Bab 4
"Dek, Mas mau ke luar sebentar. Kamu mau nitip sesuatu?" ujar Hans ketika sore telah tiba.
Laki-laki itu baru saja menghampiri Nida yang sedang bersantai di taman belakang bersama Bi Retno.
Ya begitulah Nida. Bukannya memanfaatkan waktu untuk bermanja-manja pada suaminya yang jarang sekali berkunjung, wanita itu justru lebih suka menghindar dari Hans.
"Nggak, Mas," jawab Nida tanpa minat.
"Memangnya kamu nggak ngidam lagi, Dek? Siapa tahu kamu ingin makan sesuatu, biar sekalian Mas balikan," ujar Hans lagi, berusaha menarik perhatian istri pertamanya tersebut.
"Nggak ada, Mas. Lagi pula semua yang aku pingin sudah ada di kulkas, baru aku beli kemarin, jadi aku sudah nggak ingin dibelikan apa-apa lagi," ujar Nida, kembali menolak tawaran suaminya.
Hans lagi-lagi hanya bisa menghela napas panjang menghadapi sikap dingin istrinya. Dari sejak kapan sebenarnya hubungan mereka jadi berjarak seperti ini? Kenapa juga Hans baru menyadari saat ia hendak memperbaiki hubungan mereka?
"Ya sudah, Mas pamit dulu. Mas nggak akan lama. Kalau kamu butuh sesuatu, jangan sungkan telepon Mas ya, Dek," ujar Hans lagi, masih berusaha bersikap manis, meski respons Nida justru sebaliknya.
Nida hanya membalas ucapan suaminya dengan anggukan kecil. Ia bahkan terlihat sudah sangat jengah karena turus diajak bicara oleh laki-laki yang berstatus sebagai suaminya tersebut.
"Oh iya, Bi, nanti saya mau beli makanan di luar sekalian, jadi Bibi nggak perlu masak untuk makan malam. Bibi temani istri saya saja, ajak dia mengobrol biar nggak kesepian atau bosan," ujar Hans lagi, kali ini ditunjukkan untuk pembantunya.
"Baik, Tuan," sahut Bi Retno.
Hans akhirnya mengulurkan tangan kanannya ke arah Nida, meminta agar wanita itu menyalaminya. Namun, Nida tak langsung menyambutnya. Wanita itu justru menatap bingung ke arah suaminya, karena memang sejak ada Diaz di antara mereka, Hans sudah tak pernah membiarkan Nida menyalami tangannya saat hendak pergi.
"Salim, Sayang," kata Hans, terdengar begitu manis. Bahkan, panggilan sayang yang sudah tak lagi terdengar sejak satu tahun ini, kini keluar lagi dari bibir laki-laki itu.
Tak mau terlalu mempermasalahkan hal sepele seperti itu, Nida pun langsung menyalami tangan Hans dengan cepat.
"Mas pergi dulu, ya. Nanti Mas hubungi kalau Mas sudah sampai di tempat tujuan," ujar laki-laki itu, seolah begitu berat meninggalkan istrinya yang tengah hamil muda.
Nida hanya membalas perkataan Hans dengan anggukan pelan, lantas membiarkan laki-laki itu pergi begitu saja. Nida bahkan tak bertanya suaminya hendak ke mana, membuat Hans jadi merasa sedih karena Nida benar-benar sudah tidak peduli pada dirinya sedikit pun.
"Sepertinya Tuan Hans ingin memperbaiki hubungannya dengan Nyonya. Mungkin Tuan Hans merasa bersalah karena setelah menikah dengan Mbak Diaz, Tuan Hans jadi jarang punya waktu untuk Nyonya," komentar Bi Retno begitu Hans tak lagi terlihat dalam pandangan mereka.
Bi Retno memang cukup akrab dengan Nida. Jadi tak heran jika wanita tua tersebut bisa berkata sebebas itu pada majikannya.
"Mas Hans melakukan itu karena aku sedang hamil. Kalau nanti aku sudah melahirkan, mungkin sikapnya akan kembali seperti sebelumnya lagi," ujar Nida terdengar begitu datar.
Wanita itu tak lagi merasa sedih meski Hans hanya bersikap manis karena anak yang dikandungnya. Lagi pula Nida sudah kebal karena kerap menjadi yang tersisih.
Bi Retno hanya bisa menatap majikan wanitanya itu dengan pandangan sendu. Padahal Nida adalah perempuan yang sangat baik, tetapi kenapa wanita itu mendapatkan kisah hidup yang begitu menyedihkan seperti ini?
Namun, meski bagaimana pun, Bi Retno selalu mendoakan yang terbaik untuk majikannya. Entah bagaimana kelanjutan hubungan Nida dan Hans nantinya, tapi Bi Retno selalu mendoakan agar Nida diberikan banyak kebahagiaan setelah semua kesulitan yang dilaluinya selama ini.
***
"Loh, Mas! Kenapa beli makanan banyak sekali? Kita hanya bertiga di sini, mana habis makanan sebanyak ini?" tanya Nida yang merasa heran saat suaminya pulang dengan membawa beberapa kantung plastik bertuliskan nama sebuah restoran.
Makanan yang sedang ditata di atas piring oleh Bi Retno itu ada beberapa jenis. Nida sampai bingung sendiri kenapa Hans membeli makanan sebanyak itu.
"Memang kita hanya bertiga saja di rumah ini, tapi nanti malam insya Allah keluarga besar kita akan ikut makan malam bersama di sini," ujar Hans, diiringi dengan senyum cerahnya.
Netra Nida seketika membulat mendengar ucapan suaminya.
"Maksud kamu apa, Mas? Kamu mengundang keluarga yang lain untuk makan malam di sini?" tanya Nida, yang terlihat sekali jika ia tak suka dengan apa yang diucapkan suaminya.
"Iya, Sayang. Mas mengundang Mama, Papa, keluarga Tante Sarah, keluarga Mbak Mila, dan juga keluarganya Diaz. Rencananya Mas akan memberikan kejutan untuk mereka dengan mengabarkan soal kehamilanmu. Mereka pasti senang sekali karena kamu akhirnya hamil, Sayang," ujar Hans, masih terlihat sangat antusias, tanpa menyadari ekspresi wajah Nida yang kini terlihat murka.
"Kamu nggak lupa kalau rumah ini adalah rumahku kan, Mas? Mungkin kamu pernah mengucurkan dana untuk merenovasi rumah ini, tapi rumah ini tetap milikku karena aku mendapatkannya dari mendiang kedua orang tuaku. Jadi nggak seharusnya kamu lancang mengundang orang lain ke rumah ini, apalagi tanpa meminta persetujuan dariku!" ujar Nida, merasa tak perlu repot-repot menyembunyikan rasa marahnya pada sang suami.
Melihat respons Nida, jelas saja Hans merasa terkejut. Bahkan Bi Retno yang berada di dekat pasangan suami istri itu pun seketika merasa tak nyaman karena atmosfer di tempat tersebut langsung berubah menjadi mencekam. Tampaknya Nida memang benar-benar marah karena Hans mengundang orang lain tanpa berdiskusi dulu dengannya.
"Sayang, kamu marah? Maaf, Mas nggak bermaksud lancang. Mas hanya merasa sangat bahagia dengan kehamilan kamu, jadi Mas berencana ingin membagi kebahagiaan ini dengan keluarga kita," ujar Hans, merasa bersalah karena telah melakukan hal yang membuat Nida marah.
"Kamu selalu saja seperti ini sejak dulu, Mas. Setiap ingin melakukan sesuatu, pasti kamu nggak pernah bertanya dulu padaku. Hal ini juga yang membuatku semakin yakin, kalau sebenarnya sejak dulu kamu memang nggak pernah benar-benar menghargaiku sebagai istrimu," ujar Nida, mengungkapkan rasa kecewanya.
Tak ingin mendengar pembelaan Hans lagi, Nida langsung pergi dari dapur dengan membawa amarah yang masih tersimpan di dalam dadanya.
Hans mencoba mengejar dan terus mengucapkan kata maaf pada istri pertamanya itu. Namun, Nida sama sekali tak peduli. Ia juga seolah menulikan telinganya dari permintaan maaf Hans yang terdengar penuh sesal.
Sampai di kamar, Nida tak mengizinkan suaminya untuk ikut masuk. Wanita itu langsung mengunci pintu kamarnya dan membiarkan Hans terus memanggil-manggil namanya dari luar kamar.
"Sayang, Mas benar-benar minta maaf karena nggak mengatakan padamu terlebih dulu soal rencana ini. Kalau memang kamu nggak setuju soal Mas yang mengundang keluarga kita, Mas akan mengatakan pada mereka jika kita membatalkan rencana makan malam bersama nanti malam," ujar Hans, terus membujuk agar istrinya tak lagi marah padanya.
"Batalkan saja, Mas. Jangan lupa bilang kalau aku yang melarang mereka untuk datang, supaya mereka semua semakin membenciku!" teriak Nida dari dalam kamar. Terdengar jelas jika wanita itu benar-benar marah pada suaminya.
Hans yang mendengar itu, langsung menyugar rambutnya dengan frustasi. Kenapa Nida jadi sekeras ini sekarang? Padahal biasanya juga Nida hanya akan menerima apa saja yang dilakukannya.
Apakah kali ini Hans memang sudah sangat keterlaluan? Atau jangan-jangan kemarahan Nida ini adalah rasa kecewa yang sudah wanita itu pendam sejak lama dan baru sekarang meledak karena sudah tak sanggup lagi menampungnya?
Arghh!!
Hans benar-benar bingung apa yang harus ia lakukan. Jika tetap melanjutkan rencana makan malam bersama keluarga besar yang sudah diundangnya, pasti Nida akan semakin marah padanya. Namun, jika ia tiba-tiba saja membatalkan acara nanti malam, sementara ia sudah terlanjur mengundang semuanya, pasti itu akan menjadi pertanyaan besar bagi keluarga besarnya. Hans benar-benar tak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Bersambung ...Bab 5 Makan malam keluarga"Tumben sekali kamu mengundang kami semua makan malam di sini, Hans? Biasanya juga kalau ada acara pasti selalu diadakan di rumah yang kamu dan Diaz tempati," ujar Mirna, yang merupakan mama dari Hans. Pada akhirnya, Hans tetap melanjutkan acara makan malam bersama keluarga besarnya karena tak mau membuat semua yang sudah diundang jadi merasa dipermainkan. Ia tahu Nida marah dengan keputusannya ini. Namun, mau bagaimana lagi? Ia sudah terlanjur mengundang semuanya, jadi mau tak mau acara makan malam ini pun harus tetap dilaksanakan. "Iya, Ma, kebetulan aku sama Nida punya kabar yang hendak disampaikan pada kalian semua, jadi kami sengaja mengundang kalian ke sini," ujar Hans dengan menampilkan senyum bahagianya. Jelas saja ia merasa sangat bahagia. Anak yang sudah dinantikannya sejak lama, akhirnya sebentar lagi akan ia dapatkan. Ia bahkan sampai menduakan Nida agar bisa memiliki anak. Siapa sangka, setelah enam tahun pernikahan dan satu tahun menjalani
Bab 6"Jadi benar Nida sedang hamil, Hans?" tanya Rudi pada putranya, ketika keadaan sudah lebih tenang dari sebelumnya. "Iya, Pa. Kemarin Nida pendarahan dan dibawa ke rumah sakit, makanya aku akhirnya tahu kalau Nida sedang hamil," jawab Hans apa adanya. Ia jujur saja merasa malu karena baru mengetahui soal kehamilan Nida setelah kehamilan itu berusia tiga bulan."Jadi kamu juga baru tahu kemarin kalau Nida sedang hamil?" Rudi yang mendengar ucapan Hans, tampak terkejut karena sang putra juga ternyata baru mengetahui soal kehamilan istri pertamanya. "Iya, Pa. Nida menyembunyikan kehamilannya dariku. Sepertinya dia marah karena selama ini aku lebih banyak menghabiskan waktu di tempat Diaz, makanya Nida tak mau mengatakan kalau dirinya sedang hamil," ujar Hans dengan rasa bersalah yang kini mendominasi perasaannya. "Bukan salah kamu dong, Mas. Salah Mbak Nida sendiri yang kurang pintar mengurusmu, jadi kamu lebih betah di tempatku, 'kan? Mbak Nida saja yang aneh. Masa sedang hami
Bab 7Sementara itu di kamar Nida, tampak tiga orang yang tengah berbicara-bincang dengan sangat serius. Sarah dan Burhan sejak tadi sudah menunjukkan rasa cemasnya karena mendengar jika kemarin Nida mengalami pendarahan, tetapi juga merasa bahagia karena keponakan mereka akhirnya hamil setelah sekian lama penantian. "Kamu kenapa tidak mengabarkan pada kami kalau sedang hamil, Nida? Apa kamu juga baru tahu soal kehamilan ini?" tanya Sarah pada keponakannya. Ia masih mencoba berpikir positif. Mungkin, karena kehamilan tersebut belum terlalu terlihat, jadi Nida tidak terlalu menyadarinya. Meskipun tadi Hans mengatakan jika Nida sengaja menyembunyikan kehamilannya karena sedang marah kepada Hans, tapi Sarah berpikir jika Nida tidak mungkin ingin menyembunyikan kabar baik itu dari keluarga tantenya sendiri, 'kan?"Kenapa aku harus mengabarkan soal kehamilanku? Bukankah kehamilan ini bukan hal yang penting untuk kalian?" balas Nida terdengar dingin,
Bab 8Tok! Tok! Tok!Nida yang tengah merenung setelah kepergian tante dan omnya dari kamar, tiba-tiba saja dikejutkan dengan ketukan pada pintu kamarnya. Wanita itu refleks menoleh ke arah pintu tersebut, dan sebelum ia merespons apa pun, Hans sudah muncul dari sana terlebih dahulu dengan senyum manisnya. "Belum tidur?" tanya laki-laki itu, terdengar begitu hangat.Nida tak menjawab, karena tanpa menjawab pun, harusnya Hans sudah tahu jika dirinya memang belum tidur. "Sayang, Mas mau izin ke luar sebentar. Diaz dan Ibu meminta tolong agar Mas mau mengantar mereka pulang, karena tadi mereka datang ke sini menggunakan taksi. Tidak apa-apa kan kalau Mas pergi sebentar? Mas janji, setelah mereka sampai rumah, Mas akan langsung pulang ke sini lagi," ujar Hans terdengar begitu lembut saat bicara dengan istrinya. "Kenapa harus izin? Bahkan kalaupun kamu tidak kembali ke sini lagi seperti sebelum-sebelumnya, aku tidak akan peduli," j
Bab 9"Mas! Lama sekali sih? Aku dan Ibu sudah menunggu sejak tadi. Kamu jadi mengantar kami pulang atau tidak sebenarnya?" Diaz tiba-tiba saja datang dan berkata kesal kepada suaminya. Ia bahkan tak bisa menghargai keberadaan kedua mertua dan kakak iparnya karena tak segan berkata dengan intonasi tinggi di depan mereka, terlebih kalimat yang serupa bentakan itu ditunjukkan Diaz untuk Hans yang merupakan suaminya sendiri. Diaz tak peduli dengan pandangan keluarga suaminya terhadap dirinya, karena Diaz hanya merasa jika ia perlu mengungkapkan rasa kesalnya, sebab Hans telah membuat ia dan ibunya menunggu terlalu lama di teras. "Bicaranya pelan-pelan saja apa tidak bisa, Diaz? Kamu kira suamimu tuli?" Mirna menghardik Diaz yang ia anggap telah berlaku tidak sopan kepada Hans. Entah ada apa dengan kedua istri Hans ini. Kenapa mereka sama-sama tidak punya sopan santun seperti ini?"Maaf, Ma, aku hanya sedang kesal dengan Mas Hans. Aku dan Ibu sudah menunggu sejak tadi, tapi Mas Hans la
Bab 10Nida tidak tahu jam berapa Hans sampai di rumah setelah semalam mengantar Diaz dan ibunya pulang. Namun, saat pagi-pagi sekali Nida bangun, ia sudah menemukan suaminya itu tidur di sebelahnya. Nida yang merasa risi dengan tangan Hans yang memeluknya, dengan cepat menyingkirkan tangan itu dengan sedikit kasar. Hal itu membuat Hans yang terkejut, langsung terjaga dari tidurnya. "Sayang, kamu sudah bangun?" Hans bertanya dengan suara serak khas bangun tidur. Matanya bahkan belum terbuka sempurna, karena dirinya memang masih merasa mengantuk. Meski mendengar pertanyaan Hans, tetapi Nida memilih tak menjawab. Lagi pula itu hanya pertanyaan retoris yang sudah sangat jelas jawabnya. Wanita itu justru lebih memilih menyibukkan diri dengan mengikat rambutnya menggunakan ikat rambut yang semalam ia letakan di atas nakas. "Kamu mau ke mana, Sayang?" tanya Hans saat melihat Nida hendak pergi dari hadapannya. "Mau ke dapur, bantu Bi Retno masak," jawab Nida apa adanya. "Loh, buat apa
Bab 11Sementara itu di rumah yang ditempati Diaz, Lily merasa sangat kesal ketika menemukan anak sulungnya itu masih bergelung di dalam selimut, padahal matahari di luar sana sudah semakin meninggi. "Bangun, Diaz! Bangun! Dasar pemalas! Sudah jam berapa ini? Kenapa kamu masih enak-enakan tidur, Diaz!!" teriak Lily kesal, seraya menarik selimut yang membungkus rapat tubuh putrinya. Namun, bukannya lekas bangun setalah mendengar teriakan ibunya yang tidak bisa dibilang pelan, Diaz justru hanya menggerutu dan masih tidak mau membuka matanya. Wanita itu bahkan hendak meraih kembali selimutnya, tetapi sang ibu dengan cepat menjauhkan benda tersebut dari jangkauannya. "Ayo cepat bangun, Diaz! Ibu mau bicara serius sama kamu!" ujar Lily, kembali mencoba menyadarkan sang putri dari tidurnya. "Ibu jangan berisik dong. Aku masih mengantuk, Bu," gumam istri kedua Hans tersebut seraya menutup telinganya dengan bantal, berharap suara keras sang ibu tak lagi menunggu tidur nyenyaknya. "Ini su
Bab 12"Bayangkan saja, Diaz. Suamimu nanti hanya akan mendatangimu ketika dia sedang bertengkar dengan Nida atau saat Nida sedang datang bulan hingga tak bisa melayani suamimu. Kamu hanya akan dijatah uang sebesar yang Hans berikan tanpa boleh meminta lebih, sementara Nida dan anaknya akan dibelikan barang-barang mewah di sana. Setiap Nida meminta Hans untuk datang, Hans pasti akan langsung datang, tak peduli meski saat itu seharusnya waktunya Hans bersamamu. Apa kamu mau menjadi hidup yang seperti itu, Diaz?" tutur Lily lagi, masih berusaha menanamkan pikiran buruk ke dalam otak Diaz. Diaz yang mendengar semua ucapan ibunya, sontak saja langsung mendelik karena merasa tak terima jika ia harus mengalami hal yang seperti ibunya katakan. "Tidak, Bu, aku tidak akan menjalani hidup yang seperti itu. Cukup Nida saja yang bodoh mau diperlakukan seperti itu olehku dan Mas Hans, tapi aku tidak akan membuat keadaan menjadi terbalik seperti yang Ibu katakan. Aku
"Mas, boleh tidak aku minta sesuatu?" ujar Nida tiba-tiba, ketika malam ini ia dan Hans tengah berada di dalam kamar.Hans yang sedang sibuk dengan laptopnya di atas ranjang, seketika menoleh ke arah istrinya yang sedang mengoleskan body lotion di depan cermin meja rias. "Minta apa, Sayang? Kamu ngidam?" tanya Hans, tampak antusias karena ini pertama kalinya Nida meminta sesuatu darinya sejak hamil. Hans sudah menunggu saat-saat ini sejak pertama tahu Nida hamil. Jelas dirinya ingin merasakan seperti apa menyenangkannya direpotkan oleh istri yang sedang mengidam. "Bukan ngidam, Mas. Aku mau minta mobil," kata Nida tanpa basa-basi. Lagi pula usia kandungannya sudah 5 bulan, mana mungkin dia masih ngidam? "Mobil?" Hans tentu saja merasa heran. Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba istrinya minta mobil, yang jelas itu bukan barang murah. "Iya, Mas. Usia kandunganku sudah semakin besar. Aku harus melakukan pemeriksaan ruti
"Jadi, itu selingkuhnya Mbak Nida? Cukup bagus juga ternyata selera Mbak Nida." Suara itu tiba-tiba terdengar dari arah belakang, saat Nida tengah menunggu taksi pesanannya di depan kafe. Saat Nida menoleh, ia justru tersenyum sinis pada wanita yang tengah menatapnya penuh arti tersebut. "Wah, apes sekali aku bertemu denganmu di sini, Diaz. Kamu tidak akan mencari gara-gara denganku, kan? Maaf saja, tapi aku sedang senang hari ini, jadi aku harap kamu tidak akan merusak kesenanganku," kata Nida, pada wanita yang ternyata merupakan istri kedua dari suaminya. Biasanya, setiap mereka bertemu, pasti Diaz akan mencari keributan. Entah itu sekedar mengolok istri pertama suaminya tersebut, atau memaki Nida yang menurutnya tak lebih baik dari dirinya. Namun, beda halnya dengan sekarang. Karena Diaz memiliki rencana terharap Nida, maka ia tak akan melakukan hal itu untuk sekarang. "Mbak Nida kok bicara seperti itu, sih? Memangnya selama ini aku serin
Akhir-akhir ini Hans begitu sibuk mengurus dua cabang restorannya yang ternyata sudah sangat parah keadaannya. Ia sangat menyesal karena selama ini terlalu percaya pada Diaz hingga membuat usaha yang sudah bertahun-tahun ia bangun, kini tengah berjalan menuju kebangkrutan. Hari ini Hans berada di luar kota, tempat di mana salah satu cabang restorannya berada. Tempat inilah yang menjadi awal pertemuannya dengan Diaz, karena memang wanita itu berasal dari kota tersebut."Kamu tidak serius ingin membawa perkara ini ke pihak berwajib kan, Hans?" Serly, adik dari Bu Lily yang dipercaya untuk mengurus restoran, bertanya dengan wajah pucat, setelah Hans mengatakan akan membawa kecurangannya dalam memanipulasi uang restoran kepada pihak berwajib. "Apa wajah saya terlihat seperti sedang bercanda, Tante?" Hans membalas dengan nada dingin. Tatapannya terlihat begitu tajam menyorot pada wanita yang masih berpenampilan modis di usianya yang tak lagi muda. "Tapi, Hans, aku ini tantenya Diaz, is
Bab 31 "Om senang kamu jadi membeli tempat itu, Nida. Om harap usaha yang akan kamu jalankan bisa sukses dan akan membuatmu bahagia," ujar Burhan ketika ia, Sarah, dan Nida sudah berada di dalam mobil, melaju menuju jalan pulang. "Aku hanya berpikir kalau sepertinya aku memang harus membuka usahaku sendiri, alih-alih hanya mengharapkan salah satu restoran suamiku, yang tidak pasti bisa aku dapatkan atau tidak," kata Nida, dengan ekspresi dingin dan suara datar yang sudah menjadi ciri khasnya selama setahun ini. "Tante doakan kamu bisa mencapai apa yang kamu harapkan, Nida. Pokoknya kalau kamu butuh bantuan, Om, Tante, dan juga Gisel pasti akan dengan senang hati membantumu. Juga soal rencana pertemuanmu dan Prasta dua hari lagi, apa kamu bisa menghadirinya? Kalau kamu merasa tidak bisa, biar Om dan Tante yang mengurusnya," kata Sarah, tampak begitu tulus. Ia juga menawarkan bantuan karena merasa takut Nida kelelahan sebab kandungannya yang sudah mulai m
Bab 30Siang menjelang sore, Nida dibawa oleh tante dan omnya keluar rumah menggunakan mobil milik pasangan paruh baya itu. Mereka bilang hendak menunjukkan pada Nida tempat yang kemungkinan besar akan sangat Nida butuhkan untuk membangun usaha yang selama ini diimpikannya. Nida juga tidak paham akan dibawa ke mana dirinya ini. "Nah, kita sudah sampai sekarang," kata Burhan, melirik Nida yang berada di kursi belakang lewat kaca di atas dasbor. Ekspresi wajahnya tampak senang, seolah tak sabar hendak menunjukkan tempat yang mereka tuju pada keponakan istrinya. "Ayo, Nida, kita turun." Sarah yang duduk di sebelah suaminya menyempatkan menoleh ke arah Nida, lantas setelahnya ia turun terlebih dulu dari mobil itu, disusul oleh Burhan dan Nida. "Sebenarnya apa yang mau kalian tunjukkan padaku?" tanya Nida ketika mereka bertiga telah berada di luar mobil. Nida yang kandungannya sudah menginjak usai 5 bulan mulai mudah kelelahan dan inginnya bermalas-malasan di rumah saja. Namun, karena
Bab 29Pagi harinya, Diaz bangun dengan wajah kusut luar biasa. Ia kesiangan karena semalam kesulitan tidur dan baru bisa memejamkan mata saat pagi hampir datang. Di meja makan, Hans tampak sudah rapi dan kini tengah menikmati sarapannya. Diaz pun langsung duduk di sebelah lelaki itu meski dirinya belum mandi dan baru cuci muka serta gosok gigi saja. "Maaf aku kesiangan, Mas. Aku jadi tidak bisa membantu Yuni memasak tadi," kata Diaz merasa bersalah. Walaupun kemampuan memasaknya masih belum mumpuni, tapi Diaz selalu berusaha menyiapkan makanan ketika suaminya di rumah, meski itu juga dibantu oleh asisten rumah tangganya. "Tidak masalah, lagi pula Yuni juga sudah selesai menyiapkan sarapan untuk kita," kata Hans, tak terlalu ambil pusing dengan Diaz yang bangun kesiangan. "Kamu cepat makan, Dek, setelah ini kita lanjutkan pembicaraan yang tadi malam. Kebetulan hari ini aku rencananya akan datang ke restoran siang, jadi kita punya banyak waktu untuk bicara," sambung Hans tetap tena
Bab 28"Apa?! Jadi Hans meminta ganti rugi atas uang yang kamu ambil dari restoran?" Lily yang merasa terkejut dengan cerita Diaz, seketika melotot tak percaya. Ia benar-benar tak habis pikir, bagaimana mungkin Hans begitu tega menuntut ganti rugi atas uang yang istrinya sendiri ambil? Bukankah uang suami berarti uang istri juga? Jadi kenapa Hans harus marah, bahkan sampai minta ganti rugi segala hanya karena uang tak seberapa yang Diaz ambil? "Iya, Bu. Aku harus bagaimana sekarang? Kalau aku tidak bisa mengembalikan uang restoran, Mas Hans mengancam akan menceraikanku, Bu," adu Diaz, dengan tangis yang sudah pecah sejak tadi. Diaz benar-benar tak rela jika harus kehilangan suaminya dan harta yang lelaki itu punya. Bukan hal mudah untuk dia mendapatkan cinta Hans. Jadi jelas saja ia tak akan mau membiarkan lelaki itu lepas begitu saja. [Malam ini aku pulang ke situ, jangan pergi ke mana-mana.]Netra Diaz membulat saat mendapatkan pesan tersebut dari suaminya. Ia tak salah bacakan
Bab 27Beberapa hari ini Hans tampak sibuk bolak-balik mengurus kedua restoran cabangnya. Ia merasa benar-benar kecolongan karena setelah menyewa audit independen, dirinya baru tahu jika ternyata uang yang dikorupsi Diaz cukup banyak nominalnya. Ia merasa begitu bodoh karena selama ini sampai tak mengetahui kecurangan istri keduanya itu dan langsung percaya begitu saja pada laporan yang Diaz berikan tanpa mengeceknya lagi. Sementara Diaz sendiri, sekarang sudah seperti kehilangan semangat hidupnya. Ia yang sedang frustasi dan tak ingin bertemu dengan Hans terlebih lebih dulu, memutuskan untuk tinggal di rumah ibunya untuk sementara waktu. Ia masih bertanya-tanya, apa Hans serius untuk meminta ganti rugi padanya? Lain halnya dengan dua orang yang tengah pusing dengan masalah mereka, Nida justru tampak tengah merancang masa depannya. Ia sedang berteleponan dengan Gisel dan tengah meminta saran dari adik sepupunya itu tentang apa yang harus ia putuskan. Har
Bab 26BRAK!!Hans melempar laporan yang baru saja dibacanya dengan kasar ke arah Diaz. Ekspresi wajahnya benar-benar mengerikan, layaknya gunung berapi yang hendak meletuskan lavanya. "Jadi, bisa kamu jelaskan, kenapa selama ini kamu memberikanku laporan palsu padaku, Diaz?" Hans bertanya menuntut penjelasan. Suaranya terdengar seperti geraman singa yang siap menerkam mangsanya. Di hadapan Hans, Diaz tampak duduk dengan ketakutan. Wajahnya sudah sepucat kapas, dan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. "M-maaf, Mas. Aku ... aku mengaku salah. Aku takut kamu marah, makanya aku menyembunyikan masalah ini darimu. Sungguh, aku tidak bohong. Aku kira aku bisa menyelesaikan masalah restoran sebelum kamu menyadari masalah yang sedang terjadi. Ternyata aku salah. Maafkan aku, Mas," kata Diaz dengan bibir bergetar. Matanya bahkan sudah terlihat berkaca-kaca saking takutnya ia dengan kemarahan sang suami. Tak merasa iba sedikitp