Hai maaf aku lama gak update. Mulai hari ini aku akan update secara berkala hingga tamat ya.
"Sakit?" tanya Juan sembari mengganti perban yang menempel di kaki istrinya."Sakit banget."Tara menjawabnya di antara tetesan air mata. Sebagai anak tunggal yang terlahir dari keluarga kaya, wanita itu tentulah manja. Hanya saja, kesulitan hidup setelah papanya di penjara, membuat Tara menjadi wanita mandiri dan keras. Namun, semua runtuh ketika lengan hangat Juan merengkuhnya. "Kamu kenapa bisa sampai kayak gini?"Juan memeriksa tubuh istrinya. Lelaki itu tampak begitu khawatir sehingga terlihat panik. "Disenggol orang pas aku mau nyebrang."Tara menatap Juan yang masih sibuk memeriksa kakinya. Lelaki itu bahkan mengusap pipinya dan kembali memeluk karena iba. "Memangnya kamu dari mana?""Salon. Tapi gak jadi treatment. Soalnya--"Ucapan Tara menggantung karena teringat akan Amanda. Dia tak mau bercerita kepada Juan tentang kejadian tadi siang.Pernikahan mereka hanya untuk sementara. Jadi, Tara tak mau menjelekkan kekasih suaminya. "Soalnya?""Gak apa-apa. Cuma sayang uang,"
"Hai, Ra. Long time no see."Tara terkejut saat lelaki itu berbalik dan menyapa. Wanita itu mengernyitkan dahi dan mencoba mengingat apakah mereka pernah bertemu sebelumnya. Lalu, wajahnya memucat saat menyadari siapa sosok di depannya sekarang."Kamu lupa ya?" tanya lelaki itu. "Kamu--""Si gentong yang pernah ditolak mentah-mentah waktu upacara bendera." Tara tercengang lalu membuang pandangan. Wanita itu menggosok kedua telapak tangan untuk menghilangkan gugup. Kini posisinya menjadi serba salah. Ingin meninggalkan ruangan itu tetapi tak bisa. "Pak Juan," sapa Tara canggung."Gak usah formal. Panggil Juan aja. Gentong juga boleh."Juan menyeringai saat menatap sosok di didepannya. Tara masih sama seperti dulu, cantik dan anggun. Gadis itu terlahir ningrat sehingga auranya berbeda. Sekalipun saat ini kondisi ekonominya sedang sulit."Itu kurang sopan. Bapak atasan saya," ucap Tara gelisah.Juan mengulum senyum, lalu berjalan menuju sofa. Lelaki itu sengaja membiarkan Tara tetap be
"Terima, terima, terima!"Tara menatap sekeliling, kepada ratusan siswa yang sedang bertepuk tangan dan bersorak riuh. Tara menjadi gelagapan dan tak tahu harus berbuat apa.Di hadapan Tara, kini sedang bersimpuh seorang anak lelaki yang sedang mengulurkan sebuket mawar. Harusnya mereka sudah bubar sejak tadi karena upacara hari ini telah selesai. Sayangnya, ada interupsi dari ketua OSIS mereka agar semua orang tetap di tempat, kecuali para guru."Kalau lo terima gue, lo ambil mawarnya. Tapi kalau lo nolak, buang aja," ucap anak lelaki itu yakin.Tara kembali menoleh ke belakang. Di antara ratusan murid yang bersorak agar dia menerimanya, ada satu sosok yang memilih diam sembari melipat tangan di dada. Dia adalah Rama, ketua tim basket yang sedang dekat dengannya."Juan, gue--""Lo tau kan perasaan gue dari dulu gimana," lirih Juan. Kakinya sudah sakit sejak tadi karena menahan bobot tubuh yang berat dengan bertumpu pada satu kaki."Tapi jangan gini juga."Tara menjadi serba salah. J
Juan menatap dua orang yang duduk di depannya dengan tajam. Sejak tadi lelaki itu sudah mamaparkan bukti-bukti yang ada sehingga mereka tak bisa berkutik."Tolong kalian jelaskan ini semua.""Maaf, Pak. Ini memang kesalahan kami. Tapi kami hanya menerima perintah," sesal kepala divisi keuangan. "Tapi kalian ikut menikmatinya, kan?" sindir Juan pedas.Dua orang itu tertunduk lesu. Pasrah jika memang harus dipecat karena kesalahan itu. "Saya hanya ingin tahu. Selain Andreas dan kalian berdua, siapa lagi yang menikmati aliran dana ini?"Sebenarnya sudah sejak beberapa bulan yang lalu, Juan melakukan penyelidikan sebelum memegang cabang ini secara resmi. Lelaki itu mengutus tim audit dari luar untuk memantau perkembangannya. Ada banyak hal yang janggal terutama mengenai laporan keuangan. Ada beberapa kebijakan baku dari perusahaan mengenai proses pembayaran. Misalnya tentang gaji, tunjangan jabatan, bonus dan biaya kesehatan karyawan. Namun, untuk program kerja seperti event, rekruitme
Tara melempar gelas untuk melampiaskan kekesalannya. Gadis itu bahkan tak peduli jika pecahannya bisa membahayakan. Ucapan dan sikap Juan tadi benar-benar keterlaluan. Tara mengambil sebotol air mineral, lalu duduk di kursi dengan napas naik turun. Emosinya belum mereda. Gadis itu bahkan masih teringat akan perbincangan mereka tadi."Jadi pacar aku, Ra. Dan kamu bakal dapat pengecualian .""Kalau saya gak mau?""Siap-siap angkat kaki dari sini," ancam Juan. "Siapa takut!""Ternyata buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Bapak dan anak sama-sama suka ngembat uang haram!"Mendengar hinaan itu, Tara hendak menampar Juan. Sayangnya sebelum itu terjadi, lengannya dicekal erat oleh lelaki itu.Entah bagaimana tiba-tiba saja tubuhnya sudah berada di dalam rengkuan Juan. Tara berusaha melepaskan diri. Namun, cengkeraman lelaki itu begitu kuat."Jaga mulut kamu, ya!" ucap Tara tak terima. Kini dia sudah tak sudi memanggil Juan dengan sebutan 'bapak' lagi. "Aku bicara fakta, Ra.""Papa aku lagi
Satu jam setelah Tara mengirimkan foto papanya dirawat, suasana di kantor menjadi heboh. Sebagian karyawan berinisiatif mengumpulkan dana seikhlasnya untuk membantu gadis itu. Sementara itu, Juan mengamuk karena teleponnya sejak tadi tak dijawab oleh sang sekretaris. Dia bergegas keluar dan menjadi geram saat mendapati gadis itu tidak ada di ruangannya."Tara mana?" tanya Juan saat berkunjung ke bagian administrasi."Tadi info dari HRD, Mbak Tara izin ke rumah sakit.""Ada apa?""Papanya kena serangan jantung. Sekarang lagi koma, Pak. Pulang nanti kami mau ke sana buat besuk. Sekalian mau antar uang bantuan.""Apa saya sudah memerintahkan untuk mengumpulkan dana? Saya aja baru tau kalau papanya sakit," protes Juan."Ini ini cuma inisatitif dari kami, Pak. Kasihan Mbak Tara kan hidupnya susah," jelas yang lain. "Papanya Tara dirawat di rumah sakit mana?"Staf administrasi itu menyebutkan salah satu nama rumah sakit yang letaknya agak jauh dari kantor mereka. Setelah mendapatkan penj
Tara tertegun menatap lembar tagihan sementara yang diberikan oleh pihak rumah sakit. Mereka diminta untuk membayar sebagian dari total yang ada. Gadis itu sudah meminta waktu tenggang sembari memikirkan jalan untuk mencari biayanya. Entah bagaimana, yang pasti dia yakin pasti bisa mendapatkannya."Persiapan untuk meeting besok udah selesai?" Tara tersentak saat melihat Juan yang tiba-tiba saja sudah berada di ruangannya. Dia tak sadar jika lelaki itu masuk karena begitu pusing memikirkan biaya rumah sakit. "Sedikit lagi, Pak," ucapnya berbohong."Coba saya lihat yang ada dulu. Nanti sisanya kamu lanjutin lagi," pinta Juan."Itu ... saya belum, Pak.""Jadi kamu dari tadi ngapain? Ngelamun?" Juan melipat tangan di depan dada dengan tatapan marah. "Saya bikin sekarang juga, Pak," ucap Tara menyanggupi. "Sepuluh menit dan semua harus kelar. Saya gak mau tau. Saya juga harus pelajari materinya sebelum mulai presentasi besok," ucap Juan seraya meninggalkan ruangan.Tara menghela napas
Suasana di ruangan begitu tegang karena tim dari pusat ikut hadir dalam meeting kali ini. Juan dengan penuh percaya diri menyampaikan presentasi yang materinya disusun oleh Tara kemarin. Dia menatap gadis itu dengan geram karena telah menolaknya. Lelaki itu begitu kesal karena setiba di apartemen, Amanda sudah pulang karena terlalu lama menunggu."Performa penjualan cabang ini menurun cukup drastis dibanding dengan bulan yang sama tahun lalu. Namun, ini tak mengapa karena saya yakin kita bisa mengejarnya di bulan depan."Semua orang menyimak penjelasan Juan dengan serius. Lelaki ini agak kaku dibanding dengan Andreas yang lebih luwes dan suka bercanda."Saya sendiri masih beradaptasi dengan suasana di kantor ini. Kelak, kita akan mengadakan event-event yang akan mengangkat penjualan. Contohnya ...."Juan kembali memaparkan rencana kerjanya. Ternyata slide presentasi yang disusun oleh Tara hanya bersifat umum. Lelaki itu telah menambahkan beberapa poin penting lainnya untuk melengkapi.
"Sakit?" tanya Juan sembari mengganti perban yang menempel di kaki istrinya."Sakit banget."Tara menjawabnya di antara tetesan air mata. Sebagai anak tunggal yang terlahir dari keluarga kaya, wanita itu tentulah manja. Hanya saja, kesulitan hidup setelah papanya di penjara, membuat Tara menjadi wanita mandiri dan keras. Namun, semua runtuh ketika lengan hangat Juan merengkuhnya. "Kamu kenapa bisa sampai kayak gini?"Juan memeriksa tubuh istrinya. Lelaki itu tampak begitu khawatir sehingga terlihat panik. "Disenggol orang pas aku mau nyebrang."Tara menatap Juan yang masih sibuk memeriksa kakinya. Lelaki itu bahkan mengusap pipinya dan kembali memeluk karena iba. "Memangnya kamu dari mana?""Salon. Tapi gak jadi treatment. Soalnya--"Ucapan Tara menggantung karena teringat akan Amanda. Dia tak mau bercerita kepada Juan tentang kejadian tadi siang.Pernikahan mereka hanya untuk sementara. Jadi, Tara tak mau menjelekkan kekasih suaminya. "Soalnya?""Gak apa-apa. Cuma sayang uang,"
Tara meninggalkan salon dengan perasaan berkecamuk di dada. Dia membatalkan perawatan di salon dan memilih untuk pulang. Perlakuan Amanda tadi membuatnya malu bukan kepalang. Wanita itu hendak mengadu kepada Juan, tetapi niatnya urung. Motornya melaju membelah jalanan ibu kota yang cuacanya mendung hari ini. Rintik hujan mulai turun walaupun tidak deras. Tara memelankan laju motor dan mencari tempat berteduh. Jika dilanjutkan, maka sepertinya dia akan kebasahan. Salahnya sendiri tadi tidak membawa mobil yang Juan berikan. Wanita itu terlalu gengsi untuk memakai semua fasilitas yang suaminya berikan. Sepanjang perjalanan, matanya menangkap sebuah kafe baru di arah seberang. Tara hendak berbelok dan menyalakan lampu sein dengan cepat. Sayangnya, wanita itu hanya fokus pada kendaraan yang lewat di depannya dan mengabaikan yang berada di belakang. Saat Tara begitu yakin bahwa lalu lintas sudah sepi, wanita itu langsung berbelok. Naas, sebuah mobil menyenggol motor hingga wanita itu t
Tara terbelalak saat lampu tiba-tiba saja menyala. Juan berdiri dengan gagah sembari menyelipkan kedua tangannya di saku celana. Tatapan lelaki itu begitu dingin saat melihat istrinya. "Dari mana aja kamu?" "Bukan urusan kamu." Tara menjawab pertanyaan itu dengan ketus. Dia masih sakit hati karena dipecat dari kantor. Padahal wanita itu masih berharap bisa berada di sana untuk jangka waktu yang lama. "Kenapa pesan aku gak dibalas?" "Aku lagi ngobrol sama Mama." Juan berjalan mendekati istrinya hingga kini posisi mereka berhadap-hadapan dalam jarak yang dekat. "Kenapa gak bilang aja yang sebenarnya?" Tara mengangkat wajah dan menatap suaminya dengan lekat. Hal itu membuat jantung Juan berdebar. Sejak dulu, hal itulah yang selalu dia rasakan setiap kali pandangan mereka bertautan, sekalipun tak sengaja. "Sampai kapanpun aku gak akan bilang ke mereka tentang hubungan kita." Tara hendak berjalan menuju kamar ketika lengannya dicekal lembut. Juan bahkan tanpa sungkan memeluk wan
Tara memarkir motor di halaman rumah dengan gugup. Awalnya dia masih ragu untuk berkunjung, jika sang mama masih bersikap sama. Namun, wanita itu lebih mengkhawatirkan kesehatan papanya sehingga nekat datang. Tara pergi diam-diam tanpa memberitahu Juan. Setelah hengkang dari kantor, selama beberapa hari ini mereka tak bertemu. Wanita itu tahu jika sang suami sedang bersama kekasihnya. Jadi, dia memilih untuk tidak mengganggu. "Tumben kamu pulang," ucap Diana saat melihat Tara memasuki rumah."Memangnya aku gak boleh datang ke rumah sendiri?" balas Tara. "Ya boleh aja. Mama kan cuma tanya," lanjut Diana. Wanita itu sejak tadi sibuk merangkai bunga dan meletakkannya di vas. Kini, ruang tamunya menjadi semakin rapi. "Papa mana, Ma?" tanya Tara saat tak melihat sosok Rahadi setelah berkeliling rumah. "Di taman belakang. Lagi lihat burung," jelas Diana."Kapan Papa pelihara burung?""Sejak pulang dari rumah sakit. Papa kesepian. Anaknya gak muncul-muncul juga."Tara tertegun dan meras
Juan menatap Tara dengan lekat. Semenjak mereka bertengkar, suasana benar-benar menjadi tak nyaman. Ditambah dengan kedatangan Amanda yang membuat semua semakin runyam.Tara lebih banyak diam, tidak bawel atau marah-marah seperti biasa. Bahkan itu berlangsung hingga hari ini. Saat dia memerintahkan agar wanita itu segera mengosongkan ruangan. "Aku pesenin taksi, ya."Juan mencoba membujuk Tara saat melihatnya sedang sibuk memasukkan barang-barang ke dalam boks. Wanita itu menyelesaikannya dalam diam dengan bibir ditekuk.Kali ini Tara marah bukan karena kehilangan pekerjaan. Namun, hatinya panas ketika Amanda datang dan berduaan dengan Juan. Sehingga dia meninggalkan kantor sampai wanita itu pulang. Tara merasa lebih kesal lagi, saat pulang ke rumah, Juan tampak begitu santai seperti tanpa dosa. Padahal dia tahu apa yang sudah mereka perbuat kemarin di ruangan. "Ra--""Aku pakai motor aja. Biar cepat. Lagian barang-barang ini juga mau aku kasihkan ke bagian administrasi. Aku keluar
Suara ketukan sepatu yang berasal dari heels setinggi 9 senti meter menggema di kantor pagi ini. Beberapa karyawan yang sedang melakukan aktivitas tiba-tiba saja menghentikan kegiatannya. Mereka menatap sosok wanita cantik dengan wajah blasteran yang sedang berbincang dengan pegawai di bagian resepsionis. Bisik-bisik mulai terdengar, mulai dari siapa sebenarnya wanita itu dan apa keperluannya datang. Wajahnya yang cantik bak artis papan atas ibukota membuat beberapa lelaki melirik dan terpana. "Apa benar ruangan Pak Juan di lantai atas?""Benar, Mbak. Kalau mau ketemuan, saya akan hubungkan dengan sekretarisnya dulu," jelas resepsionis. "Bilang aja Manda mau ketemu."Mendengar nama itu disebut, resepsionis langsung mengambil gagang telepon dan mendial sebuah nomor. Tak lama, wanita itu dipersilakan ke lantai atas dengan diantar security."Itu tunangannya Pak Juan, ya.""Ya ampun cantik banget kayak model.""Laki-laki kalau tajir ya gitu. Seleranya high class. Bukan yang burik kayak
Juan menggandeng lengan Tara dengan mesra saat memasuki mall. Setelah insiden pendemo yang membuat keributan pagi-pagi dan mengacaukan hari indah mereka sebagai pengantin baru, lelaki itu membawa istrinya keluar. Tara yang awalnya menolak terpaksa harus ikut sekalipun fisiknya tidak memungkinkan. Setelah serangan bertubi-tubi dari Juan, sorenya mereka sepakat untuk jalan-jalan sembari mencari makan. Wanita itu tak banyak bicara karena masih merasa canggung dengan status baru."Pilih aja mana yang kamu mau," ucap Juan sembari mengeluarkan sebuah kartu dan menyerahkannya kepada Tara."Buat apa?""Buat kamu belanja. Terserah mau beli apa.""Buat beli makanan aja. Terus diantar ke rumah sakit," lirih wanita itu.Sekalipun masih beradaptasi karena baru menikah, Tara tetap teringat akan kondisi papanya. Wanita itu sudah mencoba menghubungi mamanya, tetapi tidak diangkat. Namun, Siska sudah memberitahu bahwa uang yang dia titipkan telah diserahkan. Sehingga membuatnya lega."Kalau yang itu
Juan bersiul-siul saat memasuki kamar. Suasana begitu sepi setelah acara akad tadi selesai. Lingkungan perumahan juga sunyi karena weekend. Biasanya para penghuninya akan bepergian keluar kota. Hal itu dia amati setelah beberapa lama tinggal di sini. "Ra, masih lama?"Juan mengetuk pintu kamar mandi karena istrinya tak kunjung keluar. Sejak tadi dia sudah bolak balik ke kamar untuk melihat aktivitas Tara. Namun, sejak satu jam lalu wanita itu tak tampak."Kamu ngapain? Semedi?"Juan kembali mengetuk dengan cukup keras. Itu membuat Tara semakin gemetaran. Wanita itu menggosok tangan untuk menghilangkan gugup. Dia tak berani keluar, takut jika lelaki itu meminta hak."Dia suami kamu, Tara. Jadi kamu harus siap melayaninya. Ingat, biaya operasi bypass itu mahal."Batin dan hatinya berperang sejak tadi. Harusnya Tara membuat semuanya mudah. Toh, ini keinginannya sendiri setelah memikirkan itu cukup lama. Lagipula Juan sudah semakin tampan sekarang. Lihat saja perut kotak-kotaknya yang be
"Saudara Juandar Rahardjo, saya nikahkan engkau dengan pinanganmu Giyanti Ditara dengan mahar sebuah cincin berlian tunai.""Saya terima nikahnya Giyanti Diatara binti Rahadi Usman dengan mahar sebuah cincin berlian tunai." "Gimana para saksi? Apakah sah?""Sah!""Alhamdulillah. Barakallahu laka, wa barakallahu 'alaika, wa jama'a bainakuma fii khair."Juan sudah berlatih satu minggu ini, menghapal sebaris kalimat yang pendek tetapi sangat menegangkan saat diucapkan. Syukurlah ketika tiba saatnya, dia dapat mengucapkan itu dengan fasih. Sementara itu, Tara hanya terdiam sembari menunduk. Seumur hidupnya, wanita itu memimpikan pernikahan yang indah dengan suami yang dicintainya. Sayangnya, Tuhan tidak mengabulkan itu. Tara juga ingin didampingi oleh kedua orang tua. Sekalipun dengan pesta sederhana yang dihadiri teman-teman dan keluarga. Bukan menikah dengan cara begini. Apalagi di bawah tangan, hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis lelaki itu.Tara memeluk Siska, sahabat karibnya