“Lepas! Sakit!”
Dinar mencoba melepaskan pergelangan tangannya dari cekalan tangan Dirham.
“Kau pikir hatiku tidak sakit melihat mu berduaan dengan lelaki itu? Ada hubungan apa dengannya?”
Dirham melepaskan tangan istrinya.
“Rendi, maksudmu?”
“Entah siapa nama dia, mana mungkin aku kenal satu-satu pegawai rendahan macam dia.” Dinar mengetapkan gigi. Ia menatap tajam wajah pria di depannya.
Kesal dengan kesombongan Dirham.
“Aku tidak ada hubungan apapun dengan dia, dia kan manager bagian di sini.”
“Tapi tidak seharusnya kamu makan berduaan sama dia, Di!”
“Bukan berduaan, banyak kok yang ada di rest room itu.”
“Aku tadi lihat dengan mata kepalaku! Kalian di sana berdua.”
“Tapi tidak seperti yang kau lihat. Aku makan, terus dia datang. Masa iya, aku harus usir dia, itu kan tempa
“Di, pandang Ruby, nggak kasihan sama dia, tega membiarkan ia terbangun karena aku harus nyetir?” Dinar menatap putrinya yang tertidur sangat pulas, tidak tega pula harus membangunkannya. “Tapi, Mama.. ” masih saja Dinar ragu. “Mama bahkan sangat merindukanmu, Sayang.” mulai, panggilan sayang dari Dirham, mulai membuatnya tidak tenang. “Baiklah, tapi nanti, antar aku pulang ke kost.” “Kita lihat nanti. Sekarang cuci muka dulu gih, biar fresh.” Dinar mengangguk, tidak ada gunanya membantah keinginan Dirham. Dinar masuk ke dalam toilet luas itu, mencuci mukanya, menghilangkan rasa ngantuk yang aslinya sudah hilang karena panggilan sayang tadi, hatinya mulai suka dengan perhatian dan perlakuan Dirham padanya. ‘Kenapa kau terlalu mudah berubah, hati?’ Wajahnya kembali dibasahi, apa mungkin ini saatnya. Apa dia sudah bisa menerima kehadiran Dirham kembali, begitu mudahnya tanpa perj
Dinar mengangkat wajah dan menatap Juliana, sementara Juliana memandang Ruby dan Nicko yang sedang bermain dengan asiknya di teras belakang.Model berpostur tinggi itu lalu memegang lengan Dinar dan mengajaknya duduk di gazebo taman.“Tapi Am sangat mencintaimu.” Dinar ternyata belum bisa mempercayai pengakuan cinta Dirham sebelum ini. Juliana tersenyum.“Itu dulu, Di. Awalnya aku memang ingin kembali padanya, membuat ia bahagia seperti dulu saat masih bersama, tapi setelah kepergian mu, Am baru menyadari kalau kamu yang sebenarnya diinginkan, cintanya padamu lebih besar. Dan terbukti, kepergian mu selama hampir 2 tahun, tidak membuatnya menerima perempuan lain. Ia setia menunggumu, Di.”Dinar menunduk mendengar kalimat panjang model cantik itu.“Lihatlah, ia bahkan tidak akan betah keluar kota kalau kamu sudah kembali padanya, buktikan ucapan ku nanti.” Dinar tersenyum, ponsel yang ada di sampingnya
Dinar masih mengucek matanya, usapan lembut dan suara itu sangat tidak asing, tapi itu bukan tangan Dirham atau ibu mertuanya, mata Dinar membulat, masih tidak percaya dengan apa yang dilihat. Tapi senyum dan suara itu tidak pernah hilang dari ingatan sampai kapan pun. Ibunya ada di depannya sekarang, tengah duduk di sampingnya, di atas tempat tidur yang sama. Menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Ibuk? Apa aku mimpi? Aku benar-benar kangen Ibuk, tidur saja sampai lihat Ibuk.” Dinar langsung duduk. Air matanya jatuh, ia merindukan ibunya yang jauh di sana. “Ndak mimpi, Nduk. Ini memang Ibuk.” Kinanti mengusap pipi putrinya. Air matanya jatuh melihat kondisi Dinar yang terlihat kurus. ‘Pasti kamu banyak menderita, Nduk.’ jerit hati Kinanti. “Ini bener Ibuk?” Kinanti mengangguk dan tersenyum. “Ibuk! maafkan Dinar, Buk. Ampuni Dinar.” tubuh ibunya langsung didekap erat setelah ia yakin itu
Masih FlashbackWajah Dirham penuh harap, Kinanti keluar dari kamarnya setelah hampir satu jam berpikir. Ia masih berdiri di samping kursi yang diduduki oleh Arfa. “Katakan syaratnya, Bu. Akan saya penuhi apapun itu.”“Bawa kami bertemu dengan Dinar. Kalian harus adakan resepsi, meskipun itu tidak mewah, tapi biar keluarga besar dan tetangga kami tahu kalau Dinar sudah menikah.”Kinanti sudah berpikir masak-masak, tidak ada gunanya kalau ia harus membantah keinginan putrinya, mungkin Dinar sudah bahagia sekarang tapi masih menunggu restu darinya.“Terima kasih, Bu. Itu sedang saya rencanakan. Itu maksud kedatangan kami, membawa ibu bertemu Dinar, bersiaplah dan saya akan pesankan tiket sekarang.” Dirham tersenyum lebar, ia langsung bangkit dari tempat duduknya dan mencium tangan ibu mertuanya. “Jangan buat putriku menangis lagi, karena jika itu sampai terjadi, kamu akan kehilangan ia selamanya.”
Mendengar pertanyaan dari ibunya membuat Dinar tegang, tidak mungkin ia akan mengatakan kalau semua terjadi karena dendam yang salah sasaran, bagaimana pandangan ibunya kalau tahu, perlakuan Dirham yang buruk padanya di masa lalu. Tentang pemaksaannya, tentang penyekapan dan semua kepahitannya dulu. Dinar menarik napas berat. Ia tidak mau melukai hati ibu yang dicintainya.“Kenapa, Nduk? Ibuk boleh tahu, kan?”Dinar memejamkan matanya. Ia mengangguk. Dan masuk dalam pelukan hangat ibunya.“Seperti perkenalan orang pada umumnya, Buk. Am, pelanggan di restoran Pak Doni. Terus kenalan, kami saling suka dan terjadi begitu saja. Udah pagi, Buk. Dinar masih ngantuk, ayo tidur lagi.”Dinar tidak mau bercerita tentang aib suaminya, hatta pada ibunya sendiri.“Jangan panggil suamimu, ngoko gitu to, Nduk. Ndak baik. Panggil mas, atau kakang, atau abang, sing penting tidak langsung nama, ndak sop
Dinar menggaruk hidungnya yang tidak gatal.Bingung mau jawab gimana, putrinya selalu ingin tahu apapun urusan orang dewasa. Apalagi soal papanya, dia yang akan maju nomor satu. Dirham benar-benar cinta pertama putrinya.“Ayo, kita ganti baju dulu. Nanti kalau papa turun, Uby bisa tanya, kenapa tadi Bunda ambil bajunya lambat turun.”“Otey undah! (Oke Bunda)” Ruby akhirnya mau berganti baju, Dinar mencubit pelan pipi putrinya, gemas mendengar suaranya yang masih cadel tapi banyak tanya.Arfa yang belum ketemu dengan Dinar sejak sampai tadi malam langsung menghampiri kakaknya. Dinar memeluk Arfa dengan erat. Melepaskan rindu dan rasa bersalah karena tidak bisa pulang waktu adiknya kena musibah. Pelukan dilepas dan ia memeriksa tubuh Arfa.“Kamu gimana, Dek? Udah pulih total, kan? Hmm? Aku minta maaf, waktu itu tidak lihat keadaan kamu.” Dinar memindai fisik Arfa dari
Wajah Dirham tegang menerima panggilan itu. Dinar membuatnya naik darah.“Tahan dia Na, jangan biarkan Dinar keluar kamar.” panggilan diakhiri.Jehan dipandang, dengan suara baritonnya ia berkata pada sahabat merangkap orang kepercayaannya.“Kita lanjut soal si brengsek itu setelah urusan gue selesai, ikut gue sekarang!” Dirham bergegas melangkah pergi. Jehan membuntuti dari belakang, ia mulai mengerti, pasti ada sesuatu yang tidak menyenangkan hati bos-nya.Sampai di depan kamar yang menempatkan Dinar, Dirham mengetuk pintu yang terbuka sedikit, dengan tidak sabar. Pintu terbuka lebih luas. Mata Dirham menyapu ke seluruh ruangan, hanya ada Nana dan lelaki setengah wanita. Istrinya tidak ada.“Na, mana Dinar?” Juliana bersama Joya sedang gelisah. Dinar tidak ada di kamar itu.“Ia tadi berontak, katanya mau pulang. Dia marah karena tidak diberitahu dulu.”“Ish, Tuhan! Kalau aku beri
Konten 21+, bawah umur silakan mundur teratur. Dinar kaku mendengar bisikan nakal dari suaminya. Ia lalu berdiri berniat untuk menjauh. Tidak tahan dengan godaan harum aroma sabun yang keluar dari tubuh suaminya, Tapi lengan Dirham yang masih setengah basah terlebih dulu melingkari pinggangnya. Dingin. Jantung Dinar seperti mau keluar menyadari kalau Dirham hanya melilitkan handuk saja pada tubuhnya tanpa baju atasan. Bayangan tubuh tinggi yang berotot sedang itu begitu seksi terlihat dari cermin besar di depan Dinar. Membuatnya terpesona seketika. “Jangan pernah menghindar dariku, Sayang. Karena itu akan percuma.” kecupan-kecupan kecil mulai ia lancarkan di belakang leher Dinar yang terbuka karena rambutnya diikat ke atas. Sensasi dingin dari sentuhan bibir itu membuat Dinar melenguh karena geli. Tangan Dirham menarik resleting panjang gaun pengantin yang masih belum dibuka. Dinar