Sabrina mengenakan kebaya modern berwarna abu-abu dan jilbab purple, sedangkan Dinar mengenakan gamis berwarna putih yang diberi oleh Dirham kemarin malam, Sabrina sekarang sedang merias wajah Dinar agar tampak segar dan cantik, hanya riasan natural saja sudah cukup menampakkan kecantikannya, jam sudah menunjukkan pukul 5 sore, Dinar berdebar-debar dari tadi, setelah acara akad nikahnya selesai dia akan bergelar sebagai seorang istri.
Terdengar beberapa kali keluhan keluar dari bibirnya, Sabrina menghentikan kerja tangannya yang sedang memakaikan eyeshadow di kelopak mata Dinar.
“Di, yakinkan dirimu kalau ini memang jalan yang benar, tidak ada waktu lagi untuk mundur.”
Sentuhan terakhir yaitu lipstik berwarna pink muda, bibir mungil itu terlihat begitu ranum dan menggoda.
“Wow, mempelainya cakep amat. Pasti lelaki itu akan tergila-gila sama kamu, Di.”
“Omong kosong! dia kan cuma inginkan anaknya.
Entah kenapa airmata Dinar jatuh berlinang, dia sedih dan terluka, dia ingat ibunya, dia ingat almarhum ayahnya, juga Arfa yang kini terbaring lemah, mereka semua pasti marah andai tahu apa yang sudah diperbuatnya. “Tidak perlu menangis, Di. bukankah ini yang seharusnya terjadi, anakku akan memiliki status yang jelas seperti anak pada umumnya, dia akan selalu bersamaku, dan adikmu memperoleh pengobatan bagus di rumah sakit terbaik.” Dinar seperti disambar petir mendengar ucapan dari bibir lelaki yang baru saja menjadi suaminya. Dirham tersenyum sinis padanya, rahasia yang disembunyikan sudah terkuak. Rahasia yang tidak pernah diceritakan pada siapapun kecuali Sabrina. “Aku hanya tidak menyangka, kau gunakan anakku untuk pengobatan adikmu, kau seolah jual anakku, ibu macam apa kau ini, Di. Sungguh tidak kusangka, anak kandungmu bahkan tidak berharga sama sekali buatmu. Apa tidak ada rasa sayang sedikitpun di hatimu untuknya?
Dinar kaku tidak bergerak sama sekali, mencoba mencerna ucapan Dirham barusan. Melihat wajah istri yang baru dinikahi itu tegang, membuat Dirham tertawa sambil memegangi perutnya. Wajah tegang dan takut Dinar tampak lucu di matanya, dimanakah gadis bar-bar beberapa hari lalu pergi? “Aku.., tapi.. ” Dinar terbata-bata. “Susun bajumu di lemari itu, Sayang. Malam ini ku biarkan kamu istirahat cukup dulu tapi tidak untuk esok.” Dekat! bisikan Dirham sangat dekat di telinganya. Membuat jantung Dinar seperti ingin melompat keluar. Bulu kuduknya berdiri. Dirham hendak melangkah keluar. “Tunggu! Apa tidak sebaiknya aku tidur di.. emmm di kamar lain?” langkah Dirham terhenti. Tangannya tidak jadi membuka pintu. Dia menoleh dan memandang wajah istrinya yang masih menunduk tidak berani menatapnya. “Nggak! Di rumah ini hanya ada beberapa kamar dan itu semua sudah ada yang nempatin.” “Kamar tamu, aku
Dinar menggeliat ketika merasakan ada sesuatu yang menjalar di kulit wajahnya, dari alis, mata, pipi, dan sekarang bibirnya seperti ada sesuatu yang berjalan menyelusuri wajahnya, dia membuka mata lebar ketika dia merasa bibirnya diusap dengan jari, Dinar reflek menarik kepalanya kebelakang serta merta karena melihat wajah Dirham begitu dekat dengan wajahnya, rupanya jari tangan Dirham yang tadi mengganggu tidurnya. Dugh “Auh.” Dinar mengaduh kesakitan karena kepalanya terhantuk kepala ranjang. Tangannya memegang kepalanya yang sakit. Tangan Dirham spontan menarik kepala istrinya dan menggosok di daerah yang terhantuk tadi. “Hati-hati.” bisik Dirham pelan. “Kau, kau mau ngapain?” “Tadi ada laba-laba di mukamu, aku mau mengusirnya, tapi kamu keburu bangun.” Dirham memegang belakang kepalanya, menutupi rasa grogi karena ketahuan. ‘Mana ada laba-laba disini, seda
Deburan ombak dini hari membangunkan Dinar dari tidur panjang, tadi malam tidurnya begitu nyenyak, sudah beberapa bulan sejak mengetahui kalau dia berbadan dua tidur malamnya tidak pernah pulas dan tenang, selalu dihantui dengan bayangan-bayangan menakutkan, dan yang paling ditakuti adalah saat anaknya bertanya tentang ayahnya nanti. Tapi tadi malam bayangan menakutkan itu tidak muncul lagi, bahkan inilah tidur paling pulas dan nyaman yang dirasakan akhir-akhir ini. Lengan yang memeluknya sepanjang malam dialihkan kesamping, dia menoleh dan menatap wajah suaminya yang masih tertidur nyenyak. Adzan subuh sudah selesai berkumandang, Dinar bangkit dari tempat tidur dan dengan berhati-hati dia turun dari tempat tidur luas itu, rambut panjangnya diikat asal ke atas dia bergegas mengambil air wudhu. Dinar mengerjakan sholat subuh dengan tenang, doa dipanjatkan, dia berdoa semoga ayahnya mendapatkan tempat yang mulia disisi Rabbnya, dia berdoa untuk keselamatan dan kese
Dirham mengangguk, memberi senyuman manis untuk istrinya. “Aku mandi dulu, setelah ini bersiaplah, dan ikut aku.” Dirham duduk dan memperbaiki celana tidurnya, menenangkan partner yang sudah terjaga tadi. 'Morning Wood' yang setia menemani sejak dia kecil. ‘Huh, mandi air dingin lah pagi ini’ bisik hatinya. “Kemana?” Dinar ikut bangun dari tidurnya. “No need to ask, just follow me. Bersiaplah lah, tidak jauh-jauh kok, hanya sekitar sini.” kepala istrinya digosok dengan lembut. Dia meraih bathrobe di samping lemari dan menghilangkan diri di balik pintu kamar mandi. Dinar menghembus napas berat, dia tidak mengerti apa sebenarnya yang diinginkannya, di sisi lain dia sangat menginginkan sentuhan tapi saat itu terjadi ada rasa sakit yang mengganjal di hati. Menjadi tembok pertahanan untuk kembali menutup diri. Gadis itu lalu turun dari ranjang, dress yang menutupi tubuhnya dirapi
Dirham melihat istrinya itu jatuh terduduk, jarak antara mereka sekitar 20 meter, dia segera berlari menghampiri Dinar yang meringis kesakitan memegangi kakinya. Dia panik, khawatir ada apa-apa yang terjadi dengan anaknya. Tangannya langsung menyentuh lengan Dinar memeriksa keadaannya. “Kenapa ini?” setelah dekat Dirham segera memegang kaki Dinar yang telapaknya mengeluarkan banyak darah. Pasti dia memijak batu karang tadi. “Aku tidak melihat ada batu karang tadi, ternyata tajam. Sakit.. ” Air mata Dinar sudah jatuh di kedua pipinya. “Tadi kan sudah ku bilang jangan lepas sandal, bandel sih.” omelan Dirham diperlahankan. “Pasirnya halus rata, seperti tidak ada bebatuan.” “Itulah, jangan lihat luarnya, kadang di air tenang juga ada buaya.” “Pedih! Jangan marah terus, napa?” “Ada bawa tisu?” Dinar menggeleng. Dirham mengangkat kaki Dinar, di sekeliling luka ada pasir yang menempel lalu
Tiba-tiba ada tangan yang mengulurkan sebuah bingkisan agak besar di samping kepalanya. Dinar menoleh melihat siapa yang datang. “Ambil dan buka, tidak perlu marah gitu. Nanti berpengaruh dengan anak kita.” Dirham tersenyum dan duduk di samping istrinya. Dinar tidak segera menerima apa yang diberi Dirham. “Aku pengen makan kue klepon sama emping melinjo. Bukan ini.” “Buka dulu. Pasti nanti suka.” “Emang apa isinya?” “Dia ini memang cerewet 'kan? Buka dulu baru komentar.” Dirham meletakkan bingkisan itu di atas meja. Dinar mengambilnya, dia membuka plastik berwarna biru itu dengan perlahan. Dirham duduk di sebelahnya. Matanya berbinar dan tersenyum ceria, melihat satu wadah sebesar baskom kecil dan tertutup plastik itu berisi kue klepon berwana hijau dengan taburan kelapa parut di atasnya. Dinar menelan air liur beberapa kali, senyumnya semakin lebar ketika melihat emping m
Dinar keluar dari mobil Dirham dan memperhatikan reaksi suaminya yang terbelalak kaget, melihat seorang pria dan wanita yang berpenampilan sangat elegan, lelaki setengah baya itu sangat berkarisma, pakaian rapi seperti orang berada, kelihatannya bukan orang sini, masih tampan walaupun sudah berumur, mungkin saat Dirham berusia matang nanti akan sepertinya, aura kepemimpinan yang luar biasa, sementara sang wanita begitu anggun, cantik meski sudah seumuran ibunya dan sangat fashionable, siapa mereka? Kenapa Dirham seperti orang kaget saat mereka berdiri di depannya. “Waalikumussalam. Mama? Papa? Kenapa nggak ngabari dulu kalau mau datang?” “Surprise.., mama kangen anak Mama.” Nora memeluk putranya erat. Dirham masih tegang, dia melirik Dinar yang masih kaku berdiri sambil memberi dia kode, apa yang harus dia perbuat sekarang. Dirham memberi arahan pada Dinar untuk masuk dulu ke dalam. Dinar pun mengikuti arahan Dirham. Biarlah pria itu yang
Suara nyanyian burung kenari dan debur ombak berselang-seling membangunkan tidur pulas Dirham. Pria itu membuka matanya dan melihat jam di ponsel, sudah jam 5 pagi. Ia bangun dan menatap pada wajah ayu wanita yang masih tertidur pulas di atas lengannya. Dirham bangun dari tempat tidur dan mengalihkan kepala sang istri. Ia melangkah menuju ke kamar mandi. Membersihkan diri sebentar dan menunaikan kewajibannya. Lima belas menit berlalu tapi tidak ada tanda-tanda Dinar akan bangun, pasti wanita cantik itu kelelahan melayani keinginan suaminya yang tidak pernah jemu. Dinar baru dibiarkan tidur hampir jam 1 pagi.“Eungh …” Dinar menggeliat ketika merasakan tidurnya terganggu. Kantuknya tidak dapat lagi dinegosiasi, suaminya yang perkasa membuatnya hampir tidak bisa berdiri tadi dini hari, hingga ke kamar mandi harus digendong.Melihat istrinya tidur dengan mulut terbuka, membuat Dirham tertawa.'Kenapalah kamu itu sangat m
Mature contentDinar mencoba mengimbangi permainan lidah nakal sang suami, dan seperti selalu, Dirham selalu tidak bisa ditebak arah permainannya.“Mas, engh …” satu lenguhan keluar dari bibir mungil sang istri tatkala bibir Dirham mulai turun menjelajahi leher putih dan menyesap serta melumat dengan sesapan-sesapan kecil dan panas meninggalkan beberapa jejak kemerahan si sana. Jemari tangan Dinar meremas rambut Dirham menyalurkan hasratnya yang mulai bangkit.Dirham membawa istrinya ke atas tempat tidur dan menjatuhkannya, ia merasa celananya sesak karena miliknya mengeras sejak mereka turun dari mobil tadi. Membayangkan Dinar yang mendesis nikmat di bawah tubuhnya saja membuat pria itu langsung bergairah.Dirham membuka blouse istrinya, sementara Dinar memberi akses pada sang suami untuk melakukan apa saja yang diinginkan. Ia juga menarik keluar baju pria yang menjadi tempat ia mencurahkan segal
“Mas! Anak-anak dengar tuh.” Dinar mencubit pinggang suaminya.“Dengar apa itu, Bunda?” Ruby memang kritis pemikirannya, selalu ingin tahu apapun yang didengar oleh telinganya.“Tidak ada apa, Sayang. Ruby nanti kalau bobo sama Oma dan Opa jangan rewel tau.” Dinar berpesan pada putrinya.“Kakak kan udah gede, pesen itu buat adik kali, Bunda.” Dirham tertawa mendengar kalimat pedas dari putrinya, ngikut siapalah itu, pedas kalau ngomong.“Adik uga udah pintal kok, pipis malam aja udah kaga pelnah.” Abizaair tidak mau ketinggalan.“Jelas dong, Adik udah mau 4 tahun, mana boleh pipis malem. Kasihan yang bobo sama adik kalau kena pipisnya.”Ujar Dirham pula, ia membawa mobil dalam kecepatan sedang.“Papa pelnah pipis malam-malam?” pertanyaan dari sang putra membuat Dinar terbatuk-batuk.“Pernah dong, tanya sama Bunda tuh. S
Dirham menatap istrinya, ia merasa heran mendengar ucapan dari gadis di depannya itu.“Sada, maksudnya apa? Kami tulus lho membantu kalian.” Dinar meminta Sada untuk menjelaskan penolakannya tadi.“Loli, ajak adik-adik ini bermain dengan Ruby.” Dinar memanggil Loli.“Iya, Bu. Ayo adik. Ada temannya di sana.” Loli datang dan memanggil adik-adik Sada untuk menuju ke halaman samping.“Pergilah, nanti Mbak panggil kalau mau pulang.” Baim dan Zahra mengangguk dan mengikuti langkah Loli.“Begini, Pak. Saya tidak enak kalau harus menerima kebaikan bapak dan ibu cuma-cuma.” Dinar tersenyum, ia mengerti apa maksud dari Sada. Ia masih ingat dulu Sada tidak pernah mau menerima uang secara cuma-cuma, ia harus bekerja sebelum menerima uang dari orang lain.“Tapi ini kan beasiswa. Namanya beasiswa pasti tanpa syarat. Kecuali beasiswa prestasi.&r
“Mbak Dinar!” Dinar langsung berdiri dan memeluk gadis itu dengan mata berbinar, gadis yang ingin ditemui ternyata sekarang ada di depannya. Sada membalas memeluknya.“Kamu kerja di sini?” Dirham bertanya pada Sada, gadis yang dulu pernah menjadi orang kepercayaannya untuk mengantar dan menjemput Dinar waktu mereka belum menikah.“Iya, Pak. Saya kerja di sini? Bapak sekeluarga liburan?”“Ayo, duduk. Kita bisa cerita-cerita. Adik-adik kamu pasti sudah besar sekarang.”Dinar menyentuh lengan Sada.Gadis itu tersenyum tapi menggelengkan kepalanya.“Saya masih kerja, Mbak. Mana bisa duduk-duduk di sini. Adik saya sudah sekolah, kelas 6 SD sama kelas 4.”“Kamu tidak narik ojol lagi?” Dirham bertanya sambil mengambil sebotol air mineral di atas meja. Dibuka tutupnya dan diberikan pada sang istri.“Sore jam 4 setelah pul
“Sayang, Sorry Papa sama bunda ketiduran tadi. Sekarang ajak adik tunggu di depan, ya?”Dirham mengusap kepala putrinya. Ruby mengangguk dengan cepat. Ia memanggil sang adik sesuai pesan papanya.Sementara Dirham kembali masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Dinar baru saja selesai memakai selendang pashmina kegemarannya. Ia menyembur parfum lalu mengoles bibirnya dengan lipstik berwarna nude.Pelukan hangat Dirham dari belakang membuatnya sedikit menoleh.Dirham mendekap erat tubuh ramping istrinya, wangian aroma yang selalu segar pada penciumannya ia hirup dalam-dalam.“Jangan cantik-cantik, nanti ada yang naksir.”“Ruby bilang apa?”Dinar mengusap lengan sang suami yang melingkari perutnya.“Minta jalan-jalan ke pantai. Kita gerak sekarang. Kasihan anak-anak, ngambek katanya nungguin kita lama dari tadi.”“Papanya sih suka lama-lam
Mature content “Sayang, sabar.” Dinar mengacuhkan kalimat suaminya, entah kenapa sejak ia masuk ke dalam kamar, hasrat seksualnya naik tiba-tiba. “Mas, aku tidak bisa sabar lagi.” Dinar langsung menyerang Dirham dengan ciuman-ciuman panas, Pria itu bergerak mundur dan masuk dalam kotak kaca, ia membalas setiap lumatan dan sesapan bibir istrinya. Tangannya menahan tengkuk Dinar agar ciuman panas dan dalam mereka tidak terlepas. Bagian bawah tubuh Dirham sudah berdiri mengeras di dalam celana chino-nya. Begitu juga Dinar ia merasakan denyutan yang semakin menggila di bawah sana. Ia merapatkan kedua kakinya menahan rasa juga keinginan. Pria itu menarik dress istrinya lalu dilepaskan menyisakan penutup bagian dalam saja semakin membuat hasrat Dirham bergelora menatap tubuh indah yang tidak berubah dari awal mereka bersama, Dinar juga tidak tinggal diam, ia menarik turun celana sang suami, matanya membulat saat tangannya meremas sesuatu yang sudah menge
“Iya, ini Ruby. Yang saya kandung waktu masih di sini dulu, Mak. Ini Abizaair adik dia. Ini Loli pengasuh mereka. Ayo sayang, Salim sama Nek Marni.” Mak Marni manggut-manggut dengan mata berkaca-kaca. Terharu ternyata masih diberi kesempatan bertemu dengan majikannya yang baik seperti Dinar dan Dirham.“Saya kaget waktu Masnya menghubungi saya, untuk membantu membersihkan rumah ini.”“Ini semua juga buat saya kaget, Mak. Suami saya selalu memberi kejutan.” matanya memandang pada Dirham yang membaringkan Ruby di atas sofa.“Nak Loli, mari saya tunjukkan kamar untuk tidurkan nak Abizaair.” Mak Marni membawa Loli ke kamar yang memang disediakan khusus untuknya dan anak-anak.“Mas, sebaiknya Ruby juga dipindahkan sekali, lagian mereka juga sudah makan tadi di bandara, biarkan mereka istirahat dulu.”“Iya, aku juga ngantuk. Padahal baru jam 1 siang.”
Mendengar kalimat dari staf itu membuat wajah Rosy pucat seketika. Jadi pria yang begitu mempesona dan sesuai dengan impiannya adalah pemilik Cafe tempatnya bekerja. Istrinya juga berada di sini dan terlihat sangat saling mencintai. Ada rasa malu terselip dalam hatinya tapi rasa terpesonanya masih menguasai perasaannya. Pria yang sangat luar biasa, sudah tampan mempesona dengan postur tubuh sempurna kaya rasa dan romantis. Wanita mana saja pasti akan bertekuk lutut di depannya. Sungguh beruntung wanita yang sudah berhasil menjadi istrinya.“Kamu staf baru ya, tidak tahu kalau itu adalah owner Cafe, itu bos kita. Istrinya sangat baik, ramah dengan siapa saja.” tambah pekerja itu memuji istri bosnya. Sejak bekerja di sini, ia baru tiga kali bertemu dengan istri bos, Dinar tidak segan-segan memberi contoh jika staf baru tidak tahu cara mengerjakan tugasnya.“Mm, i-iya. Gue staf baru.”“O, pantas saja tidak ken