"Aihihihi." Nyi Gendeng Sukmo tertawa melihat Rengganis yang begitu bersemangat. Balas dendam membuat Permaisuri Kerajaan Baskara itu hilang akal. Oh, betapa Rengganis yang malang. "Jangan terburu-buru, Rengganis. Kau perlu mempelajari jurus dan ajian yang lain untuk pertahanan dirimu, Cah Ayu. Kau harus lebih kuat sebelum kembali ke Kerajaan Baskara," cicit Nyi Gendeng Sukmo. "Jaran goyang sudah kau kuasai. Sekarang mari aku ajarkan untuk menggunakan selendang merah milikku. Kita keluar dari gua!" ajak Nyi Gendeng Sukmo. "Kau yakin Nyi, Mbok Berek baru saja keluar, apa dia sudah pergi menjauh?" "Aihihihi." Gendeng Sukmo tertawa, "Kau lupa, aku penunggu Curug Sidangkrong. Aku bisa menutup kawasan Bukit Alang-alang ini Rengganis," kata Nyi Gendeng Sukmo menyombongkan diri. 'Apalagi sekarang aku bisa memanfaatkan tubuhmu itu, ah, benar-benar tubuh yang luar biasa.' Nyi Gendeng Sukmo tertawa dalam hati. 'Aku hampir lupa jika wanita itu adalah iblis,' ke
Suara burung berkicauan memecah keheningan antara Mbok Berek dan lelaki pengelana asing yang ditemuinya. Wanita tua itu bingung mencari alasan tepat. "Anu Tuan, em …." Mbok Berek mulai bersuara. "Saya kehilangan rombongan, kami pedagang dari kampung seberang, Tuan," jawab Mbok Berek. "Hutan ini sangat berbahaya, Mbok. Bagaimana kalian bisa berjalan melewati tempat ini?" "Yah, mau bagaimana lagi, tidak ada jalan lain, bukan? Dan untuk masuk ke kawasan desa tetangga lewat pintu masuk, pasti para prajurit penjaga akan mengambil pajak dari kami. Padahal dagangan kami belum tentu laku." Mbok Berek mengurut dada sedih luar biasa, bukan bohongan, dia memang sedih mengingat ketidakadilan yang pernah terjadi. "Mbok, tabahkan hati Simbok, doakan saja yang terbaik untuk Kerjaan Baskara," kata pendekar itu. "Saya tidak bisa menghantar lagi, karena kita sudah berbeda arah. Dari arah sini Mbok lurus saja, jangan pernah menoleh ke belakang, ingat itu!" Dia memperingatkan
Jantung Rengganis berdetak cepat, panik sudah pasti, dia tidak pernah berada di keadaan yang sungguh sangat membuat dirinya takut akan kematian. “Jangan panik Rengganis, kibaskan selendang merah untuk menghalau semua pohon yang jatuh!” Suara Nyi Gendeng Sukmo terdengar lantang. “Hyat! Hiat!” teriak Rengganis lantang lalu dia mengibaskan selendang merah ke arah pepohonan yang hampir menimpa tubuhnya. Blar! Brak! Pohon tersebut terpental menjauh. Nyi Gendeng Sukmo tersenyum melihat Rengganis berhasil menghalau. ‘Gadis yang pintar,’ gumam Nyi Gendeng Sukmo. Wanita tersebut kemudian melangkah mendekat ke arah Rengganis dengan mengulas senyum. Rengganis terengah-engah sembari mengurut dada, menetralisir tubuhnya yang sedang terguncang lantaran insiden yang sebenarnya tidak dia sadari sebelumnya. “Nyi aku berhasil,” kata Rengganis bersemangat. “Kau murid yang luar biasa Rengganis,” kata Nyi Gendeng Sukmo. Demit tersebut mengingat betapa susahnya dia dahulu
Rengganis kemudian menuju ke arah pedagang caping dari anyaman bambu, wanita tersebut mengambil beberapa keping koin lalu menyerahkan kepada penjual. “Terima kasih, Paman,” ujar Rengganis kemudian hendak berlalu pergi. “Semoga Nyi Sanak baik-baik saja,” ujar lelaki tua bungkuk tersebut membuat Rengganis urung. “Apa maksud ….” “Lukisan Permaisuri Rengganis sudah tertempel banyak di beberapa tempat, Bagaimana mungkin kami tidak mengenali Permaisuri, pemilik sah tahta Kerajaan Baskara.” Suara seorang wanita terdengar dari arah belakang. Rengganis hanya melirik sekilas wanita paruh baya tersebut.“Pergilah ke belakang untuk mengganti pakaian ini, Permaisuri. Sebelum para prajurit mengenali.” Suara wanita lainnya terdengar. Wanita yang nampak ayu dan masih muda tersebut menyerahkan bungkusan kain, kemudian berlalu pergi. Semua percakapan terjadi seperti sedang tawar menawar barang yang kemudian berlalu agar tidak menimbulkan kecurigaan. Rengganis amat bersyuk
Semua orang menatap pada sosok lelaki tua yang tengah memainkan janggut yang hampir memutih semua itu. Blangkon di atas kepala yang terpakai itu menjadi ciri khas tersendiri. Siapa yang tidak mengenal dirinya. Lelaki yang juga dihormati bagi warga desa Kerajaan Baskara. “Sungguh kalian memalukan sekali! Mengapa kalian tidak memberikan hormat pada Permaisuri Rengganis?” bentak lelaki tersebut pada para anak buahnya. Beberapa orang yang mengelilingi Rengganis langsung saling pandang. Mata terbuka lebar, mereka bersujud dengan tangan menyatu memohon ampunan. “Mohon ampun Permaisuri,” ujar salah seorang di antara mereka yang paling sering berbincang, Rengganis menduga lelaki itu adalah ketua dari para gerombolan yang baru saja mengepungnya. “Hormat kami pada Permaisuri Rengganis,” ujar mereka kompak. “Sungguh mohon ampun Permaisuri.” Kini giliran lelaki tua tadi yang menyatukan tangan memberi hormat pada junjungannya. “Anak buah saya sungguh keterlaluan,
Rengganis berpikir keras, Ki Chandra salah satu anak dari saudara sang ayahanda, tidak mungkin pula orang kepercayaan sang ayah berkhianat. Rengganis menepis semua pemikiran tidak baiknya. Toh, dalam kurun selama ini Ki Chandra tidak pernah berbuat jahat, lelaki tua tersebut orang penyayang. Sejak kepergian kedua orang tuanya, Rengganis merasa asing pada saudara sendiri. Dulu dia bisa nyaman berada di dekat mereka. Namun, nampaknya saat ini sedikit berbeda, usai penobatan Abra menjadi Raja. Bukan hanya dari keluarga yang di mana Abra selalu membatasi gerak-gerik Rengganis. Segala sesuatu tampak sulit, semakin sering berperang, adanya raja yang mungkin tidak kompeten membuka peluang kerajaan lain menyerang. Pemungutan pajak lebih mahal pada warga miskin, sedangkan pejabat memonopoli dan menggelapkan pajak. Banyak kejahatan sering terjadi, baik serangan penyamun, rampok mau pun pemerkosaan. Belum lagi jika yang melakukan tidak kejahatan adalah para prajurit yang memiliki hubungan d
“Sabar Le, ada apa?” Ki Chandra bangkit dari duduk lalu melangkah mendekati pemuda yang baru saja lari terbirit-birit bak dikejar demit. “Ada Ki Kastara dan anak buahnya,” jawab pemuda itu. “Gawat!” keluhnya, “Monggo untuk para sesepuh lewat pintu belakang sekalian pergi menjenguk Permaisuri Rengganis, tetap hati-hati. Para pemuda tetap di sini,” ujarnya. Mereka bergerak cepat tanpa di siuru, sepersekian derik Ki Kastara sudah berada di ambang pintu. Lelaki tua itu berjalan masuk ke dalam ruangan lalu mata berpendar ke segala penjuru ruang. Beberapa muda-mudi berada di sana. Mereka terlihat tengah bercengkerama agar Ki Kastara tidak menaruh curiga. “Adai ramai apa ini Ki Chandra?” tanya Ki Kastara. “Ah, saya sedang mengadakan jamuan untuk para pemuda Ki, seperti silaturahmi. Untuk memperkenalkan putri saya, Roro Gendis,” terang Ki Chandra. “Ah, pantas saja kau sangat bersemangat ketika para kerabat lainnya mengajukan putri mereka untuk menikah
Rengganis berjalan membuka jendela, dia menghela napas panjang. Sengaja menampakkan diri. Nyi Gendeng Sukmo sebelumnya sudah memberitahukan bahwa ada penyusup yang memata-matai. Udara terasa dingin menyentuh kulit, Rengganis tidak peduli hal tersebut. Dia tetap bertahan di tempat. Menghidu rakus udara sebagai reaksi protes rasa tak nyaman. “Siapa dia, Nyi?” beberapa saat lalu Rengganis bertanya. “Hanya seekor lalat kecil, berikan saja apa yang dia inginkan Rengganis. Maka kita akan tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Kawan atau lawan kita tidak tahu, aku hanya merasa aura orang tersebut tidak berubah, dan dia minim bergerak. Bisa dipastikan dia hanya mengintai saja, memata-matai,” jelas Nyi Gendeng Sukmo. Karena hal tersebut akhirnya Rengganis mengikuti saran Nyi Gendeng Sukmo untuk memperlihatkan diri. Namun, Rengganis malah menghirup aroma bunga mawar segar dari pekarangan rumah. Kerongkongan terasa kering seketika, air liur menggenang di ujung mulut, ah ras