Bab 5
Makan malam keluarga"Tumben sekali kamu mengundang kami semua makan malam di sini, Hans? Biasanya juga kalau ada acara pasti selalu diadakan di rumah yang kamu dan Diaz tempati," ujar Mirna, yang merupakan mama dari Hans.Pada akhirnya, Hans tetap melanjutkan acara makan malam bersama keluarga besarnya karena tak mau membuat semua yang sudah diundang jadi merasa dipermainkan. Ia tahu Nida marah dengan keputusannya ini. Namun, mau bagaimana lagi? Ia sudah terlanjur mengundang semuanya, jadi mau tak mau acara makan malam ini pun harus tetap dilaksanakan.
"Iya, Ma, kebetulan aku sama Nida punya kabar yang hendak disampaikan pada kalian semua, jadi kami sengaja mengundang kalian ke sini," ujar Hans dengan menampilkan senyum bahagianya.
Jelas saja ia merasa sangat bahagia. Anak yang sudah dinantikannya sejak lama, akhirnya sebentar lagi akan ia dapatkan. Ia bahkan sampai menduakan Nida agar bisa memiliki anak. Siapa sangka, setelah enam tahun pernikahan dan satu tahun menjalani pernikahan poligami, Nida akhirnya hamil juga. Hans benar-benar tak sabar untuk segera bertemu dengan anak pertamanya.
"Benarkah? Kabar apa memangnya?" tanya Mira, dengan raut wajah yang menunjukkan rasa penasaran.
"Paling Hans mau menikah lagi, Ma," celetuk Nina, sebelum Hans sempat menjawab pertanyaan Mirna. Nina ini adalah kakak perempuan Hans yang juga sudah menikah dan memiliki seorang anak berusia empat tahun.
Ucapan Nina itu jelas saja membuat beberapa orang yang berada di sana merasa terkejut, termasuk Hans yang dituduh oleh kakaknya sendiri akan menikah lagi.
"Benar begitu Nak Hans? Apa benar kamu mau menikah lagi?" tanya tante Nida yang bernama Sarah dengan wajah yang terlihat sedih.
Walaupun tak tinggal serumah dan sekarang jarang sekali berkomunikasi, tapi Sarah tentu paham dengan apa yang keponakannya itu rasakan. Memiliki satu madu saja sudah membuat hidup Nida kesulitan, apalagi jika Hans akan memberikannya madu lagi? Sarah takut jika Nida akan semakin menderita karena pastinya Hans akan semakin mengabaikannya.
"Bukan, Tante. Aku tidak ada niat untuk menikah lagi, Mbak Nina saja yang sembarangan bicara. Tolong Tante jangan salah paham," ujar Hans, cepat-cepat mengklarifikasi agar kesalahpahaman yang diakibatkan oleh ucapan kakak perempuannya tidak semakin melebar.
"Makanya cepat bilang kalian mau memberi kabar apa! Dari pada kita jadi menebak-nebak sendiri, 'kan? Mbak ini tidak punya banyak waktu loh. Seharusnya Mbak sudah ada di rumah mertua Mbak buat menjemput Mas Seno dan Anggia, tapi gara-gara kamu mengatakan ingin mengabarkan sesuatu yang penting, Mbak jadi harus ke sini dulu," ujar Nina dengan ketus.
Sejak Hans memutuskan untuk poligami, Nina memang jadi kurang respect pada adik laki-lakinya itu. Bukan karena ia merasa kasihan pada Nida atau terlalu menyayangi adik iparnya tersebut. Namun, sebagai wanita ia hanya ikut kesal karena penghianatan yang dilakukan oleh Hans dan juga Diaz.
"Nina, jaga sikapmu! Harusnya kalau kamu memang tidak berniat datang ke sini, tidak usah datang sekalian. Dari pada di sini malah mengatakan hal yang membuat orang lain tidak nyaman," ujar papa dari Nina dan Hans dengan tegas. Laki-laki bernama Rudi itu bahkan menatap anak perempuannya dengan tajam dan penuh peringatan.
Sementara Nina yang ditegur, hanya bisa mendengus kesal tanpa bisa memprotes ucapan papanya.
"Sudah-sudah, aku mengundang kalian ke sini kan untuk makan malam bersama. Jadi sebaiknya kita makan malam dulu, baru setelahnya aku dan Nida akan mengatakan apa yang hendak kami sampaikan pada kalian semua," ujar Hans, mengakhiri suasana tak nyaman yang terjadi di meja makan ini.
Semua yang berada di sana akhirnya diam. Makan malam yang sebelumnya sudah dihidangkan oleh Bi Retno akhirnya mereka nikmati dengan suasana yang jauh lebih tenang dari sebelumnya.
Hingga saat semua orang telah menyelesaikan makan malam mereka, Hans langsung membawa semuanya ke ruang keluarga agar lebih nyaman saat dirinya mengabarkan mengenai kehamilan Nida pada semua keluarganya.
"Sebelumnya aku mau mengucapkan terima kasih karena kalian sudah mau repot-repot datang ke sini untuk memenuhi undangan makan malam dariku dan Nida. Seperti yang tadi aku katakan saat menghubungi kalian, ada hal penting yang hendak aku kabarkan pada kalian semua," ujar Hans, memulai pembicaraan inti dari pertemuan malam ini.
Laki-laki itu terdiam sebentar, mencoba memperhatikan wajah-wajah penasaran yang ditujukan oleh semua yang berada di sana, kecuali Nida yang memang sudah tahu apa yang hendak Hans katakan.
"Aku dan Nida ingin mengabarkan kalau sebentar lagi akan ada anggota baru di keluarga kita," ujar Hans dengan ekspresi yang amat cerah karena kebahagiaan yang kini tengah memenuhi hatinya.
"Maksud kamu, Nida hamil?" tanya Rudi, menebak maksud dari ucapan putra bungsunya.
"Iya, Pa, Nida hamil. Sudah jalan tiga bulan," balas Hans, dengan rasa bahagia yang tak dapat disembunyikan lagi.
"Apa? Hamil?!" Suara lantang itu keluar dari mulut Lily, wanita paruh baya berpenampilan glamor yang merupakan ibu dari Diaz.
Mereka yang berada di sana yang sebelumnya sudah cukup terkejut dengan ucapan Hans, kini tambah terkejut lagi dengan respons Lily yang di luar dugaan.
"Maaf-maaf, saya hanya terkejut, jadi refleks berteriak seperti itu," ujar Lily, merasa malu karena semua orang kini menatapnya dengan pandangan tak suka.
"Kamu yakin istrimu hamil, Hans? Bukannya Nida mandul? Kenapa sekarang tiba-tiba saja Nida bisa hamil setelah pernikahan kalian mengijnak usia enam tahun?" tanya Mirna, tanpa memfilter dulu ucapannya.
"Ma, jangan begitu bicaranya. Tidak enak sama Nida dan om serta tantenya," bisik Rudi pada Mirna, merasa tak enak pada orang-orang yang disebutkannya itu karena sang istri memang senang sekali bicara ceplas-ceplos.
Namun, tampaknya Mirna tak ingin meralat ucapannya sedikit pun, karena selama ini memang itulah yang ia yakini. Yang ia tahu, Nida mandul karena sampai usia lima tahun pernikahan, wanita itu tak kunjung hamil, hingga Hans akhirnya memutuskan untuk menikah lagi dengan Diaz yang dulunya adalah manager di salah satu cabang restorannya.
"Nida tidak mandul, Ma, buktinya sekarang Nida hamil, 'kan?" kata Hans, membela istri pertamanya dari ucapan tak menyenangkan yang dilayangkan oleh sang mama.
"Kamu sudah memeriksakan kandungan istrimu ke dokter, Hans? Jangan-jangan itu hanya kebohongan dari istrimu agar bisa mendapatkan perhatian darimu saja," ujar Nina, ikut menambahi ucapan mamanya dengan sebuah kecurigaan.
"Mbak Nina, Mama, dan semua yang berada di sini, aku sama sekali nggak berharap kalian akan percaya kalau aku sedang hamil. Bahkan, sebelumnya aku ingin menyembunyikan kehamilan ini dari semua orang, tapi Mas Hans justru tanpa sepengetahuanku mengundang kalian semua dan mengabarkan soal kehamilan ini. Jadi, tidak perlu kalian berpikir yang tidak-tidak tentangku, karena aku juga nggak butuh pengakuan dari kalian, termasuk dari Mas Hans sendiri!" Nida yang merasa begitu muak karena lagi-lagi mama mertua dan kakak iparnya terus memojokkannya, akhirnya angkat bicara.
Nida yang sebelumnya lebih suka mengalah karena tak suka dengan keributan, kali ini bahkan berani membalas perkataan ibu mertua dan kakak iparnya dengan nada yang terdengar sangat ketus.
"Nida! Mulai kurang ajar ya, kamu! Mentang-mentang sudah berhasil hamil, sekarang kamu berani bicara tidak sopan di depan kami semua?" Mirna yang merasa tak suka dengan cara bicara Nida, langsung menghardik menantu pertamanya itu dengan mata yang mendelik marah.
"Terserah Mama saja mau bicara apa, aku nggak peduli. Setelah pembicaraan kalian selesai, aku harap kalian segera pergi dari sini. Jangan lupa, ini bukan rumah Mas Hans, tapi rumahku yang diwariskan oleh mendiang ayah dan ibu. Jadi aku harap kalian tidak berbuat seenaknya di rumah ini," ujar Nida, tanpa perduli dengan ekspresi orang-orang yang berada di sana, yang merasa sangat terkejut karena baru kali ini melihat sikap tak biasa dari Nida.
Istri pertama Hans yang sebelumnya dikenal sebagai perempuan yang sopan dan sangat sabar menghadapi apa pun perlakuan orang lain, kini seperti menunjukkan sisi lainnya yang tak pernah terlihat. Wanita itu bahkan bisa dibilang cukup berani dengan berbicara tidak sopan di depan orang-orang yang berada di sana.
"Hans, apa-apaan sih istrimu?! Kamu jangan diam saja dong melihat istrimu bersikap kurang ajar seperti ini! Hajar saja kalau perlu karena dia tidak bisa menghormati kami semua yang berada di sini!" Lily yang juga merasa kesal dengan ucapan Nida yang sok, mulai memprovokasi menantunya.
Namun, Nida yang sudah muak bertahan di antara orang-orang itu, langsung pergi dari sana tanpa berkata apa-apa lagi. Terserah saja mereka ingin menilainya seperti apa, Nida hanya sudah lelah selalu bersikap baik pada semua orang, sementara orang lain justru senang sekali bersikap semena-mena padanya.
"Nida, tunggu dulu, Sayang!" panggil Hans, hendak mengejar istri pertamanya. Namun, Diaz yang duduk di sebelahnya langsung menarik tangannya, hingga ia kembali terduduk di sofa ruang tengah tersebut.
"Di sini saja, Mas. Nggak sopan kalau kedua tuan rumah pergi, sementara kami semua masih berada di sini," ujar Diaz dengan nada suara yang tegas.
Hans yang merasa jika ucapan Diaz ada benarnya pun akhirnya hanya bisa tetap bertahan di posisinya duduknya, meski matanya tak bisa beralih dari arah kepergian Nida. Sepertinya Nida memang sudah sangat lelah dengan semua keadaan ini, karena baru kali ini wanita itu sampai berani menjawab ucapan Nina dan Mirna dengan kata-kata seberani itu.
.
Bersambung ...
Bab 6"Jadi benar Nida sedang hamil, Hans?" tanya Rudi pada putranya, ketika keadaan sudah lebih tenang dari sebelumnya. "Iya, Pa. Kemarin Nida pendarahan dan dibawa ke rumah sakit, makanya aku akhirnya tahu kalau Nida sedang hamil," jawab Hans apa adanya. Ia jujur saja merasa malu karena baru mengetahui soal kehamilan Nida setelah kehamilan itu berusia tiga bulan."Jadi kamu juga baru tahu kemarin kalau Nida sedang hamil?" Rudi yang mendengar ucapan Hans, tampak terkejut karena sang putra juga ternyata baru mengetahui soal kehamilan istri pertamanya. "Iya, Pa. Nida menyembunyikan kehamilannya dariku. Sepertinya dia marah karena selama ini aku lebih banyak menghabiskan waktu di tempat Diaz, makanya Nida tak mau mengatakan kalau dirinya sedang hamil," ujar Hans dengan rasa bersalah yang kini mendominasi perasaannya. "Bukan salah kamu dong, Mas. Salah Mbak Nida sendiri yang kurang pintar mengurusmu, jadi kamu lebih betah di tempatku, 'kan? Mbak Nida saja yang aneh. Masa sedang hami
Bab 7Sementara itu di kamar Nida, tampak tiga orang yang tengah berbicara-bincang dengan sangat serius. Sarah dan Burhan sejak tadi sudah menunjukkan rasa cemasnya karena mendengar jika kemarin Nida mengalami pendarahan, tetapi juga merasa bahagia karena keponakan mereka akhirnya hamil setelah sekian lama penantian. "Kamu kenapa tidak mengabarkan pada kami kalau sedang hamil, Nida? Apa kamu juga baru tahu soal kehamilan ini?" tanya Sarah pada keponakannya. Ia masih mencoba berpikir positif. Mungkin, karena kehamilan tersebut belum terlalu terlihat, jadi Nida tidak terlalu menyadarinya. Meskipun tadi Hans mengatakan jika Nida sengaja menyembunyikan kehamilannya karena sedang marah kepada Hans, tapi Sarah berpikir jika Nida tidak mungkin ingin menyembunyikan kabar baik itu dari keluarga tantenya sendiri, 'kan?"Kenapa aku harus mengabarkan soal kehamilanku? Bukankah kehamilan ini bukan hal yang penting untuk kalian?" balas Nida terdengar dingin,
Bab 8Tok! Tok! Tok!Nida yang tengah merenung setelah kepergian tante dan omnya dari kamar, tiba-tiba saja dikejutkan dengan ketukan pada pintu kamarnya. Wanita itu refleks menoleh ke arah pintu tersebut, dan sebelum ia merespons apa pun, Hans sudah muncul dari sana terlebih dahulu dengan senyum manisnya. "Belum tidur?" tanya laki-laki itu, terdengar begitu hangat.Nida tak menjawab, karena tanpa menjawab pun, harusnya Hans sudah tahu jika dirinya memang belum tidur. "Sayang, Mas mau izin ke luar sebentar. Diaz dan Ibu meminta tolong agar Mas mau mengantar mereka pulang, karena tadi mereka datang ke sini menggunakan taksi. Tidak apa-apa kan kalau Mas pergi sebentar? Mas janji, setelah mereka sampai rumah, Mas akan langsung pulang ke sini lagi," ujar Hans terdengar begitu lembut saat bicara dengan istrinya. "Kenapa harus izin? Bahkan kalaupun kamu tidak kembali ke sini lagi seperti sebelum-sebelumnya, aku tidak akan peduli," j
Bab 9"Mas! Lama sekali sih? Aku dan Ibu sudah menunggu sejak tadi. Kamu jadi mengantar kami pulang atau tidak sebenarnya?" Diaz tiba-tiba saja datang dan berkata kesal kepada suaminya. Ia bahkan tak bisa menghargai keberadaan kedua mertua dan kakak iparnya karena tak segan berkata dengan intonasi tinggi di depan mereka, terlebih kalimat yang serupa bentakan itu ditunjukkan Diaz untuk Hans yang merupakan suaminya sendiri. Diaz tak peduli dengan pandangan keluarga suaminya terhadap dirinya, karena Diaz hanya merasa jika ia perlu mengungkapkan rasa kesalnya, sebab Hans telah membuat ia dan ibunya menunggu terlalu lama di teras. "Bicaranya pelan-pelan saja apa tidak bisa, Diaz? Kamu kira suamimu tuli?" Mirna menghardik Diaz yang ia anggap telah berlaku tidak sopan kepada Hans. Entah ada apa dengan kedua istri Hans ini. Kenapa mereka sama-sama tidak punya sopan santun seperti ini?"Maaf, Ma, aku hanya sedang kesal dengan Mas Hans. Aku dan Ibu sudah menunggu sejak tadi, tapi Mas Hans la
Bab 10Nida tidak tahu jam berapa Hans sampai di rumah setelah semalam mengantar Diaz dan ibunya pulang. Namun, saat pagi-pagi sekali Nida bangun, ia sudah menemukan suaminya itu tidur di sebelahnya. Nida yang merasa risi dengan tangan Hans yang memeluknya, dengan cepat menyingkirkan tangan itu dengan sedikit kasar. Hal itu membuat Hans yang terkejut, langsung terjaga dari tidurnya. "Sayang, kamu sudah bangun?" Hans bertanya dengan suara serak khas bangun tidur. Matanya bahkan belum terbuka sempurna, karena dirinya memang masih merasa mengantuk. Meski mendengar pertanyaan Hans, tetapi Nida memilih tak menjawab. Lagi pula itu hanya pertanyaan retoris yang sudah sangat jelas jawabnya. Wanita itu justru lebih memilih menyibukkan diri dengan mengikat rambutnya menggunakan ikat rambut yang semalam ia letakan di atas nakas. "Kamu mau ke mana, Sayang?" tanya Hans saat melihat Nida hendak pergi dari hadapannya. "Mau ke dapur, bantu Bi Retno masak," jawab Nida apa adanya. "Loh, buat apa
Bab 11Sementara itu di rumah yang ditempati Diaz, Lily merasa sangat kesal ketika menemukan anak sulungnya itu masih bergelung di dalam selimut, padahal matahari di luar sana sudah semakin meninggi. "Bangun, Diaz! Bangun! Dasar pemalas! Sudah jam berapa ini? Kenapa kamu masih enak-enakan tidur, Diaz!!" teriak Lily kesal, seraya menarik selimut yang membungkus rapat tubuh putrinya. Namun, bukannya lekas bangun setalah mendengar teriakan ibunya yang tidak bisa dibilang pelan, Diaz justru hanya menggerutu dan masih tidak mau membuka matanya. Wanita itu bahkan hendak meraih kembali selimutnya, tetapi sang ibu dengan cepat menjauhkan benda tersebut dari jangkauannya. "Ayo cepat bangun, Diaz! Ibu mau bicara serius sama kamu!" ujar Lily, kembali mencoba menyadarkan sang putri dari tidurnya. "Ibu jangan berisik dong. Aku masih mengantuk, Bu," gumam istri kedua Hans tersebut seraya menutup telinganya dengan bantal, berharap suara keras sang ibu tak lagi menunggu tidur nyenyaknya. "Ini su
Bab 12"Bayangkan saja, Diaz. Suamimu nanti hanya akan mendatangimu ketika dia sedang bertengkar dengan Nida atau saat Nida sedang datang bulan hingga tak bisa melayani suamimu. Kamu hanya akan dijatah uang sebesar yang Hans berikan tanpa boleh meminta lebih, sementara Nida dan anaknya akan dibelikan barang-barang mewah di sana. Setiap Nida meminta Hans untuk datang, Hans pasti akan langsung datang, tak peduli meski saat itu seharusnya waktunya Hans bersamamu. Apa kamu mau menjadi hidup yang seperti itu, Diaz?" tutur Lily lagi, masih berusaha menanamkan pikiran buruk ke dalam otak Diaz. Diaz yang mendengar semua ucapan ibunya, sontak saja langsung mendelik karena merasa tak terima jika ia harus mengalami hal yang seperti ibunya katakan. "Tidak, Bu, aku tidak akan menjalani hidup yang seperti itu. Cukup Nida saja yang bodoh mau diperlakukan seperti itu olehku dan Mas Hans, tapi aku tidak akan membuat keadaan menjadi terbalik seperti yang Ibu katakan. Aku
Bab 13[Mbak Nida, bisakah kita bertemu hari ini? Aku sedang ada di Jakarta, Mbak.]Nida mengernyitkan dahinya ketika membaca pesan masuk yang ternyata dari adik sepupunya. Padahal setahunya gadis bernama Gisel itu sekarang sedang mengenyam pendidikan di kota Malang, kenapa tiba-tiba dia sudah ada di sini saja? Apa Gisel sudah libur kuliah? [Mau bertemu di mana?] Nida membalas pesan tersebut tanpa ingin berbasa-basi. Dulu, Nida dan Gisel cukup dekat karena selain ibu mereka merupakan saudara sekandung, keduanya pun kerap main bersama, bahkan hingga mereka tumbuh dewasa. Mereka baru mulai jarang bertemu setelah Nida menikah karena Nida terlalu sibuk mengurus kehidupan rumah tangganya. Kemudian, balasan dari Gisel datang tak lama setelah pesan yang Nida kiriman dibaca oleh sepupunya tersebut. [Di kafe yang dulu sering kita datangi saja, Mbak.][Baiklah, jam 2 siang, aku tunggu di kafe itu.] Nida langsung meletakkan ponselnya di atas ranjang setelah ia mengirimkan pesan tersebut. Ia
"Mas, boleh tidak aku minta sesuatu?" ujar Nida tiba-tiba, ketika malam ini ia dan Hans tengah berada di dalam kamar.Hans yang sedang sibuk dengan laptopnya di atas ranjang, seketika menoleh ke arah istrinya yang sedang mengoleskan body lotion di depan cermin meja rias. "Minta apa, Sayang? Kamu ngidam?" tanya Hans, tampak antusias karena ini pertama kalinya Nida meminta sesuatu darinya sejak hamil. Hans sudah menunggu saat-saat ini sejak pertama tahu Nida hamil. Jelas dirinya ingin merasakan seperti apa menyenangkannya direpotkan oleh istri yang sedang mengidam. "Bukan ngidam, Mas. Aku mau minta mobil," kata Nida tanpa basa-basi. Lagi pula usia kandungannya sudah 5 bulan, mana mungkin dia masih ngidam? "Mobil?" Hans tentu saja merasa heran. Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba istrinya minta mobil, yang jelas itu bukan barang murah. "Iya, Mas. Usia kandunganku sudah semakin besar. Aku harus melakukan pemeriksaan ruti
"Jadi, itu selingkuhnya Mbak Nida? Cukup bagus juga ternyata selera Mbak Nida." Suara itu tiba-tiba terdengar dari arah belakang, saat Nida tengah menunggu taksi pesanannya di depan kafe. Saat Nida menoleh, ia justru tersenyum sinis pada wanita yang tengah menatapnya penuh arti tersebut. "Wah, apes sekali aku bertemu denganmu di sini, Diaz. Kamu tidak akan mencari gara-gara denganku, kan? Maaf saja, tapi aku sedang senang hari ini, jadi aku harap kamu tidak akan merusak kesenanganku," kata Nida, pada wanita yang ternyata merupakan istri kedua dari suaminya. Biasanya, setiap mereka bertemu, pasti Diaz akan mencari keributan. Entah itu sekedar mengolok istri pertama suaminya tersebut, atau memaki Nida yang menurutnya tak lebih baik dari dirinya. Namun, beda halnya dengan sekarang. Karena Diaz memiliki rencana terharap Nida, maka ia tak akan melakukan hal itu untuk sekarang. "Mbak Nida kok bicara seperti itu, sih? Memangnya selama ini aku serin
Akhir-akhir ini Hans begitu sibuk mengurus dua cabang restorannya yang ternyata sudah sangat parah keadaannya. Ia sangat menyesal karena selama ini terlalu percaya pada Diaz hingga membuat usaha yang sudah bertahun-tahun ia bangun, kini tengah berjalan menuju kebangkrutan. Hari ini Hans berada di luar kota, tempat di mana salah satu cabang restorannya berada. Tempat inilah yang menjadi awal pertemuannya dengan Diaz, karena memang wanita itu berasal dari kota tersebut."Kamu tidak serius ingin membawa perkara ini ke pihak berwajib kan, Hans?" Serly, adik dari Bu Lily yang dipercaya untuk mengurus restoran, bertanya dengan wajah pucat, setelah Hans mengatakan akan membawa kecurangannya dalam memanipulasi uang restoran kepada pihak berwajib. "Apa wajah saya terlihat seperti sedang bercanda, Tante?" Hans membalas dengan nada dingin. Tatapannya terlihat begitu tajam menyorot pada wanita yang masih berpenampilan modis di usianya yang tak lagi muda. "Tapi, Hans, aku ini tantenya Diaz, is
Bab 31 "Om senang kamu jadi membeli tempat itu, Nida. Om harap usaha yang akan kamu jalankan bisa sukses dan akan membuatmu bahagia," ujar Burhan ketika ia, Sarah, dan Nida sudah berada di dalam mobil, melaju menuju jalan pulang. "Aku hanya berpikir kalau sepertinya aku memang harus membuka usahaku sendiri, alih-alih hanya mengharapkan salah satu restoran suamiku, yang tidak pasti bisa aku dapatkan atau tidak," kata Nida, dengan ekspresi dingin dan suara datar yang sudah menjadi ciri khasnya selama setahun ini. "Tante doakan kamu bisa mencapai apa yang kamu harapkan, Nida. Pokoknya kalau kamu butuh bantuan, Om, Tante, dan juga Gisel pasti akan dengan senang hati membantumu. Juga soal rencana pertemuanmu dan Prasta dua hari lagi, apa kamu bisa menghadirinya? Kalau kamu merasa tidak bisa, biar Om dan Tante yang mengurusnya," kata Sarah, tampak begitu tulus. Ia juga menawarkan bantuan karena merasa takut Nida kelelahan sebab kandungannya yang sudah mulai m
Bab 30Siang menjelang sore, Nida dibawa oleh tante dan omnya keluar rumah menggunakan mobil milik pasangan paruh baya itu. Mereka bilang hendak menunjukkan pada Nida tempat yang kemungkinan besar akan sangat Nida butuhkan untuk membangun usaha yang selama ini diimpikannya. Nida juga tidak paham akan dibawa ke mana dirinya ini. "Nah, kita sudah sampai sekarang," kata Burhan, melirik Nida yang berada di kursi belakang lewat kaca di atas dasbor. Ekspresi wajahnya tampak senang, seolah tak sabar hendak menunjukkan tempat yang mereka tuju pada keponakan istrinya. "Ayo, Nida, kita turun." Sarah yang duduk di sebelah suaminya menyempatkan menoleh ke arah Nida, lantas setelahnya ia turun terlebih dulu dari mobil itu, disusul oleh Burhan dan Nida. "Sebenarnya apa yang mau kalian tunjukkan padaku?" tanya Nida ketika mereka bertiga telah berada di luar mobil. Nida yang kandungannya sudah menginjak usai 5 bulan mulai mudah kelelahan dan inginnya bermalas-malasan di rumah saja. Namun, karena
Bab 29Pagi harinya, Diaz bangun dengan wajah kusut luar biasa. Ia kesiangan karena semalam kesulitan tidur dan baru bisa memejamkan mata saat pagi hampir datang. Di meja makan, Hans tampak sudah rapi dan kini tengah menikmati sarapannya. Diaz pun langsung duduk di sebelah lelaki itu meski dirinya belum mandi dan baru cuci muka serta gosok gigi saja. "Maaf aku kesiangan, Mas. Aku jadi tidak bisa membantu Yuni memasak tadi," kata Diaz merasa bersalah. Walaupun kemampuan memasaknya masih belum mumpuni, tapi Diaz selalu berusaha menyiapkan makanan ketika suaminya di rumah, meski itu juga dibantu oleh asisten rumah tangganya. "Tidak masalah, lagi pula Yuni juga sudah selesai menyiapkan sarapan untuk kita," kata Hans, tak terlalu ambil pusing dengan Diaz yang bangun kesiangan. "Kamu cepat makan, Dek, setelah ini kita lanjutkan pembicaraan yang tadi malam. Kebetulan hari ini aku rencananya akan datang ke restoran siang, jadi kita punya banyak waktu untuk bicara," sambung Hans tetap tena
Bab 28"Apa?! Jadi Hans meminta ganti rugi atas uang yang kamu ambil dari restoran?" Lily yang merasa terkejut dengan cerita Diaz, seketika melotot tak percaya. Ia benar-benar tak habis pikir, bagaimana mungkin Hans begitu tega menuntut ganti rugi atas uang yang istrinya sendiri ambil? Bukankah uang suami berarti uang istri juga? Jadi kenapa Hans harus marah, bahkan sampai minta ganti rugi segala hanya karena uang tak seberapa yang Diaz ambil? "Iya, Bu. Aku harus bagaimana sekarang? Kalau aku tidak bisa mengembalikan uang restoran, Mas Hans mengancam akan menceraikanku, Bu," adu Diaz, dengan tangis yang sudah pecah sejak tadi. Diaz benar-benar tak rela jika harus kehilangan suaminya dan harta yang lelaki itu punya. Bukan hal mudah untuk dia mendapatkan cinta Hans. Jadi jelas saja ia tak akan mau membiarkan lelaki itu lepas begitu saja. [Malam ini aku pulang ke situ, jangan pergi ke mana-mana.]Netra Diaz membulat saat mendapatkan pesan tersebut dari suaminya. Ia tak salah bacakan
Bab 27Beberapa hari ini Hans tampak sibuk bolak-balik mengurus kedua restoran cabangnya. Ia merasa benar-benar kecolongan karena setelah menyewa audit independen, dirinya baru tahu jika ternyata uang yang dikorupsi Diaz cukup banyak nominalnya. Ia merasa begitu bodoh karena selama ini sampai tak mengetahui kecurangan istri keduanya itu dan langsung percaya begitu saja pada laporan yang Diaz berikan tanpa mengeceknya lagi. Sementara Diaz sendiri, sekarang sudah seperti kehilangan semangat hidupnya. Ia yang sedang frustasi dan tak ingin bertemu dengan Hans terlebih lebih dulu, memutuskan untuk tinggal di rumah ibunya untuk sementara waktu. Ia masih bertanya-tanya, apa Hans serius untuk meminta ganti rugi padanya? Lain halnya dengan dua orang yang tengah pusing dengan masalah mereka, Nida justru tampak tengah merancang masa depannya. Ia sedang berteleponan dengan Gisel dan tengah meminta saran dari adik sepupunya itu tentang apa yang harus ia putuskan. Har
Bab 26BRAK!!Hans melempar laporan yang baru saja dibacanya dengan kasar ke arah Diaz. Ekspresi wajahnya benar-benar mengerikan, layaknya gunung berapi yang hendak meletuskan lavanya. "Jadi, bisa kamu jelaskan, kenapa selama ini kamu memberikanku laporan palsu padaku, Diaz?" Hans bertanya menuntut penjelasan. Suaranya terdengar seperti geraman singa yang siap menerkam mangsanya. Di hadapan Hans, Diaz tampak duduk dengan ketakutan. Wajahnya sudah sepucat kapas, dan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. "M-maaf, Mas. Aku ... aku mengaku salah. Aku takut kamu marah, makanya aku menyembunyikan masalah ini darimu. Sungguh, aku tidak bohong. Aku kira aku bisa menyelesaikan masalah restoran sebelum kamu menyadari masalah yang sedang terjadi. Ternyata aku salah. Maafkan aku, Mas," kata Diaz dengan bibir bergetar. Matanya bahkan sudah terlihat berkaca-kaca saking takutnya ia dengan kemarahan sang suami. Tak merasa iba sedikitp