Bab 1.
Hans berlari cepat menyusuri lorong rumah sakit yang sudah sepi. Laki-laki itu tak peduli jika langkah kaki panjangnya yang berisik akan mengganggu waktu istirahat pasien di sana, karena di pikirannya sekarang hanya ingin segera bertemu dengan Nida dan memastikan bagaimana keadaan wanita itu.
Beberapa saat yang lalu, Hans mendapatkan telepon dari Bi Retno, wanita paruh baya yang bekerja sebagai asisten rumah tangga di kediamannya dan Nida. Bi Retno bilang Nida jatuh di kamar mandi dan mengalami pendarahan.
Hans tentu saja terkejut mendengar kabar itu. Ia bahkan tak tahu jika istrinya sedang hamil, tapi tiba-tiba saja ia mendapatkan kabar jika wanita itu mengalami pendarahan.
BRAK!!
Hans yang sudah diliputi rasa cemas berlebih, tanpa sadar membuka kasar pintu ruang rawat VIP tempat istrinya berada. Hal itu tentu saja membuat Nida dan Bi Retno yang berada di dalamnya terlonjak kaget.
"Dek, kamu nggak apa-apa, 'kan? Bi Retno bilang kamu hamil dan pendarahan. Apa itu benar?" Hans yang sudah mendekat ke sebelah ranjang Nida langsung memberondong istrinya itu dengan banyak pertanyaan. Kekhawatiran jelas tergambar di wajah rupawan itu.
Nida tampak risi dengan sikap suaminya, sementara Bi Retno yang tak ingin mengganggu pembicaraan kedua majikannya langsung pamit keluar dari ruang rawat tersebut.
"Untuk apa kamu ke sini, Mas?" Nida bertanya seraya melirik suaminya dengan tatapan tak suka.
"Tentu saja aku khawatir dengan keadaan kamu, Dek. Apa kata dokter? Kenapa kamu nggak pernah bilang kalau sedang hamil? Lalu sekarang bagaimana keadaan anak kita?" tanya Hans lagi, kali ini tangannya bahkan tanpa izin sudah terulur ke perut Nida dan mengusapnya dengan lembut.
Nida yang terkejut dengan perbuatan suaminya, refleks langsung menepis tangan pria itu. Hans tentu saja merasa tersinggung dengan sikap istrinya. Namun, karena sadar Nida sedang tidak dalam keadaan yang baik, lelaki itu memutuskan untuk tak terlalu memusingkan sikap tak ramah istrinya.
"Lebih baik kamu kembali ke rumah istri keduamu saja, Mas. Aku sedang sakit. Aku merasa nggak punya tenaga untuk melawan istri kesayanganmu itu jika dia datang ke sini dan membuat keributan," kata Nida dengan nada suara yang terdengar dingin.
Hans hanya bisa menghela napas berat mendengar ucapan istrinya itu.
Memang sejak satu tahun lalu ia telah menduakan Nida dan menikah lagi dengan perempuan yang usianya berada di bawah istri pertamanya tersebut. Sejak saat itu, sikap Nida yang dulunya begitu hangat, kini telah berubah menjadi dingin. Hans pun akhirnya lebih banyak menghabiskan waktunya bersama istri barunya karena merasa tak nyaman dengan perubahan sikap Nida, meski ia tahu itu juga terjadi karena perbuatannya.
"Diaz nggak akan menyusul ke sini karena aku nggak bilang mau menemuimu, Dek. Aku tadi bilang mau bertemu dengan rekan bisnis yang baru datang dari luar kota," ujar Hans, berharap Nida tak perlu khawatir dengan kemarahan adik madunya.
Nida terkekeh sinis mendengar ucapan laki-laki yang berada di sisinya tersebut. Padahal di sini posisi Nida adalah istri pertama, tapi untuk mendapatkan waktu bersama suaminya kenapa harus sesusah ini? Bahkan Hans harus membuat kebohongan pada istri keduanya hanya untuk bertemu dengannya, seolah ikatan mereka adalah hubungan haram yang harus disembunyikan dari semua orang.
"Dek, kamu dan kandunganmu baik-baik saja, 'kan?" Hans kembali mengulang pertanyaan tersebut, karena sejak tadi Nida tak mau menjawab saat ia bertanya soal keadaan wanita itu dan kehamilan yang baru hari ini Hans ketahui.
"Baik. Dia masih selamat karena Bi Retno cepat-cepat membawaku ke rumah sakit," sahut Nida tetap dengan nada dingin. Ia mengusap-usap lembut perut tempat calon anaknya bersemayam, merasa begitu bersyukur karena Tuhan masih memberinya kesempatan untuk menjaga buah hatinya tersebut.
"Kalau boleh Mas tahu, sudah bersama bulan kandunganmu?" tanya Hans pelan. Ada sedikit rasa bersalah yang hinggap di hatinya karena satu tahun belakangan ia sangat sedikit memberikan waktu untuk Nida.
"Hampir tiga bulan," jawab Nida datar.
"Hampir tiga bulan?" Hans berseru karena merasa terkejut. Sudah hampir tiga bulan usia kandungan Nida, tapi baru hari ini ia mengetahuinya? Benar-benar kejam Nida memperlakukannya.
Hans merasa kecewa pada Nida karena telah menyembunyikan kehamilannya, tapi juga sadar jika ia memang sangat jarang memiliki waktu untuk sekedar berbicara dengan istri pertamanya tersebut. Mungkinkah hal itu yang membuat Nida memutuskan untuk menyembunyikan kehamilan ini dari suaminya sendiri?
"Kenapa kamu terkejut seperti itu? Apa kamu ragu kalau anak yang aku kandung ini anakmu?" tanya Nida dengan menatap tak suka pada suaminya.
Tampaknya wanita itu salah paham saat mendapati respons terkejut yang suaminya tunjukkan.
"Maksud kamu apa, Dek?" tanya Hans yang merasa tak paham kenapa Nida bisa bertanya seperti itu padanya.
"Kamu kan jarang mengunjungiku, mungkin saja kamu ragu jika anak ini adalah anakmu," ujar Nida ketus.
"Aku tidak ragu sama sekali. Aku percaya kamu tidak akan mungkin mengkhianati pernikahan kita," ujar Hans bersungguh-sungguh. Ia juga memperlihatkan senyum terbaiknya pada sang istri agar wanita itu membuang keraguannya. "Sekarang kamu istirahat. Mas akan menjagamu di sini. Kalau kamu butuh apa-apa, jangan ragu bilang saja sama Mas ya," ujar Hans melanjutkan.
Nida sebenarnya tak setuju dengan ide suaminya itu. Tak ada sedikit pun keinginannya untuk bersama Hans di tempat ini. Ia justru akan lebih senang jika Hans entah dari hadapannya sekarang juga. Namun, karena sadar penolakannya hanya akan menciptakan perdebatan, sementara ia sedang tidak punya tenaga untuk berdebat, dengan terpaksa akhirnya Nida hanya bisa pasrah dan membiarkan Hans menungguinya malam ini.
Tak menunggu waktu lama, Nida langsung menutup matanya agar bisa lebih cepat pergi ke alam mimpi. Ia belum merasa mengantuk sebenarnya, tetapi demi menghindari obrolan apa pun dengan suaminya, Nida merasa harus melakukan hal itu. Sungguh, Nida merasa sangat tidak nyaman dengan keadaan di mana ada Hans yang menungguinya saat sedang sakit seperti ini.
Sejak Hans menikah lagi, waktu kebersamaan mereka memang menjadi sangat terbatas. Hans hanya akan datang pada Nida saat Diaz si istri kedua sedang marah dan melarang Hans tidur di rumah mereka atau saat Diaz sedang mendapatkan siklus bulanannya, sementara laki-laki itu sedang ingin melepaskan hasrat biologisnya. Ya, seperti itulah, Nida memang merasa jika dirinya kini hanya diperlakukan sebagai penampungan hasrat dan ban serep saja oleh Hans . Jadi tak heran jika Nida semakin merasa asing dengan suaminya sendiri dari hari ke hari dan mulai tak nyaman jika terlalu lama berdekatan dengan laki-laki tersebut.
Di samping Nida, Hans yang mengira jika istrinya sudah tertidur, perlahan menggenggam tangan wanita itu. Lagi-lagi rasa bersalah menyusup di dalam hatinya. Laki-laki itu merasa begitu jahat karena selama satu tahun ini selalu mengabaikan Nida dan hanya memberikan waktu sisa untuk istri pertamanya itu, karena memang kini perasaannya lebih condong ke arah Diaz. Namun, sekarang Hans berjanji pada dirinya sendiri akan berusaha adil untuk kedua istrinya. Meskipun soal perasaan ia tak bisa mengatur pembagiannya secara adil, tetapi untuk pembagian waktu dan juga perhatian, ia akan berusaha agar tak berat sebelah.
Sementara Nida yang sebenarnya belum terlelap, mati-matian menahan tangisannya saat ia merasakan telapak tangannya digenggam oleh sang suami dengan begitu lembut. Wanita itu berusaha keras menahan keinginannya untuk melepaskan genggaman itu. Ia benar-benar sudah merasa asing dengan sosok suaminya dan merasa tak nyaman setiap kali mereka bersentuhan. Namun, mengingat status pernikahan yang masih mengikat mereka hingga sekarang, membuat Nida mau tak mau harus tetap menerima kehadiran laki-laki tersebut.
Bersambung
Bab 2Keesokan harinya, Nida sudah diperbolehkan pulang karena memang keadaannya sudah membaik. Wanita itu hanya dianjurkan oleh dokter untuk lebih banyak istirahat dan jangan sampai kelelahan. Hans yang sejak semalam ikut menunggui Nida di rumah sakit bersama asisten rumah tangga, siang ini tentu saja ikut mengantar pulang istrinya tersebut. Namun, betapa terkejutnya Hans, saat di depan rumah yang Nida tempati, ia melihat Diaz sudah menunggu di teras rumah itu dengan wajah masam. "Aku harap istri kesayanganmu tidak membuat keributan di sini," ujar Nida dingin, begitu mobil yang Hans kendarai berhenti di halaman rumah. Hans tak menjawab ucapan Nida dan langsung keluar dari mobil, meninggalkan Nida dan Bi Retno yang memang sengaja tak langsung turun. Hans harus biara dengan Diaz terlebih dulu agar istri keduanya itu tak membuat keributan seperti biasanya saat ia berkunjung ke kediaman Nida. PLAK!!Hans yang mendekat ke arah Diaz tiba-tiba saja mendapatkan hadiah tamparan dari wan
Bab 3. Hari ini suasana di rumah Nida tampak berbeda dari hari-hari biasanya. Jika sebelumnya di rumah itu hanya ada Nida dan Bi Retno, maka hari ini Hans seharian penuh berada di sana. Itu adalah hal yang tak pernah pria tersebut lakukan sejak ada Diaz di antara mereka. Apa Nida senang dengan hal tersebut? Sayangnya, jawabannya adalah tidak. Ia yang sudah terbiasa tanpa suaminya, kini justru merasa risi karena laki-laki itu terus menempelinya ke mana pun ia pergi. "Kamu mau makan sesuatu, Dek? Biar Mas suruh Bi Retno buatkan untukmu. Pokoknya hari ini kamu nggak boleh capek-capek. Kalau mau apa-apa, kamu bisa minta tolong Mas atau Bi Retno. Oke?" ujar Hans pada Nida yang sejak beberapa jam lalu hanya mengurung diri di kamar karena merasa kesal sebab selalu diikuti oleh suaminya. Ini sudah hampir masuk waktu makan siang, jadi tak heran jika Hans bertanya apa yang hendak Nida makan. "Mas kenapa hari ini nggak ke restoran?" tanya Nida, yang jujur saja merasa tak nyaman karena Hans
Bab 4"Dek, Mas mau ke luar sebentar. Kamu mau nitip sesuatu?" ujar Hans ketika sore telah tiba. Laki-laki itu baru saja menghampiri Nida yang sedang bersantai di taman belakang bersama Bi Retno. Ya begitulah Nida. Bukannya memanfaatkan waktu untuk bermanja-manja pada suaminya yang jarang sekali berkunjung, wanita itu justru lebih suka menghindar dari Hans. "Nggak, Mas," jawab Nida tanpa minat. "Memangnya kamu nggak ngidam lagi, Dek? Siapa tahu kamu ingin makan sesuatu, biar sekalian Mas balikan," ujar Hans lagi, berusaha menarik perhatian istri pertamanya tersebut. "Nggak ada, Mas. Lagi pula semua yang aku pingin sudah ada di kulkas, baru aku beli kemarin, jadi aku sudah nggak ingin dibelikan apa-apa lagi," ujar Nida, kembali menolak tawaran suaminya. Hans lagi-lagi hanya bisa menghela napas panjang menghadapi sikap dingin istrinya. Dari sejak kapan sebenarnya hubungan mereka jadi berjarak seperti ini? Kenapa juga Hans baru menyadari saat ia hendak memperbaiki hubungan mereka?
Bab 5 Makan malam keluarga"Tumben sekali kamu mengundang kami semua makan malam di sini, Hans? Biasanya juga kalau ada acara pasti selalu diadakan di rumah yang kamu dan Diaz tempati," ujar Mirna, yang merupakan mama dari Hans. Pada akhirnya, Hans tetap melanjutkan acara makan malam bersama keluarga besarnya karena tak mau membuat semua yang sudah diundang jadi merasa dipermainkan. Ia tahu Nida marah dengan keputusannya ini. Namun, mau bagaimana lagi? Ia sudah terlanjur mengundang semuanya, jadi mau tak mau acara makan malam ini pun harus tetap dilaksanakan. "Iya, Ma, kebetulan aku sama Nida punya kabar yang hendak disampaikan pada kalian semua, jadi kami sengaja mengundang kalian ke sini," ujar Hans dengan menampilkan senyum bahagianya. Jelas saja ia merasa sangat bahagia. Anak yang sudah dinantikannya sejak lama, akhirnya sebentar lagi akan ia dapatkan. Ia bahkan sampai menduakan Nida agar bisa memiliki anak. Siapa sangka, setelah enam tahun pernikahan dan satu tahun menjalani
Bab 6"Jadi benar Nida sedang hamil, Hans?" tanya Rudi pada putranya, ketika keadaan sudah lebih tenang dari sebelumnya. "Iya, Pa. Kemarin Nida pendarahan dan dibawa ke rumah sakit, makanya aku akhirnya tahu kalau Nida sedang hamil," jawab Hans apa adanya. Ia jujur saja merasa malu karena baru mengetahui soal kehamilan Nida setelah kehamilan itu berusia tiga bulan."Jadi kamu juga baru tahu kemarin kalau Nida sedang hamil?" Rudi yang mendengar ucapan Hans, tampak terkejut karena sang putra juga ternyata baru mengetahui soal kehamilan istri pertamanya. "Iya, Pa. Nida menyembunyikan kehamilannya dariku. Sepertinya dia marah karena selama ini aku lebih banyak menghabiskan waktu di tempat Diaz, makanya Nida tak mau mengatakan kalau dirinya sedang hamil," ujar Hans dengan rasa bersalah yang kini mendominasi perasaannya. "Bukan salah kamu dong, Mas. Salah Mbak Nida sendiri yang kurang pintar mengurusmu, jadi kamu lebih betah di tempatku, 'kan? Mbak Nida saja yang aneh. Masa sedang hami
Bab 7Sementara itu di kamar Nida, tampak tiga orang yang tengah berbicara-bincang dengan sangat serius. Sarah dan Burhan sejak tadi sudah menunjukkan rasa cemasnya karena mendengar jika kemarin Nida mengalami pendarahan, tetapi juga merasa bahagia karena keponakan mereka akhirnya hamil setelah sekian lama penantian. "Kamu kenapa tidak mengabarkan pada kami kalau sedang hamil, Nida? Apa kamu juga baru tahu soal kehamilan ini?" tanya Sarah pada keponakannya. Ia masih mencoba berpikir positif. Mungkin, karena kehamilan tersebut belum terlalu terlihat, jadi Nida tidak terlalu menyadarinya. Meskipun tadi Hans mengatakan jika Nida sengaja menyembunyikan kehamilannya karena sedang marah kepada Hans, tapi Sarah berpikir jika Nida tidak mungkin ingin menyembunyikan kabar baik itu dari keluarga tantenya sendiri, 'kan?"Kenapa aku harus mengabarkan soal kehamilanku? Bukankah kehamilan ini bukan hal yang penting untuk kalian?" balas Nida terdengar dingin,
Bab 8Tok! Tok! Tok!Nida yang tengah merenung setelah kepergian tante dan omnya dari kamar, tiba-tiba saja dikejutkan dengan ketukan pada pintu kamarnya. Wanita itu refleks menoleh ke arah pintu tersebut, dan sebelum ia merespons apa pun, Hans sudah muncul dari sana terlebih dahulu dengan senyum manisnya. "Belum tidur?" tanya laki-laki itu, terdengar begitu hangat.Nida tak menjawab, karena tanpa menjawab pun, harusnya Hans sudah tahu jika dirinya memang belum tidur. "Sayang, Mas mau izin ke luar sebentar. Diaz dan Ibu meminta tolong agar Mas mau mengantar mereka pulang, karena tadi mereka datang ke sini menggunakan taksi. Tidak apa-apa kan kalau Mas pergi sebentar? Mas janji, setelah mereka sampai rumah, Mas akan langsung pulang ke sini lagi," ujar Hans terdengar begitu lembut saat bicara dengan istrinya. "Kenapa harus izin? Bahkan kalaupun kamu tidak kembali ke sini lagi seperti sebelum-sebelumnya, aku tidak akan peduli," j
Bab 9"Mas! Lama sekali sih? Aku dan Ibu sudah menunggu sejak tadi. Kamu jadi mengantar kami pulang atau tidak sebenarnya?" Diaz tiba-tiba saja datang dan berkata kesal kepada suaminya. Ia bahkan tak bisa menghargai keberadaan kedua mertua dan kakak iparnya karena tak segan berkata dengan intonasi tinggi di depan mereka, terlebih kalimat yang serupa bentakan itu ditunjukkan Diaz untuk Hans yang merupakan suaminya sendiri. Diaz tak peduli dengan pandangan keluarga suaminya terhadap dirinya, karena Diaz hanya merasa jika ia perlu mengungkapkan rasa kesalnya, sebab Hans telah membuat ia dan ibunya menunggu terlalu lama di teras. "Bicaranya pelan-pelan saja apa tidak bisa, Diaz? Kamu kira suamimu tuli?" Mirna menghardik Diaz yang ia anggap telah berlaku tidak sopan kepada Hans. Entah ada apa dengan kedua istri Hans ini. Kenapa mereka sama-sama tidak punya sopan santun seperti ini?"Maaf, Ma, aku hanya sedang kesal dengan Mas Hans. Aku dan Ibu sudah menunggu sejak tadi, tapi Mas Hans la
"Mas, boleh tidak aku minta sesuatu?" ujar Nida tiba-tiba, ketika malam ini ia dan Hans tengah berada di dalam kamar.Hans yang sedang sibuk dengan laptopnya di atas ranjang, seketika menoleh ke arah istrinya yang sedang mengoleskan body lotion di depan cermin meja rias. "Minta apa, Sayang? Kamu ngidam?" tanya Hans, tampak antusias karena ini pertama kalinya Nida meminta sesuatu darinya sejak hamil. Hans sudah menunggu saat-saat ini sejak pertama tahu Nida hamil. Jelas dirinya ingin merasakan seperti apa menyenangkannya direpotkan oleh istri yang sedang mengidam. "Bukan ngidam, Mas. Aku mau minta mobil," kata Nida tanpa basa-basi. Lagi pula usia kandungannya sudah 5 bulan, mana mungkin dia masih ngidam? "Mobil?" Hans tentu saja merasa heran. Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba istrinya minta mobil, yang jelas itu bukan barang murah. "Iya, Mas. Usia kandunganku sudah semakin besar. Aku harus melakukan pemeriksaan ruti
"Jadi, itu selingkuhnya Mbak Nida? Cukup bagus juga ternyata selera Mbak Nida." Suara itu tiba-tiba terdengar dari arah belakang, saat Nida tengah menunggu taksi pesanannya di depan kafe. Saat Nida menoleh, ia justru tersenyum sinis pada wanita yang tengah menatapnya penuh arti tersebut. "Wah, apes sekali aku bertemu denganmu di sini, Diaz. Kamu tidak akan mencari gara-gara denganku, kan? Maaf saja, tapi aku sedang senang hari ini, jadi aku harap kamu tidak akan merusak kesenanganku," kata Nida, pada wanita yang ternyata merupakan istri kedua dari suaminya. Biasanya, setiap mereka bertemu, pasti Diaz akan mencari keributan. Entah itu sekedar mengolok istri pertama suaminya tersebut, atau memaki Nida yang menurutnya tak lebih baik dari dirinya. Namun, beda halnya dengan sekarang. Karena Diaz memiliki rencana terharap Nida, maka ia tak akan melakukan hal itu untuk sekarang. "Mbak Nida kok bicara seperti itu, sih? Memangnya selama ini aku serin
Akhir-akhir ini Hans begitu sibuk mengurus dua cabang restorannya yang ternyata sudah sangat parah keadaannya. Ia sangat menyesal karena selama ini terlalu percaya pada Diaz hingga membuat usaha yang sudah bertahun-tahun ia bangun, kini tengah berjalan menuju kebangkrutan. Hari ini Hans berada di luar kota, tempat di mana salah satu cabang restorannya berada. Tempat inilah yang menjadi awal pertemuannya dengan Diaz, karena memang wanita itu berasal dari kota tersebut."Kamu tidak serius ingin membawa perkara ini ke pihak berwajib kan, Hans?" Serly, adik dari Bu Lily yang dipercaya untuk mengurus restoran, bertanya dengan wajah pucat, setelah Hans mengatakan akan membawa kecurangannya dalam memanipulasi uang restoran kepada pihak berwajib. "Apa wajah saya terlihat seperti sedang bercanda, Tante?" Hans membalas dengan nada dingin. Tatapannya terlihat begitu tajam menyorot pada wanita yang masih berpenampilan modis di usianya yang tak lagi muda. "Tapi, Hans, aku ini tantenya Diaz, is
Bab 31 "Om senang kamu jadi membeli tempat itu, Nida. Om harap usaha yang akan kamu jalankan bisa sukses dan akan membuatmu bahagia," ujar Burhan ketika ia, Sarah, dan Nida sudah berada di dalam mobil, melaju menuju jalan pulang. "Aku hanya berpikir kalau sepertinya aku memang harus membuka usahaku sendiri, alih-alih hanya mengharapkan salah satu restoran suamiku, yang tidak pasti bisa aku dapatkan atau tidak," kata Nida, dengan ekspresi dingin dan suara datar yang sudah menjadi ciri khasnya selama setahun ini. "Tante doakan kamu bisa mencapai apa yang kamu harapkan, Nida. Pokoknya kalau kamu butuh bantuan, Om, Tante, dan juga Gisel pasti akan dengan senang hati membantumu. Juga soal rencana pertemuanmu dan Prasta dua hari lagi, apa kamu bisa menghadirinya? Kalau kamu merasa tidak bisa, biar Om dan Tante yang mengurusnya," kata Sarah, tampak begitu tulus. Ia juga menawarkan bantuan karena merasa takut Nida kelelahan sebab kandungannya yang sudah mulai m
Bab 30Siang menjelang sore, Nida dibawa oleh tante dan omnya keluar rumah menggunakan mobil milik pasangan paruh baya itu. Mereka bilang hendak menunjukkan pada Nida tempat yang kemungkinan besar akan sangat Nida butuhkan untuk membangun usaha yang selama ini diimpikannya. Nida juga tidak paham akan dibawa ke mana dirinya ini. "Nah, kita sudah sampai sekarang," kata Burhan, melirik Nida yang berada di kursi belakang lewat kaca di atas dasbor. Ekspresi wajahnya tampak senang, seolah tak sabar hendak menunjukkan tempat yang mereka tuju pada keponakan istrinya. "Ayo, Nida, kita turun." Sarah yang duduk di sebelah suaminya menyempatkan menoleh ke arah Nida, lantas setelahnya ia turun terlebih dulu dari mobil itu, disusul oleh Burhan dan Nida. "Sebenarnya apa yang mau kalian tunjukkan padaku?" tanya Nida ketika mereka bertiga telah berada di luar mobil. Nida yang kandungannya sudah menginjak usai 5 bulan mulai mudah kelelahan dan inginnya bermalas-malasan di rumah saja. Namun, karena
Bab 29Pagi harinya, Diaz bangun dengan wajah kusut luar biasa. Ia kesiangan karena semalam kesulitan tidur dan baru bisa memejamkan mata saat pagi hampir datang. Di meja makan, Hans tampak sudah rapi dan kini tengah menikmati sarapannya. Diaz pun langsung duduk di sebelah lelaki itu meski dirinya belum mandi dan baru cuci muka serta gosok gigi saja. "Maaf aku kesiangan, Mas. Aku jadi tidak bisa membantu Yuni memasak tadi," kata Diaz merasa bersalah. Walaupun kemampuan memasaknya masih belum mumpuni, tapi Diaz selalu berusaha menyiapkan makanan ketika suaminya di rumah, meski itu juga dibantu oleh asisten rumah tangganya. "Tidak masalah, lagi pula Yuni juga sudah selesai menyiapkan sarapan untuk kita," kata Hans, tak terlalu ambil pusing dengan Diaz yang bangun kesiangan. "Kamu cepat makan, Dek, setelah ini kita lanjutkan pembicaraan yang tadi malam. Kebetulan hari ini aku rencananya akan datang ke restoran siang, jadi kita punya banyak waktu untuk bicara," sambung Hans tetap tena
Bab 28"Apa?! Jadi Hans meminta ganti rugi atas uang yang kamu ambil dari restoran?" Lily yang merasa terkejut dengan cerita Diaz, seketika melotot tak percaya. Ia benar-benar tak habis pikir, bagaimana mungkin Hans begitu tega menuntut ganti rugi atas uang yang istrinya sendiri ambil? Bukankah uang suami berarti uang istri juga? Jadi kenapa Hans harus marah, bahkan sampai minta ganti rugi segala hanya karena uang tak seberapa yang Diaz ambil? "Iya, Bu. Aku harus bagaimana sekarang? Kalau aku tidak bisa mengembalikan uang restoran, Mas Hans mengancam akan menceraikanku, Bu," adu Diaz, dengan tangis yang sudah pecah sejak tadi. Diaz benar-benar tak rela jika harus kehilangan suaminya dan harta yang lelaki itu punya. Bukan hal mudah untuk dia mendapatkan cinta Hans. Jadi jelas saja ia tak akan mau membiarkan lelaki itu lepas begitu saja. [Malam ini aku pulang ke situ, jangan pergi ke mana-mana.]Netra Diaz membulat saat mendapatkan pesan tersebut dari suaminya. Ia tak salah bacakan
Bab 27Beberapa hari ini Hans tampak sibuk bolak-balik mengurus kedua restoran cabangnya. Ia merasa benar-benar kecolongan karena setelah menyewa audit independen, dirinya baru tahu jika ternyata uang yang dikorupsi Diaz cukup banyak nominalnya. Ia merasa begitu bodoh karena selama ini sampai tak mengetahui kecurangan istri keduanya itu dan langsung percaya begitu saja pada laporan yang Diaz berikan tanpa mengeceknya lagi. Sementara Diaz sendiri, sekarang sudah seperti kehilangan semangat hidupnya. Ia yang sedang frustasi dan tak ingin bertemu dengan Hans terlebih lebih dulu, memutuskan untuk tinggal di rumah ibunya untuk sementara waktu. Ia masih bertanya-tanya, apa Hans serius untuk meminta ganti rugi padanya? Lain halnya dengan dua orang yang tengah pusing dengan masalah mereka, Nida justru tampak tengah merancang masa depannya. Ia sedang berteleponan dengan Gisel dan tengah meminta saran dari adik sepupunya itu tentang apa yang harus ia putuskan. Har
Bab 26BRAK!!Hans melempar laporan yang baru saja dibacanya dengan kasar ke arah Diaz. Ekspresi wajahnya benar-benar mengerikan, layaknya gunung berapi yang hendak meletuskan lavanya. "Jadi, bisa kamu jelaskan, kenapa selama ini kamu memberikanku laporan palsu padaku, Diaz?" Hans bertanya menuntut penjelasan. Suaranya terdengar seperti geraman singa yang siap menerkam mangsanya. Di hadapan Hans, Diaz tampak duduk dengan ketakutan. Wajahnya sudah sepucat kapas, dan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. "M-maaf, Mas. Aku ... aku mengaku salah. Aku takut kamu marah, makanya aku menyembunyikan masalah ini darimu. Sungguh, aku tidak bohong. Aku kira aku bisa menyelesaikan masalah restoran sebelum kamu menyadari masalah yang sedang terjadi. Ternyata aku salah. Maafkan aku, Mas," kata Diaz dengan bibir bergetar. Matanya bahkan sudah terlihat berkaca-kaca saking takutnya ia dengan kemarahan sang suami. Tak merasa iba sedikitp