Rumah mewah milik Meta yang jadi tempat Ara menginap selama di Jakarta, sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali ke Yogyakarta, kota di mana Ara melanjutkan pendidikan perguruan tingginya.
Bukan rumah orang tuanya atau lebih tepatnya rumah milik Dedy--sang ayah tiri tidak nyaman, justru sangat nyaman, dan tak kalah besar serta mewah seperti rumah Meta--sahabatnya. Hanya saja, yang menjadikan Ara malas pulang ke rumah adalah karena takut bertemu dengan Rain, sang kakak tiri yang selama ini membuat hidupnya terasa menyedihkan.
Terhitung sudah empat tahun Ara berkuliah di Yogyakarta, dan ia pun sudah menyelesaikan sidang skripsinya, tinggal menunggu wisuda saja. Selama empat tahun itu pun, Ara tidak pernah pulang ke rumah Dedy. Jika liburan ataupun hari raya, Ara lebih memilih pulang ke rumah Meta.
Baik Dedy maupun Wanda--ibu kandung Ara-- selalu meminta Ara untuk pulang ke rumah, tapi Ara selalu menolak, dengan alasan bahwa Meta butuh ditemani di rumah besarnya, karena selama ini orang tua Meta tinggal di luar negeri. Mau tidak mau, orang tua Ara pun menuruti keinginan Ara, dan jika mereka ingin bertemu, orang tua Ara lah yang datang ke rumah Meta. Atau, jika Ara di Yogyakarta, Dedy, dan Wanda yang akan mengunjunginya ke sana.
"Besok pesawat kita flight jam 9, Ta, lo harus bangun subuh, biar nggak telat," kata Ara memberitahu setelah mengecek jadwal keberangkatan mereka ke Yogyakarta.
Seperti Ara, Meta pun kuliah di Yogyakarta, dan mengambil jurusan yang sama pula seperti Ara. Bedanya, Meta belum menyelesaikan skripsinya.
Keduanya bersahabat semenjak SMA. Bersekolah di tempat yang sama, dan selama tiga tahun pula selalu satu kelas. Hal itu menjadikan Ara, dan Meta seperti tak terpisahkan. Saling mengetahui pula rahasia, serta kisah hidup masing-masing.
"Lo beneran mau balik Jogja besok, Ra? Nggak mau ke rumah orang tua lo dulu gitu?" Meta memastikan.
"Emang kalau gue ke Jakarta, gue selalu pulang ke rumah, Ta?" Ara membalik pertanyaan, lalu menghela napas. "Lo tau sendiri kenapa gue nggak pernah mau pulang."
"Iya gue tau kok, Ra, maksud gue tuh, lo harus menampakkan diri lo yang versi baru, yang lebih berani. Kasih tau ke semua keluarga besar bokap tiri lo, kalau lo sekarang bukan gadis menye-menye lagi," balas Meta. "Kalau lo mau gue temenin ke sana juga ayo."
Ara menggeleng. "Bukan sekarang saatnya, Ta. Udahlah, pokoknya besok pagi kita harus balik ke Jogja."
Kalau sudah begini, Meta pun tidak akan memaksa, meski sebenarnya ia merasa gemas, kenapa Ara tidak mau segera melakukan balas dendam pada keluarga besar sang ayah tiri.
=====
"Jadi di rumah itu yang selama ini kamu jadikan tempat untuk bersembunyi dariku, Adik nakal?" Rain menyeringai setelah menerima laporan dari orang kepercayaannya yang ia suruh untuk membuntuti Ara sedari Ara meninggalkan gedung pesta semalam.
Tidak sulit bagi Rain untuk menemukan rumah Meta. Ia bisa saja ke sana saat ini juga untuk bertemu sang adik tiri. Namun, Rain tidak melakukan itu, ia ingin lihat seberapa jauh lagi Ara akan terus bermain-main dengannya.
"Permisi, Tuan muda." Seorang wanita paruh baya berpakaian pelayan menghampiri Rain yang tengah berdiri di dekat kolam ikan.
"Ada apa?"
"Tuan Dedy meminta saya memanggil Tuan muda untuk ikut sarapan bersama," kata pelayan itu.
"Baiklah, saya akan ke sana."
Menggulung lengan kemejanya, Rain kemudian beranjak menuju tempat di mana sang ayah, dan ibu tirinya sarapan.
"Selamat pagi," sapa Rain dengan senyuman tipis di bibirnya. Ia kemudian mendudukkan diri di kursi yang berhadapan dengan Wanda, sedangkan Dedy berada duduk di kursi ujung meja, khusus kepala keluarga.
Jika ada Ara, maka seharusnya Ara duduk di samping Wanda.
Dedy hanya mengangguk kecil menanggapi sapaan Rain, sedangkan Wanda balas tersenyum serta berucap, "Pagi, Rain. Mama senang akhirnya kita bisa sarapan bersama lagi."
"Aku juga senang, Ma. Sayangnya tidak ada Ara di antara kita," balas Rain.
"Ah iya, kamu benar, Rain. Andai saja Ara ada di sini juga, mama tambah bahagia karena anak-anak mama kumpul semua," ujar Wanda. Untungnya tadi sebelum menyiapkan sarapan, Wanda sempat menghubungi Ara, jadi ia tidak terlalu risau memikirkan anak gadis satu-satunya itu.
"Kenapa Ara tidak pulang ke sini saja, Ma? Apa dia tidak nyaman karena tau ada aku di sini?" tanya Rain.
"Oh, ya nggak dong, Rain. Memang setiap Ara pulang ke Jakarta, dia nggak pernah mau ke sini. Katanya kasian Meta sendirian di rumah. Jadinya, kalau mama sama papa mau ketemu Ara, kita yang ke rumahnya Meta," jawab Wanda.
Ternyata seperti itu. Rain menyeringai tipis. Informasi baru lagi baginya.
"Ara berapa hari di Jakarta, Ma?" Dedy menginterupsi.
"Sudah mau balik ke Jogja, Pah. Tadi Ara bilang sudah di bandara mau berangkat."
Dan perkataan Wanda itu pun sontak membuat Rain tersedak makanannya.
"Ara berapa hari di Jakarta, Ma?" Dedy menginterupsi. "Sudah mau balik ke Jogja, Pah. Tadi Ara bilang sudah di bandara mau berangkat." Dan perkataan Wanda itu pun sontak membuat Rain tersedak makanannya. Ingin rasanya Rain mengumpat. Ia kalah start lagi sekarang. Seharusnya tadi malam ia tak membiarkan Ara lolos begitu saja. "Lho, katanya Ara baru ke Jakarta kemarin kan? Kenapa sekarang sudah mau kembali ke Jogja lagi?" Dedy mengernyitkan dahi. Tidak biasanya sang anak tiri kesayangannya hanya sebentar di Jakarta. Ia bahkan semalam belum puas mengobrol dengan Ara. "Katanya ada urusan penting di Jogja, Pah, makanya harus berangkat ke sana hari ini juga," kata Wanda. Rain berdeham, kemudian menatap sang ibu tiri. "Apa Ara sekarang sedang menyusun skripsi, Ma?" Wanda tersenyum. "Sudah selesai skripsinya Ara, Rain. Sudah sidang juga. Tinggal nunggu wisuda saja." Informasi baru lagi bagi Rain. "Oh ya? Kapan wisudanya, Ma?" "Ara belum memberitahu mama, Rain. Tapi sepertinya sebenta
"Cepat! Lelet sekali," gerutu Rain sembari berbalik badan, menatap kesal ke arah Ara yang berjalan di belakangnya. "Iya, Kak." Rain kembali melangkah berniat menuju ke taman di halaman rumah kakek, dan neneknya ini. Ara tentu masih berjalan di belakang Rain. Sebenarnya Ara ingin sesekali jalan di samping Rain, layaknya saudara pada umumnya. Tidak seperti sekarang, jalan depan belakang yang justru lebih terlihat seperti majikan, dan pembantu. Namun, Ara tidak mau membuat kakak tirinya itu kesal, karena dulu Ara pernah sengaja berjalan di samping Rain, dan berakhir dimarahi Rain. Satu tahun sudah menjadi saudara tiri, nyatanya Rain tidak bisa menerima kehadirannya dengan baik. Padahal pada Wanda saja Rain mau menerima, dan mau menganggapnya sebagai ibu. Itulah yang kadang membuat Ara sedih. Meski begitu, Ara tidak menyerah, karena ia akan terus berusaha mendekatkan diri kepada Rain. Rain tiba-tiba menghentikan langkahnya, dan Ara yang sedang tidak fokus pun tidak sengaja menabrak pu
Saat ini Ara merasa seperti tengah berada di antara hidup, dan mati, karena ia tak bisa berenang. Sementara pelaku yang membuat Ara tercebur hanya menyeringai. Mungkin ingin menyaksikan Ara meregang nyawa. "Astaga, Ara!" teriak Wanda yang tidak sengaja lewat, lalu melihat anak gadisnya yang seperti akan tenggelam.Wanda pun cepat berlari mendekati kolam, dan berdiri di samping Rain. Dengan mata berkaca-kaca , Wanda meminta tolong pada sang anak tiri. "Rain, tolong Ara, dia tidak bisa berenang. Mama takut Ara tenggelam." Rain menoleh sebentar, dan tidak menyangka bahwa sang ibu tiri sudah berdiri di sampingnya dengan raut wajah penuh kecemasan memandang ke arah Ara yang kini berada di kolam. Sangking fokusnya melihat Ara, sampai Rain tidak mendengar teriakan Wanda tadi. Tanpa berkata apa-apa, Rain kemudian menceburkan diri ke kolam, lalu berenang menghampiri Ara. Memeluk tubuh Ara, lalu membawanya ke tepian kolam. Begitu sampai di tepi kolam, Rain mengangkat tubuh Ara keluar dari ko
Setelah kejadian di kolam itu, Ara jadi tidak lagi berusaha mengakrabkan diri pada Rain. Tapi Ara juga tidak berani jika membantah perintah Rain yang kadang tidak masuk di akalnya. Hari demi hari Ara lewati. Dari segi ekonomi, tentunya Ara tidak kekurangan lagi. Semua kebutuhannya, dan sang ibu dipenuhi oleh Dedy. Ayah tirinya benar-benar memperlakukan Ara dengan baik. Sebenarnya Dedy sering berkata pada Ara agar Ara bilang apa yang ia inginkan, karena nanti Dedy pasti akan membelikannya. Tapi, Ara tidak bilang, karena Ara merasa semua sudah cukup, dan ia tidak perlu apa-apa lagi. Mengenai sikap Rain padanya pun masih belum berubah, meski kini terhitung sudah tiga tahun Ara menjadi adik tiri laki-laki itu. Rain masih suka menindas, dan menyuruh Ara ini itu, tidak lupa juga sering melontarkan kata-kata tajam nan menyakitkan. "Cuci baju ini!" Rain melemparkan sebuah kemeja warna hitam, tepat ke wajah Ara. "Apa sih, Kak? Aku baru aja istirahat setelah Kakak suruh aku bersihin kamar m
Malam itu Ara sendirian di rumah, karena Wanda, dan Dedy sedang menghadiri acara pesta pernikahan salah satu anak dari rekan bisnis Dedy. Asisten rumah tangga juga sedang cuti sejak seminggu terakhir, dan belum juga kembali. Sedangkan Rain, Ara tidak tahu kakak tirinya itu ada di mana, sebab dari kemarin tidak ada di rumah. Berada di rumah besar seorang diri tak membuat Ara takut, makanya pas sore harinya sewaktu Dedy mengajaknya untuk ikut, Ara menolak. Lagi pula sedang tidak ada Rain di rumah, lain lagi jika sebaliknya. Saat waktu menunjukkan pukul sembilan malam, Wanda memberi kabar bahwa ia, dan Dedy akan menginap di hotel. Ara tidak masalah dengan itu, karena ia cukup pemberani.Ara tertidur setelah mendapat kabar dari ibunya, lalu pukul satu dini hari ia terbangun karena merasa haus, dan lapar. Menuju ke dapur, Ara membuat mie instan untuk mengganjal perutnya. Saking fokusnya Ara memasak mie, sampai tak sadar ada sepasang mata yang memperhatikan Ara di dekat pintu dapur. Sosok
Flashback Saat itu Rain berumur dua puluh tahun ketika Dedy--sang ayah mengatakan akan menikah lagi setelah sekian tahun ibunya Rain meninggal. Rain setuju saja, karena menurutnya sang ayah juga butuh seorang pendamping hidup. Lalu, pada malam hari berikutnya, Rain diajak sang ayah ke sebuah rumah kontrakan sederhana yang ada di pinggiran kota. Tempat di mana calon istri sang ayah tinggal. "Selamat malam. Apakah Om tamu yang ditunggu mama?" Seorang gadis remaja menyapa setelah membuka pintu Cantik. Begitulah kesan pertama Rain saat pertama kali melihat gadis itu. "Iya. Kamu pasti Araya ya?" ucap Dedy. Gadis itu mengangguk. "Panggil aja Ara, Om. Mari silakan masuk." Senyuman Ara menghiasi wajahnya yang kini dipoles make up tipis. Ia sudah diberitahu oleh sang ibu bahwa akan datang tamu yang akan menjadi calon ayah tirinya. Makanya Ara tadi sempat dirias oleh ibunya. "Terima kasih, Ara. Kamu ternyata lebih cantik daripada yang pernah om lihat di foto," kata Dedy. Ara tersipu, ya
Dedy tak menyuruh Rain untuk memanggil Wanda, dan Ara sarapan, karena Rain sedari tadi belum sampai ke ruang makan. Begitu melihat sang ibu tiri memasuki kamar Ara, Rain pun melangkahkan kakinya mendekati kamar gadis yang ia renggut kehormatannya semalam. Berdiri di sana, dan menguping pembicaraan Ara, dan sang ibu. "Ah iya, Rain, nanti mama sama Ara nyusul sarapan. Kamu sarapan saja dulu bersama papa," kata Wanda. Rain hanya mengangguk, lantas membalikkan tubuhnya, kemudian pergi menjauhi kamar Ara. "Ayo sarapan dulu, Ra, habis itu minum paracetamol. Kamu kayaknya demam," ujar Wanda. "Nanti siang kalau belum sembuh juga, mama akan panggil dokter."Ara menggeleng. Ia terlalu takut jika harus satu meja makan dengan Rain, orang yang sudah menghancurkan hidupnya. "Aku nggak nafsu makan, Ma." Wanda menghela napas. "Ya sudah, kamu istirahat dulu aja, nanti mama buatkan bubur." Seperginya sang ibu dari kamarnya, Ara langsung menutup pintu, dan menguncinya. Ara menyandarkan diri pada pi
Dengan anggun dan penuh percaya diri, Ara keluar dari mobil mewah yang berhenti di depan gedung megah tempat diadakannya pesta malam ini. Pesta tersebut adalah pesta anniversary pernikahan sang ibu dan ayah tirinya yang ke tujuh tahun. Gaun hitam yang dikenakan Ara tampak anggun dan glamor. Rambut hitam panjang ia gelung hingga menampilkan leher jenjangnya. Ara memadukan penampilannya dengan anting berwarna silver, yang menambah pesona wajahnya yang cantik.Langkah kakinya bergema pelan di karpet merah yang terhampar di lantai, menambah sentuhan elegan. Cahaya dari blitz kamera para wartawan yang memotret, mengiringi Ara yang memasuki gedung. Gedung tempat diadakannya pesta ini memiliki suasana istimewa dengan pintu masuk yang elegan dan dekorasi kaca berkilau menyambut kedatangan para tamu.Saat memasuki gedung, hampir semua orang memusatkan perhatian padanya, dan Ara sadar akan itu. Banyak kaum adam yang memuji kecantikannya, dan tak sedikit pula kaum hawa yang merasa iri denganny
Dedy tak menyuruh Rain untuk memanggil Wanda, dan Ara sarapan, karena Rain sedari tadi belum sampai ke ruang makan. Begitu melihat sang ibu tiri memasuki kamar Ara, Rain pun melangkahkan kakinya mendekati kamar gadis yang ia renggut kehormatannya semalam. Berdiri di sana, dan menguping pembicaraan Ara, dan sang ibu. "Ah iya, Rain, nanti mama sama Ara nyusul sarapan. Kamu sarapan saja dulu bersama papa," kata Wanda. Rain hanya mengangguk, lantas membalikkan tubuhnya, kemudian pergi menjauhi kamar Ara. "Ayo sarapan dulu, Ra, habis itu minum paracetamol. Kamu kayaknya demam," ujar Wanda. "Nanti siang kalau belum sembuh juga, mama akan panggil dokter."Ara menggeleng. Ia terlalu takut jika harus satu meja makan dengan Rain, orang yang sudah menghancurkan hidupnya. "Aku nggak nafsu makan, Ma." Wanda menghela napas. "Ya sudah, kamu istirahat dulu aja, nanti mama buatkan bubur." Seperginya sang ibu dari kamarnya, Ara langsung menutup pintu, dan menguncinya. Ara menyandarkan diri pada pi
Flashback Saat itu Rain berumur dua puluh tahun ketika Dedy--sang ayah mengatakan akan menikah lagi setelah sekian tahun ibunya Rain meninggal. Rain setuju saja, karena menurutnya sang ayah juga butuh seorang pendamping hidup. Lalu, pada malam hari berikutnya, Rain diajak sang ayah ke sebuah rumah kontrakan sederhana yang ada di pinggiran kota. Tempat di mana calon istri sang ayah tinggal. "Selamat malam. Apakah Om tamu yang ditunggu mama?" Seorang gadis remaja menyapa setelah membuka pintu Cantik. Begitulah kesan pertama Rain saat pertama kali melihat gadis itu. "Iya. Kamu pasti Araya ya?" ucap Dedy. Gadis itu mengangguk. "Panggil aja Ara, Om. Mari silakan masuk." Senyuman Ara menghiasi wajahnya yang kini dipoles make up tipis. Ia sudah diberitahu oleh sang ibu bahwa akan datang tamu yang akan menjadi calon ayah tirinya. Makanya Ara tadi sempat dirias oleh ibunya. "Terima kasih, Ara. Kamu ternyata lebih cantik daripada yang pernah om lihat di foto," kata Dedy. Ara tersipu, ya
Malam itu Ara sendirian di rumah, karena Wanda, dan Dedy sedang menghadiri acara pesta pernikahan salah satu anak dari rekan bisnis Dedy. Asisten rumah tangga juga sedang cuti sejak seminggu terakhir, dan belum juga kembali. Sedangkan Rain, Ara tidak tahu kakak tirinya itu ada di mana, sebab dari kemarin tidak ada di rumah. Berada di rumah besar seorang diri tak membuat Ara takut, makanya pas sore harinya sewaktu Dedy mengajaknya untuk ikut, Ara menolak. Lagi pula sedang tidak ada Rain di rumah, lain lagi jika sebaliknya. Saat waktu menunjukkan pukul sembilan malam, Wanda memberi kabar bahwa ia, dan Dedy akan menginap di hotel. Ara tidak masalah dengan itu, karena ia cukup pemberani.Ara tertidur setelah mendapat kabar dari ibunya, lalu pukul satu dini hari ia terbangun karena merasa haus, dan lapar. Menuju ke dapur, Ara membuat mie instan untuk mengganjal perutnya. Saking fokusnya Ara memasak mie, sampai tak sadar ada sepasang mata yang memperhatikan Ara di dekat pintu dapur. Sosok
Setelah kejadian di kolam itu, Ara jadi tidak lagi berusaha mengakrabkan diri pada Rain. Tapi Ara juga tidak berani jika membantah perintah Rain yang kadang tidak masuk di akalnya. Hari demi hari Ara lewati. Dari segi ekonomi, tentunya Ara tidak kekurangan lagi. Semua kebutuhannya, dan sang ibu dipenuhi oleh Dedy. Ayah tirinya benar-benar memperlakukan Ara dengan baik. Sebenarnya Dedy sering berkata pada Ara agar Ara bilang apa yang ia inginkan, karena nanti Dedy pasti akan membelikannya. Tapi, Ara tidak bilang, karena Ara merasa semua sudah cukup, dan ia tidak perlu apa-apa lagi. Mengenai sikap Rain padanya pun masih belum berubah, meski kini terhitung sudah tiga tahun Ara menjadi adik tiri laki-laki itu. Rain masih suka menindas, dan menyuruh Ara ini itu, tidak lupa juga sering melontarkan kata-kata tajam nan menyakitkan. "Cuci baju ini!" Rain melemparkan sebuah kemeja warna hitam, tepat ke wajah Ara. "Apa sih, Kak? Aku baru aja istirahat setelah Kakak suruh aku bersihin kamar m
Saat ini Ara merasa seperti tengah berada di antara hidup, dan mati, karena ia tak bisa berenang. Sementara pelaku yang membuat Ara tercebur hanya menyeringai. Mungkin ingin menyaksikan Ara meregang nyawa. "Astaga, Ara!" teriak Wanda yang tidak sengaja lewat, lalu melihat anak gadisnya yang seperti akan tenggelam.Wanda pun cepat berlari mendekati kolam, dan berdiri di samping Rain. Dengan mata berkaca-kaca , Wanda meminta tolong pada sang anak tiri. "Rain, tolong Ara, dia tidak bisa berenang. Mama takut Ara tenggelam." Rain menoleh sebentar, dan tidak menyangka bahwa sang ibu tiri sudah berdiri di sampingnya dengan raut wajah penuh kecemasan memandang ke arah Ara yang kini berada di kolam. Sangking fokusnya melihat Ara, sampai Rain tidak mendengar teriakan Wanda tadi. Tanpa berkata apa-apa, Rain kemudian menceburkan diri ke kolam, lalu berenang menghampiri Ara. Memeluk tubuh Ara, lalu membawanya ke tepian kolam. Begitu sampai di tepi kolam, Rain mengangkat tubuh Ara keluar dari ko
"Cepat! Lelet sekali," gerutu Rain sembari berbalik badan, menatap kesal ke arah Ara yang berjalan di belakangnya. "Iya, Kak." Rain kembali melangkah berniat menuju ke taman di halaman rumah kakek, dan neneknya ini. Ara tentu masih berjalan di belakang Rain. Sebenarnya Ara ingin sesekali jalan di samping Rain, layaknya saudara pada umumnya. Tidak seperti sekarang, jalan depan belakang yang justru lebih terlihat seperti majikan, dan pembantu. Namun, Ara tidak mau membuat kakak tirinya itu kesal, karena dulu Ara pernah sengaja berjalan di samping Rain, dan berakhir dimarahi Rain. Satu tahun sudah menjadi saudara tiri, nyatanya Rain tidak bisa menerima kehadirannya dengan baik. Padahal pada Wanda saja Rain mau menerima, dan mau menganggapnya sebagai ibu. Itulah yang kadang membuat Ara sedih. Meski begitu, Ara tidak menyerah, karena ia akan terus berusaha mendekatkan diri kepada Rain. Rain tiba-tiba menghentikan langkahnya, dan Ara yang sedang tidak fokus pun tidak sengaja menabrak pu
"Ara berapa hari di Jakarta, Ma?" Dedy menginterupsi. "Sudah mau balik ke Jogja, Pah. Tadi Ara bilang sudah di bandara mau berangkat." Dan perkataan Wanda itu pun sontak membuat Rain tersedak makanannya. Ingin rasanya Rain mengumpat. Ia kalah start lagi sekarang. Seharusnya tadi malam ia tak membiarkan Ara lolos begitu saja. "Lho, katanya Ara baru ke Jakarta kemarin kan? Kenapa sekarang sudah mau kembali ke Jogja lagi?" Dedy mengernyitkan dahi. Tidak biasanya sang anak tiri kesayangannya hanya sebentar di Jakarta. Ia bahkan semalam belum puas mengobrol dengan Ara. "Katanya ada urusan penting di Jogja, Pah, makanya harus berangkat ke sana hari ini juga," kata Wanda. Rain berdeham, kemudian menatap sang ibu tiri. "Apa Ara sekarang sedang menyusun skripsi, Ma?" Wanda tersenyum. "Sudah selesai skripsinya Ara, Rain. Sudah sidang juga. Tinggal nunggu wisuda saja." Informasi baru lagi bagi Rain. "Oh ya? Kapan wisudanya, Ma?" "Ara belum memberitahu mama, Rain. Tapi sepertinya sebenta
Rumah mewah milik Meta yang jadi tempat Ara menginap selama di Jakarta, sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali ke Yogyakarta, kota di mana Ara melanjutkan pendidikan perguruan tingginya. Bukan rumah orang tuanya atau lebih tepatnya rumah milik Dedy--sang ayah tiri tidak nyaman, justru sangat nyaman, dan tak kalah besar serta mewah seperti rumah Meta--sahabatnya. Hanya saja, yang menjadikan Ara malas pulang ke rumah adalah karena takut bertemu dengan Rain, sang kakak tiri yang selama ini membuat hidupnya terasa menyedihkan. Terhitung sudah empat tahun Ara berkuliah di Yogyakarta, dan ia pun sudah menyelesaikan sidang skripsinya, tinggal menunggu wisuda saja. Selama empat tahun itu pun, Ara tidak pernah pulang ke rumah Dedy. Jika liburan ataupun hari raya, Ara lebih memilih pulang ke rumah Meta. Baik Dedy maupun Wanda--ibu kandung Ara-- selalu meminta Ara untuk pulang ke rumah, tapi Ara selalu menolak, dengan alasan bahwa Meta butuh ditemani di rumah besarnya, karena selama ini ora
Ara bernapas lega. Setidaknya dengan kehadiran sang ayah tirinya, membuat Rain melepaskannya. Namun, tatapan tajam Rain yang mengarah kepadanya, seolah-olah memerintah agar Ara tak memberitahu yang sebenarnya terjadi di antara mereka tadi. "Ah, tidak ada apa-apa, Pah. Aku hanya ingin mengobrol dengan adikku. Sudah lama kami tidak bertemu kan?" Rain menjawab pertanyaan Dedy. Dedy mengernyitkan dahi, seolah tak paham dengan perkataan sang putra. "Kalau mau mengobrol, kenapa harus di tempat sepi seperti ini? Masih kurang luas kah, gedung yang papa sewa untuk malam ini?" "Tentu saja sangat luas, Pah, hanya saja, aku, dan Ara butuh tempat yang lebih privat untuk mengobrol. Bukan begitu, Adik manis?" Rain menyeringai, sembari menatap Ara. Mau tidak mau, Ara pun mengangguk. Sungguh ia tidak mau terjebak lebih lama lagi dengan Rain. "Ada ruangan khusus untuk keluarga, Rain. Kalian bisa mengobrol di sana," kata Dedy. "Iya, aku tau, Pah. Tapi, kebetulan Ara tadi ingin ke toilet, jadi aku m