Suara burung berkicauan memecah keheningan antara Mbok Berek dan lelaki pengelana asing yang ditemuinya. Wanita tua itu bingung mencari alasan tepat. "Anu Tuan, em …." Mbok Berek mulai bersuara. "Saya kehilangan rombongan, kami pedagang dari kampung seberang, Tuan," jawab Mbok Berek. "Hutan ini sangat berbahaya, Mbok. Bagaimana kalian bisa berjalan melewati tempat ini?" "Yah, mau bagaimana lagi, tidak ada jalan lain, bukan? Dan untuk masuk ke kawasan desa tetangga lewat pintu masuk, pasti para prajurit penjaga akan mengambil pajak dari kami. Padahal dagangan kami belum tentu laku." Mbok Berek mengurut dada sedih luar biasa, bukan bohongan, dia memang sedih mengingat ketidakadilan yang pernah terjadi. "Mbok, tabahkan hati Simbok, doakan saja yang terbaik untuk Kerjaan Baskara," kata pendekar itu. "Saya tidak bisa menghantar lagi, karena kita sudah berbeda arah. Dari arah sini Mbok lurus saja, jangan pernah menoleh ke belakang, ingat itu!" Dia memperingatkan
Jantung Rengganis berdetak cepat, panik sudah pasti, dia tidak pernah berada di keadaan yang sungguh sangat membuat dirinya takut akan kematian. “Jangan panik Rengganis, kibaskan selendang merah untuk menghalau semua pohon yang jatuh!” Suara Nyi Gendeng Sukmo terdengar lantang. “Hyat! Hiat!” teriak Rengganis lantang lalu dia mengibaskan selendang merah ke arah pepohonan yang hampir menimpa tubuhnya. Blar! Brak! Pohon tersebut terpental menjauh. Nyi Gendeng Sukmo tersenyum melihat Rengganis berhasil menghalau. ‘Gadis yang pintar,’ gumam Nyi Gendeng Sukmo. Wanita tersebut kemudian melangkah mendekat ke arah Rengganis dengan mengulas senyum. Rengganis terengah-engah sembari mengurut dada, menetralisir tubuhnya yang sedang terguncang lantaran insiden yang sebenarnya tidak dia sadari sebelumnya. “Nyi aku berhasil,” kata Rengganis bersemangat. “Kau murid yang luar biasa Rengganis,” kata Nyi Gendeng Sukmo. Demit tersebut mengingat betapa susahnya dia dahulu
Rengganis kemudian menuju ke arah pedagang caping dari anyaman bambu, wanita tersebut mengambil beberapa keping koin lalu menyerahkan kepada penjual. “Terima kasih, Paman,” ujar Rengganis kemudian hendak berlalu pergi. “Semoga Nyi Sanak baik-baik saja,” ujar lelaki tua bungkuk tersebut membuat Rengganis urung. “Apa maksud ….” “Lukisan Permaisuri Rengganis sudah tertempel banyak di beberapa tempat, Bagaimana mungkin kami tidak mengenali Permaisuri, pemilik sah tahta Kerajaan Baskara.” Suara seorang wanita terdengar dari arah belakang. Rengganis hanya melirik sekilas wanita paruh baya tersebut.“Pergilah ke belakang untuk mengganti pakaian ini, Permaisuri. Sebelum para prajurit mengenali.” Suara wanita lainnya terdengar. Wanita yang nampak ayu dan masih muda tersebut menyerahkan bungkusan kain, kemudian berlalu pergi. Semua percakapan terjadi seperti sedang tawar menawar barang yang kemudian berlalu agar tidak menimbulkan kecurigaan. Rengganis amat bersyuk
Semua orang menatap pada sosok lelaki tua yang tengah memainkan janggut yang hampir memutih semua itu. Blangkon di atas kepala yang terpakai itu menjadi ciri khas tersendiri. Siapa yang tidak mengenal dirinya. Lelaki yang juga dihormati bagi warga desa Kerajaan Baskara. “Sungguh kalian memalukan sekali! Mengapa kalian tidak memberikan hormat pada Permaisuri Rengganis?” bentak lelaki tersebut pada para anak buahnya. Beberapa orang yang mengelilingi Rengganis langsung saling pandang. Mata terbuka lebar, mereka bersujud dengan tangan menyatu memohon ampunan. “Mohon ampun Permaisuri,” ujar salah seorang di antara mereka yang paling sering berbincang, Rengganis menduga lelaki itu adalah ketua dari para gerombolan yang baru saja mengepungnya. “Hormat kami pada Permaisuri Rengganis,” ujar mereka kompak. “Sungguh mohon ampun Permaisuri.” Kini giliran lelaki tua tadi yang menyatukan tangan memberi hormat pada junjungannya. “Anak buah saya sungguh keterlaluan,
Rengganis berpikir keras, Ki Chandra salah satu anak dari saudara sang ayahanda, tidak mungkin pula orang kepercayaan sang ayah berkhianat. Rengganis menepis semua pemikiran tidak baiknya. Toh, dalam kurun selama ini Ki Chandra tidak pernah berbuat jahat, lelaki tua tersebut orang penyayang. Sejak kepergian kedua orang tuanya, Rengganis merasa asing pada saudara sendiri. Dulu dia bisa nyaman berada di dekat mereka. Namun, nampaknya saat ini sedikit berbeda, usai penobatan Abra menjadi Raja. Bukan hanya dari keluarga yang di mana Abra selalu membatasi gerak-gerik Rengganis. Segala sesuatu tampak sulit, semakin sering berperang, adanya raja yang mungkin tidak kompeten membuka peluang kerajaan lain menyerang. Pemungutan pajak lebih mahal pada warga miskin, sedangkan pejabat memonopoli dan menggelapkan pajak. Banyak kejahatan sering terjadi, baik serangan penyamun, rampok mau pun pemerkosaan. Belum lagi jika yang melakukan tidak kejahatan adalah para prajurit yang memiliki hubungan d
“Sabar Le, ada apa?” Ki Chandra bangkit dari duduk lalu melangkah mendekati pemuda yang baru saja lari terbirit-birit bak dikejar demit. “Ada Ki Kastara dan anak buahnya,” jawab pemuda itu. “Gawat!” keluhnya, “Monggo untuk para sesepuh lewat pintu belakang sekalian pergi menjenguk Permaisuri Rengganis, tetap hati-hati. Para pemuda tetap di sini,” ujarnya. Mereka bergerak cepat tanpa di siuru, sepersekian derik Ki Kastara sudah berada di ambang pintu. Lelaki tua itu berjalan masuk ke dalam ruangan lalu mata berpendar ke segala penjuru ruang. Beberapa muda-mudi berada di sana. Mereka terlihat tengah bercengkerama agar Ki Kastara tidak menaruh curiga. “Adai ramai apa ini Ki Chandra?” tanya Ki Kastara. “Ah, saya sedang mengadakan jamuan untuk para pemuda Ki, seperti silaturahmi. Untuk memperkenalkan putri saya, Roro Gendis,” terang Ki Chandra. “Ah, pantas saja kau sangat bersemangat ketika para kerabat lainnya mengajukan putri mereka untuk menikah
Rengganis berjalan membuka jendela, dia menghela napas panjang. Sengaja menampakkan diri. Nyi Gendeng Sukmo sebelumnya sudah memberitahukan bahwa ada penyusup yang memata-matai. Udara terasa dingin menyentuh kulit, Rengganis tidak peduli hal tersebut. Dia tetap bertahan di tempat. Menghidu rakus udara sebagai reaksi protes rasa tak nyaman. “Siapa dia, Nyi?” beberapa saat lalu Rengganis bertanya. “Hanya seekor lalat kecil, berikan saja apa yang dia inginkan Rengganis. Maka kita akan tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Kawan atau lawan kita tidak tahu, aku hanya merasa aura orang tersebut tidak berubah, dan dia minim bergerak. Bisa dipastikan dia hanya mengintai saja, memata-matai,” jelas Nyi Gendeng Sukmo. Karena hal tersebut akhirnya Rengganis mengikuti saran Nyi Gendeng Sukmo untuk memperlihatkan diri. Namun, Rengganis malah menghirup aroma bunga mawar segar dari pekarangan rumah. Kerongkongan terasa kering seketika, air liur menggenang di ujung mulut, ah ras
Para sesepuh melebarkan mata, tatapan bingung campur panik. Sedikit kegaduhan terjadi lantaran sambutan tidak hangat dari Rengganis. Mereka seperti melihat sosok berbeda. Wanita hangat ramah yang dulu ditemui hilang lenyap. “Apa maksud Permaisuri?” tanya Petapa Bagaspati heran. “Karena jika aku kembali, maka kesempatan bagi keluarga kerajaan untuk mencalonkan putri kalian menjadi istri Raja Abra pupus, maaf sekali mengecewakan.” Rengganis membenahi letak duduknya tanpa beralih pandang. ‘Oh, astaga aku baner-benar muak pada para musuh dalam selimut itu,’ keluhnya. Petapa Bagaspati menghela napas panjang dan mengangguk apa yang diungkapkan Permaisuri Rengganis tersebut tidaklah salah. Suara sumbang dari para sepuh yang tidak terima diperlakukan tidak sopan tersebut langsung gaduh. “Kami benar-benar kecewa pada sambutan tidak ramah ini, Permaisuri Rengganis!” cebik salah seorang lelaki tua yang mengenakan setelan pranakan (salah satu busana dinas abdi dalem lelak
Next Novel: Tumbal Pengantin Iblis By: KarRa “Awalnya Kalina menerima balutan bibir itu, hingga sebuah bayangan muncul samar dalam ingatan. Sosok lelaki tampan tertutup cahaya putih, spontan Kalina mendorong tubuh Elard. “Maaf,” pinta Kalina merasa bersalah. Tidak terbersit dirinya untuk mendorong Elard, hanya saja bayangan yang selalu mengintai itu sangat menyiksa, menyesakkan dada. “Kau baik-baik saja, Sayang?” tanya Elard mengernyitkan kening melihat wajah sang kekasih pucat pasi. “Kau---?” “Bayangan dalam mimpiku terlintas dalam ingatan. Aku lelah jika harus seperti ini,” keluh Kalina. Dia mengingat setelah insiden kecelakaan dirinya sering bermimpi bertemu dengan seorang lelaki bersayap, lelaki tampan bak malaikat. Namun, bayangan lelaki itu kini semakin sering muncul, bahkan saat dirinya berdekatan dengan Elard. Sang tunangan pun tahu, Elard orang yang tahu tentang mimpi yang dia alami. Mimpi, tentu saja bukan. Apa yang terjadi pada Kalina
Pertempuran berlangsung cukup lama, Ki Kastara memiliki beberapa pendekar bayangan dengan ilmu bela diri dan kanuragan tinggi. Crask! Terdengar daging yang dihunus. Crash! Sebilah pedang berlumur darah berhasil merobek perut lawan. Teriakan menggema tanpa henti, beberapa prajurit Baskara sudah mulai tumbang. Anak buah Ki Kastara banyak yang tumbang. 'Kurang ajar, bagaimana mungkin mata-mata yang aku taruh di padepokan Elang Putih tidak memberi kabar jika Guru Besar keluar?' Ki Kastara memperhatikan satu per satu kesatria bayarannya tewas mengenaskan. Lelaki itu menggertakkan gigi hingga bergemeletuk. 'Apa mungkin mereka tewas? Atau jangan-jangan malah kabur?' dengkusnya masih dalam hati. Beberapa waktu sebelumnya, di mana aura berbeda melingkupi Padepokan Elang Putih. Saat itu Guru Besar tengah memberi arahan pada murid didiknya. Lelaki itu mendadak berhenti dan menoleh ke arah kanan-kiri serta atas, membuat beberapa murid kebingungan bukan main. Saat ini mereka tengah dud
Empu Jagat Trengginas menutup mata, merasakan kesejukan, dunia pak tua itu terkesan damai. Suara-suara binatang hutan memekik perlahan memudar, pun bunyi-bunyian khas hutan menjadi tidak terdengar. Lelaki sepuh tersebut masih memusatkan perhatian pada satu titik. Menyatu bersama alam, mendadak waktu bahkan seperti lambat berjalan dalam satu pusat pikiran. Hingga setetes air dari daun yang menetes jatuh ke kubangan pun terdengar. Clang! Air itu jatuh, Empu Jagat Trengginas tersenyum mendengar derap langkah kuda. Aura yang sangat dia kenal terasa meski jarak mereka berjauhan. Daun dari ranting pohon mulai berguguran tertiup angin. Empu Jagat Trengginas membuka mata, gerakannya secepat kilat berlari menyusuri hutan tanpa kendala, ah bukan tanpa kendala. Hanya saja gerakan lelaki sepuh iru terlampau cepat. Bertepatan pada daun jatuh di tanah. Kaki lelaki itu melompati ranting pohon lalu menapak di tanah. Seorang lelaki gagah menunggang kuda kemudian menarik tali. Kuda me
Sudah berhari-hari Kayana dan juga pasukan kesatria bayangan berkeliling hutan tanpa tahu jalan keluar. Mereka sudah merasakan gusar lantaran berulang kali melewati tempat sama. Mereka turun dari kuda kemudian duduk di akar pohon besar yang menjulang keluar tanah. Mereka tampak lelah dan letih secara bersamaan. Seorang lelaki tiba-tiba datang melompat dari atas pohon. Kakinya berpijak di tanah kering dengan tangan membawa bungkusan daun. "Kau lama sekali mencari makan," ujar Kayana. "Ah, maaf. Aku baru mengisi bumbung air untuk kita minum di air terjun arah sana. Ini sudah kesekian kalinya berputar-putar di tempat yang sama," keluh lelaku itu meletakkan buah-buahan hutang yang di pertik di tanah dekat mereka semua duduk. "Sepertinya kita terkena uyut mimang," ujar salah seorang. "Ah, sungguh sial!" keluh Kayana menggaruk kepala. "Ketua, sekarang kita harus bagaimana?" Salah seorang lagi bertanya pada Kayana membuat lelaki itu semakin pening.
Rengganis dan Guru Besar sempat berbincang-bincang sebelum Kayana pergi. Lelaki itu berpesan pada Khandra untuk berjalan ke arah berlawanan yang Kayana tuju. Perjalanan tidak tentu arah mencari Ki Kastara juga Empu Jagat Trengginas semakin pelik. Jika Sajani berjalan ke arah ujung utara demi meminimalisir pencarian. Sebenarnya jalan yang di tempuh ketiga kesatria tersebut sudah dalam saran Guru Besar. Kini sepasang kesatria elang putih terpisah di jalan masing-masing. Pun tidak jauh berbeda dengan Khandra yang diutus Guru Besar menjelajahi arah selatan. Berharap Empu Jagat Trengginas dapat ditemukan. "Guru, guru mengatakan jika di arah utara banyak sekali hutan yang berkabut tertutup uyut mimang. Apa Kayana akan baik-baik saja?" tanya Rengganis usai Gautam dan Goga meningggalkan istana. "Tenang saja, Kayana bukan sembarangan pendekar bela diri tanah air. Dia salah satu murid terbaik yang hamba miliki," ungkap Guru Besar yakin. "Semoga saja Empu Jagat Trengginas da
Saat Rengganis dan juga Guru Besar yang sesungguhnya merupakan Mang Damar itu tengah membahas serius kelanjutan rencana. Di luar Istana sudah dibuat geger akan kemunculan para bandit. Siapa lagi jika bukan Gautam dan Goga. Mereka muncul dengan mendorong gerobak berisi mayat Madhavi. Para warga berteriak histeris antara terkejut dan takut. Hingga keributan itu terdengar sampai ruangan Taman Sari. “Ada ribut apa di luar?” tanya Rengganis teralihkan perhatian atas teriakan orang-orang. Mang Damar menutup mata, dia mencoba merasakan aura yang ada di sekitar. “Nampaknya ada tamu tidak terduga berencana bertemu Permaisuri,” kata Mang Damar tersenyum. “Tapi saat ini saya tidak bisa menerima tamu, Mang Damar pun paham dengan keadaan saya, bukan?” “Sungguh sangat paham, tetapi jika tidak ditemui nantinya Permaisuri yang akan repot,” ujar Mang Damar. “Baiklah, selama Guru Besar berada di samping saya,” jawab Rengganis. Mang Damar kembali menggunakan ca
Sajani merasa tak enak hati, takut pula jika para bandit tersebut bersikap tidak suka akan tindakan tidak sopannya. Gautam dan Goga memandang tajam bak menguliti. Lalu keduanya terbahak membuat perut buncit itu mengangguk-angguk. “Maaf atas ketidaksopanan saya,” kata Sajani lagi. “Hahaha … tidak masalah Cah Ayu, aku bahkan dengan senang hati akan mengantarkan kau ke arah sumber suara,” ujar Gautam lantas berdiri. Sajani tersenyum angkuh, “Jika Kisanak tidak keberatan,” sambut Sajani tersenyum. “Hahaha … dasar wanita culas!” ejek Goga. Sajani hanya tertawa mencibir, dia tidak akan mengambil hati pada ucapan kasar terkesan sampah yang terlontar dari mulut para bandit. Karena memang demikianlah mereka. Mereka pun melangkah ke arah sumber suara. Mata Sajani melebar menangkap sosok wanita tidak asing tengah dilecehkan seorang lelaki. “Kau kenal dengannya bukan?” Gautam bertanya seraya bersandar pada dinding gua pengap itu. “Ma … Madhavi,” bisikny
Derap lompatan kaki kuda terdengar, sebagai pertanda sang empunya terlalu tergesa memacunya. Kayana menatap lurus ke arah depan, mulai membelah hutan yang mulai dingin nan lembab. Belum lagi guyuran hujan turut serta. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan langkah. Demi mencari pelaku kejhahatan yang sesungguhnya tidak peduli semak berduri maupun hujan lebar diterjang. “Kayana, kita sudah berjalan terlalu lama, mari istirahatkan diri,” teriak salah seorang kawan. Kayana menarik tali kuda membuat terhenti, dia menoleh sekeliling yang ditemui hanya pepohonan tertutup semak-belukar. “Kita istirahat jika menemukan perkampungan, akan sangat bahaya jika berada di hutan asing. Terlebih banyak bandit berkeliaran di saat cuaca seperti ini,” ujar Kayana. “Baiklah, mari bergegas!” ajak salah seorang. Hyat! Mereka kembali memacu kuda membelah semakin belukar, entah akan sampai mana mereka berjalan tanpa tentu arah tersebut. hutan terlalu mengerikan juga membuat tersesat.
Rengganis memeluk tubuh Khandra, lelaki itu tersenyum berusaha membuat nyaman sang permaisuri. Entah bagaimana mengartikan hubungan keduanya. Baik Khandra maupun Rengganis pun tidak paham. Rengganis menutup mata, menghidu aroma keringat Khandra yang khas. Rasanya sungguh menenangkan, Permaisuri Rengganis benar-benar terlena dia mempererat pelukan. Hingga tanpa sadar tangan itu menelusup ke bagian pakaian mirip rompi yang dikenakan Khandra saat ini. Tangan halusnya meraba perut rata, berotot, dan berbentuk selayaknya lelaki perkasa. Mendapat perlakuan itu darah Khandra berdesir. Aroma wangi rambut Rengganis membuat sisi lain lelaki itu bangkit. Ada keinginan menarik segera sang permaisuri agar kembali berbaring kemudian membuat berteriak di bawahnya. Sayang, bayangan wajah pias Rengganis usai sadar tadi berlarian dalam ingatan Khandra. Tidak kuasa ia bertindak terlalu jauh. Khandra menghela napas berat. "Permaisuri, apa tidak sebaiknya saya pergi setelah Kayana dan pasukan baya