Ara bernapas lega. Setidaknya dengan kehadiran sang ayah tirinya, membuat Rain melepaskannya. Namun, tatapan tajam Rain yang mengarah kepadanya, seolah-olah memerintah agar Ara tak memberitahu yang sebenarnya terjadi di antara mereka tadi.
"Ah, tidak ada apa-apa, Pah. Aku hanya ingin mengobrol dengan adikku. Sudah lama kami tidak bertemu kan?" Rain menjawab pertanyaan Dedy.
Dedy mengernyitkan dahi, seolah tak paham dengan perkataan sang putra. "Kalau mau mengobrol, kenapa harus di tempat sepi seperti ini? Masih kurang luas kah, gedung yang papa sewa untuk malam ini?"
"Tentu saja sangat luas, Pah, hanya saja, aku, dan Ara butuh tempat yang lebih privat untuk mengobrol. Bukan begitu, Adik manis?" Rain menyeringai, sembari menatap Ara.
Mau tidak mau, Ara pun mengangguk. Sungguh ia tidak mau terjebak lebih lama lagi dengan Rain.
"Ada ruangan khusus untuk keluarga, Rain. Kalian bisa mengobrol di sana," kata Dedy.
"Iya, aku tau, Pah. Tapi, kebetulan Ara tadi ingin ke toilet, jadi aku mengantarnya karena Ara tidak berani sendirian." Mendengar Rain membual, Ara pun sontak mendecih dalam hati.
Suara dering ponsel Ara menginterupsi ketiga orang itu, dan hal tersebut membuat Ara bersyukur dalam hati. Setidaknya ini bisa menjadi alasan baginya untuk berlalu dari dua laki-laki beda generasi ini.
"Pah, aku permisi mau angkat telfon," kata Ara pada Dedy, lalu segera beranjak pergi. Ara tak mau repot-repot untuk sekedar menoleh, apalagi meminta izin pada Rain yang saat ini memusatkan tatapan padanya.
Setelah Ara sedikit jauh dari tempat itu, Dedy pun mendekati Rain, lalu menepuk bahunya. "Jadilah kakak yang baik untuk adikmu, Rain."
Bukan tanpa alasan Dedy mengatakan itu, pasalnya, dari pengamatannya sebagai orang tua, Dedy melihat Ara yang seperti tidak nyaman berada di dekat Rain. Dedy hanya ingin kedua anaknya akur, meski hanya sebagai saudara tiri.
"Pasti, Pah," balas Rain. Tangannya mengepal erat dengan tatapan matanya yang masih tertuju pada Ara yang semakin terlihat jauh.
=====
Menengok kanan kiri, Ara memastikan bahwa tidak ada Rain yang mengikutinya keluar dari gedung.
Helaan napas lega Ara keluarkan saat dirinya sudah merasa aman dari jangkauan laki-laki yang si*lnya berstatus sebagai saudara tirinya itu.
Netra Ara lalu menangkap sebuah mobil Audi yang terparkir, lalu mendekat ke arahnya. Di dalam mobil itu ada Meta, sang sahabat yang menjemputnya. Tadi saat di toilet Ara memang sempat menghubungi Meta untuk menjemputnya pulang.
Ara masuk ke mobil Meta, dan mendudukkan diri di kursi penumpang sebelah kemudi. Lagi, ia menghela napas lega.
"Lo kayak abis dikejar se*an aja, Ra," celetuk Meta yang sedari tadi menyaksikan gelagat Ara dari dalam mobil.
"Gue cuma khawatir orang itu ngikutin gue, Ta. Lo tau sendiri gimana takutnya gue berhadapan sama dia," ucap Ara, seraya memasang seatbelt.
Hanya pada Meta lah, Ara menceritakan apa yang sudah pernah terjadi antara dirinya, dan Rain.
"Udah sering gue bilang ke lo, Ra, jangan tunjukin rasa takut lo sama kakak tiri lo itu kalau kalian lagi berhadapan, biar dia nggak semakin seneng. Lo harus kasih liat ke dia, kalau lo bukan cewek lemah yang bisa dia tindas. Mau gimana pun lo menghindar, kalian pasti bakalan ketemu juga, karena status kalian," ujar Meta.
Ara mengangguk. Meta memang sering memberi nasehat seperti itu untuknya. Namun, untuk saat ini, Ara belum bisa mempraktikkannya. Rasa takut ketika bertemu Rain masih sangat mendominasi.
"Oh ya, terus gimana dengan saudara-saudara bokap tiri lo, Ra? Ketemu sama mereka nggak?" Sebagai orang yang tahu persis bagaimana kehidupan Ara, Meta cukup penasaran dengan bagian ini.
"Ketemu tadi sama tante Renita, dan dua anaknya. Seperti biasa, mereka masih nyebelin, dan ngejek gue."
"Tapi lo lawan mereka kan, Ra? Kalau lo cuma diem aja, gue ngerasa sia-sia udah ngajarin lo buat jadi cewek badas, kalau ngadepin tiga curut itu lo juga takut," kata Meta.
Ara menyunggingkan bibirnya ketika mendengar sebutan Meta untuk Renita, dan anak-anaknya. "Tenang aja, untuk bagian mereka gue udah nggak takut lagi."
"Bagus! Itu baru temen gue." Meta kegirangan.
"Oke, kita cabut sekarang aja, Ta." Ara rasa sudah tidak ada perlu lagi baginya berada di sekitaran gedung tempat pesta orang tuanya ini.
"Lo udah ijin ke nyokap lo belum?"
"Belum sih, tapi nanti gue telfon aja. Gue males kalau harus balik lagi ke sana. Yang ada nanti gue ketemu dia lagi."
Meta mengangguk mengerti. "Kakak tiri lo sebenernya ganteng banget lo, Ra. Keren juga. Kalau seandainya kelakuan dia baik, gue yakin lo pasti naksir sama dia, Ra."
"Ngaco lo!" sangkal Ara seraya memukul lengan Meta. "Gue sama dia bersaudara."
"Kan cuma saudara tiri, Ra. Beda bokap beda nyokap, lo masih bisa nikah sama dia tau!"
"Tapi gue yang nggak minat tuh." Ara mendengkus. Ia tidak suka jika Meta mulai memuji ketampanan Rain, dan berlanjut membicarakan hal ngaco itu. "Udah cepetan ah, lajuin mobilnya. Kita pergi dari sini."
Menuruti perkataan Ara, Meta pun membawa pergi mobilnya meninggalkan gedung megah tersebut.
Tanpa dua gadis itu sadari, ada seorang laki-laki berperawakan besar yang sedari tadi mengawasi dari tempat tersembunyi.
"Sudah pergi, Bos," ucap laki-laki itu, berbicara melalui ponsel
.
"Ikuti, dan jangan sampai lepas," balas orang di seberang sana.
Rumah mewah milik Meta yang jadi tempat Ara menginap selama di Jakarta, sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali ke Yogyakarta, kota di mana Ara melanjutkan pendidikan perguruan tingginya. Bukan rumah orang tuanya atau lebih tepatnya rumah milik Dedy--sang ayah tiri tidak nyaman, justru sangat nyaman, dan tak kalah besar serta mewah seperti rumah Meta--sahabatnya. Hanya saja, yang menjadikan Ara malas pulang ke rumah adalah karena takut bertemu dengan Rain, sang kakak tiri yang selama ini membuat hidupnya terasa menyedihkan. Terhitung sudah empat tahun Ara berkuliah di Yogyakarta, dan ia pun sudah menyelesaikan sidang skripsinya, tinggal menunggu wisuda saja. Selama empat tahun itu pun, Ara tidak pernah pulang ke rumah Dedy. Jika liburan ataupun hari raya, Ara lebih memilih pulang ke rumah Meta. Baik Dedy maupun Wanda--ibu kandung Ara-- selalu meminta Ara untuk pulang ke rumah, tapi Ara selalu menolak, dengan alasan bahwa Meta butuh ditemani di rumah besarnya, karena selama ini ora
"Ara berapa hari di Jakarta, Ma?" Dedy menginterupsi. "Sudah mau balik ke Jogja, Pah. Tadi Ara bilang sudah di bandara mau berangkat." Dan perkataan Wanda itu pun sontak membuat Rain tersedak makanannya. Ingin rasanya Rain mengumpat. Ia kalah start lagi sekarang. Seharusnya tadi malam ia tak membiarkan Ara lolos begitu saja. "Lho, katanya Ara baru ke Jakarta kemarin kan? Kenapa sekarang sudah mau kembali ke Jogja lagi?" Dedy mengernyitkan dahi. Tidak biasanya sang anak tiri kesayangannya hanya sebentar di Jakarta. Ia bahkan semalam belum puas mengobrol dengan Ara. "Katanya ada urusan penting di Jogja, Pah, makanya harus berangkat ke sana hari ini juga," kata Wanda. Rain berdeham, kemudian menatap sang ibu tiri. "Apa Ara sekarang sedang menyusun skripsi, Ma?" Wanda tersenyum. "Sudah selesai skripsinya Ara, Rain. Sudah sidang juga. Tinggal nunggu wisuda saja." Informasi baru lagi bagi Rain. "Oh ya? Kapan wisudanya, Ma?" "Ara belum memberitahu mama, Rain. Tapi sepertinya sebenta
"Cepat! Lelet sekali," gerutu Rain sembari berbalik badan, menatap kesal ke arah Ara yang berjalan di belakangnya. "Iya, Kak." Rain kembali melangkah berniat menuju ke taman di halaman rumah kakek, dan neneknya ini. Ara tentu masih berjalan di belakang Rain. Sebenarnya Ara ingin sesekali jalan di samping Rain, layaknya saudara pada umumnya. Tidak seperti sekarang, jalan depan belakang yang justru lebih terlihat seperti majikan, dan pembantu. Namun, Ara tidak mau membuat kakak tirinya itu kesal, karena dulu Ara pernah sengaja berjalan di samping Rain, dan berakhir dimarahi Rain. Satu tahun sudah menjadi saudara tiri, nyatanya Rain tidak bisa menerima kehadirannya dengan baik. Padahal pada Wanda saja Rain mau menerima, dan mau menganggapnya sebagai ibu. Itulah yang kadang membuat Ara sedih. Meski begitu, Ara tidak menyerah, karena ia akan terus berusaha mendekatkan diri kepada Rain. Rain tiba-tiba menghentikan langkahnya, dan Ara yang sedang tidak fokus pun tidak sengaja menabrak pu
Saat ini Ara merasa seperti tengah berada di antara hidup, dan mati, karena ia tak bisa berenang. Sementara pelaku yang membuat Ara tercebur hanya menyeringai. Mungkin ingin menyaksikan Ara meregang nyawa. "Astaga, Ara!" teriak Wanda yang tidak sengaja lewat, lalu melihat anak gadisnya yang seperti akan tenggelam.Wanda pun cepat berlari mendekati kolam, dan berdiri di samping Rain. Dengan mata berkaca-kaca , Wanda meminta tolong pada sang anak tiri. "Rain, tolong Ara, dia tidak bisa berenang. Mama takut Ara tenggelam." Rain menoleh sebentar, dan tidak menyangka bahwa sang ibu tiri sudah berdiri di sampingnya dengan raut wajah penuh kecemasan memandang ke arah Ara yang kini berada di kolam. Sangking fokusnya melihat Ara, sampai Rain tidak mendengar teriakan Wanda tadi. Tanpa berkata apa-apa, Rain kemudian menceburkan diri ke kolam, lalu berenang menghampiri Ara. Memeluk tubuh Ara, lalu membawanya ke tepian kolam. Begitu sampai di tepi kolam, Rain mengangkat tubuh Ara keluar dari ko
Setelah kejadian di kolam itu, Ara jadi tidak lagi berusaha mengakrabkan diri pada Rain. Tapi Ara juga tidak berani jika membantah perintah Rain yang kadang tidak masuk di akalnya. Hari demi hari Ara lewati. Dari segi ekonomi, tentunya Ara tidak kekurangan lagi. Semua kebutuhannya, dan sang ibu dipenuhi oleh Dedy. Ayah tirinya benar-benar memperlakukan Ara dengan baik. Sebenarnya Dedy sering berkata pada Ara agar Ara bilang apa yang ia inginkan, karena nanti Dedy pasti akan membelikannya. Tapi, Ara tidak bilang, karena Ara merasa semua sudah cukup, dan ia tidak perlu apa-apa lagi. Mengenai sikap Rain padanya pun masih belum berubah, meski kini terhitung sudah tiga tahun Ara menjadi adik tiri laki-laki itu. Rain masih suka menindas, dan menyuruh Ara ini itu, tidak lupa juga sering melontarkan kata-kata tajam nan menyakitkan. "Cuci baju ini!" Rain melemparkan sebuah kemeja warna hitam, tepat ke wajah Ara. "Apa sih, Kak? Aku baru aja istirahat setelah Kakak suruh aku bersihin kamar m
Malam itu Ara sendirian di rumah, karena Wanda, dan Dedy sedang menghadiri acara pesta pernikahan salah satu anak dari rekan bisnis Dedy. Asisten rumah tangga juga sedang cuti sejak seminggu terakhir, dan belum juga kembali. Sedangkan Rain, Ara tidak tahu kakak tirinya itu ada di mana, sebab dari kemarin tidak ada di rumah. Berada di rumah besar seorang diri tak membuat Ara takut, makanya pas sore harinya sewaktu Dedy mengajaknya untuk ikut, Ara menolak. Lagi pula sedang tidak ada Rain di rumah, lain lagi jika sebaliknya. Saat waktu menunjukkan pukul sembilan malam, Wanda memberi kabar bahwa ia, dan Dedy akan menginap di hotel. Ara tidak masalah dengan itu, karena ia cukup pemberani.Ara tertidur setelah mendapat kabar dari ibunya, lalu pukul satu dini hari ia terbangun karena merasa haus, dan lapar. Menuju ke dapur, Ara membuat mie instan untuk mengganjal perutnya. Saking fokusnya Ara memasak mie, sampai tak sadar ada sepasang mata yang memperhatikan Ara di dekat pintu dapur. Sosok
Flashback Saat itu Rain berumur dua puluh tahun ketika Dedy--sang ayah mengatakan akan menikah lagi setelah sekian tahun ibunya Rain meninggal. Rain setuju saja, karena menurutnya sang ayah juga butuh seorang pendamping hidup. Lalu, pada malam hari berikutnya, Rain diajak sang ayah ke sebuah rumah kontrakan sederhana yang ada di pinggiran kota. Tempat di mana calon istri sang ayah tinggal. "Selamat malam. Apakah Om tamu yang ditunggu mama?" Seorang gadis remaja menyapa setelah membuka pintu Cantik. Begitulah kesan pertama Rain saat pertama kali melihat gadis itu. "Iya. Kamu pasti Araya ya?" ucap Dedy. Gadis itu mengangguk. "Panggil aja Ara, Om. Mari silakan masuk." Senyuman Ara menghiasi wajahnya yang kini dipoles make up tipis. Ia sudah diberitahu oleh sang ibu bahwa akan datang tamu yang akan menjadi calon ayah tirinya. Makanya Ara tadi sempat dirias oleh ibunya. "Terima kasih, Ara. Kamu ternyata lebih cantik daripada yang pernah om lihat di foto," kata Dedy. Ara tersipu, ya
Dedy tak menyuruh Rain untuk memanggil Wanda, dan Ara sarapan, karena Rain sedari tadi belum sampai ke ruang makan. Begitu melihat sang ibu tiri memasuki kamar Ara, Rain pun melangkahkan kakinya mendekati kamar gadis yang ia renggut kehormatannya semalam. Berdiri di sana, dan menguping pembicaraan Ara, dan sang ibu. "Ah iya, Rain, nanti mama sama Ara nyusul sarapan. Kamu sarapan saja dulu bersama papa," kata Wanda. Rain hanya mengangguk, lantas membalikkan tubuhnya, kemudian pergi menjauhi kamar Ara. "Ayo sarapan dulu, Ra, habis itu minum paracetamol. Kamu kayaknya demam," ujar Wanda. "Nanti siang kalau belum sembuh juga, mama akan panggil dokter."Ara menggeleng. Ia terlalu takut jika harus satu meja makan dengan Rain, orang yang sudah menghancurkan hidupnya. "Aku nggak nafsu makan, Ma." Wanda menghela napas. "Ya sudah, kamu istirahat dulu aja, nanti mama buatkan bubur." Seperginya sang ibu dari kamarnya, Ara langsung menutup pintu, dan menguncinya. Ara menyandarkan diri pada pi
Dedy tak menyuruh Rain untuk memanggil Wanda, dan Ara sarapan, karena Rain sedari tadi belum sampai ke ruang makan. Begitu melihat sang ibu tiri memasuki kamar Ara, Rain pun melangkahkan kakinya mendekati kamar gadis yang ia renggut kehormatannya semalam. Berdiri di sana, dan menguping pembicaraan Ara, dan sang ibu. "Ah iya, Rain, nanti mama sama Ara nyusul sarapan. Kamu sarapan saja dulu bersama papa," kata Wanda. Rain hanya mengangguk, lantas membalikkan tubuhnya, kemudian pergi menjauhi kamar Ara. "Ayo sarapan dulu, Ra, habis itu minum paracetamol. Kamu kayaknya demam," ujar Wanda. "Nanti siang kalau belum sembuh juga, mama akan panggil dokter."Ara menggeleng. Ia terlalu takut jika harus satu meja makan dengan Rain, orang yang sudah menghancurkan hidupnya. "Aku nggak nafsu makan, Ma." Wanda menghela napas. "Ya sudah, kamu istirahat dulu aja, nanti mama buatkan bubur." Seperginya sang ibu dari kamarnya, Ara langsung menutup pintu, dan menguncinya. Ara menyandarkan diri pada pi
Flashback Saat itu Rain berumur dua puluh tahun ketika Dedy--sang ayah mengatakan akan menikah lagi setelah sekian tahun ibunya Rain meninggal. Rain setuju saja, karena menurutnya sang ayah juga butuh seorang pendamping hidup. Lalu, pada malam hari berikutnya, Rain diajak sang ayah ke sebuah rumah kontrakan sederhana yang ada di pinggiran kota. Tempat di mana calon istri sang ayah tinggal. "Selamat malam. Apakah Om tamu yang ditunggu mama?" Seorang gadis remaja menyapa setelah membuka pintu Cantik. Begitulah kesan pertama Rain saat pertama kali melihat gadis itu. "Iya. Kamu pasti Araya ya?" ucap Dedy. Gadis itu mengangguk. "Panggil aja Ara, Om. Mari silakan masuk." Senyuman Ara menghiasi wajahnya yang kini dipoles make up tipis. Ia sudah diberitahu oleh sang ibu bahwa akan datang tamu yang akan menjadi calon ayah tirinya. Makanya Ara tadi sempat dirias oleh ibunya. "Terima kasih, Ara. Kamu ternyata lebih cantik daripada yang pernah om lihat di foto," kata Dedy. Ara tersipu, ya
Malam itu Ara sendirian di rumah, karena Wanda, dan Dedy sedang menghadiri acara pesta pernikahan salah satu anak dari rekan bisnis Dedy. Asisten rumah tangga juga sedang cuti sejak seminggu terakhir, dan belum juga kembali. Sedangkan Rain, Ara tidak tahu kakak tirinya itu ada di mana, sebab dari kemarin tidak ada di rumah. Berada di rumah besar seorang diri tak membuat Ara takut, makanya pas sore harinya sewaktu Dedy mengajaknya untuk ikut, Ara menolak. Lagi pula sedang tidak ada Rain di rumah, lain lagi jika sebaliknya. Saat waktu menunjukkan pukul sembilan malam, Wanda memberi kabar bahwa ia, dan Dedy akan menginap di hotel. Ara tidak masalah dengan itu, karena ia cukup pemberani.Ara tertidur setelah mendapat kabar dari ibunya, lalu pukul satu dini hari ia terbangun karena merasa haus, dan lapar. Menuju ke dapur, Ara membuat mie instan untuk mengganjal perutnya. Saking fokusnya Ara memasak mie, sampai tak sadar ada sepasang mata yang memperhatikan Ara di dekat pintu dapur. Sosok
Setelah kejadian di kolam itu, Ara jadi tidak lagi berusaha mengakrabkan diri pada Rain. Tapi Ara juga tidak berani jika membantah perintah Rain yang kadang tidak masuk di akalnya. Hari demi hari Ara lewati. Dari segi ekonomi, tentunya Ara tidak kekurangan lagi. Semua kebutuhannya, dan sang ibu dipenuhi oleh Dedy. Ayah tirinya benar-benar memperlakukan Ara dengan baik. Sebenarnya Dedy sering berkata pada Ara agar Ara bilang apa yang ia inginkan, karena nanti Dedy pasti akan membelikannya. Tapi, Ara tidak bilang, karena Ara merasa semua sudah cukup, dan ia tidak perlu apa-apa lagi. Mengenai sikap Rain padanya pun masih belum berubah, meski kini terhitung sudah tiga tahun Ara menjadi adik tiri laki-laki itu. Rain masih suka menindas, dan menyuruh Ara ini itu, tidak lupa juga sering melontarkan kata-kata tajam nan menyakitkan. "Cuci baju ini!" Rain melemparkan sebuah kemeja warna hitam, tepat ke wajah Ara. "Apa sih, Kak? Aku baru aja istirahat setelah Kakak suruh aku bersihin kamar m
Saat ini Ara merasa seperti tengah berada di antara hidup, dan mati, karena ia tak bisa berenang. Sementara pelaku yang membuat Ara tercebur hanya menyeringai. Mungkin ingin menyaksikan Ara meregang nyawa. "Astaga, Ara!" teriak Wanda yang tidak sengaja lewat, lalu melihat anak gadisnya yang seperti akan tenggelam.Wanda pun cepat berlari mendekati kolam, dan berdiri di samping Rain. Dengan mata berkaca-kaca , Wanda meminta tolong pada sang anak tiri. "Rain, tolong Ara, dia tidak bisa berenang. Mama takut Ara tenggelam." Rain menoleh sebentar, dan tidak menyangka bahwa sang ibu tiri sudah berdiri di sampingnya dengan raut wajah penuh kecemasan memandang ke arah Ara yang kini berada di kolam. Sangking fokusnya melihat Ara, sampai Rain tidak mendengar teriakan Wanda tadi. Tanpa berkata apa-apa, Rain kemudian menceburkan diri ke kolam, lalu berenang menghampiri Ara. Memeluk tubuh Ara, lalu membawanya ke tepian kolam. Begitu sampai di tepi kolam, Rain mengangkat tubuh Ara keluar dari ko
"Cepat! Lelet sekali," gerutu Rain sembari berbalik badan, menatap kesal ke arah Ara yang berjalan di belakangnya. "Iya, Kak." Rain kembali melangkah berniat menuju ke taman di halaman rumah kakek, dan neneknya ini. Ara tentu masih berjalan di belakang Rain. Sebenarnya Ara ingin sesekali jalan di samping Rain, layaknya saudara pada umumnya. Tidak seperti sekarang, jalan depan belakang yang justru lebih terlihat seperti majikan, dan pembantu. Namun, Ara tidak mau membuat kakak tirinya itu kesal, karena dulu Ara pernah sengaja berjalan di samping Rain, dan berakhir dimarahi Rain. Satu tahun sudah menjadi saudara tiri, nyatanya Rain tidak bisa menerima kehadirannya dengan baik. Padahal pada Wanda saja Rain mau menerima, dan mau menganggapnya sebagai ibu. Itulah yang kadang membuat Ara sedih. Meski begitu, Ara tidak menyerah, karena ia akan terus berusaha mendekatkan diri kepada Rain. Rain tiba-tiba menghentikan langkahnya, dan Ara yang sedang tidak fokus pun tidak sengaja menabrak pu
"Ara berapa hari di Jakarta, Ma?" Dedy menginterupsi. "Sudah mau balik ke Jogja, Pah. Tadi Ara bilang sudah di bandara mau berangkat." Dan perkataan Wanda itu pun sontak membuat Rain tersedak makanannya. Ingin rasanya Rain mengumpat. Ia kalah start lagi sekarang. Seharusnya tadi malam ia tak membiarkan Ara lolos begitu saja. "Lho, katanya Ara baru ke Jakarta kemarin kan? Kenapa sekarang sudah mau kembali ke Jogja lagi?" Dedy mengernyitkan dahi. Tidak biasanya sang anak tiri kesayangannya hanya sebentar di Jakarta. Ia bahkan semalam belum puas mengobrol dengan Ara. "Katanya ada urusan penting di Jogja, Pah, makanya harus berangkat ke sana hari ini juga," kata Wanda. Rain berdeham, kemudian menatap sang ibu tiri. "Apa Ara sekarang sedang menyusun skripsi, Ma?" Wanda tersenyum. "Sudah selesai skripsinya Ara, Rain. Sudah sidang juga. Tinggal nunggu wisuda saja." Informasi baru lagi bagi Rain. "Oh ya? Kapan wisudanya, Ma?" "Ara belum memberitahu mama, Rain. Tapi sepertinya sebenta
Rumah mewah milik Meta yang jadi tempat Ara menginap selama di Jakarta, sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali ke Yogyakarta, kota di mana Ara melanjutkan pendidikan perguruan tingginya. Bukan rumah orang tuanya atau lebih tepatnya rumah milik Dedy--sang ayah tiri tidak nyaman, justru sangat nyaman, dan tak kalah besar serta mewah seperti rumah Meta--sahabatnya. Hanya saja, yang menjadikan Ara malas pulang ke rumah adalah karena takut bertemu dengan Rain, sang kakak tiri yang selama ini membuat hidupnya terasa menyedihkan. Terhitung sudah empat tahun Ara berkuliah di Yogyakarta, dan ia pun sudah menyelesaikan sidang skripsinya, tinggal menunggu wisuda saja. Selama empat tahun itu pun, Ara tidak pernah pulang ke rumah Dedy. Jika liburan ataupun hari raya, Ara lebih memilih pulang ke rumah Meta. Baik Dedy maupun Wanda--ibu kandung Ara-- selalu meminta Ara untuk pulang ke rumah, tapi Ara selalu menolak, dengan alasan bahwa Meta butuh ditemani di rumah besarnya, karena selama ini ora
Ara bernapas lega. Setidaknya dengan kehadiran sang ayah tirinya, membuat Rain melepaskannya. Namun, tatapan tajam Rain yang mengarah kepadanya, seolah-olah memerintah agar Ara tak memberitahu yang sebenarnya terjadi di antara mereka tadi. "Ah, tidak ada apa-apa, Pah. Aku hanya ingin mengobrol dengan adikku. Sudah lama kami tidak bertemu kan?" Rain menjawab pertanyaan Dedy. Dedy mengernyitkan dahi, seolah tak paham dengan perkataan sang putra. "Kalau mau mengobrol, kenapa harus di tempat sepi seperti ini? Masih kurang luas kah, gedung yang papa sewa untuk malam ini?" "Tentu saja sangat luas, Pah, hanya saja, aku, dan Ara butuh tempat yang lebih privat untuk mengobrol. Bukan begitu, Adik manis?" Rain menyeringai, sembari menatap Ara. Mau tidak mau, Ara pun mengangguk. Sungguh ia tidak mau terjebak lebih lama lagi dengan Rain. "Ada ruangan khusus untuk keluarga, Rain. Kalian bisa mengobrol di sana," kata Dedy. "Iya, aku tau, Pah. Tapi, kebetulan Ara tadi ingin ke toilet, jadi aku m