Tara tertegun menatap lembar tagihan sementara yang diberikan oleh pihak rumah sakit. Mereka diminta untuk membayar sebagian dari total yang ada. Gadis itu sudah meminta waktu tenggang sembari memikirkan jalan untuk mencari biayanya. Entah bagaimana, yang pasti dia yakin pasti bisa mendapatkannya.
"Persiapan untuk meeting besok udah selesai?"
Tara tersentak saat melihat Juan yang tiba-tiba saja sudah berada di ruangannya. Dia tak sadar jika lelaki itu masuk karena begitu pusing memikirkan biaya rumah sakit.
"Sedikit lagi, Pak," ucapnya berbohong.
"Coba saya lihat yang ada dulu. Nanti sisanya kamu lanjutin lagi," pinta Juan.
"Itu ... saya belum, Pak."
"Jadi kamu dari tadi ngapain? Ngelamun?" Juan melipat tangan di depan dada dengan tatapan marah.
"Saya bikin sekarang juga, Pak," ucap Tara menyanggupi.
"Sepuluh menit dan semua harus kelar. Saya gak mau tau. Saya juga harus pelajari materinya sebelum mulai presentasi besok," ucap Juan seraya meninggalkan ruangan.
Tara menghela napas lalu mencoba berkonsentrasi. Gadis itu mulai membuka beberapa file dan memasukkan data-datanya ke dalam microsoft power point. Untunglah perutnya sudah kenyang karena mamanya membawakan bekal. Nanti saat jam makan siang, dia akan pergi ke bank untuk menanyakan perihal pinjaman.
"Asem," umpatnya.
Setelah lima belas menit berjalan, Tara mengetuk pintu ruangan Juan. Sebelumnya, gadis itu sudah mengirimkan file ke alamat email lelaki itu agar bisa dipelajari. Jika ada kesalahan, maka dia akan memperbaikinya setelah jam makan siang nanti.
"Ada apa?"
"Saya mau izin keluar sebentar, Pak. Mungkin masuknya lagi agak telat. Habis makan siang saya mau pergi ke suatu tempat," ucap Tara gugup.
"Mau kena? Kalau gak penting-penting banget, baiknya selesaikan dulu kerjaan kamu."
"Ini penting, Pak."
"Urusan apa?"
"Papa saya."
Juan mengangguk dan memberikan izin dengan syarat. Semua persiapan untuk meeting besok harus Tara selesaikan hari ini sekalipun nanti dia akan lembur tanpa dibayar.
***
"Maaf Ibu Tara. Pinjaman yang Ibu ajukan belum bisa kami proses. Di data kami, Ibu masih ada cicilan di bank lain. Sehingga menurut perhitungan sistem ini tidak lolos verifikasi. Gaji Ibu setiap bulannya sudah dipotong sejumlah sekian. Maka tidak mungkin dipotong lagi."
"Sekalipun jaminannya sertifikat rumah?"
"Benar, Ibu. Sekarang zaman sulit. Sejak pandemi melanda, kami sangat selektif meloloskan pinjaman. Jika konsumen macet, kami memang bisa menyita jaminan. Namun, untuk menjualnya lagi juga sulit," jelas pihak bank.
"Saya minta tolong, Pak."
"Saya mau menolong, Ibu. Tapi sebaiknya Ibu lunaskan dulu pinjaman sebelumnya. Kalau sudah lunas, maka ini langsung bisa di acc."
Tara menghela napas panjang. Sudah hampir satu jam dia menunggu dan akhirnya diterima. Gadis itu bahkan belum makan siang sejak tadi. Dia menahan lapar hanya demi memastikan agar permohonannya diloloskan.
"Kalau begitu saya permisi," ucapnya menyerah.
Tara hendak meninggalkan ruangan ketika tiba-tiba saja pihak bank itu mengucapkan sesuatu.
"Saya akan mencoba negosiasi dengan atasan. Tapi gak janji bisa lolos atau gak. Doakan saja."
"Makasih, Pak."
Tara mengangguk, lalu berjalan dengan lemas. Tadinya dia berharap ada kabar baik hari ini. Namun, ternyata semua di luar perkiraan. Gadis itu akhirnya memutuskan untuk mencari makan siang sebelum kembali ke kantor.
***
Juan melirik jam di tangan. Ini sudah hampir pukul enam sore dan Tara belum menyerahkan laporannya sejak tadi. Lelaki itu ingin segera pulang karena Amanda akan berkunjung ke apartemen.
"Ke mana aja, sih? Lama banget," rutuknya.
Mereka sudah lama tidak berjumpa sehingga hari ini ingin menghabiskan malam berdua. Lagipula besok dia akan menyampaikan berita penting. Sehingga lelaki itu butuh penyegaran dengan berduaan bersama kekasihnya.
"Kamu sudah selesai apa belum?" tanya Juan kepada Tara lewat telepon.
"Sedikit lagi, Pak."
"Ini sudah malam. Aku mau pulang."
"Tadi saya salat magrib dulu, Pak."
"Jangan ditunda-tunda, Ra. Aku udah berbaik hati ngasih kamu waktu."
"Tapi materi yang mau dibawakan besok lumayan berat. Saya harus sesuaikan dengan yang Bapak minta."
Tara menggerutu dalam hati. Harusnya Juan yang mengerjakan semua. Dia hanya seorang sekretaris. Tugasnya memang menyiapkan dokumen yang atasannya minta atau membuat janji temu dengan klien.
"Aku tunggu tiga puluh menit lagi. Kalau gak beres juga mending kamu tidur di kantor sekalian."
Juan menutup panggilan dengan kasar. Setelahnya lelaki itu tertawa geli karena berhasil mengerjai Tara. Dia memang sengaja menekan gadis itu agar menyerah. Rasa peansaran saat ditolak dulu menimbulkan dendam di hatinya. Bukan untuk menyakiti gadis itu, tetapi untuk memenangkan egonya sendiri.
Sembari menunggu, Juan membuka laptop dan membuka situs gelap. Lelaki berselancar melihat gaya apa yang akan dia coba malam ini dengan Amanda. Gadis blasteran itu benar-benar membuatnya tergila-gila. Sayang, keluarga besarnya tak setuju sehingga mereka mengadakan pertunangan tanpa restu.
Suara menggoda dari para pemain film gelap itu membuat hasrat Juan bengkit. Dia ingin segera pulang. Apalagi kekasihnya sudah menelepon dan mengatakan bahwa sudah berada di apartemen.
"Manda," lirihnya sembari membayangkan gadis itu.
Juan memejamkan mata saat pikirannya berkelana. Lelaki itu terkejut saat mendengar pintu ruangannya diketuk.
"Saya pamit pulang, Pak. Laporannya sudah saya email," ucap Tara sopan.
Juan mengangguk, lalu tiba-tiba saja berjalan mendekati Tara.
"Aku antar kamu pulang."
"Gak usah, Pak."
"Ini udah malam. Bahaya kamu naik motor sendirian."
"Makasih. Tapi kos saya dekat sini," tolak Tara.
Juan menghadang gadis itu saat hendak keluar. Tangannya meraih pinggang Tara dan merengkuhnya dengan mesra. Sepertinya ini efek dari menonton film gelap tadi, sehingga lelaki itu jadi tergoda.
"Saya mau pulang, Pak," ucap Tara mengelak.
"Tapi bareng. Motor kamu simpan aja di kantor. Besok naik taksi," bujuk Juan.
"Saya lebih baik naik motor daripada pulang sama Bapak," tolak Tara lagi.
Juan terkekeh, lalu mengusap helaian rambut Tara yang berantakan. Sekalipun telah menghabiskan banyak waktu dengan Amanda, tetapi pesona gadis itu tak dapat dilupakan. Dia merasa bahwa Tuhan sangat baik dengan mempertemukan mereka lagi di sini.
"Lepasin, Pak. Ini udah malam."
Tara mencoba melepaskan tangan Juan di pinggangnya. Sementara lelaki itu berusaha merapatkan pelukan. Gadis itu masih meronta ketika terdengar suara teriakan yang berasal dari laptop.
Seketika keduanya terdiam. Juan mengulum senyum sembari menggigit bibir. Hal itu dimanfaatkan Tara untuk mendorong tubuh lelaki itu dengan kuat sehingga terhuyung ke belakang. Gadis itu berlari dengan sekuat tenaga menuju area parkir. Dia melajukan motor dengan kencang agar segera tiba di kos.
"Untung selamat," ucap Tara terengah-engah sembari memasukkan motor ke garasi.
"Dasar gentong sialan. Mentang-mentang udah jadi bos. Maunya seenaknya aja."
Suasana di ruangan begitu tegang karena tim dari pusat ikut hadir dalam meeting kali ini. Juan dengan penuh percaya diri menyampaikan presentasi yang materinya disusun oleh Tara kemarin. Dia menatap gadis itu dengan geram karena telah menolaknya. Lelaki itu begitu kesal karena setiba di apartemen, Amanda sudah pulang karena terlalu lama menunggu."Performa penjualan cabang ini menurun cukup drastis dibanding dengan bulan yang sama tahun lalu. Namun, ini tak mengapa karena saya yakin kita bisa mengejarnya di bulan depan."Semua orang menyimak penjelasan Juan dengan serius. Lelaki ini agak kaku dibanding dengan Andreas yang lebih luwes dan suka bercanda."Saya sendiri masih beradaptasi dengan suasana di kantor ini. Kelak, kita akan mengadakan event-event yang akan mengangkat penjualan. Contohnya ...."Juan kembali memaparkan rencana kerjanya. Ternyata slide presentasi yang disusun oleh Tara hanya bersifat umum. Lelaki itu telah menambahkan beberapa poin penting lainnya untuk melengkapi.
Amanda, si cantik berwajah blasteran itu berjalan tergesa-gesa memasuki rumah sakit. Didampingi oleh supirnya, gadis itu langsung menuju ruangan rawat inap tempat Juan dirawat. Dia begitu khawatir setelah mendapat kabar bahwa kekasihnya mengalami cedera karena suatu insiden. "Honey!" Amanda memeluk Juan yang sedang duduk di ranjang pasien dengan kepala yang dibalut perban. Gadis itu terisak-isak karena melihat kondisi kekasihnya yang menyedihkan."Aku cuma luka di pelipis. Gak usah lebay gitu," ucap Juan risih. Pasalnya di ruangan itu ada papa dan mamanya yang duduk di sofa balik pintu. Namun, sepertinya gadis itu tak menyadarinya. "Kamu kenapa?""Kena pecahan vas bunga," jelas Juan."Kenapa bisa kena? Apa kamu jatuh terus nyenggol vas bunga?"Juan mengangguk lalu memberi kode. Amanda menoleh ke arah yang ditunjuk oleh lelaki itu dan langsung melepaskan pelukan dengan wajah merona. Gadis itu bergegas menghampiri orang tua Juan untuk bersalaman."Hai Om. Tante."Salim Rahardjo menya
Tara tercengang ketika Juan menyentuhnya dengan santai di depan Kartika. Dia segera melepaskan diri dan hendak berpamitan ketika lelaki itu menahannya. "Tante." Tara menyapa Kartika dengan sungkan. Sementara itu, Juan semakin mengeratkan rengkuhannya dan mengambil kesempatan dalam kesempitan. "Mama ngapain balik lagi?" tanya Juan heran. "Hape Mama ketinggalan." Kartika mencari ponsel miliknya di dekat sofa. Benar saja, ternyata benda pipih berwarna hitam itu tergeletak di bawah bantal. "Ya gak usah balik juga. Kan bisa suruh supir ambil ke sini." Kartika mendelik menatap putranya. Wanita itu segera memasukkan ponsel ke dalam tas agar tak kelupaan lagi. "Mama sekalian mau mastiin apa si model itu masih di sini apa gak? Kalian berdua-duaan dari tadi. Mana dia nyosor duluan lagi." Kartika mengucapkan itu dengan kesal. Wanita itu berbicara sembari menatap wajah Tara dengan penasaran. Sejak tadi Juan belum mengenalkan siapa gadis itu. "Manda udah pulang dari tadi. Sekarang aku
"Bukan di sini, tapi di sini."Juan menunjuk bibirnya. Lelaki itu belum puas karena Tara hanya menyentuh pipinya. Itu juga cuma hanya sekali. Padahal dia menginginkan di bagian lain. Mereka sudah resmi berpacaran selama satu minggu, setelah hari itu Juan mentransfer uang kepada Tara. Tentu saja lelaki itu tak mau rugi. Setidaknya impiannya sudah terwujud, yaitu bisa bersama dengan gadis cinta pertamanya. "Aku gak mau!" tolak Tara. Juan menatap wajah cantik itu dengan garang. Rengkuhannya kini bahkan lebih erat, sehingga membuat Tara gemetaran. Dulu Tara pernah berpacaran dengan Rama, hingga akhirnya mereka berpisah karena keadaan. Hanya saja tatapan Juan sangat berbeda. Lelaki itu tampak lebih buas, sehingga membuatnya takut."Kamu pulang aja sekarang. Udah malam," ucap Tara mengalihkan pembicaraan."Kenapa harus pulang? Ini kan rumah aku. Mau nginap juga boleh," pancing lelaki itu. Tara membuang pandangan. Dia sudah tahu bahwa jika Juan akan meminta lebih sebagai kompensasi uang
"Kamu mikirin apa, Sayang?" Tara tersentak saat mamanya bertanya. Sejak tadi dia melamun sembari menatap jendela dengan hampa. Entah dia harus berkata apa jika suatu saat mamanya tahu semua. Bukankah bangkai tetap akan tercium baunya sekalipun sudah disimpan dengan rapat. "Banyak, Ma. Salah satunya tentang kerjaan," jawab gadis itu lemas. "Memangnya kenapa? Kan kerjaan kamu udah bagus. Apa ada masalah di kantor?" tanya Diana. Tara mengangguk, lalu melirik ke arah ranjang pasien di mana papanya tertidur pulas. Selama berada di rumah sakit, ibu tirinya sama sekali tak tampak. Terang saja, wanita itu pasti tak mau mengeluarkan uang untuk biaya pengobatan suaminya. Hanya dia dan mamanya yang setia menunggu. "Coba cerita sama Mama." Kartika duduk di sebelah putrinya dan mencoba mendengarkan. Selama ini Tara memang jarang menceritakan keluh kesahnya. Putrinya menjadi terlalu mandiri setelah kasus yang menimpa Rahadi. Mereka dengan cepat beradaptasi karena cemoohan dan hinaan dari ba
"Saudara Juandar Rahardjo, saya nikahkan engkau dengan pinanganmu Giyanti Ditara dengan mahar sebuah cincin berlian tunai.""Saya terima nikahnya Giyanti Diatara binti Rahadi Usman dengan mahar sebuah cincin berlian tunai." "Gimana para saksi? Apakah sah?""Sah!""Alhamdulillah. Barakallahu laka, wa barakallahu 'alaika, wa jama'a bainakuma fii khair."Juan sudah berlatih satu minggu ini, menghapal sebaris kalimat yang pendek tetapi sangat menegangkan saat diucapkan. Syukurlah ketika tiba saatnya, dia dapat mengucapkan itu dengan fasih. Sementara itu, Tara hanya terdiam sembari menunduk. Seumur hidupnya, wanita itu memimpikan pernikahan yang indah dengan suami yang dicintainya. Sayangnya, Tuhan tidak mengabulkan itu. Tara juga ingin didampingi oleh kedua orang tua. Sekalipun dengan pesta sederhana yang dihadiri teman-teman dan keluarga. Bukan menikah dengan cara begini. Apalagi di bawah tangan, hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis lelaki itu.Tara memeluk Siska, sahabat karibnya
Juan bersiul-siul saat memasuki kamar. Suasana begitu sepi setelah acara akad tadi selesai. Lingkungan perumahan juga sunyi karena weekend. Biasanya para penghuninya akan bepergian keluar kota. Hal itu dia amati setelah beberapa lama tinggal di sini. "Ra, masih lama?"Juan mengetuk pintu kamar mandi karena istrinya tak kunjung keluar. Sejak tadi dia sudah bolak balik ke kamar untuk melihat aktivitas Tara. Namun, sejak satu jam lalu wanita itu tak tampak."Kamu ngapain? Semedi?"Juan kembali mengetuk dengan cukup keras. Itu membuat Tara semakin gemetaran. Wanita itu menggosok tangan untuk menghilangkan gugup. Dia tak berani keluar, takut jika lelaki itu meminta hak."Dia suami kamu, Tara. Jadi kamu harus siap melayaninya. Ingat, biaya operasi bypass itu mahal."Batin dan hatinya berperang sejak tadi. Harusnya Tara membuat semuanya mudah. Toh, ini keinginannya sendiri setelah memikirkan itu cukup lama. Lagipula Juan sudah semakin tampan sekarang. Lihat saja perut kotak-kotaknya yang be
Juan menggandeng lengan Tara dengan mesra saat memasuki mall. Setelah insiden pendemo yang membuat keributan pagi-pagi dan mengacaukan hari indah mereka sebagai pengantin baru, lelaki itu membawa istrinya keluar. Tara yang awalnya menolak terpaksa harus ikut sekalipun fisiknya tidak memungkinkan. Setelah serangan bertubi-tubi dari Juan, sorenya mereka sepakat untuk jalan-jalan sembari mencari makan. Wanita itu tak banyak bicara karena masih merasa canggung dengan status baru."Pilih aja mana yang kamu mau," ucap Juan sembari mengeluarkan sebuah kartu dan menyerahkannya kepada Tara."Buat apa?""Buat kamu belanja. Terserah mau beli apa.""Buat beli makanan aja. Terus diantar ke rumah sakit," lirih wanita itu.Sekalipun masih beradaptasi karena baru menikah, Tara tetap teringat akan kondisi papanya. Wanita itu sudah mencoba menghubungi mamanya, tetapi tidak diangkat. Namun, Siska sudah memberitahu bahwa uang yang dia titipkan telah diserahkan. Sehingga membuatnya lega."Kalau yang itu
"Sakit?" tanya Juan sembari mengganti perban yang menempel di kaki istrinya."Sakit banget."Tara menjawabnya di antara tetesan air mata. Sebagai anak tunggal yang terlahir dari keluarga kaya, wanita itu tentulah manja. Hanya saja, kesulitan hidup setelah papanya di penjara, membuat Tara menjadi wanita mandiri dan keras. Namun, semua runtuh ketika lengan hangat Juan merengkuhnya. "Kamu kenapa bisa sampai kayak gini?"Juan memeriksa tubuh istrinya. Lelaki itu tampak begitu khawatir sehingga terlihat panik. "Disenggol orang pas aku mau nyebrang."Tara menatap Juan yang masih sibuk memeriksa kakinya. Lelaki itu bahkan mengusap pipinya dan kembali memeluk karena iba. "Memangnya kamu dari mana?""Salon. Tapi gak jadi treatment. Soalnya--"Ucapan Tara menggantung karena teringat akan Amanda. Dia tak mau bercerita kepada Juan tentang kejadian tadi siang.Pernikahan mereka hanya untuk sementara. Jadi, Tara tak mau menjelekkan kekasih suaminya. "Soalnya?""Gak apa-apa. Cuma sayang uang,"
Tara meninggalkan salon dengan perasaan berkecamuk di dada. Dia membatalkan perawatan di salon dan memilih untuk pulang. Perlakuan Amanda tadi membuatnya malu bukan kepalang. Wanita itu hendak mengadu kepada Juan, tetapi niatnya urung. Motornya melaju membelah jalanan ibu kota yang cuacanya mendung hari ini. Rintik hujan mulai turun walaupun tidak deras. Tara memelankan laju motor dan mencari tempat berteduh. Jika dilanjutkan, maka sepertinya dia akan kebasahan. Salahnya sendiri tadi tidak membawa mobil yang Juan berikan. Wanita itu terlalu gengsi untuk memakai semua fasilitas yang suaminya berikan. Sepanjang perjalanan, matanya menangkap sebuah kafe baru di arah seberang. Tara hendak berbelok dan menyalakan lampu sein dengan cepat. Sayangnya, wanita itu hanya fokus pada kendaraan yang lewat di depannya dan mengabaikan yang berada di belakang. Saat Tara begitu yakin bahwa lalu lintas sudah sepi, wanita itu langsung berbelok. Naas, sebuah mobil menyenggol motor hingga wanita itu t
Tara terbelalak saat lampu tiba-tiba saja menyala. Juan berdiri dengan gagah sembari menyelipkan kedua tangannya di saku celana. Tatapan lelaki itu begitu dingin saat melihat istrinya. "Dari mana aja kamu?" "Bukan urusan kamu." Tara menjawab pertanyaan itu dengan ketus. Dia masih sakit hati karena dipecat dari kantor. Padahal wanita itu masih berharap bisa berada di sana untuk jangka waktu yang lama. "Kenapa pesan aku gak dibalas?" "Aku lagi ngobrol sama Mama." Juan berjalan mendekati istrinya hingga kini posisi mereka berhadap-hadapan dalam jarak yang dekat. "Kenapa gak bilang aja yang sebenarnya?" Tara mengangkat wajah dan menatap suaminya dengan lekat. Hal itu membuat jantung Juan berdebar. Sejak dulu, hal itulah yang selalu dia rasakan setiap kali pandangan mereka bertautan, sekalipun tak sengaja. "Sampai kapanpun aku gak akan bilang ke mereka tentang hubungan kita." Tara hendak berjalan menuju kamar ketika lengannya dicekal lembut. Juan bahkan tanpa sungkan memeluk wan
Tara memarkir motor di halaman rumah dengan gugup. Awalnya dia masih ragu untuk berkunjung, jika sang mama masih bersikap sama. Namun, wanita itu lebih mengkhawatirkan kesehatan papanya sehingga nekat datang. Tara pergi diam-diam tanpa memberitahu Juan. Setelah hengkang dari kantor, selama beberapa hari ini mereka tak bertemu. Wanita itu tahu jika sang suami sedang bersama kekasihnya. Jadi, dia memilih untuk tidak mengganggu. "Tumben kamu pulang," ucap Diana saat melihat Tara memasuki rumah."Memangnya aku gak boleh datang ke rumah sendiri?" balas Tara. "Ya boleh aja. Mama kan cuma tanya," lanjut Diana. Wanita itu sejak tadi sibuk merangkai bunga dan meletakkannya di vas. Kini, ruang tamunya menjadi semakin rapi. "Papa mana, Ma?" tanya Tara saat tak melihat sosok Rahadi setelah berkeliling rumah. "Di taman belakang. Lagi lihat burung," jelas Diana."Kapan Papa pelihara burung?""Sejak pulang dari rumah sakit. Papa kesepian. Anaknya gak muncul-muncul juga."Tara tertegun dan meras
Juan menatap Tara dengan lekat. Semenjak mereka bertengkar, suasana benar-benar menjadi tak nyaman. Ditambah dengan kedatangan Amanda yang membuat semua semakin runyam.Tara lebih banyak diam, tidak bawel atau marah-marah seperti biasa. Bahkan itu berlangsung hingga hari ini. Saat dia memerintahkan agar wanita itu segera mengosongkan ruangan. "Aku pesenin taksi, ya."Juan mencoba membujuk Tara saat melihatnya sedang sibuk memasukkan barang-barang ke dalam boks. Wanita itu menyelesaikannya dalam diam dengan bibir ditekuk.Kali ini Tara marah bukan karena kehilangan pekerjaan. Namun, hatinya panas ketika Amanda datang dan berduaan dengan Juan. Sehingga dia meninggalkan kantor sampai wanita itu pulang. Tara merasa lebih kesal lagi, saat pulang ke rumah, Juan tampak begitu santai seperti tanpa dosa. Padahal dia tahu apa yang sudah mereka perbuat kemarin di ruangan. "Ra--""Aku pakai motor aja. Biar cepat. Lagian barang-barang ini juga mau aku kasihkan ke bagian administrasi. Aku keluar
Suara ketukan sepatu yang berasal dari heels setinggi 9 senti meter menggema di kantor pagi ini. Beberapa karyawan yang sedang melakukan aktivitas tiba-tiba saja menghentikan kegiatannya. Mereka menatap sosok wanita cantik dengan wajah blasteran yang sedang berbincang dengan pegawai di bagian resepsionis. Bisik-bisik mulai terdengar, mulai dari siapa sebenarnya wanita itu dan apa keperluannya datang. Wajahnya yang cantik bak artis papan atas ibukota membuat beberapa lelaki melirik dan terpana. "Apa benar ruangan Pak Juan di lantai atas?""Benar, Mbak. Kalau mau ketemuan, saya akan hubungkan dengan sekretarisnya dulu," jelas resepsionis. "Bilang aja Manda mau ketemu."Mendengar nama itu disebut, resepsionis langsung mengambil gagang telepon dan mendial sebuah nomor. Tak lama, wanita itu dipersilakan ke lantai atas dengan diantar security."Itu tunangannya Pak Juan, ya.""Ya ampun cantik banget kayak model.""Laki-laki kalau tajir ya gitu. Seleranya high class. Bukan yang burik kayak
Juan menggandeng lengan Tara dengan mesra saat memasuki mall. Setelah insiden pendemo yang membuat keributan pagi-pagi dan mengacaukan hari indah mereka sebagai pengantin baru, lelaki itu membawa istrinya keluar. Tara yang awalnya menolak terpaksa harus ikut sekalipun fisiknya tidak memungkinkan. Setelah serangan bertubi-tubi dari Juan, sorenya mereka sepakat untuk jalan-jalan sembari mencari makan. Wanita itu tak banyak bicara karena masih merasa canggung dengan status baru."Pilih aja mana yang kamu mau," ucap Juan sembari mengeluarkan sebuah kartu dan menyerahkannya kepada Tara."Buat apa?""Buat kamu belanja. Terserah mau beli apa.""Buat beli makanan aja. Terus diantar ke rumah sakit," lirih wanita itu.Sekalipun masih beradaptasi karena baru menikah, Tara tetap teringat akan kondisi papanya. Wanita itu sudah mencoba menghubungi mamanya, tetapi tidak diangkat. Namun, Siska sudah memberitahu bahwa uang yang dia titipkan telah diserahkan. Sehingga membuatnya lega."Kalau yang itu
Juan bersiul-siul saat memasuki kamar. Suasana begitu sepi setelah acara akad tadi selesai. Lingkungan perumahan juga sunyi karena weekend. Biasanya para penghuninya akan bepergian keluar kota. Hal itu dia amati setelah beberapa lama tinggal di sini. "Ra, masih lama?"Juan mengetuk pintu kamar mandi karena istrinya tak kunjung keluar. Sejak tadi dia sudah bolak balik ke kamar untuk melihat aktivitas Tara. Namun, sejak satu jam lalu wanita itu tak tampak."Kamu ngapain? Semedi?"Juan kembali mengetuk dengan cukup keras. Itu membuat Tara semakin gemetaran. Wanita itu menggosok tangan untuk menghilangkan gugup. Dia tak berani keluar, takut jika lelaki itu meminta hak."Dia suami kamu, Tara. Jadi kamu harus siap melayaninya. Ingat, biaya operasi bypass itu mahal."Batin dan hatinya berperang sejak tadi. Harusnya Tara membuat semuanya mudah. Toh, ini keinginannya sendiri setelah memikirkan itu cukup lama. Lagipula Juan sudah semakin tampan sekarang. Lihat saja perut kotak-kotaknya yang be
"Saudara Juandar Rahardjo, saya nikahkan engkau dengan pinanganmu Giyanti Ditara dengan mahar sebuah cincin berlian tunai.""Saya terima nikahnya Giyanti Diatara binti Rahadi Usman dengan mahar sebuah cincin berlian tunai." "Gimana para saksi? Apakah sah?""Sah!""Alhamdulillah. Barakallahu laka, wa barakallahu 'alaika, wa jama'a bainakuma fii khair."Juan sudah berlatih satu minggu ini, menghapal sebaris kalimat yang pendek tetapi sangat menegangkan saat diucapkan. Syukurlah ketika tiba saatnya, dia dapat mengucapkan itu dengan fasih. Sementara itu, Tara hanya terdiam sembari menunduk. Seumur hidupnya, wanita itu memimpikan pernikahan yang indah dengan suami yang dicintainya. Sayangnya, Tuhan tidak mengabulkan itu. Tara juga ingin didampingi oleh kedua orang tua. Sekalipun dengan pesta sederhana yang dihadiri teman-teman dan keluarga. Bukan menikah dengan cara begini. Apalagi di bawah tangan, hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis lelaki itu.Tara memeluk Siska, sahabat karibnya