra yang diutus Guru Besar menjelajahi arah selatan. Berharap Empu Jagat Trengginas dapat ditemukan. "Guru, guru mengatakan jika di arah utara banyak sekali hutan yang berkabut tertutup uyut mimang. Apa Kayana akan baik-baik saja?" tanya Rengganis usai Gautam dan Goga meningggalkan istana. "Tenang saja, Kayana bukan sembarangan pendekar bela diri tanah air. Dia salah satu murid terbaik yang hamba miliki," ungkap Guru Besar yakin. "Semoga saja Empu Jagat Trengginas da

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   130. Kematian Tragis Madhavi

    Saat Rengganis dan juga Guru Besar yang sesungguhnya merupakan Mang Damar itu tengah membahas serius kelanjutan rencana. Di luar Istana sudah dibuat geger akan kemunculan para bandit. Siapa lagi jika bukan Gautam dan Goga. Mereka muncul dengan mendorong gerobak berisi mayat Madhavi. Para warga berteriak histeris antara terkejut dan takut. Hingga keributan itu terdengar sampai ruangan Taman Sari. “Ada ribut apa di luar?” tanya Rengganis teralihkan perhatian atas teriakan orang-orang. Mang Damar menutup mata, dia mencoba merasakan aura yang ada di sekitar. “Nampaknya ada tamu tidak terduga berencana bertemu Permaisuri,” kata Mang Damar tersenyum. “Tapi saat ini saya tidak bisa menerima tamu, Mang Damar pun paham dengan keadaan saya, bukan?” “Sungguh sangat paham, tetapi jika tidak ditemui nantinya Permaisuri yang akan repot,” ujar Mang Damar. “Baiklah, selama Guru Besar berada di samping saya,” jawab Rengganis. Mang Damar kembali menggunakan ca

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   129. Hukuman Menyakitkan

    Sajani merasa tak enak hati, takut pula jika para bandit tersebut bersikap tidak suka akan tindakan tidak sopannya. Gautam dan Goga memandang tajam bak menguliti. Lalu keduanya terbahak membuat perut buncit itu mengangguk-angguk. “Maaf atas ketidaksopanan saya,” kata Sajani lagi. “Hahaha … tidak masalah Cah Ayu, aku bahkan dengan senang hati akan mengantarkan kau ke arah sumber suara,” ujar Gautam lantas berdiri. Sajani tersenyum angkuh, “Jika Kisanak tidak keberatan,” sambut Sajani tersenyum. “Hahaha … dasar wanita culas!” ejek Goga. Sajani hanya tertawa mencibir, dia tidak akan mengambil hati pada ucapan kasar terkesan sampah yang terlontar dari mulut para bandit. Karena memang demikianlah mereka. Mereka pun melangkah ke arah sumber suara. Mata Sajani melebar menangkap sosok wanita tidak asing tengah dilecehkan seorang lelaki. “Kau kenal dengannya bukan?” Gautam bertanya seraya bersandar pada dinding gua pengap itu. “Ma … Madhavi,” bisikny

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   128. Menyambangi Sarang Penyamun

    Derap lompatan kaki kuda terdengar, sebagai pertanda sang empunya terlalu tergesa memacunya. Kayana menatap lurus ke arah depan, mulai membelah hutan yang mulai dingin nan lembab. Belum lagi guyuran hujan turut serta. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan langkah. Demi mencari pelaku kejhahatan yang sesungguhnya tidak peduli semak berduri maupun hujan lebar diterjang. “Kayana, kita sudah berjalan terlalu lama, mari istirahatkan diri,” teriak salah seorang kawan. Kayana menarik tali kuda membuat terhenti, dia menoleh sekeliling yang ditemui hanya pepohonan tertutup semak-belukar. “Kita istirahat jika menemukan perkampungan, akan sangat bahaya jika berada di hutan asing. Terlebih banyak bandit berkeliaran di saat cuaca seperti ini,” ujar Kayana. “Baiklah, mari bergegas!” ajak salah seorang. Hyat! Mereka kembali memacu kuda membelah semakin belukar, entah akan sampai mana mereka berjalan tanpa tentu arah tersebut. hutan terlalu mengerikan juga membuat tersesat.

  • Dendam Permaisuri yang Terbuang   127. Pengakuan Rengganis

    Rengganis memeluk tubuh Khandra, lelaki itu tersenyum berusaha membuat nyaman sang permaisuri. Entah bagaimana mengartikan hubungan keduanya. Baik Khandra maupun Rengganis pun tidak paham. Rengganis menutup mata, menghidu aroma keringat Khandra yang khas. Rasanya sungguh menenangkan, Permaisuri Rengganis benar-benar terlena dia mempererat pelukan. Hingga tanpa sadar tangan itu menelusup ke bagian pakaian mirip rompi yang dikenakan Khandra saat ini. Tangan halusnya meraba perut rata, berotot, dan berbentuk selayaknya lelaki perkasa. Mendapat perlakuan itu darah Khandra berdesir. Aroma wangi rambut Rengganis membuat sisi lain lelaki itu bangkit. Ada keinginan menarik segera sang permaisuri agar kembali berbaring kemudian membuat berteriak di bawahnya. Sayang, bayangan wajah pias Rengganis usai sadar tadi berlarian dalam ingatan Khandra. Tidak kuasa ia bertindak terlalu jauh. Khandra menghela napas berat. "Permaisuri, apa tidak sebaiknya saya pergi setelah Kayana dan pasukan baya

DMCA.com Protection Status