Bab 2
Keesokan harinya, Nida sudah diperbolehkan pulang karena memang keadaannya sudah membaik. Wanita itu hanya dianjurkan oleh dokter untuk lebih banyak istirahat dan jangan sampai kelelahan. Hans yang sejak semalam ikut menunggui Nida di rumah sakit bersama asisten rumah tangga, siang ini tentu saja ikut mengantar pulang istrinya tersebut.
Namun, betapa terkejutnya Hans, saat di depan rumah yang Nida tempati, ia melihat Diaz sudah menunggu di teras rumah itu dengan wajah masam.
"Aku harap istri kesayanganmu tidak membuat keributan di sini," ujar Nida dingin, begitu mobil yang Hans kendarai berhenti di halaman rumah.
Hans tak menjawab ucapan Nida dan langsung keluar dari mobil, meninggalkan Nida dan Bi Retno yang memang sengaja tak langsung turun. Hans harus biara dengan Diaz terlebih dulu agar istri keduanya itu tak membuat keributan seperti biasanya saat ia berkunjung ke kediaman Nida.
PLAK!!
Hans yang mendekat ke arah Diaz tiba-tiba saja mendapatkan hadiah tamparan dari wanita tersebut.
"Keterlaluan kamu, ya, Mas! Kamu meninggalkanku begitu saja setelah kita bercinta dan kamu menemui Mbak Nida?! Mana katamu yang katanya mau menemui klien? Dasar pembohong kamu, Mas! Kamu bahkan sengaja meninggalkan ponselmu di rumah. Apa maksudmu, hah?! Sengaja biar aku tidak mengganggu waktumu bersama Mbak Nida, iya?!" Diaz memaki suaminya dengan nada yang tinggi. Ia bahkan tak memberikan kesempatan pada Hans untuk bicara terlebih dulu.
Di samping tubuh, kedua tangan Hans terkepal penuh amarah. Sikap Diaz ketika marah memang kadang sangat keterlaluan. Jika bukan karena Hans yang begitu mencintai perempuan itu, sudah pasti Hans akan balik memukulnya.
"Nida masuk rumah sakit tadi malam, jadi aku harus menjaganya. Biar bagaimanapun Nida tetap istriku dan ia masih menjadi tanggung jawabku," ujar Hans setelah berhasil meredam amarahnya atas perlakuan kasar sang istri kedua.
Diaz langsung terdiam mendengar ucapan suaminya. Ia lantas menoleh ke arah Nida yang masih berada di mobil. Istri pertama Hans itu ternyata juga tengah mengarahkan pandangan ke arah mereka.
"Memangnya Mbak Nida sakit apa?" tanya Diaz, kembali menatap suaminya. Nada suaranya tak setinggi tadi, tapi tetap saja masih terdengar ketus.
"Nida pendarahan," jawab Hans.
"Pendarahan?" ulang Diaz dengan kening berkerut karena merasa heran.
"Iya, Nida ternyata sedang hamil dan usia kandungannya sudah hampir masuk usia tiga bulan. Untung saja kandungnya baik-baik saja," jawab Hans, yang tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya saat mengatakan soal kehamilan Nida.
"H-hamil? Mbak Nida hamil, Mas?" Diaz tampak sangat terkejut saat mendengar kabar yang suaminya sampaikan. Wajahnya bahkan langsung berubah pucat, seolah tak ada darah yang mengalir di sana.
"Iya. Aku senang sekali, akhirnya setelah penantian yang begitu panjang, sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah," ungkap Hans dengan wajah yang berbinar bahagia. Ia bahkan tak menyadari jika istri keduanya itu sedang merasa begitu syok.
"Apa kalian belum selesai juga bicaranya?" Nida tiba-tiba saja sudah berada di dekat Hans dan Diaz, membuat pasangan itu refleks menoleh ke arahnya dan Bi Retno yang berada di sampingnya. "Aku sudah lelah sekali dan mau cepat-cepat istirahat. Jadi kalau kalian belum selesai bicara, lebih baik lanjutkan saja di rumah kalian sendiri," lanjut Nida dengan ekspresi dingin yang belakangan sudah menjadi ciri khasnya.
Diaz yang melihat keberadaan Nida, langsung mendekati kakak madunya yang berdiri di belakang Hans dengan tergesa.
"Mas Hans bilang Mbak Nida hamil. Apa itu benar, Mbak?" Diaz tanpa basa-basi langsung menanyakan hal tersebut.
Dalam hati Diaz sangat berharap jika jawaban yang Nida berikan akan bertolak belakang dengan ucapan Hans tadi. Diaz benar-benar tak rela jika kakak madunya hamil, padahal selama ini orang-orang sudah menganggap jika wanita itu mandul karena tidak bisa memberikan Hans keturunan, meski telah enam tahun lamanya mereka menjalin hubungan pernikahan.
Nida yang mendapat pertanyaan itu, tak langsung menjawab. Ia justru melirik suaminya dengan kesal, karena laki-laki itu dengan lancang mengabarkan kehamilannya pada orang lain. Padahal Nida hanya ingin menikmati kebahagiaan atas kehamilannya ini seorang diri saja, tapi Hans justru merusak keinginannya itu.
"Mbak, jawab pertanyaan aku! Mbak Nida nggak hamil, kan?!" Diaz yang seperti orang kesetanan, tiba-tiba saja membentak Nida dan mengguncang kasar bahu wanita itu.
"Diaz! Apa-apaan sih kamu?!" Hans yang begitu terkejut dengan sikap Diaz, dengan sigap menjauhkan istri keduanya itu dari Nida.
"Mas, Mbak Nida pasti bohong. Dia hanya pura-pura hamil karena ingin merebut perhatianmu dariku. Kamu jangan percaya pada Mbak Nida, Mas. Dia tidak mungkin hamil, karena dia perempuan mandul," ujar Diaz semakin menggila. Ia bahkan sudah menangis karena merasa tak terima dengan kabar kehamilan istri pertama dari suaminya.
"Cukup, Diaz! Nggak seharusnya kamu berkata buruk seperti itu pada kakak madumu sendiri. Aku sudah memastikan sendiri pada dokter dan Nida memang sedang hamil, jadi berhenti mengatakan Nida berbohong atau bahkan menghinanya sebagai perempuan mandul!" sahut Hans yang semakin merasa kehilangan kesabarannya atas tingkah Diaz.
"Nggak, Mas, Mbak Nida nggak boleh hamil. Seharusnya aku yang hamil, bukan Mbak Nida!" ujar Diaz semakin tak terkendali. Air matanya bahkan semakin banyak saja membasahi pipinya yang putih mulus.
"Ayo masuk, Bi. Aku jadi mual melihat drama memuakkan yang sedang terjadi di depan kita," ujar Nida pada Bi Retno.
Nida yang masih merasa lemas pun dipapah oleh asisten rumah tangganya untuk memasuki rumah. Keduanya meninggalkan Hans dan Diaz yang masih terpaku di posisi masing-masing dengan ekspresi wajah yang tak sedap dipandang.
"Sekarang lebih baik kamu pulang dulu. Aku harus tetap di sini untuk menjaga Nida sampai keadaannya membaik," ujar Hans setelah Nida dan Bi Retno sudah tak terlihat lagi.
"Nggak, aku nggak mau seperti ini! Kamu juga harus pulang bersamaku, Mas. Aku nggak mengizinkan kamu berada di sini!" Diaz menolak keputusan Hans dengan nada suara yang tinggi.
"Nida juga istriku, dia masih berhak mendapatkan waktu dan perhatian dariku. Setelah ini aku juga akan mengatur jadwal kunjungan dengan adil, jadi aku tidak akan bisa setiap waktu bersamamu seperti sebelumnya," ujar Hans dengan tegas.
Diaz menggeleng kasar, lagi-lagi tak terima dengan keputusan yang Hans ambil seorang diri.
"Mas, kenapa kamu memperlakukanku seperti ini? Sebelumnya kamu nggak masalah jika jarang mengunjungi Mbak Nida dan lebih banyak menghabiskan waktu untukku. Kenapa hanya karena Mbak Nida hamil, kamu jadi tega sekali memperlakukanku seperti ini? Kamu benar-benar membuatku kecewa, Mas," ujar Diaz semakin menunjukkan wajah sedihnya. Ia bertingkah seolah dirinya adalah korban dari kejahatan sang suami.
Hans menghela napasnya dengan berat. Usia Diaz yang sudah menginjak angka 25 tahun ternyata tak juga membuat wanita itu bisa berpikir dewasa. Hans jadi menyesal karena sejak awal ia selalu menuruti keinginan Diaz demi menyenangkan hati perempuan itu, hingga ia berakhir mengabaikan istri pertamanya. Sepertinya ia memang salah karena terlalu memanjakan sang istri kedua tersebut.
"Jika bicara soal kecewa, seharusnya di sini Nida yang lebih berhak mengatakan hal itu. Kita berdua sudah cukup keterlaluan memperlakukan Nida dengan berbuat nggak adil selama satu tahun ini. Sekarang biarkan suamimu ini menebus kesalahannya pada kakak madumu. Mas hanya ingin berusaha menjadi suami yang adil untuk kalian, kedua istri Mas. Kamu bisa kan memahami posisi Mas dan mau mendukung Mas untuk berbuat adil untukmu, juga untuk kakak madumu?" Hans kali ini berbicara dengan lembut pada Diaz, berharap istri keduanya itu mau memahami apa yang menjadi harapannya ke depan.
Diaz tak lagi mendebat ucapan Hans, tapi air mata yang semakin deras mengalir di pipi, sudah menjelaskan jika ia masih tidak rela jika harus berbagi segalanya secara adil dengan istri pertama dari suaminya.
"Sekarang kamu pulang, ya, Sayang. Mas akan menginap di sini tiga hari, lalu tiga hari selanjutnya Mas akan bersamamu. Mas akan mentransfer uang untuk kamu belanja, jadi Mas harap kamu nggak perlu terlalu larut dalam kesedihan," ujar Hans seraya mengusap pipi Diaz yang sudah dipenuhi air mata. Biasanya, Diaz memang akan mudah dibujuk dengan uang, karena memang wanita itu sangat gemar berbelanja.
Diaz menatap Hans dengan tatapan sendunya, masih berharap pria itu mau mengubah keputusan dan lebih memilih ikut pulang bersamanya. Namun, sekali lagi, Hans menegaskan kalau hari ini ia tak bisa ikut pulang bersama Diaz.
Karena Diaz sudah tak lagi protes, meski terlihat jelas masih tak rela dengan keputusannya, Hans pun menuntun istri keduanya itu ke arah mobil Diaz yang terparkir di sebelah mobilnya.
"Heru, kamu antar Nyonya pulang sekarang! Saya titip Nyoya, karena tiga hari ke depan saya akan menginap di sini," ujar Hans pada supir pribadi Diaz yang sejak tadi menunggu di dalam mobil.
"Baik, Tuan," balas laki-laki muda itu dengan sopan.
"Kamu hati-hati di jalan ya, Sayang. Kabari Mas kalau sudah sampai di rumah," ujar Hans setelah Diaz masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi belakang.
Namun, Diaz tak menjawab dan lebih memilih memalingkan wajah dari suaminya.
Hans yang sangat paham dengan suasana hati Diaz, memilih tak terlalu ambil pusing. Setelah ini Diaz pasti akan mengerti keadaannya dan mulai terbiasa dengan kehidupan poligami yang selama satu tahun ini tidak mereka jalani dengan benar.
"Jalan, Heru!" perintah Diaz pelan pada supir pribadinya, tanpa memedulikan keberadaan Hans yang masih berada di sisi jendela mobil.
Setelah Heru memberikan anggukan hormat pada Hans, mobil Diaz pun berjalan menjauhi halaman rumah Nida. Hans hanya menatap kepergian mobil istri keduanya itu dengan perasaan yang tak nyaman, karena tahu wanita kesayangannya itu sedang marah padanya.
"Apa Nyonya baik-baik saja?" Heru bertanya pada Diaz dengan wajah cemas setelah mobil yang mereka naiki masuk ke jalan raya, bergabung dengan lalu lalang kendaraan lainnya.
"Istri pertama Mas Hans hamil dan Mas Hans memutuskan untuk membagi waktu kunjung kami berdua secara adil setelah ini. Menurutmu aku harus bagaimana agar Mas Hans tetap memprioritaskan aku seperti biasanya?" ujar Diaz dengan pandangan kosong.
Diaz memang sudah terbiasa berbagai cerita dengan supir pribadinya tersebut, sehingga sekarang pun ia tak merasa canggung saat menceritakan masalah rumah tangganya.
Heru tak menjawab pertanyaan Diaz dan justru hanya terdiam di balik kemudi dengan ekspresi yang sulit diartikan.
Sementara Diaz, diam-diam sedang memikirkan cara untuk membuat Hans hanya memperhatikannya saja. Apa Diaz harus mencoba mengikuti program hamil agar suaminya kembali mengutamakan dirinya dibanding istri pertamanya yang ia yakini sudah tak memiliki tempat lagi di hati Hans?
Apa pun caranya, Diaz akan berusaha merebut seluruh perhatian Hans lagi. Harusnya Nida berterima kasih padanya karena sejak awal ia tak meminta Hans untuk menceraikan wanita itu. Jadi sekarang tidak seharusnya Nida merebut perhatian dan waktu Hans hanya karena sedang hamil.
Bersambung ...Bab 3. Hari ini suasana di rumah Nida tampak berbeda dari hari-hari biasanya. Jika sebelumnya di rumah itu hanya ada Nida dan Bi Retno, maka hari ini Hans seharian penuh berada di sana. Itu adalah hal yang tak pernah pria tersebut lakukan sejak ada Diaz di antara mereka. Apa Nida senang dengan hal tersebut? Sayangnya, jawabannya adalah tidak. Ia yang sudah terbiasa tanpa suaminya, kini justru merasa risi karena laki-laki itu terus menempelinya ke mana pun ia pergi. "Kamu mau makan sesuatu, Dek? Biar Mas suruh Bi Retno buatkan untukmu. Pokoknya hari ini kamu nggak boleh capek-capek. Kalau mau apa-apa, kamu bisa minta tolong Mas atau Bi Retno. Oke?" ujar Hans pada Nida yang sejak beberapa jam lalu hanya mengurung diri di kamar karena merasa kesal sebab selalu diikuti oleh suaminya. Ini sudah hampir masuk waktu makan siang, jadi tak heran jika Hans bertanya apa yang hendak Nida makan. "Mas kenapa hari ini nggak ke restoran?" tanya Nida, yang jujur saja merasa tak nyaman karena Hans
Bab 4"Dek, Mas mau ke luar sebentar. Kamu mau nitip sesuatu?" ujar Hans ketika sore telah tiba. Laki-laki itu baru saja menghampiri Nida yang sedang bersantai di taman belakang bersama Bi Retno. Ya begitulah Nida. Bukannya memanfaatkan waktu untuk bermanja-manja pada suaminya yang jarang sekali berkunjung, wanita itu justru lebih suka menghindar dari Hans. "Nggak, Mas," jawab Nida tanpa minat. "Memangnya kamu nggak ngidam lagi, Dek? Siapa tahu kamu ingin makan sesuatu, biar sekalian Mas balikan," ujar Hans lagi, berusaha menarik perhatian istri pertamanya tersebut. "Nggak ada, Mas. Lagi pula semua yang aku pingin sudah ada di kulkas, baru aku beli kemarin, jadi aku sudah nggak ingin dibelikan apa-apa lagi," ujar Nida, kembali menolak tawaran suaminya. Hans lagi-lagi hanya bisa menghela napas panjang menghadapi sikap dingin istrinya. Dari sejak kapan sebenarnya hubungan mereka jadi berjarak seperti ini? Kenapa juga Hans baru menyadari saat ia hendak memperbaiki hubungan mereka?
Bab 5 Makan malam keluarga"Tumben sekali kamu mengundang kami semua makan malam di sini, Hans? Biasanya juga kalau ada acara pasti selalu diadakan di rumah yang kamu dan Diaz tempati," ujar Mirna, yang merupakan mama dari Hans. Pada akhirnya, Hans tetap melanjutkan acara makan malam bersama keluarga besarnya karena tak mau membuat semua yang sudah diundang jadi merasa dipermainkan. Ia tahu Nida marah dengan keputusannya ini. Namun, mau bagaimana lagi? Ia sudah terlanjur mengundang semuanya, jadi mau tak mau acara makan malam ini pun harus tetap dilaksanakan. "Iya, Ma, kebetulan aku sama Nida punya kabar yang hendak disampaikan pada kalian semua, jadi kami sengaja mengundang kalian ke sini," ujar Hans dengan menampilkan senyum bahagianya. Jelas saja ia merasa sangat bahagia. Anak yang sudah dinantikannya sejak lama, akhirnya sebentar lagi akan ia dapatkan. Ia bahkan sampai menduakan Nida agar bisa memiliki anak. Siapa sangka, setelah enam tahun pernikahan dan satu tahun menjalani
Bab 6"Jadi benar Nida sedang hamil, Hans?" tanya Rudi pada putranya, ketika keadaan sudah lebih tenang dari sebelumnya. "Iya, Pa. Kemarin Nida pendarahan dan dibawa ke rumah sakit, makanya aku akhirnya tahu kalau Nida sedang hamil," jawab Hans apa adanya. Ia jujur saja merasa malu karena baru mengetahui soal kehamilan Nida setelah kehamilan itu berusia tiga bulan."Jadi kamu juga baru tahu kemarin kalau Nida sedang hamil?" Rudi yang mendengar ucapan Hans, tampak terkejut karena sang putra juga ternyata baru mengetahui soal kehamilan istri pertamanya. "Iya, Pa. Nida menyembunyikan kehamilannya dariku. Sepertinya dia marah karena selama ini aku lebih banyak menghabiskan waktu di tempat Diaz, makanya Nida tak mau mengatakan kalau dirinya sedang hamil," ujar Hans dengan rasa bersalah yang kini mendominasi perasaannya. "Bukan salah kamu dong, Mas. Salah Mbak Nida sendiri yang kurang pintar mengurusmu, jadi kamu lebih betah di tempatku, 'kan? Mbak Nida saja yang aneh. Masa sedang hami
Bab 7Sementara itu di kamar Nida, tampak tiga orang yang tengah berbicara-bincang dengan sangat serius. Sarah dan Burhan sejak tadi sudah menunjukkan rasa cemasnya karena mendengar jika kemarin Nida mengalami pendarahan, tetapi juga merasa bahagia karena keponakan mereka akhirnya hamil setelah sekian lama penantian. "Kamu kenapa tidak mengabarkan pada kami kalau sedang hamil, Nida? Apa kamu juga baru tahu soal kehamilan ini?" tanya Sarah pada keponakannya. Ia masih mencoba berpikir positif. Mungkin, karena kehamilan tersebut belum terlalu terlihat, jadi Nida tidak terlalu menyadarinya. Meskipun tadi Hans mengatakan jika Nida sengaja menyembunyikan kehamilannya karena sedang marah kepada Hans, tapi Sarah berpikir jika Nida tidak mungkin ingin menyembunyikan kabar baik itu dari keluarga tantenya sendiri, 'kan?"Kenapa aku harus mengabarkan soal kehamilanku? Bukankah kehamilan ini bukan hal yang penting untuk kalian?" balas Nida terdengar dingin,
Bab 8Tok! Tok! Tok!Nida yang tengah merenung setelah kepergian tante dan omnya dari kamar, tiba-tiba saja dikejutkan dengan ketukan pada pintu kamarnya. Wanita itu refleks menoleh ke arah pintu tersebut, dan sebelum ia merespons apa pun, Hans sudah muncul dari sana terlebih dahulu dengan senyum manisnya. "Belum tidur?" tanya laki-laki itu, terdengar begitu hangat.Nida tak menjawab, karena tanpa menjawab pun, harusnya Hans sudah tahu jika dirinya memang belum tidur. "Sayang, Mas mau izin ke luar sebentar. Diaz dan Ibu meminta tolong agar Mas mau mengantar mereka pulang, karena tadi mereka datang ke sini menggunakan taksi. Tidak apa-apa kan kalau Mas pergi sebentar? Mas janji, setelah mereka sampai rumah, Mas akan langsung pulang ke sini lagi," ujar Hans terdengar begitu lembut saat bicara dengan istrinya. "Kenapa harus izin? Bahkan kalaupun kamu tidak kembali ke sini lagi seperti sebelum-sebelumnya, aku tidak akan peduli," j
Bab 9"Mas! Lama sekali sih? Aku dan Ibu sudah menunggu sejak tadi. Kamu jadi mengantar kami pulang atau tidak sebenarnya?" Diaz tiba-tiba saja datang dan berkata kesal kepada suaminya. Ia bahkan tak bisa menghargai keberadaan kedua mertua dan kakak iparnya karena tak segan berkata dengan intonasi tinggi di depan mereka, terlebih kalimat yang serupa bentakan itu ditunjukkan Diaz untuk Hans yang merupakan suaminya sendiri. Diaz tak peduli dengan pandangan keluarga suaminya terhadap dirinya, karena Diaz hanya merasa jika ia perlu mengungkapkan rasa kesalnya, sebab Hans telah membuat ia dan ibunya menunggu terlalu lama di teras. "Bicaranya pelan-pelan saja apa tidak bisa, Diaz? Kamu kira suamimu tuli?" Mirna menghardik Diaz yang ia anggap telah berlaku tidak sopan kepada Hans. Entah ada apa dengan kedua istri Hans ini. Kenapa mereka sama-sama tidak punya sopan santun seperti ini?"Maaf, Ma, aku hanya sedang kesal dengan Mas Hans. Aku dan Ibu sudah menunggu sejak tadi, tapi Mas Hans la
Bab 10Nida tidak tahu jam berapa Hans sampai di rumah setelah semalam mengantar Diaz dan ibunya pulang. Namun, saat pagi-pagi sekali Nida bangun, ia sudah menemukan suaminya itu tidur di sebelahnya. Nida yang merasa risi dengan tangan Hans yang memeluknya, dengan cepat menyingkirkan tangan itu dengan sedikit kasar. Hal itu membuat Hans yang terkejut, langsung terjaga dari tidurnya. "Sayang, kamu sudah bangun?" Hans bertanya dengan suara serak khas bangun tidur. Matanya bahkan belum terbuka sempurna, karena dirinya memang masih merasa mengantuk. Meski mendengar pertanyaan Hans, tetapi Nida memilih tak menjawab. Lagi pula itu hanya pertanyaan retoris yang sudah sangat jelas jawabnya. Wanita itu justru lebih memilih menyibukkan diri dengan mengikat rambutnya menggunakan ikat rambut yang semalam ia letakan di atas nakas. "Kamu mau ke mana, Sayang?" tanya Hans saat melihat Nida hendak pergi dari hadapannya. "Mau ke dapur, bantu Bi Retno masak," jawab Nida apa adanya. "Loh, buat apa
"Mas, boleh tidak aku minta sesuatu?" ujar Nida tiba-tiba, ketika malam ini ia dan Hans tengah berada di dalam kamar.Hans yang sedang sibuk dengan laptopnya di atas ranjang, seketika menoleh ke arah istrinya yang sedang mengoleskan body lotion di depan cermin meja rias. "Minta apa, Sayang? Kamu ngidam?" tanya Hans, tampak antusias karena ini pertama kalinya Nida meminta sesuatu darinya sejak hamil. Hans sudah menunggu saat-saat ini sejak pertama tahu Nida hamil. Jelas dirinya ingin merasakan seperti apa menyenangkannya direpotkan oleh istri yang sedang mengidam. "Bukan ngidam, Mas. Aku mau minta mobil," kata Nida tanpa basa-basi. Lagi pula usia kandungannya sudah 5 bulan, mana mungkin dia masih ngidam? "Mobil?" Hans tentu saja merasa heran. Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba istrinya minta mobil, yang jelas itu bukan barang murah. "Iya, Mas. Usia kandunganku sudah semakin besar. Aku harus melakukan pemeriksaan ruti
"Jadi, itu selingkuhnya Mbak Nida? Cukup bagus juga ternyata selera Mbak Nida." Suara itu tiba-tiba terdengar dari arah belakang, saat Nida tengah menunggu taksi pesanannya di depan kafe. Saat Nida menoleh, ia justru tersenyum sinis pada wanita yang tengah menatapnya penuh arti tersebut. "Wah, apes sekali aku bertemu denganmu di sini, Diaz. Kamu tidak akan mencari gara-gara denganku, kan? Maaf saja, tapi aku sedang senang hari ini, jadi aku harap kamu tidak akan merusak kesenanganku," kata Nida, pada wanita yang ternyata merupakan istri kedua dari suaminya. Biasanya, setiap mereka bertemu, pasti Diaz akan mencari keributan. Entah itu sekedar mengolok istri pertama suaminya tersebut, atau memaki Nida yang menurutnya tak lebih baik dari dirinya. Namun, beda halnya dengan sekarang. Karena Diaz memiliki rencana terharap Nida, maka ia tak akan melakukan hal itu untuk sekarang. "Mbak Nida kok bicara seperti itu, sih? Memangnya selama ini aku serin
Akhir-akhir ini Hans begitu sibuk mengurus dua cabang restorannya yang ternyata sudah sangat parah keadaannya. Ia sangat menyesal karena selama ini terlalu percaya pada Diaz hingga membuat usaha yang sudah bertahun-tahun ia bangun, kini tengah berjalan menuju kebangkrutan. Hari ini Hans berada di luar kota, tempat di mana salah satu cabang restorannya berada. Tempat inilah yang menjadi awal pertemuannya dengan Diaz, karena memang wanita itu berasal dari kota tersebut."Kamu tidak serius ingin membawa perkara ini ke pihak berwajib kan, Hans?" Serly, adik dari Bu Lily yang dipercaya untuk mengurus restoran, bertanya dengan wajah pucat, setelah Hans mengatakan akan membawa kecurangannya dalam memanipulasi uang restoran kepada pihak berwajib. "Apa wajah saya terlihat seperti sedang bercanda, Tante?" Hans membalas dengan nada dingin. Tatapannya terlihat begitu tajam menyorot pada wanita yang masih berpenampilan modis di usianya yang tak lagi muda. "Tapi, Hans, aku ini tantenya Diaz, is
Bab 31 "Om senang kamu jadi membeli tempat itu, Nida. Om harap usaha yang akan kamu jalankan bisa sukses dan akan membuatmu bahagia," ujar Burhan ketika ia, Sarah, dan Nida sudah berada di dalam mobil, melaju menuju jalan pulang. "Aku hanya berpikir kalau sepertinya aku memang harus membuka usahaku sendiri, alih-alih hanya mengharapkan salah satu restoran suamiku, yang tidak pasti bisa aku dapatkan atau tidak," kata Nida, dengan ekspresi dingin dan suara datar yang sudah menjadi ciri khasnya selama setahun ini. "Tante doakan kamu bisa mencapai apa yang kamu harapkan, Nida. Pokoknya kalau kamu butuh bantuan, Om, Tante, dan juga Gisel pasti akan dengan senang hati membantumu. Juga soal rencana pertemuanmu dan Prasta dua hari lagi, apa kamu bisa menghadirinya? Kalau kamu merasa tidak bisa, biar Om dan Tante yang mengurusnya," kata Sarah, tampak begitu tulus. Ia juga menawarkan bantuan karena merasa takut Nida kelelahan sebab kandungannya yang sudah mulai m
Bab 30Siang menjelang sore, Nida dibawa oleh tante dan omnya keluar rumah menggunakan mobil milik pasangan paruh baya itu. Mereka bilang hendak menunjukkan pada Nida tempat yang kemungkinan besar akan sangat Nida butuhkan untuk membangun usaha yang selama ini diimpikannya. Nida juga tidak paham akan dibawa ke mana dirinya ini. "Nah, kita sudah sampai sekarang," kata Burhan, melirik Nida yang berada di kursi belakang lewat kaca di atas dasbor. Ekspresi wajahnya tampak senang, seolah tak sabar hendak menunjukkan tempat yang mereka tuju pada keponakan istrinya. "Ayo, Nida, kita turun." Sarah yang duduk di sebelah suaminya menyempatkan menoleh ke arah Nida, lantas setelahnya ia turun terlebih dulu dari mobil itu, disusul oleh Burhan dan Nida. "Sebenarnya apa yang mau kalian tunjukkan padaku?" tanya Nida ketika mereka bertiga telah berada di luar mobil. Nida yang kandungannya sudah menginjak usai 5 bulan mulai mudah kelelahan dan inginnya bermalas-malasan di rumah saja. Namun, karena
Bab 29Pagi harinya, Diaz bangun dengan wajah kusut luar biasa. Ia kesiangan karena semalam kesulitan tidur dan baru bisa memejamkan mata saat pagi hampir datang. Di meja makan, Hans tampak sudah rapi dan kini tengah menikmati sarapannya. Diaz pun langsung duduk di sebelah lelaki itu meski dirinya belum mandi dan baru cuci muka serta gosok gigi saja. "Maaf aku kesiangan, Mas. Aku jadi tidak bisa membantu Yuni memasak tadi," kata Diaz merasa bersalah. Walaupun kemampuan memasaknya masih belum mumpuni, tapi Diaz selalu berusaha menyiapkan makanan ketika suaminya di rumah, meski itu juga dibantu oleh asisten rumah tangganya. "Tidak masalah, lagi pula Yuni juga sudah selesai menyiapkan sarapan untuk kita," kata Hans, tak terlalu ambil pusing dengan Diaz yang bangun kesiangan. "Kamu cepat makan, Dek, setelah ini kita lanjutkan pembicaraan yang tadi malam. Kebetulan hari ini aku rencananya akan datang ke restoran siang, jadi kita punya banyak waktu untuk bicara," sambung Hans tetap tena
Bab 28"Apa?! Jadi Hans meminta ganti rugi atas uang yang kamu ambil dari restoran?" Lily yang merasa terkejut dengan cerita Diaz, seketika melotot tak percaya. Ia benar-benar tak habis pikir, bagaimana mungkin Hans begitu tega menuntut ganti rugi atas uang yang istrinya sendiri ambil? Bukankah uang suami berarti uang istri juga? Jadi kenapa Hans harus marah, bahkan sampai minta ganti rugi segala hanya karena uang tak seberapa yang Diaz ambil? "Iya, Bu. Aku harus bagaimana sekarang? Kalau aku tidak bisa mengembalikan uang restoran, Mas Hans mengancam akan menceraikanku, Bu," adu Diaz, dengan tangis yang sudah pecah sejak tadi. Diaz benar-benar tak rela jika harus kehilangan suaminya dan harta yang lelaki itu punya. Bukan hal mudah untuk dia mendapatkan cinta Hans. Jadi jelas saja ia tak akan mau membiarkan lelaki itu lepas begitu saja. [Malam ini aku pulang ke situ, jangan pergi ke mana-mana.]Netra Diaz membulat saat mendapatkan pesan tersebut dari suaminya. Ia tak salah bacakan
Bab 27Beberapa hari ini Hans tampak sibuk bolak-balik mengurus kedua restoran cabangnya. Ia merasa benar-benar kecolongan karena setelah menyewa audit independen, dirinya baru tahu jika ternyata uang yang dikorupsi Diaz cukup banyak nominalnya. Ia merasa begitu bodoh karena selama ini sampai tak mengetahui kecurangan istri keduanya itu dan langsung percaya begitu saja pada laporan yang Diaz berikan tanpa mengeceknya lagi. Sementara Diaz sendiri, sekarang sudah seperti kehilangan semangat hidupnya. Ia yang sedang frustasi dan tak ingin bertemu dengan Hans terlebih lebih dulu, memutuskan untuk tinggal di rumah ibunya untuk sementara waktu. Ia masih bertanya-tanya, apa Hans serius untuk meminta ganti rugi padanya? Lain halnya dengan dua orang yang tengah pusing dengan masalah mereka, Nida justru tampak tengah merancang masa depannya. Ia sedang berteleponan dengan Gisel dan tengah meminta saran dari adik sepupunya itu tentang apa yang harus ia putuskan. Har
Bab 26BRAK!!Hans melempar laporan yang baru saja dibacanya dengan kasar ke arah Diaz. Ekspresi wajahnya benar-benar mengerikan, layaknya gunung berapi yang hendak meletuskan lavanya. "Jadi, bisa kamu jelaskan, kenapa selama ini kamu memberikanku laporan palsu padaku, Diaz?" Hans bertanya menuntut penjelasan. Suaranya terdengar seperti geraman singa yang siap menerkam mangsanya. Di hadapan Hans, Diaz tampak duduk dengan ketakutan. Wajahnya sudah sepucat kapas, dan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. "M-maaf, Mas. Aku ... aku mengaku salah. Aku takut kamu marah, makanya aku menyembunyikan masalah ini darimu. Sungguh, aku tidak bohong. Aku kira aku bisa menyelesaikan masalah restoran sebelum kamu menyadari masalah yang sedang terjadi. Ternyata aku salah. Maafkan aku, Mas," kata Diaz dengan bibir bergetar. Matanya bahkan sudah terlihat berkaca-kaca saking takutnya ia dengan kemarahan sang suami. Tak merasa iba sedikitp