Mendengar pertanyaan dari ibunya membuat Dinar tegang, tidak mungkin ia akan mengatakan kalau semua terjadi karena dendam yang salah sasaran, bagaimana pandangan ibunya kalau tahu, perlakuan Dirham yang buruk padanya di masa lalu. Tentang pemaksaannya, tentang penyekapan dan semua kepahitannya dulu. Dinar menarik napas berat. Ia tidak mau melukai hati ibu yang dicintainya.
“Kenapa, Nduk? Ibuk boleh tahu, kan?”
Dinar memejamkan matanya. Ia mengangguk. Dan masuk dalam pelukan hangat ibunya.
“Seperti perkenalan orang pada umumnya, Buk. Am, pelanggan di restoran Pak Doni. Terus kenalan, kami saling suka dan terjadi begitu saja. Udah pagi, Buk. Dinar masih ngantuk, ayo tidur lagi.”
Dinar tidak mau bercerita tentang aib suaminya, hatta pada ibunya sendiri.
“Jangan panggil suamimu, ngoko gitu to, Nduk. Ndak baik. Panggil mas, atau kakang, atau abang, sing penting tidak langsung nama, ndak sop
Dinar menggaruk hidungnya yang tidak gatal.Bingung mau jawab gimana, putrinya selalu ingin tahu apapun urusan orang dewasa. Apalagi soal papanya, dia yang akan maju nomor satu. Dirham benar-benar cinta pertama putrinya.“Ayo, kita ganti baju dulu. Nanti kalau papa turun, Uby bisa tanya, kenapa tadi Bunda ambil bajunya lambat turun.”“Otey undah! (Oke Bunda)” Ruby akhirnya mau berganti baju, Dinar mencubit pelan pipi putrinya, gemas mendengar suaranya yang masih cadel tapi banyak tanya.Arfa yang belum ketemu dengan Dinar sejak sampai tadi malam langsung menghampiri kakaknya. Dinar memeluk Arfa dengan erat. Melepaskan rindu dan rasa bersalah karena tidak bisa pulang waktu adiknya kena musibah. Pelukan dilepas dan ia memeriksa tubuh Arfa.“Kamu gimana, Dek? Udah pulih total, kan? Hmm? Aku minta maaf, waktu itu tidak lihat keadaan kamu.” Dinar memindai fisik Arfa dari
Wajah Dirham tegang menerima panggilan itu. Dinar membuatnya naik darah.“Tahan dia Na, jangan biarkan Dinar keluar kamar.” panggilan diakhiri.Jehan dipandang, dengan suara baritonnya ia berkata pada sahabat merangkap orang kepercayaannya.“Kita lanjut soal si brengsek itu setelah urusan gue selesai, ikut gue sekarang!” Dirham bergegas melangkah pergi. Jehan membuntuti dari belakang, ia mulai mengerti, pasti ada sesuatu yang tidak menyenangkan hati bos-nya.Sampai di depan kamar yang menempatkan Dinar, Dirham mengetuk pintu yang terbuka sedikit, dengan tidak sabar. Pintu terbuka lebih luas. Mata Dirham menyapu ke seluruh ruangan, hanya ada Nana dan lelaki setengah wanita. Istrinya tidak ada.“Na, mana Dinar?” Juliana bersama Joya sedang gelisah. Dinar tidak ada di kamar itu.“Ia tadi berontak, katanya mau pulang. Dia marah karena tidak diberitahu dulu.”“Ish, Tuhan! Kalau aku beri
Konten 21+, bawah umur silakan mundur teratur. Dinar kaku mendengar bisikan nakal dari suaminya. Ia lalu berdiri berniat untuk menjauh. Tidak tahan dengan godaan harum aroma sabun yang keluar dari tubuh suaminya, Tapi lengan Dirham yang masih setengah basah terlebih dulu melingkari pinggangnya. Dingin. Jantung Dinar seperti mau keluar menyadari kalau Dirham hanya melilitkan handuk saja pada tubuhnya tanpa baju atasan. Bayangan tubuh tinggi yang berotot sedang itu begitu seksi terlihat dari cermin besar di depan Dinar. Membuatnya terpesona seketika. “Jangan pernah menghindar dariku, Sayang. Karena itu akan percuma.” kecupan-kecupan kecil mulai ia lancarkan di belakang leher Dinar yang terbuka karena rambutnya diikat ke atas. Sensasi dingin dari sentuhan bibir itu membuat Dinar melenguh karena geli. Tangan Dirham menarik resleting panjang gaun pengantin yang masih belum dibuka. Dinar
Jehan menatap wajah pria yang sekarang meringis kesakitan di depannya. Tangannya masih menarik rambut pria itu ke belakang hingga kepalanya mendongak ke atas.“Jawab aku, si*l!” tangan Jehan mencengkeram rahang pria yang diketahui bernama Jecky itu. Sudah satu bulan selalu diselidiki dan satu Minggu ini berhasil dikenal pasti, baru tadi sore ia diikuti dan diseret oleh orang-orang kepercayaan Dirham, dipimpin langsung oleh Jehan.“I-iya, le-paskan aku dulu! Aku tidak ada masalah dengan mu!” pria itu terbata-bata meminta untuk dilepaskan.“Kau kenal Fathia atau tidak? Jawab aku!” suara Jehan menggelegar, membuat nyali Jecky ciut.“Tidak, aku tidak kenal.” tapi ia menolak untuk men“Jadi benar, kau lelaki brengsek yang sudah menyakiti dia?”“Ti-tidak seperti itu, aku tidak tahu dia siapa!”Jecky tetap bersikeras tidak mengaku.“Bangsat! Masih mau
Dirham menoleh ke belakang mendengar pertanyaan tiba-tiba dari Dinar, panggilan tadi diakhiri serta merta, dari raut wajah Dinar, bisa dilihat kalau istrinya tengah salah menilai dirinya dan kini sedang ketakutan.“Sayang!”Dirham mendekat, tapi Dinar mundur, ia melangkah maju lagi, tapi dengan cepat, Dinar menjauh. Air matanya bergenang. Ia ketakutan.“Jangan mendekat! Aku tidak mau memiliki suami, seorang pembunuh!”Dirham melemparkan ponselnya ke atas tempat tidur, ia meraup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Sah! Dinar takut dengannya sekarang.“Kamu salah paham!”“Tidak mungkin! ucapan mu tadi sudah bisa membuktikan siapa dirimu.” “Semua tidak seperti yang kamu dengar, Sayang. Tolong dengar dulu penjelasanku.” Dirham mendekat dan menyentuh lengan istrinya. Tapi segera ditepis dengan kasar.“Jangan sentuh aku. Aku tidak sudi jadi istri pembunuh, sepertimu.”
Setelah menidurkan Ruby di kamar putrinya, Dirham masuk ke dalam kamarnya, ia berniat untuk berganti baju. Dilihatnya Dinar sedang tidur mengiring membelakanginya.Matanya nanar menyapu kaki jenjang dan putih mulus yang tidak tertutup oleh kain, karena baju tidurnya tersingkap sampai ke paha.Jantung Dirham seperti mau keluar menyaksikan itu, bayangan kebersamaan mereka terlintas, oh Tuhan! Ia ingin sekali memeluk tubuh itu. Menghabiskan malam-malam panjang mereka penuh bahagia. Dirham memejamkan mata, mengusir keinginan yang tidak akan tercapai dalam waktu dekat ini, Dirham meletakkan blazernya di atas sofa. Hatinya ditenangkan.Ia akan tidur di kamar Ruby malam ini, biarlah Dinar dengan prasangka-nya, karena Dirham yakin suatu saat hati istrinya pasti akan akan dibuka lagi untuknya, hanya saja perjuangannya harus lebih keras kali ini. Ia memutari ranjang, berdiri mematung menatap wajah ayu yang sembab dan hidungnya
Dirham tetap bersikeras tidak mau menunda urusannya hari ini. Entah kenapa dalam hati Dinar kuat mengatakan kalau ini ada hubungan dengan obrolan Dirham yang didengarnya tadi malam.Selesai sarapan akhirnya Dirham bersiap untuk pergi, Nora meminta pada Dinar untuk membujuk Dirham agar tidak keluar, tapi Dinar tidak berani melakukan itu. Ia memilih fokus pada Ruby yang mau bermain masak-masak dengannya.“Besok, Ibuk sama Arfa pulang ya, Nduk.” Kinanti duduk di sofa atas sementara Dinar di lantai bersama Ruby.“Kalau diizinkan, rasanya Dinar pengen ikut Ibuk pulang, kangen rumah.”“Nanti-nanti, ajak suami dan putrimu pulang, semua tetangga pasti sudah tahu kalau kamu sudah menikah, tadi pagi ada berita tentang resepsi pernikahan kalian.”“Kejutan kemarin itu terlalu mendadak, padahal Dinar pengen undang teman-teman Dinar.”“Kan bis
Ditatap curiga seperti ia membuat Dirham salah tingkah, tangan Dinar menyentuh wajah suaminya yang memar, Dirham sedikit meringis, masih terasa pedihnya.“Ini kenapa? Kamu habis berantem? Sini aku obat.”Tangan Dinar ditahan agar berhenti berbicara, ia beralih menuju handuk mandi yang tergantung di tepi lemari pakaian.“Aku mandi dulu, setelah ini aku cerita semuanya, aku janji.”“Oke.” Dinar melipat mukenah dan meletakkan kembali ke tempatnya. Ia turun kebawah untuk membuat jahe anget, kuatir suaminya masuk angin. Juga es batu untuk mengompres memar di wajah Dirham.Dirham sudah selesai mandi dan sekarang sudah duduk di sofa, Dinar heran, tidak biasanya Dirham langsung memakai baju atasan, biasanya akan menyisir rambutnya dulu, atau menunggu diambilkan baju ganti.“Sudah ganti baju?”“I-iya, dingin.”“Padahal AC belum nyala.