Satu jam setelah Tara mengirimkan foto papanya dirawat, suasana di kantor menjadi heboh. Sebagian karyawan berinisiatif mengumpulkan dana seikhlasnya untuk membantu gadis itu.
Sementara itu, Juan mengamuk karena teleponnya sejak tadi tak dijawab oleh sang sekretaris. Dia bergegas keluar dan menjadi geram saat mendapati gadis itu tidak ada di ruangannya.
"Tara mana?" tanya Juan saat berkunjung ke bagian administrasi.
"Tadi info dari HRD, Mbak Tara izin ke rumah sakit."
"Ada apa?"
"Papanya kena serangan jantung. Sekarang lagi koma, Pak. Pulang nanti kami mau ke sana buat besuk. Sekalian mau antar uang bantuan."
"Apa saya sudah memerintahkan untuk mengumpulkan dana? Saya aja baru tau kalau papanya sakit," protes Juan.
"Ini ini cuma inisatitif dari kami, Pak. Kasihan Mbak Tara kan hidupnya susah," jelas yang lain.
"Papanya Tara dirawat di rumah sakit mana?"
Staf administrasi itu menyebutkan salah satu nama rumah sakit yang letaknya agak jauh dari kantor mereka. Setelah mendapatkan penjelasan yang cukup rinci, Juan bergegas pergi untuk menemui Tara. Lagipula dia tidak mempunyai janji temu dengan siapa pun hari ini. Hanya beberapa laporan yang harus diselesaikan. Namun, lelaki itu bisa mengerjakannya di rumah karena besok libur.
"Kalau ada yang tanya saya ke mana, bilang aja saya ke luar, ya," pesannya sebelum meninggalkan kantor.
Juan melajukan mobil menuju rumah sakit yang dimaksud. Lelaki itu membuka g****e maps untuk memandunya tiba di tempat tujuan. Letaknya memang agak jauh dari kantor karena berada di daerah pinggiran kota.
Begitu sampai, Juan langsung bertanya kepada resepsionis di mana ruang intensive berada. Dia sengaja tidak menghubungi Tara karena tahu gadis itu masih marah.
Juan bertanya kepada perawat yang lewat. Lelaki itu dipersilakan bertemu dengan kepala ruangan. Dia mengaku keluarga dari Rahadi dan menanyakan diagnosis penyakitnya.
Juan juga bertanya besar biaya perawatan yang dihabiskan Rahadi di ruang itu selama pengobatan. Angka yang cukup fantastis membuatnya terkejut. Namun, baginya uang sebesar itu tak seberapa.
"Bapak Rahadi tidak mempunyai asuransi pemerintah."
"Jadi?"
"Seluruh biayanya ditanggung sendiri. Kecuali dari pihak keluarga meminta surat keterangan tidak mampu dari kelurahan setempat. Sehingga kami bisa memberikan keringanan untuk pengobatan tertentu," jelas kepala ruangan.
"Jadi apa sudah fix akan menghabiskan biaya sebesar ini?" tanya lelaki itu sekali lagi.
"Belum pasti, Pak. Ini hanya perkiraan dari kami karena sudah berpengalaman pada pasien yang lain. Untuk lebih jelasnya bisa ditanyakan ke bagian administrasi. Tagihan akan kami kirimkan setelah Bapak Rahadi keluar nanti. Tapi, rincian biaya per harinya akan dijelaskan juga di sana."
Juan mengangguk dan kembali bertanya beberapa hal. Lelaki itu berani masuk karena tak melihat Tara sama sekali di sana. Setelah merasa puas, dia meninggalkan rumah sakit dengan berbagai rencana di kepala.
***
Tara mengetuk pintu ruangan Juan dengan jantung berdebar. Wanita itu begitu gugup karena hari Jumat kemarin telah meninggalkan kantor tanpa sepengetahuan lelaki itu. Setelahnya dia tak memberikan kabar sama sekali karena fokus mengurus papanya di rumah sakit.
"Masuk," ucap Juan dingin. Lelaki itu tentu saja sudah tahu siapa yang datang berkunjung ke ruangannya pagi-pagi.
"Pak, saya mau bicara," izin Tara.
"Langsung aja. Gak usah basa-basi," ucapnya ketus.
Juan sengaja tak menatap Tara dan memilih fokus kepada layar di depannya. Dia sengaja bersikap cuek, sehingga gadis itu merasa sungkan. Lagipula rencananya harus matang agar mangsanya masuk sendiri ke dalam perangkap.
"Saya mau confirm soal kepergian saya hari jumat kemarin. Saya lupa mengabari Bapak."
"Aku sudah tau."
"Saya berterima kasih sama teman-teman yang lain juga Bapak karena sudah menyisihkan bantuan untuk Papa," lanjut Tara.
Juan meletakkan mouse, lalu menggeser posisi duduknya. Lelaki itu melipat tangan di dada sembari menatap Tara dengan lekat. Dia begitu penasaran apa yang akan gadis itu sampaikan.
"Biaya pengobatan Papa saya cukup banyak, Pak. Jadi saya mengajukan pinjaman kepada bagian keuangan," ucap Tara.
"So?"
"Kata kepala keuangan, saya harus menghadap Bapak. Dia gak akan menyetujui pinjaman koperasi tanpa ACC dari kepala cabang," mohon Tara.
Mereka tidak mungkin menjual mobil karena itulah satu-satunya kendaraan yang bisa mengantar jemput papanya. Tara sudah meminta sertifikat rumah kepada untuk digadaikan ke bank agar bisa membayar biaya pengobatan. Namun, prosesnya cukup lama. Perlu dilakukan survey dan banyak hal lain yang harus dilalui hingga disetujui. Itupun belum tentu goal.
"Kalau aku setujui, apa kamu sanggup bayar?"
"Bapak meremehkan saya?" tanya Tara terpancing emosi.
"Buka gitu. Uang yang kalian korup aja belum tentu bisa dikembalikan. Sekarang malah mau ajukan pinjaman," sindir Juan.
Tara mengepalkan tangan karena kesal. Di saat seperti ini Juan malah mengungkit tentang itu. Padahal jika lelaki itu masih memiliki empati, dia tidak akan mengungit-ungkit.
"Papa saya sakit. Saya juga mengajukan pinjaman dengan jaminan pemotongan gaji setiap bulannya."
"Memangnya kamu yakin bakal lama di kantor ini. Kalau misalnya pusat memutuskan pemecatan, apa kamu masih bisa bayar?"
Rasanya Tara ingin meremas mulut Juan karena ucapannya terlalu menyakitkan. Selain biaya pengobatan papanya, dia juga memerlukan biaya lain untuk bekal mamanya selama di rumah sakit. Hal itulah yang membuatnya mengajukan pinjaman agar ada pegangan, karena prosesnya lebih cepat.
"Saya gak pinjam banyak. Cuma lima juta. Itu juga buat Mama," lirih Tara. Kali ini dia mengalah demi kedua orang tuanya.
"Lima juta itu gak sedikit. Itu juga uang perusahaan. Coba bayangin kalau sepuluh karyawan yang korupsi sejumlah itu. Udah lima lima puluh juta uang kantor melayang."
"Astagfirullah."
Tanpa menanggapi ucapan Juan yang sengaja mengungkit-ungkit kasus lama, Tara langsung meninggalkan ruangan dan berpamitan. Baginya lebih baik menghindar, daripada merendahkan diri dan diinjak-injak.
"Permisi, Pak."
Tara membuka pintu dan menutupnya dengan kasar. Itu membuat Juan tergelak.
"Kita liat aja seberapa kuat kamu bertahan, Ra."
***
"Tolongin kami, Tante."
"Kami mau nolongin kalian, Tara. Tapi dananya memang gak ada. Kalau misalnya seberapa ada, ya Tante sama Om bisa kasih."
Tara menghela napas dan menerima sodoran amplop putih walaupun isinya tidak tebal. Ini lebih baik daripada harus memohon dan dihina oleh Juan untuk meloloskan pinjaman koperasi.
"Makasih, Tante."
Hari ini Tara berkeliling mengunjungi rumah keluarga papa dan mamanya untuk meminta bantuan. Hasilnya semua menolak meminjamkan dalam jumlah yang besar. Namun, mereka memberinya sedikit bantuan, yang jika dikumpulkan hasilnya lumayan juga.
"Kamu udah coba sama yang lain?"
"Udah, Tante. Semuanya malahan," jawab gadis itu cepat.
"Semua?"
"Semua orang yang pernah ditolong Papa dulu," sindirnya.
Tara juga menelepon keluarga yang tinggal jauh, sekalipun gadis itu tahu bahwa semua orang akan mencela keluarganya sebagai pengemis. Namun, dia tak peduli.
"Oh, maaf kalau gitu," ucap Tantenya dengan nada menyesal.
Dulu saat papanya berjaya, mereka banyak membantu saudara yang kesusahan. Mamanya juga kerap mengadakan acara dan mengundang keluarga besar untuk makan bersama. Sekarang ketika mereka dalam kesulitan, dia bahkan harus mengemis untuk meminta bantuan.
"Kalau gitu aku permisi."
"Hati-hati, ya."
"Tante gak besuk Papa?" todong Tara.
"Eh, itu ... nanti tunggu Om pulang dari luar kota."
Tara bergegas pergi dan langsung menuju ke ATM terdekat untuk mengambil transferan. Setelahnya gadis itu langsung kembali ke rumah sakit untuk menemui sang mama.
"Kamu darimana, Nak?"tanya Diana.
"Ini, Ma," ucap Tara sembari mengulurkan sebuah amplop yang cukup tebal.
"Uang apa ini?"
"Sumbangan dari teman-teman di kantor. Terus sama--"
Diana menatap putrinya dengan penasaran. Wanita itu masih menunggu lanjutannya sembari memegang amplop dengan penasaran.
"Dikasih sama keluarga kita," jawab Tara cepat.
"Loh, kapan mereka ngasihkan ini ke kamu? Ngeliat Papa kamu juga belum," ucap Diana kecewa.
"Tara samperin satu-satu, Ma. Sama telepon yang tinggal di luar kota. Ada yang transfer. Ada yang ngasih cash."
Diana terbelalak mendengarnya. Wanita itu kembali menyodorkan amplop dan mengembalikannya kepada Tara, tetapi gadis itu menolaknya.
"Mama gak mau terima," tolak Diana tegas.
"Jangan gitu, Ma. Kita lagi butuh," jelas Tara.
"Mama bukan pengemis yang meminta bantuan kepada orang yang sudah menghina kita."
"Tapi itu juga gak semua dari mereka. Ada dari teman kantor aku."
"Tapi Mama--"
"Dulu mereka kesusahan Mama yang bantu, kan? Kenapa sekarang kita gak boleh minta bantuan?"
"Tapi bukan kayak gini caranya, Nak."
"Ma, kita lagi terdesak. Bos Tara gak ACC pinjaman koperasi. Proses bank juga masih lama. Ini buat pegangan Mama selama jaga Papa di sini. Apa yang bisa kita bayar, ya dibayar dulu. Sisanya nanti Tara yang pikirin," janji gadis itu.
"Coba aja dulu kamu nikah sama Rama. Mungkin jadinya kita gak begini," sesal Diana.
Tara tertegun, lalu membalikkan badan. Hatinya perih jika diungkit tentang lelaki itu. Rasanya lebih menyakitkan dari ucapan Juan yang pedas.
"Ma, aku pulang dulu. Papa juga belum boleh dibesuk. Besok masih mau kerja."
"Hati-hati, Nak. Makasih untuk ini," ucap Diana terharu.
Tara meninggalkan ruangan dengan pikiran kalut. Kepala gadis itu serasa hendak pecah karena masalah bertubi-tubi yang datang. Entah bagaimana nasibnya di kantor kelak.
Info dari kepala keuangan, kasus mark-up dana yang dilakukan Andreas sudah diproses oleh pusat. Ternyata Juan diam-diam bergerak cepat. Dan mulai hari ini dia harus bersiap-siap angkat kaki dari sana untuk selama-lamanya.
Tara tertegun menatap lembar tagihan sementara yang diberikan oleh pihak rumah sakit. Mereka diminta untuk membayar sebagian dari total yang ada. Gadis itu sudah meminta waktu tenggang sembari memikirkan jalan untuk mencari biayanya. Entah bagaimana, yang pasti dia yakin pasti bisa mendapatkannya."Persiapan untuk meeting besok udah selesai?" Tara tersentak saat melihat Juan yang tiba-tiba saja sudah berada di ruangannya. Dia tak sadar jika lelaki itu masuk karena begitu pusing memikirkan biaya rumah sakit. "Sedikit lagi, Pak," ucapnya berbohong."Coba saya lihat yang ada dulu. Nanti sisanya kamu lanjutin lagi," pinta Juan."Itu ... saya belum, Pak.""Jadi kamu dari tadi ngapain? Ngelamun?" Juan melipat tangan di depan dada dengan tatapan marah. "Saya bikin sekarang juga, Pak," ucap Tara menyanggupi. "Sepuluh menit dan semua harus kelar. Saya gak mau tau. Saya juga harus pelajari materinya sebelum mulai presentasi besok," ucap Juan seraya meninggalkan ruangan.Tara menghela napas
Suasana di ruangan begitu tegang karena tim dari pusat ikut hadir dalam meeting kali ini. Juan dengan penuh percaya diri menyampaikan presentasi yang materinya disusun oleh Tara kemarin. Dia menatap gadis itu dengan geram karena telah menolaknya. Lelaki itu begitu kesal karena setiba di apartemen, Amanda sudah pulang karena terlalu lama menunggu."Performa penjualan cabang ini menurun cukup drastis dibanding dengan bulan yang sama tahun lalu. Namun, ini tak mengapa karena saya yakin kita bisa mengejarnya di bulan depan."Semua orang menyimak penjelasan Juan dengan serius. Lelaki ini agak kaku dibanding dengan Andreas yang lebih luwes dan suka bercanda."Saya sendiri masih beradaptasi dengan suasana di kantor ini. Kelak, kita akan mengadakan event-event yang akan mengangkat penjualan. Contohnya ...."Juan kembali memaparkan rencana kerjanya. Ternyata slide presentasi yang disusun oleh Tara hanya bersifat umum. Lelaki itu telah menambahkan beberapa poin penting lainnya untuk melengkapi.
Amanda, si cantik berwajah blasteran itu berjalan tergesa-gesa memasuki rumah sakit. Didampingi oleh supirnya, gadis itu langsung menuju ruangan rawat inap tempat Juan dirawat. Dia begitu khawatir setelah mendapat kabar bahwa kekasihnya mengalami cedera karena suatu insiden. "Honey!" Amanda memeluk Juan yang sedang duduk di ranjang pasien dengan kepala yang dibalut perban. Gadis itu terisak-isak karena melihat kondisi kekasihnya yang menyedihkan."Aku cuma luka di pelipis. Gak usah lebay gitu," ucap Juan risih. Pasalnya di ruangan itu ada papa dan mamanya yang duduk di sofa balik pintu. Namun, sepertinya gadis itu tak menyadarinya. "Kamu kenapa?""Kena pecahan vas bunga," jelas Juan."Kenapa bisa kena? Apa kamu jatuh terus nyenggol vas bunga?"Juan mengangguk lalu memberi kode. Amanda menoleh ke arah yang ditunjuk oleh lelaki itu dan langsung melepaskan pelukan dengan wajah merona. Gadis itu bergegas menghampiri orang tua Juan untuk bersalaman."Hai Om. Tante."Salim Rahardjo menya
Tara tercengang ketika Juan menyentuhnya dengan santai di depan Kartika. Dia segera melepaskan diri dan hendak berpamitan ketika lelaki itu menahannya. "Tante." Tara menyapa Kartika dengan sungkan. Sementara itu, Juan semakin mengeratkan rengkuhannya dan mengambil kesempatan dalam kesempitan. "Mama ngapain balik lagi?" tanya Juan heran. "Hape Mama ketinggalan." Kartika mencari ponsel miliknya di dekat sofa. Benar saja, ternyata benda pipih berwarna hitam itu tergeletak di bawah bantal. "Ya gak usah balik juga. Kan bisa suruh supir ambil ke sini." Kartika mendelik menatap putranya. Wanita itu segera memasukkan ponsel ke dalam tas agar tak kelupaan lagi. "Mama sekalian mau mastiin apa si model itu masih di sini apa gak? Kalian berdua-duaan dari tadi. Mana dia nyosor duluan lagi." Kartika mengucapkan itu dengan kesal. Wanita itu berbicara sembari menatap wajah Tara dengan penasaran. Sejak tadi Juan belum mengenalkan siapa gadis itu. "Manda udah pulang dari tadi. Sekarang aku
"Bukan di sini, tapi di sini."Juan menunjuk bibirnya. Lelaki itu belum puas karena Tara hanya menyentuh pipinya. Itu juga cuma hanya sekali. Padahal dia menginginkan di bagian lain. Mereka sudah resmi berpacaran selama satu minggu, setelah hari itu Juan mentransfer uang kepada Tara. Tentu saja lelaki itu tak mau rugi. Setidaknya impiannya sudah terwujud, yaitu bisa bersama dengan gadis cinta pertamanya. "Aku gak mau!" tolak Tara. Juan menatap wajah cantik itu dengan garang. Rengkuhannya kini bahkan lebih erat, sehingga membuat Tara gemetaran. Dulu Tara pernah berpacaran dengan Rama, hingga akhirnya mereka berpisah karena keadaan. Hanya saja tatapan Juan sangat berbeda. Lelaki itu tampak lebih buas, sehingga membuatnya takut."Kamu pulang aja sekarang. Udah malam," ucap Tara mengalihkan pembicaraan."Kenapa harus pulang? Ini kan rumah aku. Mau nginap juga boleh," pancing lelaki itu. Tara membuang pandangan. Dia sudah tahu bahwa jika Juan akan meminta lebih sebagai kompensasi uang
"Kamu mikirin apa, Sayang?" Tara tersentak saat mamanya bertanya. Sejak tadi dia melamun sembari menatap jendela dengan hampa. Entah dia harus berkata apa jika suatu saat mamanya tahu semua. Bukankah bangkai tetap akan tercium baunya sekalipun sudah disimpan dengan rapat. "Banyak, Ma. Salah satunya tentang kerjaan," jawab gadis itu lemas. "Memangnya kenapa? Kan kerjaan kamu udah bagus. Apa ada masalah di kantor?" tanya Diana. Tara mengangguk, lalu melirik ke arah ranjang pasien di mana papanya tertidur pulas. Selama berada di rumah sakit, ibu tirinya sama sekali tak tampak. Terang saja, wanita itu pasti tak mau mengeluarkan uang untuk biaya pengobatan suaminya. Hanya dia dan mamanya yang setia menunggu. "Coba cerita sama Mama." Kartika duduk di sebelah putrinya dan mencoba mendengarkan. Selama ini Tara memang jarang menceritakan keluh kesahnya. Putrinya menjadi terlalu mandiri setelah kasus yang menimpa Rahadi. Mereka dengan cepat beradaptasi karena cemoohan dan hinaan dari ba
"Saudara Juandar Rahardjo, saya nikahkan engkau dengan pinanganmu Giyanti Ditara dengan mahar sebuah cincin berlian tunai.""Saya terima nikahnya Giyanti Diatara binti Rahadi Usman dengan mahar sebuah cincin berlian tunai." "Gimana para saksi? Apakah sah?""Sah!""Alhamdulillah. Barakallahu laka, wa barakallahu 'alaika, wa jama'a bainakuma fii khair."Juan sudah berlatih satu minggu ini, menghapal sebaris kalimat yang pendek tetapi sangat menegangkan saat diucapkan. Syukurlah ketika tiba saatnya, dia dapat mengucapkan itu dengan fasih. Sementara itu, Tara hanya terdiam sembari menunduk. Seumur hidupnya, wanita itu memimpikan pernikahan yang indah dengan suami yang dicintainya. Sayangnya, Tuhan tidak mengabulkan itu. Tara juga ingin didampingi oleh kedua orang tua. Sekalipun dengan pesta sederhana yang dihadiri teman-teman dan keluarga. Bukan menikah dengan cara begini. Apalagi di bawah tangan, hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis lelaki itu.Tara memeluk Siska, sahabat karibnya
Juan bersiul-siul saat memasuki kamar. Suasana begitu sepi setelah acara akad tadi selesai. Lingkungan perumahan juga sunyi karena weekend. Biasanya para penghuninya akan bepergian keluar kota. Hal itu dia amati setelah beberapa lama tinggal di sini. "Ra, masih lama?"Juan mengetuk pintu kamar mandi karena istrinya tak kunjung keluar. Sejak tadi dia sudah bolak balik ke kamar untuk melihat aktivitas Tara. Namun, sejak satu jam lalu wanita itu tak tampak."Kamu ngapain? Semedi?"Juan kembali mengetuk dengan cukup keras. Itu membuat Tara semakin gemetaran. Wanita itu menggosok tangan untuk menghilangkan gugup. Dia tak berani keluar, takut jika lelaki itu meminta hak."Dia suami kamu, Tara. Jadi kamu harus siap melayaninya. Ingat, biaya operasi bypass itu mahal."Batin dan hatinya berperang sejak tadi. Harusnya Tara membuat semuanya mudah. Toh, ini keinginannya sendiri setelah memikirkan itu cukup lama. Lagipula Juan sudah semakin tampan sekarang. Lihat saja perut kotak-kotaknya yang be
"Sakit?" tanya Juan sembari mengganti perban yang menempel di kaki istrinya."Sakit banget."Tara menjawabnya di antara tetesan air mata. Sebagai anak tunggal yang terlahir dari keluarga kaya, wanita itu tentulah manja. Hanya saja, kesulitan hidup setelah papanya di penjara, membuat Tara menjadi wanita mandiri dan keras. Namun, semua runtuh ketika lengan hangat Juan merengkuhnya. "Kamu kenapa bisa sampai kayak gini?"Juan memeriksa tubuh istrinya. Lelaki itu tampak begitu khawatir sehingga terlihat panik. "Disenggol orang pas aku mau nyebrang."Tara menatap Juan yang masih sibuk memeriksa kakinya. Lelaki itu bahkan mengusap pipinya dan kembali memeluk karena iba. "Memangnya kamu dari mana?""Salon. Tapi gak jadi treatment. Soalnya--"Ucapan Tara menggantung karena teringat akan Amanda. Dia tak mau bercerita kepada Juan tentang kejadian tadi siang.Pernikahan mereka hanya untuk sementara. Jadi, Tara tak mau menjelekkan kekasih suaminya. "Soalnya?""Gak apa-apa. Cuma sayang uang,"
Tara meninggalkan salon dengan perasaan berkecamuk di dada. Dia membatalkan perawatan di salon dan memilih untuk pulang. Perlakuan Amanda tadi membuatnya malu bukan kepalang. Wanita itu hendak mengadu kepada Juan, tetapi niatnya urung. Motornya melaju membelah jalanan ibu kota yang cuacanya mendung hari ini. Rintik hujan mulai turun walaupun tidak deras. Tara memelankan laju motor dan mencari tempat berteduh. Jika dilanjutkan, maka sepertinya dia akan kebasahan. Salahnya sendiri tadi tidak membawa mobil yang Juan berikan. Wanita itu terlalu gengsi untuk memakai semua fasilitas yang suaminya berikan. Sepanjang perjalanan, matanya menangkap sebuah kafe baru di arah seberang. Tara hendak berbelok dan menyalakan lampu sein dengan cepat. Sayangnya, wanita itu hanya fokus pada kendaraan yang lewat di depannya dan mengabaikan yang berada di belakang. Saat Tara begitu yakin bahwa lalu lintas sudah sepi, wanita itu langsung berbelok. Naas, sebuah mobil menyenggol motor hingga wanita itu t
Tara terbelalak saat lampu tiba-tiba saja menyala. Juan berdiri dengan gagah sembari menyelipkan kedua tangannya di saku celana. Tatapan lelaki itu begitu dingin saat melihat istrinya. "Dari mana aja kamu?" "Bukan urusan kamu." Tara menjawab pertanyaan itu dengan ketus. Dia masih sakit hati karena dipecat dari kantor. Padahal wanita itu masih berharap bisa berada di sana untuk jangka waktu yang lama. "Kenapa pesan aku gak dibalas?" "Aku lagi ngobrol sama Mama." Juan berjalan mendekati istrinya hingga kini posisi mereka berhadap-hadapan dalam jarak yang dekat. "Kenapa gak bilang aja yang sebenarnya?" Tara mengangkat wajah dan menatap suaminya dengan lekat. Hal itu membuat jantung Juan berdebar. Sejak dulu, hal itulah yang selalu dia rasakan setiap kali pandangan mereka bertautan, sekalipun tak sengaja. "Sampai kapanpun aku gak akan bilang ke mereka tentang hubungan kita." Tara hendak berjalan menuju kamar ketika lengannya dicekal lembut. Juan bahkan tanpa sungkan memeluk wan
Tara memarkir motor di halaman rumah dengan gugup. Awalnya dia masih ragu untuk berkunjung, jika sang mama masih bersikap sama. Namun, wanita itu lebih mengkhawatirkan kesehatan papanya sehingga nekat datang. Tara pergi diam-diam tanpa memberitahu Juan. Setelah hengkang dari kantor, selama beberapa hari ini mereka tak bertemu. Wanita itu tahu jika sang suami sedang bersama kekasihnya. Jadi, dia memilih untuk tidak mengganggu. "Tumben kamu pulang," ucap Diana saat melihat Tara memasuki rumah."Memangnya aku gak boleh datang ke rumah sendiri?" balas Tara. "Ya boleh aja. Mama kan cuma tanya," lanjut Diana. Wanita itu sejak tadi sibuk merangkai bunga dan meletakkannya di vas. Kini, ruang tamunya menjadi semakin rapi. "Papa mana, Ma?" tanya Tara saat tak melihat sosok Rahadi setelah berkeliling rumah. "Di taman belakang. Lagi lihat burung," jelas Diana."Kapan Papa pelihara burung?""Sejak pulang dari rumah sakit. Papa kesepian. Anaknya gak muncul-muncul juga."Tara tertegun dan meras
Juan menatap Tara dengan lekat. Semenjak mereka bertengkar, suasana benar-benar menjadi tak nyaman. Ditambah dengan kedatangan Amanda yang membuat semua semakin runyam.Tara lebih banyak diam, tidak bawel atau marah-marah seperti biasa. Bahkan itu berlangsung hingga hari ini. Saat dia memerintahkan agar wanita itu segera mengosongkan ruangan. "Aku pesenin taksi, ya."Juan mencoba membujuk Tara saat melihatnya sedang sibuk memasukkan barang-barang ke dalam boks. Wanita itu menyelesaikannya dalam diam dengan bibir ditekuk.Kali ini Tara marah bukan karena kehilangan pekerjaan. Namun, hatinya panas ketika Amanda datang dan berduaan dengan Juan. Sehingga dia meninggalkan kantor sampai wanita itu pulang. Tara merasa lebih kesal lagi, saat pulang ke rumah, Juan tampak begitu santai seperti tanpa dosa. Padahal dia tahu apa yang sudah mereka perbuat kemarin di ruangan. "Ra--""Aku pakai motor aja. Biar cepat. Lagian barang-barang ini juga mau aku kasihkan ke bagian administrasi. Aku keluar
Suara ketukan sepatu yang berasal dari heels setinggi 9 senti meter menggema di kantor pagi ini. Beberapa karyawan yang sedang melakukan aktivitas tiba-tiba saja menghentikan kegiatannya. Mereka menatap sosok wanita cantik dengan wajah blasteran yang sedang berbincang dengan pegawai di bagian resepsionis. Bisik-bisik mulai terdengar, mulai dari siapa sebenarnya wanita itu dan apa keperluannya datang. Wajahnya yang cantik bak artis papan atas ibukota membuat beberapa lelaki melirik dan terpana. "Apa benar ruangan Pak Juan di lantai atas?""Benar, Mbak. Kalau mau ketemuan, saya akan hubungkan dengan sekretarisnya dulu," jelas resepsionis. "Bilang aja Manda mau ketemu."Mendengar nama itu disebut, resepsionis langsung mengambil gagang telepon dan mendial sebuah nomor. Tak lama, wanita itu dipersilakan ke lantai atas dengan diantar security."Itu tunangannya Pak Juan, ya.""Ya ampun cantik banget kayak model.""Laki-laki kalau tajir ya gitu. Seleranya high class. Bukan yang burik kayak
Juan menggandeng lengan Tara dengan mesra saat memasuki mall. Setelah insiden pendemo yang membuat keributan pagi-pagi dan mengacaukan hari indah mereka sebagai pengantin baru, lelaki itu membawa istrinya keluar. Tara yang awalnya menolak terpaksa harus ikut sekalipun fisiknya tidak memungkinkan. Setelah serangan bertubi-tubi dari Juan, sorenya mereka sepakat untuk jalan-jalan sembari mencari makan. Wanita itu tak banyak bicara karena masih merasa canggung dengan status baru."Pilih aja mana yang kamu mau," ucap Juan sembari mengeluarkan sebuah kartu dan menyerahkannya kepada Tara."Buat apa?""Buat kamu belanja. Terserah mau beli apa.""Buat beli makanan aja. Terus diantar ke rumah sakit," lirih wanita itu.Sekalipun masih beradaptasi karena baru menikah, Tara tetap teringat akan kondisi papanya. Wanita itu sudah mencoba menghubungi mamanya, tetapi tidak diangkat. Namun, Siska sudah memberitahu bahwa uang yang dia titipkan telah diserahkan. Sehingga membuatnya lega."Kalau yang itu
Juan bersiul-siul saat memasuki kamar. Suasana begitu sepi setelah acara akad tadi selesai. Lingkungan perumahan juga sunyi karena weekend. Biasanya para penghuninya akan bepergian keluar kota. Hal itu dia amati setelah beberapa lama tinggal di sini. "Ra, masih lama?"Juan mengetuk pintu kamar mandi karena istrinya tak kunjung keluar. Sejak tadi dia sudah bolak balik ke kamar untuk melihat aktivitas Tara. Namun, sejak satu jam lalu wanita itu tak tampak."Kamu ngapain? Semedi?"Juan kembali mengetuk dengan cukup keras. Itu membuat Tara semakin gemetaran. Wanita itu menggosok tangan untuk menghilangkan gugup. Dia tak berani keluar, takut jika lelaki itu meminta hak."Dia suami kamu, Tara. Jadi kamu harus siap melayaninya. Ingat, biaya operasi bypass itu mahal."Batin dan hatinya berperang sejak tadi. Harusnya Tara membuat semuanya mudah. Toh, ini keinginannya sendiri setelah memikirkan itu cukup lama. Lagipula Juan sudah semakin tampan sekarang. Lihat saja perut kotak-kotaknya yang be
"Saudara Juandar Rahardjo, saya nikahkan engkau dengan pinanganmu Giyanti Ditara dengan mahar sebuah cincin berlian tunai.""Saya terima nikahnya Giyanti Diatara binti Rahadi Usman dengan mahar sebuah cincin berlian tunai." "Gimana para saksi? Apakah sah?""Sah!""Alhamdulillah. Barakallahu laka, wa barakallahu 'alaika, wa jama'a bainakuma fii khair."Juan sudah berlatih satu minggu ini, menghapal sebaris kalimat yang pendek tetapi sangat menegangkan saat diucapkan. Syukurlah ketika tiba saatnya, dia dapat mengucapkan itu dengan fasih. Sementara itu, Tara hanya terdiam sembari menunduk. Seumur hidupnya, wanita itu memimpikan pernikahan yang indah dengan suami yang dicintainya. Sayangnya, Tuhan tidak mengabulkan itu. Tara juga ingin didampingi oleh kedua orang tua. Sekalipun dengan pesta sederhana yang dihadiri teman-teman dan keluarga. Bukan menikah dengan cara begini. Apalagi di bawah tangan, hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis lelaki itu.Tara memeluk Siska, sahabat karibnya