"Hai, Ra. Long time no see."
Tara terkejut saat lelaki itu berbalik dan menyapa. Wanita itu mengernyitkan dahi dan mencoba mengingat apakah mereka pernah bertemu sebelumnya. Lalu, wajahnya memucat saat menyadari siapa sosok di depannya sekarang.
"Kamu lupa ya?" tanya lelaki itu.
"Kamu--"
"Si gentong yang pernah ditolak mentah-mentah waktu upacara bendera."
Tara tercengang lalu membuang pandangan. Wanita itu menggosok kedua telapak tangan untuk menghilangkan gugup. Kini posisinya menjadi serba salah. Ingin meninggalkan ruangan itu tetapi tak bisa.
"Pak Juan," sapa Tara canggung.
"Gak usah formal. Panggil Juan aja. Gentong juga boleh."
Juan menyeringai saat menatap sosok di didepannya. Tara masih sama seperti dulu, cantik dan anggun. Gadis itu terlahir ningrat sehingga auranya berbeda. Sekalipun saat ini kondisi ekonominya sedang sulit.
"Itu kurang sopan. Bapak atasan saya," ucap Tara gelisah.
Juan mengulum senyum, lalu berjalan menuju sofa. Lelaki itu sengaja membiarkan Tara tetap berdiri untuk melihat ekspresinya.
"Kamu udah siap bekerja sama dengan saya?" tanya Juan santai.
"Siap, Pak," jawab Tara yakin. Sekalipun ini di luar dugaan, tetapi gadis itu harus menerimanya.
Juan berdiri sembari menyelipkan kedua tangannya di saku celana. Lelaki itu berjalan mengelilingi Tara yang sejak tadi masih mematung. Gadis itu sendiri sekarang menjadi serba salah harus berbuat apa.
Rasanya Tara ingin segera meninggalkan ruangan ini dan mengajukan surat resign. Namun, tentu saja itu tidak akan terjadi. Masa depannya masih bergantung dari gaji di perusahaan ini.
"Jadi sekretaris pribadi itu berat, loh. Tugasnya banyak," pancing Juan.
"Saya sudah terbiasa dengan Pak Andre dulu," jawab wanita itu yakin.
Tara sudah berada cukup lama di perusahaan ini. Posisinya adalah sekretaris Andreas, kepala cabang yang menjadi atasannya langsung. Selama bekerja dengan sama dengan lelaki itu, semua berjalan dengan lancar tanpa hambatan yang berarti.
Sayangnya, Andreas mendapat mutasi menjadi kepala cabang di daerah lain. Sehingga lelaki di hadapannya ini yang menggantikan.
Juandar Rahadjo, putra bungsu Salim Rahardjo yang baru pulang dari luar negeri untuk menempuh pendidikan jenjang S2. Lelaki yang dulunya kuper karena memakai kacamata tebal, kini malah berubah menjadi sesosok pria tampan dan juga matang.
Tara baru tahu jika Juan adalah salah satu pemegang saham di perusahaan milik ayahnya. Sialnya, gadis itu pernah menolaknya saat mereka masih duduk di bangku SMA dulu.
Tara adalah primadona sekolah karena memiliki paras yang cantik. Sementara itu, Juan adalah anak penyumbang utama yayasan milik sekolah mereka.
Hanya saja, dulu Juan mengalami obesitas. Sehingga banyak gadis yang menjauhinya. Meskipun lelaki itu berasal dari keluarga kaya.
"Maksud kamu?" tanya Juan tak mengerti.
"Saya sudah tahu tugas seorang sekretaris di kantor ini. Saya bekerja selama empat tahun di bawah Pak Andre," jawab Tara tegas.
Juan mengernyitkan dahi, lalu tersenyum karena merasa lucu dengan jawaban gadis itu.
"Kalau sama saya beda. Kamu gak cuma ngerjain laporan. Tapi juga yang lain," bisik Juan sembari menyibak rambut panjang wanita itu.
Tara berbalik dan menatap Juan dengan geram. Bisikan lelaki itu seperti sengaja untuk menggodanya.
Apalagi sorot mata Juanbegitu kurang ajar. Lelaki menatapnya dari atas hingga ke bawah.
"Yang lain itu contohnya apa, Pak?"
Tara mencoba menahan emosi. Apalagi kini tangan Juan mulai mengusap punggungnya.
"Hemmm, apa ya? Jalan-jalan atau makan. Bisa juga tidur--"
Tara menangkap tangan Juan yang mulai berani merengkuh pinggangnya. Dia menatap lelaki itu dengan geram.
"Jangan tegang gitu, Ra."
"Saya di sini buat bekerja, Pak. Bukan yang lain!" ucap Tara tegas.
Juan tergelak, lalu melepaskan tangannya yang sedari tadi mencoba berkeliaran. Sejak dulu, pikirannya memang berkelana jika menyangkut wanita ini.
Sayang, impian Juan untuk menyentuh Tara baru terwujud sekarang. Saat mereka sudah berpisah selama sepuluh tahun dan kini dipertemukan kembali.
Tara selalu menjadi objek fantasy Juan. Sekalipun dulu lelaki itu bertubuh tambun, dia tetaplah seorang remaja pubertas yang kerap memimpikan sesuatu yang indah bersama sang gadis idaman.
"Oke, mulai besok ruangan kamu pindah ke depan sana," tunjuk Juan pada pintu kaca di depannya.
Tara terbelalak tanda tak terima jika Juan bersikap seenaknya. Sejak awal datang, lelaki itu meminta ruangannya dipindahkan ke lantai atas. Padahal selama ini ruangan kepala cabang menyatu dengan karyawan yang lain.
Juan juga membuat sebuah ruangan baru, yang ternyata disiapkan untuk sekretaris pribadinya. Dan ruangan itulah yang dia tunjuk tadi untuk Tara tempati.
"Tapi, ruangan saya selama ini di lantai bawah sama yang lain, Pak," tolak Tara halus.
"Karena sekarang kamu bekerja untuk saya, maka ruangan kamu pindah di sana. Itu untuk memudahkan kita berkomunikasi."
Juan mengucapkannya dengan tegas. Nada suaranya cukup mengintimidasi. Itu menandakan bahwa titahnya tak boleh dibantah.
Tara terdiam dan akhirnya mengangguk. Dalam situasi begini, dia terpaksa harus menuruti karena Juan adalah atasannya sekarang.
Daripada Tara dipecat lalu kehilangan pekerjaan. Itu berarti kiamat untuk keluarga mereka.
"Baik, Pak."
"Sekarang kamu boleh keluar. Persiapkan diri untuk menempati ruangan yang baru, ya."
"Siap, Pak."
Tara segera berdiri dan hendak meninggalkan tempat itu, ketika tiba-tiba saja tangannya dicekal.
"Ada apa, Pak?" tanya gadis itu tak suka.
"Kamu masih sama kayak dulu. Cantik dan juga seksi," bisik Juan.
Tara mengempaskan tangan lelaki itu dengan kasar dan bergegas keluar. Wanita itu mengumpat berulang kali ketika pintu kembali tertutup.
Sementara itu Juan malah tergelak sembari membuka kacamatanya. Benda yang selalu bertengger di wajahnya itu kini sudah tak setebal dulu. Dia sudah melakukan operasi lasik sehingga matanya kembali normal.
Hanya saja Juan memang lebih suka memakai kacamata karena sudah terbiasa sejak kecil. Lagipula dengan memakainya, lelaki itu terlihat lebih berwibawa sebagai atasan.
"Liat aja ntar. Lo bakalan ikut permainan gue atau gak," ucap Juan sembari mengusap bibir dan tersenyum licik.
***
Tara mengumpat berulang kali saat tiba di ruangannya. Wanita itu bahkan tersandung ketika hendak membuka pintu. Sehingga dia terjatuh dan menjadi bahan tertawaan rekan kerja yang lain.
"Kamu kenapa?" tanya salah seorang rekan yang lain ketika menghampirinya.
Tara memang memiliki ruangan sendiri. Namun, mereka berada di kawasan yang sama dengan bagian administrasi yang lain. Sehingga segala aktivitasnya bisa terlihat jelas.
"Gak apa-apa."
"Udah ketemu Pak Juan?"
Tara mengangguk. Wanita itu mengusap kakinya yang terasa nyeri karena jatuh tadi.
"Gak nyangka, ya. Ternyata anaknya owner mau turun tangan langsung pegang cabang sini."
"Aku juga gak nyangka kalau itu dia." ucap Tara kesal.
"Loh, memangnya kamu udah kenal Pak Juan?" tanya rekannya curiga.
Tara gelagapan, lalu membuka sepatu yang haknya kini patah. Wanita itu kembali mengumpat karena sepatu kesayangannya kini rusak.
"Eh, enggak."
"Kamu beruntung bisa jadi sekretaris dia. Pak Juan itu udah ganteng, tajir lagi. Mana tau kegebet."
"Ini bukan kisah Cinderella, Neng," ucap Tara pedas.
"Eh tapi aku dengar, dia udah punya tunangan. Itu pacarnya model blasteran."
Tara mengangkat bahu sebagai tanda tak tahu. Dia tak tertarik sama sekali dengan informasi apa pun mengenai Juan. Jika memang lelaki itu sudah mempunyai pacar, itu berarti bagus untuknya.
Melihat sikap Juan tadi membuat Tara ngeri. Lelaki itu tentu saja mengikuti trend pergaulan bebas di luar sana, sehingga berani lancang menyentuhnya.
"Kalau memang dia udah tunangan berarti bagus, dong. Jadi dia gak perlu gangguin aku lagi."
Tara masuk ke ruangan tanpa menggunakan sepatu. Meninggalkan rekan kerjanya yang kebingungan akan ucapannya barusan.
Tara masih merasakan nyeri di kaki sehingga menjadi pincang. Sepertinya hari ini dia akan memesan taksi online untuk mengantar pulang.
"Terima, terima, terima!"Tara menatap sekeliling, kepada ratusan siswa yang sedang bertepuk tangan dan bersorak riuh. Tara menjadi gelagapan dan tak tahu harus berbuat apa.Di hadapan Tara, kini sedang bersimpuh seorang anak lelaki yang sedang mengulurkan sebuket mawar. Harusnya mereka sudah bubar sejak tadi karena upacara hari ini telah selesai. Sayangnya, ada interupsi dari ketua OSIS mereka agar semua orang tetap di tempat, kecuali para guru."Kalau lo terima gue, lo ambil mawarnya. Tapi kalau lo nolak, buang aja," ucap anak lelaki itu yakin.Tara kembali menoleh ke belakang. Di antara ratusan murid yang bersorak agar dia menerimanya, ada satu sosok yang memilih diam sembari melipat tangan di dada. Dia adalah Rama, ketua tim basket yang sedang dekat dengannya."Juan, gue--""Lo tau kan perasaan gue dari dulu gimana," lirih Juan. Kakinya sudah sakit sejak tadi karena menahan bobot tubuh yang berat dengan bertumpu pada satu kaki."Tapi jangan gini juga."Tara menjadi serba salah. J
Juan menatap dua orang yang duduk di depannya dengan tajam. Sejak tadi lelaki itu sudah mamaparkan bukti-bukti yang ada sehingga mereka tak bisa berkutik."Tolong kalian jelaskan ini semua.""Maaf, Pak. Ini memang kesalahan kami. Tapi kami hanya menerima perintah," sesal kepala divisi keuangan. "Tapi kalian ikut menikmatinya, kan?" sindir Juan pedas.Dua orang itu tertunduk lesu. Pasrah jika memang harus dipecat karena kesalahan itu. "Saya hanya ingin tahu. Selain Andreas dan kalian berdua, siapa lagi yang menikmati aliran dana ini?"Sebenarnya sudah sejak beberapa bulan yang lalu, Juan melakukan penyelidikan sebelum memegang cabang ini secara resmi. Lelaki itu mengutus tim audit dari luar untuk memantau perkembangannya. Ada banyak hal yang janggal terutama mengenai laporan keuangan. Ada beberapa kebijakan baku dari perusahaan mengenai proses pembayaran. Misalnya tentang gaji, tunjangan jabatan, bonus dan biaya kesehatan karyawan. Namun, untuk program kerja seperti event, rekruitme
Tara melempar gelas untuk melampiaskan kekesalannya. Gadis itu bahkan tak peduli jika pecahannya bisa membahayakan. Ucapan dan sikap Juan tadi benar-benar keterlaluan. Tara mengambil sebotol air mineral, lalu duduk di kursi dengan napas naik turun. Emosinya belum mereda. Gadis itu bahkan masih teringat akan perbincangan mereka tadi."Jadi pacar aku, Ra. Dan kamu bakal dapat pengecualian .""Kalau saya gak mau?""Siap-siap angkat kaki dari sini," ancam Juan. "Siapa takut!""Ternyata buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Bapak dan anak sama-sama suka ngembat uang haram!"Mendengar hinaan itu, Tara hendak menampar Juan. Sayangnya sebelum itu terjadi, lengannya dicekal erat oleh lelaki itu.Entah bagaimana tiba-tiba saja tubuhnya sudah berada di dalam rengkuan Juan. Tara berusaha melepaskan diri. Namun, cengkeraman lelaki itu begitu kuat."Jaga mulut kamu, ya!" ucap Tara tak terima. Kini dia sudah tak sudi memanggil Juan dengan sebutan 'bapak' lagi. "Aku bicara fakta, Ra.""Papa aku lagi
Satu jam setelah Tara mengirimkan foto papanya dirawat, suasana di kantor menjadi heboh. Sebagian karyawan berinisiatif mengumpulkan dana seikhlasnya untuk membantu gadis itu. Sementara itu, Juan mengamuk karena teleponnya sejak tadi tak dijawab oleh sang sekretaris. Dia bergegas keluar dan menjadi geram saat mendapati gadis itu tidak ada di ruangannya."Tara mana?" tanya Juan saat berkunjung ke bagian administrasi."Tadi info dari HRD, Mbak Tara izin ke rumah sakit.""Ada apa?""Papanya kena serangan jantung. Sekarang lagi koma, Pak. Pulang nanti kami mau ke sana buat besuk. Sekalian mau antar uang bantuan.""Apa saya sudah memerintahkan untuk mengumpulkan dana? Saya aja baru tau kalau papanya sakit," protes Juan."Ini ini cuma inisatitif dari kami, Pak. Kasihan Mbak Tara kan hidupnya susah," jelas yang lain. "Papanya Tara dirawat di rumah sakit mana?"Staf administrasi itu menyebutkan salah satu nama rumah sakit yang letaknya agak jauh dari kantor mereka. Setelah mendapatkan penj
Tara tertegun menatap lembar tagihan sementara yang diberikan oleh pihak rumah sakit. Mereka diminta untuk membayar sebagian dari total yang ada. Gadis itu sudah meminta waktu tenggang sembari memikirkan jalan untuk mencari biayanya. Entah bagaimana, yang pasti dia yakin pasti bisa mendapatkannya."Persiapan untuk meeting besok udah selesai?" Tara tersentak saat melihat Juan yang tiba-tiba saja sudah berada di ruangannya. Dia tak sadar jika lelaki itu masuk karena begitu pusing memikirkan biaya rumah sakit. "Sedikit lagi, Pak," ucapnya berbohong."Coba saya lihat yang ada dulu. Nanti sisanya kamu lanjutin lagi," pinta Juan."Itu ... saya belum, Pak.""Jadi kamu dari tadi ngapain? Ngelamun?" Juan melipat tangan di depan dada dengan tatapan marah. "Saya bikin sekarang juga, Pak," ucap Tara menyanggupi. "Sepuluh menit dan semua harus kelar. Saya gak mau tau. Saya juga harus pelajari materinya sebelum mulai presentasi besok," ucap Juan seraya meninggalkan ruangan.Tara menghela napas
Suasana di ruangan begitu tegang karena tim dari pusat ikut hadir dalam meeting kali ini. Juan dengan penuh percaya diri menyampaikan presentasi yang materinya disusun oleh Tara kemarin. Dia menatap gadis itu dengan geram karena telah menolaknya. Lelaki itu begitu kesal karena setiba di apartemen, Amanda sudah pulang karena terlalu lama menunggu."Performa penjualan cabang ini menurun cukup drastis dibanding dengan bulan yang sama tahun lalu. Namun, ini tak mengapa karena saya yakin kita bisa mengejarnya di bulan depan."Semua orang menyimak penjelasan Juan dengan serius. Lelaki ini agak kaku dibanding dengan Andreas yang lebih luwes dan suka bercanda."Saya sendiri masih beradaptasi dengan suasana di kantor ini. Kelak, kita akan mengadakan event-event yang akan mengangkat penjualan. Contohnya ...."Juan kembali memaparkan rencana kerjanya. Ternyata slide presentasi yang disusun oleh Tara hanya bersifat umum. Lelaki itu telah menambahkan beberapa poin penting lainnya untuk melengkapi.
Amanda, si cantik berwajah blasteran itu berjalan tergesa-gesa memasuki rumah sakit. Didampingi oleh supirnya, gadis itu langsung menuju ruangan rawat inap tempat Juan dirawat. Dia begitu khawatir setelah mendapat kabar bahwa kekasihnya mengalami cedera karena suatu insiden. "Honey!" Amanda memeluk Juan yang sedang duduk di ranjang pasien dengan kepala yang dibalut perban. Gadis itu terisak-isak karena melihat kondisi kekasihnya yang menyedihkan."Aku cuma luka di pelipis. Gak usah lebay gitu," ucap Juan risih. Pasalnya di ruangan itu ada papa dan mamanya yang duduk di sofa balik pintu. Namun, sepertinya gadis itu tak menyadarinya. "Kamu kenapa?""Kena pecahan vas bunga," jelas Juan."Kenapa bisa kena? Apa kamu jatuh terus nyenggol vas bunga?"Juan mengangguk lalu memberi kode. Amanda menoleh ke arah yang ditunjuk oleh lelaki itu dan langsung melepaskan pelukan dengan wajah merona. Gadis itu bergegas menghampiri orang tua Juan untuk bersalaman."Hai Om. Tante."Salim Rahardjo menya
Tara tercengang ketika Juan menyentuhnya dengan santai di depan Kartika. Dia segera melepaskan diri dan hendak berpamitan ketika lelaki itu menahannya. "Tante." Tara menyapa Kartika dengan sungkan. Sementara itu, Juan semakin mengeratkan rengkuhannya dan mengambil kesempatan dalam kesempitan. "Mama ngapain balik lagi?" tanya Juan heran. "Hape Mama ketinggalan." Kartika mencari ponsel miliknya di dekat sofa. Benar saja, ternyata benda pipih berwarna hitam itu tergeletak di bawah bantal. "Ya gak usah balik juga. Kan bisa suruh supir ambil ke sini." Kartika mendelik menatap putranya. Wanita itu segera memasukkan ponsel ke dalam tas agar tak kelupaan lagi. "Mama sekalian mau mastiin apa si model itu masih di sini apa gak? Kalian berdua-duaan dari tadi. Mana dia nyosor duluan lagi." Kartika mengucapkan itu dengan kesal. Wanita itu berbicara sembari menatap wajah Tara dengan penasaran. Sejak tadi Juan belum mengenalkan siapa gadis itu. "Manda udah pulang dari tadi. Sekarang aku
"Sakit?" tanya Juan sembari mengganti perban yang menempel di kaki istrinya."Sakit banget."Tara menjawabnya di antara tetesan air mata. Sebagai anak tunggal yang terlahir dari keluarga kaya, wanita itu tentulah manja. Hanya saja, kesulitan hidup setelah papanya di penjara, membuat Tara menjadi wanita mandiri dan keras. Namun, semua runtuh ketika lengan hangat Juan merengkuhnya. "Kamu kenapa bisa sampai kayak gini?"Juan memeriksa tubuh istrinya. Lelaki itu tampak begitu khawatir sehingga terlihat panik. "Disenggol orang pas aku mau nyebrang."Tara menatap Juan yang masih sibuk memeriksa kakinya. Lelaki itu bahkan mengusap pipinya dan kembali memeluk karena iba. "Memangnya kamu dari mana?""Salon. Tapi gak jadi treatment. Soalnya--"Ucapan Tara menggantung karena teringat akan Amanda. Dia tak mau bercerita kepada Juan tentang kejadian tadi siang.Pernikahan mereka hanya untuk sementara. Jadi, Tara tak mau menjelekkan kekasih suaminya. "Soalnya?""Gak apa-apa. Cuma sayang uang,"
Tara meninggalkan salon dengan perasaan berkecamuk di dada. Dia membatalkan perawatan di salon dan memilih untuk pulang. Perlakuan Amanda tadi membuatnya malu bukan kepalang. Wanita itu hendak mengadu kepada Juan, tetapi niatnya urung. Motornya melaju membelah jalanan ibu kota yang cuacanya mendung hari ini. Rintik hujan mulai turun walaupun tidak deras. Tara memelankan laju motor dan mencari tempat berteduh. Jika dilanjutkan, maka sepertinya dia akan kebasahan. Salahnya sendiri tadi tidak membawa mobil yang Juan berikan. Wanita itu terlalu gengsi untuk memakai semua fasilitas yang suaminya berikan. Sepanjang perjalanan, matanya menangkap sebuah kafe baru di arah seberang. Tara hendak berbelok dan menyalakan lampu sein dengan cepat. Sayangnya, wanita itu hanya fokus pada kendaraan yang lewat di depannya dan mengabaikan yang berada di belakang. Saat Tara begitu yakin bahwa lalu lintas sudah sepi, wanita itu langsung berbelok. Naas, sebuah mobil menyenggol motor hingga wanita itu t
Tara terbelalak saat lampu tiba-tiba saja menyala. Juan berdiri dengan gagah sembari menyelipkan kedua tangannya di saku celana. Tatapan lelaki itu begitu dingin saat melihat istrinya. "Dari mana aja kamu?" "Bukan urusan kamu." Tara menjawab pertanyaan itu dengan ketus. Dia masih sakit hati karena dipecat dari kantor. Padahal wanita itu masih berharap bisa berada di sana untuk jangka waktu yang lama. "Kenapa pesan aku gak dibalas?" "Aku lagi ngobrol sama Mama." Juan berjalan mendekati istrinya hingga kini posisi mereka berhadap-hadapan dalam jarak yang dekat. "Kenapa gak bilang aja yang sebenarnya?" Tara mengangkat wajah dan menatap suaminya dengan lekat. Hal itu membuat jantung Juan berdebar. Sejak dulu, hal itulah yang selalu dia rasakan setiap kali pandangan mereka bertautan, sekalipun tak sengaja. "Sampai kapanpun aku gak akan bilang ke mereka tentang hubungan kita." Tara hendak berjalan menuju kamar ketika lengannya dicekal lembut. Juan bahkan tanpa sungkan memeluk wan
Tara memarkir motor di halaman rumah dengan gugup. Awalnya dia masih ragu untuk berkunjung, jika sang mama masih bersikap sama. Namun, wanita itu lebih mengkhawatirkan kesehatan papanya sehingga nekat datang. Tara pergi diam-diam tanpa memberitahu Juan. Setelah hengkang dari kantor, selama beberapa hari ini mereka tak bertemu. Wanita itu tahu jika sang suami sedang bersama kekasihnya. Jadi, dia memilih untuk tidak mengganggu. "Tumben kamu pulang," ucap Diana saat melihat Tara memasuki rumah."Memangnya aku gak boleh datang ke rumah sendiri?" balas Tara. "Ya boleh aja. Mama kan cuma tanya," lanjut Diana. Wanita itu sejak tadi sibuk merangkai bunga dan meletakkannya di vas. Kini, ruang tamunya menjadi semakin rapi. "Papa mana, Ma?" tanya Tara saat tak melihat sosok Rahadi setelah berkeliling rumah. "Di taman belakang. Lagi lihat burung," jelas Diana."Kapan Papa pelihara burung?""Sejak pulang dari rumah sakit. Papa kesepian. Anaknya gak muncul-muncul juga."Tara tertegun dan meras
Juan menatap Tara dengan lekat. Semenjak mereka bertengkar, suasana benar-benar menjadi tak nyaman. Ditambah dengan kedatangan Amanda yang membuat semua semakin runyam.Tara lebih banyak diam, tidak bawel atau marah-marah seperti biasa. Bahkan itu berlangsung hingga hari ini. Saat dia memerintahkan agar wanita itu segera mengosongkan ruangan. "Aku pesenin taksi, ya."Juan mencoba membujuk Tara saat melihatnya sedang sibuk memasukkan barang-barang ke dalam boks. Wanita itu menyelesaikannya dalam diam dengan bibir ditekuk.Kali ini Tara marah bukan karena kehilangan pekerjaan. Namun, hatinya panas ketika Amanda datang dan berduaan dengan Juan. Sehingga dia meninggalkan kantor sampai wanita itu pulang. Tara merasa lebih kesal lagi, saat pulang ke rumah, Juan tampak begitu santai seperti tanpa dosa. Padahal dia tahu apa yang sudah mereka perbuat kemarin di ruangan. "Ra--""Aku pakai motor aja. Biar cepat. Lagian barang-barang ini juga mau aku kasihkan ke bagian administrasi. Aku keluar
Suara ketukan sepatu yang berasal dari heels setinggi 9 senti meter menggema di kantor pagi ini. Beberapa karyawan yang sedang melakukan aktivitas tiba-tiba saja menghentikan kegiatannya. Mereka menatap sosok wanita cantik dengan wajah blasteran yang sedang berbincang dengan pegawai di bagian resepsionis. Bisik-bisik mulai terdengar, mulai dari siapa sebenarnya wanita itu dan apa keperluannya datang. Wajahnya yang cantik bak artis papan atas ibukota membuat beberapa lelaki melirik dan terpana. "Apa benar ruangan Pak Juan di lantai atas?""Benar, Mbak. Kalau mau ketemuan, saya akan hubungkan dengan sekretarisnya dulu," jelas resepsionis. "Bilang aja Manda mau ketemu."Mendengar nama itu disebut, resepsionis langsung mengambil gagang telepon dan mendial sebuah nomor. Tak lama, wanita itu dipersilakan ke lantai atas dengan diantar security."Itu tunangannya Pak Juan, ya.""Ya ampun cantik banget kayak model.""Laki-laki kalau tajir ya gitu. Seleranya high class. Bukan yang burik kayak
Juan menggandeng lengan Tara dengan mesra saat memasuki mall. Setelah insiden pendemo yang membuat keributan pagi-pagi dan mengacaukan hari indah mereka sebagai pengantin baru, lelaki itu membawa istrinya keluar. Tara yang awalnya menolak terpaksa harus ikut sekalipun fisiknya tidak memungkinkan. Setelah serangan bertubi-tubi dari Juan, sorenya mereka sepakat untuk jalan-jalan sembari mencari makan. Wanita itu tak banyak bicara karena masih merasa canggung dengan status baru."Pilih aja mana yang kamu mau," ucap Juan sembari mengeluarkan sebuah kartu dan menyerahkannya kepada Tara."Buat apa?""Buat kamu belanja. Terserah mau beli apa.""Buat beli makanan aja. Terus diantar ke rumah sakit," lirih wanita itu.Sekalipun masih beradaptasi karena baru menikah, Tara tetap teringat akan kondisi papanya. Wanita itu sudah mencoba menghubungi mamanya, tetapi tidak diangkat. Namun, Siska sudah memberitahu bahwa uang yang dia titipkan telah diserahkan. Sehingga membuatnya lega."Kalau yang itu
Juan bersiul-siul saat memasuki kamar. Suasana begitu sepi setelah acara akad tadi selesai. Lingkungan perumahan juga sunyi karena weekend. Biasanya para penghuninya akan bepergian keluar kota. Hal itu dia amati setelah beberapa lama tinggal di sini. "Ra, masih lama?"Juan mengetuk pintu kamar mandi karena istrinya tak kunjung keluar. Sejak tadi dia sudah bolak balik ke kamar untuk melihat aktivitas Tara. Namun, sejak satu jam lalu wanita itu tak tampak."Kamu ngapain? Semedi?"Juan kembali mengetuk dengan cukup keras. Itu membuat Tara semakin gemetaran. Wanita itu menggosok tangan untuk menghilangkan gugup. Dia tak berani keluar, takut jika lelaki itu meminta hak."Dia suami kamu, Tara. Jadi kamu harus siap melayaninya. Ingat, biaya operasi bypass itu mahal."Batin dan hatinya berperang sejak tadi. Harusnya Tara membuat semuanya mudah. Toh, ini keinginannya sendiri setelah memikirkan itu cukup lama. Lagipula Juan sudah semakin tampan sekarang. Lihat saja perut kotak-kotaknya yang be
"Saudara Juandar Rahardjo, saya nikahkan engkau dengan pinanganmu Giyanti Ditara dengan mahar sebuah cincin berlian tunai.""Saya terima nikahnya Giyanti Diatara binti Rahadi Usman dengan mahar sebuah cincin berlian tunai." "Gimana para saksi? Apakah sah?""Sah!""Alhamdulillah. Barakallahu laka, wa barakallahu 'alaika, wa jama'a bainakuma fii khair."Juan sudah berlatih satu minggu ini, menghapal sebaris kalimat yang pendek tetapi sangat menegangkan saat diucapkan. Syukurlah ketika tiba saatnya, dia dapat mengucapkan itu dengan fasih. Sementara itu, Tara hanya terdiam sembari menunduk. Seumur hidupnya, wanita itu memimpikan pernikahan yang indah dengan suami yang dicintainya. Sayangnya, Tuhan tidak mengabulkan itu. Tara juga ingin didampingi oleh kedua orang tua. Sekalipun dengan pesta sederhana yang dihadiri teman-teman dan keluarga. Bukan menikah dengan cara begini. Apalagi di bawah tangan, hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis lelaki itu.Tara memeluk Siska, sahabat karibnya