Jantung Rengganis berdetak cepat, panik sudah pasti, dia tidak pernah berada di keadaan yang sungguh sangat membuat dirinya takut akan kematian. “Jangan panik Rengganis, kibaskan selendang merah untuk menghalau semua pohon yang jatuh!” Suara Nyi Gendeng Sukmo terdengar lantang. “Hyat! Hiat!” teriak Rengganis lantang lalu dia mengibaskan selendang merah ke arah pepohonan yang hampir menimpa tubuhnya. Blar! Brak! Pohon tersebut terpental menjauh. Nyi Gendeng Sukmo tersenyum melihat Rengganis berhasil menghalau. ‘Gadis yang pintar,’ gumam Nyi Gendeng Sukmo. Wanita tersebut kemudian melangkah mendekat ke arah Rengganis dengan mengulas senyum. Rengganis terengah-engah sembari mengurut dada, menetralisir tubuhnya yang sedang terguncang lantaran insiden yang sebenarnya tidak dia sadari sebelumnya. “Nyi aku berhasil,” kata Rengganis bersemangat. “Kau murid yang luar biasa Rengganis,” kata Nyi Gendeng Sukmo. Demit tersebut mengingat betapa susahnya dia dahulu
Rengganis kemudian menuju ke arah pedagang caping dari anyaman bambu, wanita tersebut mengambil beberapa keping koin lalu menyerahkan kepada penjual. “Terima kasih, Paman,” ujar Rengganis kemudian hendak berlalu pergi. “Semoga Nyi Sanak baik-baik saja,” ujar lelaki tua bungkuk tersebut membuat Rengganis urung. “Apa maksud ….” “Lukisan Permaisuri Rengganis sudah tertempel banyak di beberapa tempat, Bagaimana mungkin kami tidak mengenali Permaisuri, pemilik sah tahta Kerajaan Baskara.” Suara seorang wanita terdengar dari arah belakang. Rengganis hanya melirik sekilas wanita paruh baya tersebut.“Pergilah ke belakang untuk mengganti pakaian ini, Permaisuri. Sebelum para prajurit mengenali.” Suara wanita lainnya terdengar. Wanita yang nampak ayu dan masih muda tersebut menyerahkan bungkusan kain, kemudian berlalu pergi. Semua percakapan terjadi seperti sedang tawar menawar barang yang kemudian berlalu agar tidak menimbulkan kecurigaan. Rengganis amat bersyuk
Semua orang menatap pada sosok lelaki tua yang tengah memainkan janggut yang hampir memutih semua itu. Blangkon di atas kepala yang terpakai itu menjadi ciri khas tersendiri. Siapa yang tidak mengenal dirinya. Lelaki yang juga dihormati bagi warga desa Kerajaan Baskara. “Sungguh kalian memalukan sekali! Mengapa kalian tidak memberikan hormat pada Permaisuri Rengganis?” bentak lelaki tersebut pada para anak buahnya. Beberapa orang yang mengelilingi Rengganis langsung saling pandang. Mata terbuka lebar, mereka bersujud dengan tangan menyatu memohon ampunan. “Mohon ampun Permaisuri,” ujar salah seorang di antara mereka yang paling sering berbincang, Rengganis menduga lelaki itu adalah ketua dari para gerombolan yang baru saja mengepungnya. “Hormat kami pada Permaisuri Rengganis,” ujar mereka kompak. “Sungguh mohon ampun Permaisuri.” Kini giliran lelaki tua tadi yang menyatukan tangan memberi hormat pada junjungannya. “Anak buah saya sungguh keterlaluan,
Rengganis berpikir keras, Ki Chandra salah satu anak dari saudara sang ayahanda, tidak mungkin pula orang kepercayaan sang ayah berkhianat. Rengganis menepis semua pemikiran tidak baiknya. Toh, dalam kurun selama ini Ki Chandra tidak pernah berbuat jahat, lelaki tua tersebut orang penyayang. Sejak kepergian kedua orang tuanya, Rengganis merasa asing pada saudara sendiri. Dulu dia bisa nyaman berada di dekat mereka. Namun, nampaknya saat ini sedikit berbeda, usai penobatan Abra menjadi Raja. Bukan hanya dari keluarga yang di mana Abra selalu membatasi gerak-gerik Rengganis. Segala sesuatu tampak sulit, semakin sering berperang, adanya raja yang mungkin tidak kompeten membuka peluang kerajaan lain menyerang. Pemungutan pajak lebih mahal pada warga miskin, sedangkan pejabat memonopoli dan menggelapkan pajak. Banyak kejahatan sering terjadi, baik serangan penyamun, rampok mau pun pemerkosaan. Belum lagi jika yang melakukan tidak kejahatan adalah para prajurit yang memiliki hubungan d
“Sabar Le, ada apa?” Ki Chandra bangkit dari duduk lalu melangkah mendekati pemuda yang baru saja lari terbirit-birit bak dikejar demit. “Ada Ki Kastara dan anak buahnya,” jawab pemuda itu. “Gawat!” keluhnya, “Monggo untuk para sesepuh lewat pintu belakang sekalian pergi menjenguk Permaisuri Rengganis, tetap hati-hati. Para pemuda tetap di sini,” ujarnya. Mereka bergerak cepat tanpa di siuru, sepersekian derik Ki Kastara sudah berada di ambang pintu. Lelaki tua itu berjalan masuk ke dalam ruangan lalu mata berpendar ke segala penjuru ruang. Beberapa muda-mudi berada di sana. Mereka terlihat tengah bercengkerama agar Ki Kastara tidak menaruh curiga. “Adai ramai apa ini Ki Chandra?” tanya Ki Kastara. “Ah, saya sedang mengadakan jamuan untuk para pemuda Ki, seperti silaturahmi. Untuk memperkenalkan putri saya, Roro Gendis,” terang Ki Chandra. “Ah, pantas saja kau sangat bersemangat ketika para kerabat lainnya mengajukan putri mereka untuk menikah
Rengganis berjalan membuka jendela, dia menghela napas panjang. Sengaja menampakkan diri. Nyi Gendeng Sukmo sebelumnya sudah memberitahukan bahwa ada penyusup yang memata-matai. Udara terasa dingin menyentuh kulit, Rengganis tidak peduli hal tersebut. Dia tetap bertahan di tempat. Menghidu rakus udara sebagai reaksi protes rasa tak nyaman. “Siapa dia, Nyi?” beberapa saat lalu Rengganis bertanya. “Hanya seekor lalat kecil, berikan saja apa yang dia inginkan Rengganis. Maka kita akan tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Kawan atau lawan kita tidak tahu, aku hanya merasa aura orang tersebut tidak berubah, dan dia minim bergerak. Bisa dipastikan dia hanya mengintai saja, memata-matai,” jelas Nyi Gendeng Sukmo. Karena hal tersebut akhirnya Rengganis mengikuti saran Nyi Gendeng Sukmo untuk memperlihatkan diri. Namun, Rengganis malah menghirup aroma bunga mawar segar dari pekarangan rumah. Kerongkongan terasa kering seketika, air liur menggenang di ujung mulut, ah ras
Para sesepuh melebarkan mata, tatapan bingung campur panik. Sedikit kegaduhan terjadi lantaran sambutan tidak hangat dari Rengganis. Mereka seperti melihat sosok berbeda. Wanita hangat ramah yang dulu ditemui hilang lenyap. “Apa maksud Permaisuri?” tanya Petapa Bagaspati heran. “Karena jika aku kembali, maka kesempatan bagi keluarga kerajaan untuk mencalonkan putri kalian menjadi istri Raja Abra pupus, maaf sekali mengecewakan.” Rengganis membenahi letak duduknya tanpa beralih pandang. ‘Oh, astaga aku baner-benar muak pada para musuh dalam selimut itu,’ keluhnya. Petapa Bagaspati menghela napas panjang dan mengangguk apa yang diungkapkan Permaisuri Rengganis tersebut tidaklah salah. Suara sumbang dari para sepuh yang tidak terima diperlakukan tidak sopan tersebut langsung gaduh. “Kami benar-benar kecewa pada sambutan tidak ramah ini, Permaisuri Rengganis!” cebik salah seorang lelaki tua yang mengenakan setelan pranakan (salah satu busana dinas abdi dalem lelak
Lelaki bertubuh kekar tersebut masih menutup mulut Rengganis. Wanita itu memberontak sebentar lalu sedikit melemah saat menghirup aroma yang sangat dia kenal. Rengganis segera membalikkan badan ketika tangan kekar lelaki itu terlepas. “Kau mengagetkan diriku, Khandra,” ujar Rengganis. Lelaki tersebut tertawa kecil. “Ampun Permaisuri jika saya lancang, saya hanya tidak mau Permaisuri berteriak,” kata Khandra. “Yah, aku memang hampir berteriak, aura tubuhmu tidak terasa Khandra.” Rengganis berjalan mendekati ranjang lalu duduk di tepian. Wanita tersebut menepuk samping ranjang mempersilakan agar Khandra duduk. “Saya akan duduk di kursi sana,” ujar Khandra. “Tapi aku butuh pundak untuk bersandar Khandra,” ujar Rengganis seraya menelengkan kepala. Khandra melihat wajah lelah Rengganis, lelaki tersebut tersenyum lalu mengiyakan keinginan sang junjungan. Kaki itu melangkah mendekat kemudian duduk di samping Rengganis. Tanpa sungkan Permaisuri Kerajaan Bas