Bab 6
"Jadi benar Nida sedang hamil, Hans?" tanya Rudi pada putranya, ketika keadaan sudah lebih tenang dari sebelumnya."Iya, Pa. Kemarin Nida pendarahan dan dibawa ke rumah sakit, makanya aku akhirnya tahu kalau Nida sedang hamil," jawab Hans apa adanya. Ia jujur saja merasa malu karena baru mengetahui soal kehamilan Nida setelah kehamilan itu berusia tiga bulan."Jadi kamu juga baru tahu kemarin kalau Nida sedang hamil?" Rudi yang mendengar ucapan Hans, tampak terkejut karena sang putra juga ternyata baru mengetahui soal kehamilan istri pertamanya. "Iya, Pa. Nida menyembunyikan kehamilannya dariku. Sepertinya dia marah karena selama ini aku lebih banyak menghabiskan waktu di tempat Diaz, makanya Nida tak mau mengatakan kalau dirinya sedang hamil," ujar Hans dengan rasa bersalah yang kini mendominasi perasaannya. "Bukan salah kamu dong, Mas. Salah Mbak Nida sendiri yang kurang pintar mengurusmu, jadi kamu lebih betah di tempatku, 'kan? Mbak Nida saja yang aneh. Masa sedang hamil tapi justru menyembunyikan kehamilannya darimu? Aku justru jadi curiga, jangan-jangan anak yang berada di rahim Mbak Nida itu bukan anakmu, makanya Mbak Nida tidak mau kamu tahu soal kehamilannya," ujar Diaz yang jelas saja membuat siapa pun yang mendengar ucapannya menjadi terkejut."Diaz, jaga ucapanmu! Jangan menebar fitnah yang justru nantinya akan membuatmu susah sendiri! Papa tidak mau dengar lagi kamu bicara seperti itu pada Nida, karena Papa tahu betul bagaimana sifat menantu Papa!" ujar Rudi memperingati istri kedua Hans. Ia merasa tak terima saat wanita itu merendahkan Nida dengan sedemikian rupa, karena sebelum ada Diaz, dirinya sudah mengenal Nida dengan baik terlebih dulu.Diaz yang dihardik oleh papa mertuanya langsung saja menampakkan wajah cemberut. Ia kesal sekali karena papa Hans ini selalu saja lebih memihak Nida dari pada memihak dirinya yang jelas-jelas lebih segalanya dari perempuan yang menjadi istri pertama Hans tersebut."Benar kata Papa, tidak seharusnya kamu bicara seperti itu pada kakak madumu. Nida itu istri yang setia, jadi tidak mungkin dia mengkhianatiku," ujar Hans, ikut membela istri pertamanya dari tuduhan Diaz.Mendengar ucapan suaminya, Diaz langsung mendengus kasar. Ia merasa semakin kesal karena Hans justru menyanjung perempuan yang ia anggap sebagai saingan, dengan sebutan istri yang setia. Padahal, siapa yang tahu kelakuan Nida di belakang orang lain? Siapa tahu, saat Hans lebih banyak menghabiskan waktu dengannya, Nida akan mencari kesenangan dengan laki-laki lain karena kurang kasih sayang dari suaminya, 'kan? "Nak Hans, tadi Nak Hans bilang kalau kemarin Nida sempat pendarahan, 'kan? Lalu sekarang bagaimana keadaannya?" tanya Sarah dengan canggung.Tante dari Nida yang sejak tadi lebih banyak diam itu akhirnya memberanikan diri untuk bersuara karena merasa khawatir dengan keadaan keponakannya. Tadi sebenarnya ia ingin mengejar saat Nida pergi dari sana. Namun, ia cukup tahu diri dengan tidak bertindak seenaknya di rumah yang bukan miliknya.Mendengar pernyataan tante Nida yang penuh perhatian, Hans seketika tersenyum. Akhirnya, setelah yang lain hanya mendebatkan soal kebenaran kehamilan Nida dan meragukan kesetiaan Nida, ada juga yang menaruh khawatir pada keadaan istri pertamanya tersebut."Nida sudah baik-baik saja, Tante. Alhamdulillah janinnya juga sehat. Hanya saja sekarang Nida harus lebih banyak istirahat dan dilarang stres, karena janin di rahimnya belum terlalu kuat setelah kemarin terjadi pendarahan," ujar Hans, menjelaskan keadaan Nida."Apa Om dan Tante bisa menemui Nida, Hans? Sepertinya Nida sedang kalut pikirannya. Mungkin setelah Om dan Tante ajak bicara, suasana hati Nida bisa menjadi lebih baik," ujar Burhan, suami dari Sarah, yang meminta izin pada Hans untuk menemui keponakan istrinya."Baiklah, Om, sepertinya memang Nida butuh bicara dengan Om dan Tante. Siapa tahu Nida akan merasa lebih baik setelah bicara dengan kalian. Biar aku panggilkan Bi Retno untuk mengantar kalian ke kamar kami," ujar Hans, yang merasa jika ucapan Burhan mungkin ada benarnya.Nida yang tampak sedang tidak stabil, mungkin saja bisa menjadi lebih tenang setelah berbicara dengan om dan tantenya tersebut."Tidak perlu repot-repot, Hans. Kami masih ingat dengan kamar yang kamu dan Nida tempati kok, jadi tidak perlu memanggil Bi Retno. Kami bisa ke sana sendiri," ujar Sarah, menolak niat baik Hans dengan halus."Baiklah kalau begitu. Aku minta tolong ya, Tante dan Om, tolong hibur Nida. Dia sepertinya sedang banyak pikiran. Mungkin kehadiran Om dan Tante bisa membuatnya merasa senang," ujar Hans penuh harap.Sarah dan Burhan hanya mengangguk untuk menanggapi ucapan Hans. Pasangan suami istri itu pun segera pergi untuk menuju kamar Nida, setelah berpamitan kepada mereka semua yang berada di ruangan tersebut."Mbak tidak menyangka kalau Nida ternyata bisa hamil juga. Mbak kira Diaz yang akan hamil dalam waktu dekat ini, tapi ternyata Nida cukup membuat kita terkejut dengan kabar kehamilannya yang tak pernah kita duga sama sekali," ujar Nina tampak tak terlalu peduli dengan kabar kehamilan adik iparnya.Selama ini Nina memang tak terlalu dekat dengan Nida ataupun Diaz. Namun, ia juga tidak pernah membenci keduanya. Bagi Nina, kedua wanita itu hanya sebatas istri dari adiknya dan ia tak pernah peduli dengan apa pun yang menyangkut kedua wanita itu. "Tapi, Hans, walaupun sekarang si Nida sedang hamil, Nak Hans tidak akan mengabaikan anak Ibu, 'kan? Biar pun sekarang Diaz belum hamil, tapi dia sudah menjadi istri yang baik untuk Nak Hans selama satu tahun ini. Jadi rasanya tidak adil untuk Diaz, kalau Nak Hans mengurangi perhatian untuknya hanya karena Nida sedang hamil," ujar Lily, yang jelas saja akan memperjuangkan sebaik mungkin posisi sang putri sebagai istri yang selalu diprioritaskan oleh Hans.Lily tak terima jika putri kebanggaannya harus tersisih hanya karena janin yang bahkan belum terlihat seperti apa wujudnya."Ibu tenang saja, saya tidak akan pernah melupakan kalau Diaz adalah istri saya juga. Tapi, setelah ini saya akan membagi waktu untuk Diaz dan Nida secara adil. Jadi saya tidak bisa memprioritaskan Diaz seperti dulu, sementara Nida lebih banyak saya abaikan," ujar Hans, memberikan penjelasan dengan tegas. "Loh, mana bisa seperti itu? Bukannya Nak Hans sangat mencintai putri Ibu? Jadi tidak seharusnya sikap Nak Hans pada Diaz berubah hanya karena istri Nak Hans yang lain sedang hamil. Kalau seperti ini, bukannya jadi tidak adil untuk Diaz?" Lily yang merasa tak terima dengan keputusan menantunya, langsung melontarkan protes dengan lantang.Sekarang saja perhatian yang sebelumnya hanya diberikan kepada Diaz hendak dibagi dengan Nida. Bagaimana nanti kalau anak Nida sudah lahir? Jangan-jangan jatah uang untuk Diaz juga akan dikurangi untuk memenuhi kebutuhan anak itu? Jika benar seperti itu, Lily tentu saja tak bisa tinggal diam. Ia harus melakukan sesuatu agar posisi putrinya tidak terancam hanya karena kehamilan Nida."Bagian mananya yang tidak adil, Bu? Bukannya yang seharusnya dibilang tidak adil itu perlakuan saya yang sebelumnya? Saya memiliki dua istri, tapi saya justru lebih banyak menghabiskan waktu dengan anak Ibu. Jadi, biarlah sekarang saya memperbaiki diri dengan berusaha menjadi suami yang adil untuk Diaz dan juga Nida. Diaz juga sudah setuju dengan keputusan ini. Jadi Ibu tidak perlu khawatir dengan rumah tangga kami," ujar Hans, yang menatap serius ke arah ibu mertuanya. Tatapan itu seolah menegaskan jika ia tak ingin keputusannya ini ditentang oleh siapa pun."Papa setuju kalau kamu mau mulai bersikap adil untuk kedua istrimu, Hans. Justru ini yang Papa harapan darimu sejak kamu memutuskan untuk menikah lagi. Tidak apa meskipun terlambat, dari pada kamu tidak pernah sadar dengan tanggung jawabmu sama sekali sebagai suami yang memiliki dua istri. Tapi Papa harap kamu benar-benar konsisten dengan sikapmu ini. Jangan pernah lagi kamu menyakiti salah satu dari istrimu, karena hal itu hanya akan membuat Papa malu memiliki anak sepertimu," ujar Rudi, turut mendukung keputusan putranya yang akan memperlakukan kedua istrinya dengan adil.Bukannya seharusnya memang seperti itu? Hans sudah sepatutnya berlaku adil pada Nida dan juga Diaz, karena biar bagaimanapun kedua wanita itu memiliki posisi yang sama dan berhak mendapatkan perhatian juga materi yang sama pula dari Hans. Sayangnya, selama satu tahun belakangan Hans telah dibutakan oleh cintanya pada Diaz, sehingga ia lebih sering mengabaikan Nida yang padahal wanita itu sudah ada sebelum Hans sesukses sekarang."Tapi Pak Rudi, kasihan Diaz jika sikap Hans jadi berubah padanya. Selama ini Diaz sudah terbiasa jadi yang selalu diutamakan oleh Hans. Kalau sekarang tiba-tiba Diaz harus banyak mengalah hanya karena istri pertama Hans sedang hamil, pasti Diaz akan merasa kesulitan," ujar Lily, yang masih tidak setuju dengan keputusan Hans yang akan membagi semuanya secara adil.Mendengar ucapan besannya, Rudi justru terkekeh pelan. Ia merasa tergelitik karena ucapan besannya yang terdengar cukup aneh di telinganya."Bu Lily, kalau Diaz tidak terbiasa berbagi dengan Nida, maka mulai sekarang dia harus bisa membiasakan diri karena ini adalah konsekuensi yang harus diterimanya saat memutuskan untuk menikah dengan laki-laki yang sudah beristri. Bukan Diaz yang sebenarnya mengalah pada Nida, tapi justru Nida yang selama ini banyak mengalah dan bersabar menghadapi keegoisan anak-anak kita. Jadi tolong jangan dibolak-balik, saya yang mendengarnya justru jadi merasa ingin tertawa," balas Rudi, menyahuti pernyataan besannya yang masih tidak terima dengan keputusan Hans. "Siapa yang egois, Pa? Aku dan Mas Hans tidak pernah egois kok. Kan Mbak Nida sendiri yang tidak becus menjadi seorang istri, makanya Mas Hans lebih nyaman tinggal bersamaku. Oke-lah kalau Papa ingin Mas Hans membagi waktu dan perhatiannya dengan adil padaku dan Mbak Nida. Tapi jangan sekali-kali Papa memfitnahku dengan mengataiku egois, karena aku tidak pernah seperti itu!" kata Diaz, menyorot wajah papa mertuanya dengan tatapan tajam. Diaz merasa kesal karena ia ikut disalahkan atas sikap Hans yang selama ini lebih memprioritaskan dirinya ketimbang Nida. Harusnya papa mertuanya bisa berpikir, jika Hans lebih suka menghabiskan waktu bersamanya, berarti kesalahan berada di pihak Nida, bukan berada pada dirinya.Melihat tatapan Diaz yang menantang papa mertuanya sendiri, dan Rudi yang tampak geram dengan sikap tidak sopan Diaz, Hans pun langsung mencengkeram telapak tangan Diaz dengan sedikit keras, agar wanita itu tak lagi melanjutkan pembicaraan yang ditakutkan akan menyulut emosi sang papa. "Astaga, Hans-Hans, kamu punya dua istri kok sama-sama tidak punya sopan santun seperti ini. Benar-benar seleramu ini rendah sekali," ejek Nina seraya menyunggingkan senyum meremehkan ke arah adik lelakinya.Mirna yang tahu jika suaminya sedang berada di suasana hati yang tidak baik karena ucapan Diaz yang tak sopan, cepat-cepat memberikan kode kepada putri sulungnya agar tak semakin membuat papanya marah. Nina yang paham dengan peringatan tersirat dari mamanya pun langsung diam karena tak mau mendapatkan murka dari Rudi.Rudi sendiri langsung menghela napas panjang untuk menenangkan dadanya yang sedang bergemuruh karena menghadapi suasana yang baginya tak menyenangkan. Padahal putra bungsunya baru saja menyampaikan kabar yang bahagia, tetapi kenapa tanggapan dari orang-orang yang berada satu ruangan bersamanya sangat jauh dari kata bahagia? Apa ada yang salah dengan kabar kehamilan Nida? Atau, jangan-jangan hati mereka yang salah karena tidak bisa merasakan kebahagiaan atas kehamilan Nida?"Diaz, dan terutama kamu Hans, Papa sangat berharap kalau kalian bisa menyikapi pernikahan poligami yang kalian jalani ini dengan bersikap dewasa. Terserah kalau kalian tidak terima jika dikatai egois atau sejenisnya. Papa hanya ingin kalian mulai sadar diri dengan posisi kalian. Ingat, di dalam pernikahan yang kalian jalani, bukan hanya ada kalian berdua saja, tapi ada Nida juga sebagai istri pertama yang tidak bisa kalian lupakan dan pandang remeh keberadaannya hanya karena dia selalu diam selama ini. Dan untuk Bu Lily, tolong nasihati Diaz dengan kebaikan, bukan justru ikut memprovokasi putri Ibu agar melakukan perbuatan yang keliru," ujar Rudi, memberikan wejangan dengan menampakkan wajah serius yang seolah tak ingin dibantah lagi.Begitu melihat bibir Lily yang hendak terbuka, Rudi langsung mengangkat telapak tangannya, memberikan isyarat kepada besannya itu agar tak melanjutkan membuka suara."Saya tidak mau mendengar protes dalam bentuk apa pun dan dari siapa pun, karena saya merasa apa yang saya ucapkan ini tidak ada yang perlu didebat lagi," ujar Rudi seraya menatap tajam ibu Diaz, sehingga wanita paruh baya tersebut langsung bungkam dan merasa gentar di hadapan besannya."Papa juga mau minta bantuan Mama dan juga Nina. Kalian sudah berpengalaman soal kehamilan, 'kan? Jadi Papa harap kalian mau ikut mendampingi dan membantu Nida selama masa kehamilannya. Bagi tips atau pengalaman kalian, siapa tahu itu bisa berguna untuk Nida. Bukannya selama ini kalian berdua yang paling sering menanyakan soal kapan Nida hamil? Jadi setelah Nida hamil, kalian yang seharusnya paling merasa senang dan mau membantu jika Nida mengalami kesulitan selama masa kehamilannya. Benar begitu kan, Ma, Nina?" ujar Rudi dengan begitu tegas."Iya, Pa," sahut Nina dan Mirna bersamaan.Hans merasa senang karena papanya mau membantunya menasihati keluarganya yang lain. Meski bisa dibilang pendiam, tetapi sikap tegas dan bijaksana sang papa selalu membuat orang yang mendengarkan titahnya sangat sulit untuk menolak. Hans harap seperti apa yang papanya harapkan juga, semoga kehamilan Nida bisa diterima dan disambut baik oleh semua keluarganya. Bersambung.Bab 7Sementara itu di kamar Nida, tampak tiga orang yang tengah berbicara-bincang dengan sangat serius. Sarah dan Burhan sejak tadi sudah menunjukkan rasa cemasnya karena mendengar jika kemarin Nida mengalami pendarahan, tetapi juga merasa bahagia karena keponakan mereka akhirnya hamil setelah sekian lama penantian. "Kamu kenapa tidak mengabarkan pada kami kalau sedang hamil, Nida? Apa kamu juga baru tahu soal kehamilan ini?" tanya Sarah pada keponakannya. Ia masih mencoba berpikir positif. Mungkin, karena kehamilan tersebut belum terlalu terlihat, jadi Nida tidak terlalu menyadarinya. Meskipun tadi Hans mengatakan jika Nida sengaja menyembunyikan kehamilannya karena sedang marah kepada Hans, tapi Sarah berpikir jika Nida tidak mungkin ingin menyembunyikan kabar baik itu dari keluarga tantenya sendiri, 'kan?"Kenapa aku harus mengabarkan soal kehamilanku? Bukankah kehamilan ini bukan hal yang penting untuk kalian?" balas Nida terdengar dingin,
Bab 8Tok! Tok! Tok!Nida yang tengah merenung setelah kepergian tante dan omnya dari kamar, tiba-tiba saja dikejutkan dengan ketukan pada pintu kamarnya. Wanita itu refleks menoleh ke arah pintu tersebut, dan sebelum ia merespons apa pun, Hans sudah muncul dari sana terlebih dahulu dengan senyum manisnya. "Belum tidur?" tanya laki-laki itu, terdengar begitu hangat.Nida tak menjawab, karena tanpa menjawab pun, harusnya Hans sudah tahu jika dirinya memang belum tidur. "Sayang, Mas mau izin ke luar sebentar. Diaz dan Ibu meminta tolong agar Mas mau mengantar mereka pulang, karena tadi mereka datang ke sini menggunakan taksi. Tidak apa-apa kan kalau Mas pergi sebentar? Mas janji, setelah mereka sampai rumah, Mas akan langsung pulang ke sini lagi," ujar Hans terdengar begitu lembut saat bicara dengan istrinya. "Kenapa harus izin? Bahkan kalaupun kamu tidak kembali ke sini lagi seperti sebelum-sebelumnya, aku tidak akan peduli," j
Bab 9"Mas! Lama sekali sih? Aku dan Ibu sudah menunggu sejak tadi. Kamu jadi mengantar kami pulang atau tidak sebenarnya?" Diaz tiba-tiba saja datang dan berkata kesal kepada suaminya. Ia bahkan tak bisa menghargai keberadaan kedua mertua dan kakak iparnya karena tak segan berkata dengan intonasi tinggi di depan mereka, terlebih kalimat yang serupa bentakan itu ditunjukkan Diaz untuk Hans yang merupakan suaminya sendiri. Diaz tak peduli dengan pandangan keluarga suaminya terhadap dirinya, karena Diaz hanya merasa jika ia perlu mengungkapkan rasa kesalnya, sebab Hans telah membuat ia dan ibunya menunggu terlalu lama di teras. "Bicaranya pelan-pelan saja apa tidak bisa, Diaz? Kamu kira suamimu tuli?" Mirna menghardik Diaz yang ia anggap telah berlaku tidak sopan kepada Hans. Entah ada apa dengan kedua istri Hans ini. Kenapa mereka sama-sama tidak punya sopan santun seperti ini?"Maaf, Ma, aku hanya sedang kesal dengan Mas Hans. Aku dan Ibu sudah menunggu sejak tadi, tapi Mas Hans la
Bab 10Nida tidak tahu jam berapa Hans sampai di rumah setelah semalam mengantar Diaz dan ibunya pulang. Namun, saat pagi-pagi sekali Nida bangun, ia sudah menemukan suaminya itu tidur di sebelahnya. Nida yang merasa risi dengan tangan Hans yang memeluknya, dengan cepat menyingkirkan tangan itu dengan sedikit kasar. Hal itu membuat Hans yang terkejut, langsung terjaga dari tidurnya. "Sayang, kamu sudah bangun?" Hans bertanya dengan suara serak khas bangun tidur. Matanya bahkan belum terbuka sempurna, karena dirinya memang masih merasa mengantuk. Meski mendengar pertanyaan Hans, tetapi Nida memilih tak menjawab. Lagi pula itu hanya pertanyaan retoris yang sudah sangat jelas jawabnya. Wanita itu justru lebih memilih menyibukkan diri dengan mengikat rambutnya menggunakan ikat rambut yang semalam ia letakan di atas nakas. "Kamu mau ke mana, Sayang?" tanya Hans saat melihat Nida hendak pergi dari hadapannya. "Mau ke dapur, bantu Bi Retno masak," jawab Nida apa adanya. "Loh, buat apa
Bab 11Sementara itu di rumah yang ditempati Diaz, Lily merasa sangat kesal ketika menemukan anak sulungnya itu masih bergelung di dalam selimut, padahal matahari di luar sana sudah semakin meninggi. "Bangun, Diaz! Bangun! Dasar pemalas! Sudah jam berapa ini? Kenapa kamu masih enak-enakan tidur, Diaz!!" teriak Lily kesal, seraya menarik selimut yang membungkus rapat tubuh putrinya. Namun, bukannya lekas bangun setalah mendengar teriakan ibunya yang tidak bisa dibilang pelan, Diaz justru hanya menggerutu dan masih tidak mau membuka matanya. Wanita itu bahkan hendak meraih kembali selimutnya, tetapi sang ibu dengan cepat menjauhkan benda tersebut dari jangkauannya. "Ayo cepat bangun, Diaz! Ibu mau bicara serius sama kamu!" ujar Lily, kembali mencoba menyadarkan sang putri dari tidurnya. "Ibu jangan berisik dong. Aku masih mengantuk, Bu," gumam istri kedua Hans tersebut seraya menutup telinganya dengan bantal, berharap suara keras sang ibu tak lagi menunggu tidur nyenyaknya. "Ini su
Bab 12"Bayangkan saja, Diaz. Suamimu nanti hanya akan mendatangimu ketika dia sedang bertengkar dengan Nida atau saat Nida sedang datang bulan hingga tak bisa melayani suamimu. Kamu hanya akan dijatah uang sebesar yang Hans berikan tanpa boleh meminta lebih, sementara Nida dan anaknya akan dibelikan barang-barang mewah di sana. Setiap Nida meminta Hans untuk datang, Hans pasti akan langsung datang, tak peduli meski saat itu seharusnya waktunya Hans bersamamu. Apa kamu mau menjadi hidup yang seperti itu, Diaz?" tutur Lily lagi, masih berusaha menanamkan pikiran buruk ke dalam otak Diaz. Diaz yang mendengar semua ucapan ibunya, sontak saja langsung mendelik karena merasa tak terima jika ia harus mengalami hal yang seperti ibunya katakan. "Tidak, Bu, aku tidak akan menjalani hidup yang seperti itu. Cukup Nida saja yang bodoh mau diperlakukan seperti itu olehku dan Mas Hans, tapi aku tidak akan membuat keadaan menjadi terbalik seperti yang Ibu katakan. Aku
Bab 13[Mbak Nida, bisakah kita bertemu hari ini? Aku sedang ada di Jakarta, Mbak.]Nida mengernyitkan dahinya ketika membaca pesan masuk yang ternyata dari adik sepupunya. Padahal setahunya gadis bernama Gisel itu sekarang sedang mengenyam pendidikan di kota Malang, kenapa tiba-tiba dia sudah ada di sini saja? Apa Gisel sudah libur kuliah? [Mau bertemu di mana?] Nida membalas pesan tersebut tanpa ingin berbasa-basi. Dulu, Nida dan Gisel cukup dekat karena selain ibu mereka merupakan saudara sekandung, keduanya pun kerap main bersama, bahkan hingga mereka tumbuh dewasa. Mereka baru mulai jarang bertemu setelah Nida menikah karena Nida terlalu sibuk mengurus kehidupan rumah tangganya. Kemudian, balasan dari Gisel datang tak lama setelah pesan yang Nida kiriman dibaca oleh sepupunya tersebut. [Di kafe yang dulu sering kita datangi saja, Mbak.][Baiklah, jam 2 siang, aku tunggu di kafe itu.] Nida langsung meletakkan ponselnya di atas ranjang setelah ia mengirimkan pesan tersebut. Ia
Bab 14[Sayang, lagi apa? Kenapa teleponku tidak diangkat?] [Sayang sedang sibuk, ya? Nanti kalau sudah tidak sibuk hubungi Mas ya. Mas rindu.][Adik bayi apa baik-baik saja? Sayang jangan lupa istirahat, Mas tidak mau kamu kelelahan. Tolong jaga calon anak kita baik-baik ya, Sayang.]Membaca sebagian pesan itu, bukannya merasa senang atau terkesan, Nida justru jadi mual. Apa Hans tidak salah kirim? Rasanya sudah lama sekali mereka tidak berkirim pesan dengan kata-kata manis seperti ini. Nida jadi merasa aneh, karena suaminya tiba-tiba berubah hanya dalam waktu beberapa hari saja. Namun, karena tak ingin terlalu memikirkan pesan yang dianggapnya tidak penting itu, Nida pun segera melakukan panggilan ke nomor suaminya. "Halo, Sayang." Suara Hans terdengar begitu lembut dari seberang sana. Laki-laki itu sepertinya memang sedang memegang ponsel, sehingga bisa menerima panggilan Nida dengan cepat. "Halo, Mas. Maaf aku mengganggu waktu kamu. Kata Bi Retno, kamu mau pulang ke sini unt
"Mas, boleh tidak aku minta sesuatu?" ujar Nida tiba-tiba, ketika malam ini ia dan Hans tengah berada di dalam kamar.Hans yang sedang sibuk dengan laptopnya di atas ranjang, seketika menoleh ke arah istrinya yang sedang mengoleskan body lotion di depan cermin meja rias. "Minta apa, Sayang? Kamu ngidam?" tanya Hans, tampak antusias karena ini pertama kalinya Nida meminta sesuatu darinya sejak hamil. Hans sudah menunggu saat-saat ini sejak pertama tahu Nida hamil. Jelas dirinya ingin merasakan seperti apa menyenangkannya direpotkan oleh istri yang sedang mengidam. "Bukan ngidam, Mas. Aku mau minta mobil," kata Nida tanpa basa-basi. Lagi pula usia kandungannya sudah 5 bulan, mana mungkin dia masih ngidam? "Mobil?" Hans tentu saja merasa heran. Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba istrinya minta mobil, yang jelas itu bukan barang murah. "Iya, Mas. Usia kandunganku sudah semakin besar. Aku harus melakukan pemeriksaan ruti
"Jadi, itu selingkuhnya Mbak Nida? Cukup bagus juga ternyata selera Mbak Nida." Suara itu tiba-tiba terdengar dari arah belakang, saat Nida tengah menunggu taksi pesanannya di depan kafe. Saat Nida menoleh, ia justru tersenyum sinis pada wanita yang tengah menatapnya penuh arti tersebut. "Wah, apes sekali aku bertemu denganmu di sini, Diaz. Kamu tidak akan mencari gara-gara denganku, kan? Maaf saja, tapi aku sedang senang hari ini, jadi aku harap kamu tidak akan merusak kesenanganku," kata Nida, pada wanita yang ternyata merupakan istri kedua dari suaminya. Biasanya, setiap mereka bertemu, pasti Diaz akan mencari keributan. Entah itu sekedar mengolok istri pertama suaminya tersebut, atau memaki Nida yang menurutnya tak lebih baik dari dirinya. Namun, beda halnya dengan sekarang. Karena Diaz memiliki rencana terharap Nida, maka ia tak akan melakukan hal itu untuk sekarang. "Mbak Nida kok bicara seperti itu, sih? Memangnya selama ini aku serin
Akhir-akhir ini Hans begitu sibuk mengurus dua cabang restorannya yang ternyata sudah sangat parah keadaannya. Ia sangat menyesal karena selama ini terlalu percaya pada Diaz hingga membuat usaha yang sudah bertahun-tahun ia bangun, kini tengah berjalan menuju kebangkrutan. Hari ini Hans berada di luar kota, tempat di mana salah satu cabang restorannya berada. Tempat inilah yang menjadi awal pertemuannya dengan Diaz, karena memang wanita itu berasal dari kota tersebut."Kamu tidak serius ingin membawa perkara ini ke pihak berwajib kan, Hans?" Serly, adik dari Bu Lily yang dipercaya untuk mengurus restoran, bertanya dengan wajah pucat, setelah Hans mengatakan akan membawa kecurangannya dalam memanipulasi uang restoran kepada pihak berwajib. "Apa wajah saya terlihat seperti sedang bercanda, Tante?" Hans membalas dengan nada dingin. Tatapannya terlihat begitu tajam menyorot pada wanita yang masih berpenampilan modis di usianya yang tak lagi muda. "Tapi, Hans, aku ini tantenya Diaz, is
Bab 31 "Om senang kamu jadi membeli tempat itu, Nida. Om harap usaha yang akan kamu jalankan bisa sukses dan akan membuatmu bahagia," ujar Burhan ketika ia, Sarah, dan Nida sudah berada di dalam mobil, melaju menuju jalan pulang. "Aku hanya berpikir kalau sepertinya aku memang harus membuka usahaku sendiri, alih-alih hanya mengharapkan salah satu restoran suamiku, yang tidak pasti bisa aku dapatkan atau tidak," kata Nida, dengan ekspresi dingin dan suara datar yang sudah menjadi ciri khasnya selama setahun ini. "Tante doakan kamu bisa mencapai apa yang kamu harapkan, Nida. Pokoknya kalau kamu butuh bantuan, Om, Tante, dan juga Gisel pasti akan dengan senang hati membantumu. Juga soal rencana pertemuanmu dan Prasta dua hari lagi, apa kamu bisa menghadirinya? Kalau kamu merasa tidak bisa, biar Om dan Tante yang mengurusnya," kata Sarah, tampak begitu tulus. Ia juga menawarkan bantuan karena merasa takut Nida kelelahan sebab kandungannya yang sudah mulai m
Bab 30Siang menjelang sore, Nida dibawa oleh tante dan omnya keluar rumah menggunakan mobil milik pasangan paruh baya itu. Mereka bilang hendak menunjukkan pada Nida tempat yang kemungkinan besar akan sangat Nida butuhkan untuk membangun usaha yang selama ini diimpikannya. Nida juga tidak paham akan dibawa ke mana dirinya ini. "Nah, kita sudah sampai sekarang," kata Burhan, melirik Nida yang berada di kursi belakang lewat kaca di atas dasbor. Ekspresi wajahnya tampak senang, seolah tak sabar hendak menunjukkan tempat yang mereka tuju pada keponakan istrinya. "Ayo, Nida, kita turun." Sarah yang duduk di sebelah suaminya menyempatkan menoleh ke arah Nida, lantas setelahnya ia turun terlebih dulu dari mobil itu, disusul oleh Burhan dan Nida. "Sebenarnya apa yang mau kalian tunjukkan padaku?" tanya Nida ketika mereka bertiga telah berada di luar mobil. Nida yang kandungannya sudah menginjak usai 5 bulan mulai mudah kelelahan dan inginnya bermalas-malasan di rumah saja. Namun, karena
Bab 29Pagi harinya, Diaz bangun dengan wajah kusut luar biasa. Ia kesiangan karena semalam kesulitan tidur dan baru bisa memejamkan mata saat pagi hampir datang. Di meja makan, Hans tampak sudah rapi dan kini tengah menikmati sarapannya. Diaz pun langsung duduk di sebelah lelaki itu meski dirinya belum mandi dan baru cuci muka serta gosok gigi saja. "Maaf aku kesiangan, Mas. Aku jadi tidak bisa membantu Yuni memasak tadi," kata Diaz merasa bersalah. Walaupun kemampuan memasaknya masih belum mumpuni, tapi Diaz selalu berusaha menyiapkan makanan ketika suaminya di rumah, meski itu juga dibantu oleh asisten rumah tangganya. "Tidak masalah, lagi pula Yuni juga sudah selesai menyiapkan sarapan untuk kita," kata Hans, tak terlalu ambil pusing dengan Diaz yang bangun kesiangan. "Kamu cepat makan, Dek, setelah ini kita lanjutkan pembicaraan yang tadi malam. Kebetulan hari ini aku rencananya akan datang ke restoran siang, jadi kita punya banyak waktu untuk bicara," sambung Hans tetap tena
Bab 28"Apa?! Jadi Hans meminta ganti rugi atas uang yang kamu ambil dari restoran?" Lily yang merasa terkejut dengan cerita Diaz, seketika melotot tak percaya. Ia benar-benar tak habis pikir, bagaimana mungkin Hans begitu tega menuntut ganti rugi atas uang yang istrinya sendiri ambil? Bukankah uang suami berarti uang istri juga? Jadi kenapa Hans harus marah, bahkan sampai minta ganti rugi segala hanya karena uang tak seberapa yang Diaz ambil? "Iya, Bu. Aku harus bagaimana sekarang? Kalau aku tidak bisa mengembalikan uang restoran, Mas Hans mengancam akan menceraikanku, Bu," adu Diaz, dengan tangis yang sudah pecah sejak tadi. Diaz benar-benar tak rela jika harus kehilangan suaminya dan harta yang lelaki itu punya. Bukan hal mudah untuk dia mendapatkan cinta Hans. Jadi jelas saja ia tak akan mau membiarkan lelaki itu lepas begitu saja. [Malam ini aku pulang ke situ, jangan pergi ke mana-mana.]Netra Diaz membulat saat mendapatkan pesan tersebut dari suaminya. Ia tak salah bacakan
Bab 27Beberapa hari ini Hans tampak sibuk bolak-balik mengurus kedua restoran cabangnya. Ia merasa benar-benar kecolongan karena setelah menyewa audit independen, dirinya baru tahu jika ternyata uang yang dikorupsi Diaz cukup banyak nominalnya. Ia merasa begitu bodoh karena selama ini sampai tak mengetahui kecurangan istri keduanya itu dan langsung percaya begitu saja pada laporan yang Diaz berikan tanpa mengeceknya lagi. Sementara Diaz sendiri, sekarang sudah seperti kehilangan semangat hidupnya. Ia yang sedang frustasi dan tak ingin bertemu dengan Hans terlebih lebih dulu, memutuskan untuk tinggal di rumah ibunya untuk sementara waktu. Ia masih bertanya-tanya, apa Hans serius untuk meminta ganti rugi padanya? Lain halnya dengan dua orang yang tengah pusing dengan masalah mereka, Nida justru tampak tengah merancang masa depannya. Ia sedang berteleponan dengan Gisel dan tengah meminta saran dari adik sepupunya itu tentang apa yang harus ia putuskan. Har
Bab 26BRAK!!Hans melempar laporan yang baru saja dibacanya dengan kasar ke arah Diaz. Ekspresi wajahnya benar-benar mengerikan, layaknya gunung berapi yang hendak meletuskan lavanya. "Jadi, bisa kamu jelaskan, kenapa selama ini kamu memberikanku laporan palsu padaku, Diaz?" Hans bertanya menuntut penjelasan. Suaranya terdengar seperti geraman singa yang siap menerkam mangsanya. Di hadapan Hans, Diaz tampak duduk dengan ketakutan. Wajahnya sudah sepucat kapas, dan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. "M-maaf, Mas. Aku ... aku mengaku salah. Aku takut kamu marah, makanya aku menyembunyikan masalah ini darimu. Sungguh, aku tidak bohong. Aku kira aku bisa menyelesaikan masalah restoran sebelum kamu menyadari masalah yang sedang terjadi. Ternyata aku salah. Maafkan aku, Mas," kata Diaz dengan bibir bergetar. Matanya bahkan sudah terlihat berkaca-kaca saking takutnya ia dengan kemarahan sang suami. Tak merasa iba sedikitp