"Apakah pesta ini jauh lebih menyenangkan jika tidak ada aku?" ucap laki-laki itu yang seketika membuat tubuh Ara menegang ketakutan.
Dia? Laki-laki itu kenapa ada di sini? Ara kira ia tak akan bertemu dengan laki-laki itu.
"Oh, kamu juga pulang, Rain? Kenapa tidak memberi kabar?" tanya Dedy.
"Sengaja. Aku ingin kalian terkejut dengan kedatanganku," jawab laki-laki bernama Rain.
Rain adalah anak laki-laki Dedy dari istri pertamanya. Ibu kandung Rain sudah tiada semenjak Rain masih kecil.
Selama beberapa tahun ini Rain banyak menghabiskan waktu di luar negeri untuk mengurus usahanya di sana.
"Mama senang kamu juga pulang, Rain," ucap Wanda seraya tersenyum pada anak tirinya itu.
"Aku juga senang bisa pulang, dan bertemu bidadari cantik seperti Mama," kata Rain. Meski Wanda bukan ibu kandungnya, tetapi Rain sangat menghormati Wanda, dan hubungan mereka sebagai ibu, dan anak cukup baik.
"Ah, kamu bisa saja." Wanda tersipu dengan pujian yang diberikan Rain. Ia kemudian menoleh pada Ara. "Sayang, kamu nggak mau menyapa kakakmu?"
Merasa ibunya berbicara dengannya, Ara pun tersadar dari lamunannya. Ia gelagapan, dan sebisa mungkin menghindari bertatapan dengan Rain.
"Oh, halo, Kak, apa kabar?" sapa Ara dengan canggung, tanpa menatap laki-laki yang lebih tua lima tahun darinya. Ia memang tidak pernah dekat dengan Rain.
"Apakah begitu caramu menyapa kakak, Adik manis? Kamu bahkan tidak mau menatapku," cetus Rain, yang kini sudah berdiri di depan Ara, sembari memasukkan satu tangannya ke saku celana.
"Jangan menggoda adikmu, Rain." Dedy menegur, tapi tidak dipedulikan Rain.
"Maafkan aku, Kak." Ara mencoba mengangkat kepalanya untuk menatap Rain, dan saat itu pula terlihatlah Rain yang sudah tersenyum mengerikan. Setidaknya seperti itu penilaian di mata Ara.
Ada beberapa tamu yang kemudian menginterupsi keluarga kecil itu, memberi selamat, dan berbincang dengan Dedy, serta Wanda. Hal itu membuat Rain mempunyai kesempatan untuk menarik tangan Ara, menjauh dari tempat orang tua mereka. Dengan terpaksa, Ara mengikuti Rain dengan memendam perasaan takut. Ia takut sesuatu yang pernah terjadi akan terulang lagi.
"Sudah cukup kaburnya dariku, Ara?" bisik Rain di dekat telinga Ara. Kebetulan ia berdiri di samping Ara sekarang.
"Kak, tolong menjauhlah," ucap Ara sembari menunduk, dengan bergeser sedikit, menjauhi sang kakak.
"Kenapa? Bukankah sebagai saudara, sudah selayaknya kita berdekatan?" balas Rain, yang kemudian menggeser tubuhnya lebih dekat dengan Ara.
Tak mau terjebak berdekatan dengan kakak tiri yang membuatnya takut itu, Ara pun kembali menjauh. Ia pergi ke toilet untuk menenangkan diri. Sesak rasanya jika terus bersama dengan laki-laki itu, apalagi jika bayangan masa kelam tiba-tiba terlintas di pikiran.
Di toilet, Ara bercermin, lalu merapikan riasannya. Ia berpikir sebaiknya segera pulang ke rumah Meta--sang sahabat setelah acara itu selesai. Ia tidak mau pulang ke rumah karena pasti kakaknya akan di sana.
Selesai dengan urusannya, Ara berniat keluar dari toilet. Di depan toilet, tiba-tiba ia dikejutkan dengan kehadiran Rain.
"Jangan pikir kamu bisa menghindariku terus, Ara!" Rain menatap tajam. Ia sontak memojokkan Ara hingga terpepet ke tembok, lalu mengurungnya dengan kedua lengan tangannya.
"Kak, tolong jangan ganggu aku lagi," ucap Ara dengan suara bergetar. Badannya pun sudah gemetaran berada di posisi seperti ini.
"Kamu yang lebih dulu mengganggu hidupku. Sekarang giliran aku yang mengganggu kamu."
"Kak Rain sudah menggangguku dari dulu, apa itu nggak cukup?" Ara mulai terisak. "Lagian apa salahku yang membuat Kak Rain merasa terganggu?"
"Karena kamu hadir di hidupku. Itu kesalahan kamu. Dan satu kesalahan itu harus kamu bayar dengan cara menerima segala bentuk gangguan dariku," kata Rain.
"Kamu bisa menerima mama, tapi kenapa nggak bisa menerimaku, Kak? Apa karena papa Dedy menyayangiku hingga buat Kakak merasa tersingkir? Padahal papa Dedy tidak pernah membeda-bedakan kita. Dia masih sayang juga sama Kak Rain, melebihi rasa sayangnya padaku," tutur Ara.
"Kamu ternyata masih belum paham juga, Ara. Aku pikir kamu cukup cerdas, tapi ternyata masih tidak bisa menangkap maksudku." Rain menyeringai.
Dalam posisi sedekat itu dengan Ara, Rain dapat melihat dengan jelas wajah cantik Ara yang kini tengah ketakutan. Sungguh hiburan yang sangat menarik baginya.
"Sudah cukup empat tahun ini aku beri kebebasan untukmu, Ara. Setelah ini jangan harap kamu bisa lolos lagi dariku." Rain membisik.
"Cukup, Kak, jangan gila!" Dengan sisa keberanian yang ada, Ara mendorong dada Rain hingga tercipta jarak di antara mereka, tidak sedekat tadi.
Tindakan Ara itu membuat Rain geram. Ia mendekati Ara lagi, lalu mencekal tangan Ara dengan erat, membuat Ara meringis kesakitan.
"Lepasin, Kak. Jangan kurang ajar!" Ara meronta, tapi tidak dipedulikan Rain.
"Kamu pikir kamu siapa berani memerintahku, Ara?!" geram Rain.
Ara tak menjawab perkataan Rain. Sebaliknya ia terus mencoba untuk lepas dari cekalan kakak tirinya itu. Ia takut jika tiba-tiba ada orang yang melihat keadaan mereka sekarang, kemudian menjadi salah paham.
"Selesaikan urusanmu di kota itu segera! Setelah itu, kamu akan benar-benar berada di bawah kendaliku," perintah Rain.
"Nggak akan! Aku nggak akan menuruti permintaan dari ib*is seperti Kakak!"
Penolakan dari Ara itu semakin membuat Rain marah. Bukannya melepaskan cekalannya, Rain justru memelintir tangan Ara, hingga Ara semakin kesakitan.
Air mata Ara turun membasahi wajah cantiknya, dan itu membuat hiburan menyenangkan bagi Rain. Membuat Ara ketakutan, adalah suatu kebahagiaan bagi laki-laki berusia dua puluh tujuh tahun itu.
Sementara itu, Ara tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya jika ia terus bersama Rain. Bisa-bisa masa depan yang sudah direncanakannya hancur begitu saja.
Seseorang tiba-tiba datang, melihat Rain, dan Ara yang saat ini tengah di depan toilet.
"Rain, Ara, apa yang sedang kalian laku
kan?" tanyanya yang seketika membuat Rain melepaskan cekalannya pada tangan Ara.
Ara bernapas lega. Setidaknya dengan kehadiran sang ayah tirinya, membuat Rain melepaskannya. Namun, tatapan tajam Rain yang mengarah kepadanya, seolah-olah memerintah agar Ara tak memberitahu yang sebenarnya terjadi di antara mereka tadi. "Ah, tidak ada apa-apa, Pah. Aku hanya ingin mengobrol dengan adikku. Sudah lama kami tidak bertemu kan?" Rain menjawab pertanyaan Dedy. Dedy mengernyitkan dahi, seolah tak paham dengan perkataan sang putra. "Kalau mau mengobrol, kenapa harus di tempat sepi seperti ini? Masih kurang luas kah, gedung yang papa sewa untuk malam ini?" "Tentu saja sangat luas, Pah, hanya saja, aku, dan Ara butuh tempat yang lebih privat untuk mengobrol. Bukan begitu, Adik manis?" Rain menyeringai, sembari menatap Ara. Mau tidak mau, Ara pun mengangguk. Sungguh ia tidak mau terjebak lebih lama lagi dengan Rain. "Ada ruangan khusus untuk keluarga, Rain. Kalian bisa mengobrol di sana," kata Dedy. "Iya, aku tau, Pah. Tapi, kebetulan Ara tadi ingin ke toilet, jadi aku m
Rumah mewah milik Meta yang jadi tempat Ara menginap selama di Jakarta, sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali ke Yogyakarta, kota di mana Ara melanjutkan pendidikan perguruan tingginya. Bukan rumah orang tuanya atau lebih tepatnya rumah milik Dedy--sang ayah tiri tidak nyaman, justru sangat nyaman, dan tak kalah besar serta mewah seperti rumah Meta--sahabatnya. Hanya saja, yang menjadikan Ara malas pulang ke rumah adalah karena takut bertemu dengan Rain, sang kakak tiri yang selama ini membuat hidupnya terasa menyedihkan. Terhitung sudah empat tahun Ara berkuliah di Yogyakarta, dan ia pun sudah menyelesaikan sidang skripsinya, tinggal menunggu wisuda saja. Selama empat tahun itu pun, Ara tidak pernah pulang ke rumah Dedy. Jika liburan ataupun hari raya, Ara lebih memilih pulang ke rumah Meta. Baik Dedy maupun Wanda--ibu kandung Ara-- selalu meminta Ara untuk pulang ke rumah, tapi Ara selalu menolak, dengan alasan bahwa Meta butuh ditemani di rumah besarnya, karena selama ini ora
"Ara berapa hari di Jakarta, Ma?" Dedy menginterupsi. "Sudah mau balik ke Jogja, Pah. Tadi Ara bilang sudah di bandara mau berangkat." Dan perkataan Wanda itu pun sontak membuat Rain tersedak makanannya. Ingin rasanya Rain mengumpat. Ia kalah start lagi sekarang. Seharusnya tadi malam ia tak membiarkan Ara lolos begitu saja. "Lho, katanya Ara baru ke Jakarta kemarin kan? Kenapa sekarang sudah mau kembali ke Jogja lagi?" Dedy mengernyitkan dahi. Tidak biasanya sang anak tiri kesayangannya hanya sebentar di Jakarta. Ia bahkan semalam belum puas mengobrol dengan Ara. "Katanya ada urusan penting di Jogja, Pah, makanya harus berangkat ke sana hari ini juga," kata Wanda. Rain berdeham, kemudian menatap sang ibu tiri. "Apa Ara sekarang sedang menyusun skripsi, Ma?" Wanda tersenyum. "Sudah selesai skripsinya Ara, Rain. Sudah sidang juga. Tinggal nunggu wisuda saja." Informasi baru lagi bagi Rain. "Oh ya? Kapan wisudanya, Ma?" "Ara belum memberitahu mama, Rain. Tapi sepertinya sebenta
"Cepat! Lelet sekali," gerutu Rain sembari berbalik badan, menatap kesal ke arah Ara yang berjalan di belakangnya. "Iya, Kak." Rain kembali melangkah berniat menuju ke taman di halaman rumah kakek, dan neneknya ini. Ara tentu masih berjalan di belakang Rain. Sebenarnya Ara ingin sesekali jalan di samping Rain, layaknya saudara pada umumnya. Tidak seperti sekarang, jalan depan belakang yang justru lebih terlihat seperti majikan, dan pembantu. Namun, Ara tidak mau membuat kakak tirinya itu kesal, karena dulu Ara pernah sengaja berjalan di samping Rain, dan berakhir dimarahi Rain. Satu tahun sudah menjadi saudara tiri, nyatanya Rain tidak bisa menerima kehadirannya dengan baik. Padahal pada Wanda saja Rain mau menerima, dan mau menganggapnya sebagai ibu. Itulah yang kadang membuat Ara sedih. Meski begitu, Ara tidak menyerah, karena ia akan terus berusaha mendekatkan diri kepada Rain. Rain tiba-tiba menghentikan langkahnya, dan Ara yang sedang tidak fokus pun tidak sengaja menabrak pu
Saat ini Ara merasa seperti tengah berada di antara hidup, dan mati, karena ia tak bisa berenang. Sementara pelaku yang membuat Ara tercebur hanya menyeringai. Mungkin ingin menyaksikan Ara meregang nyawa. "Astaga, Ara!" teriak Wanda yang tidak sengaja lewat, lalu melihat anak gadisnya yang seperti akan tenggelam.Wanda pun cepat berlari mendekati kolam, dan berdiri di samping Rain. Dengan mata berkaca-kaca , Wanda meminta tolong pada sang anak tiri. "Rain, tolong Ara, dia tidak bisa berenang. Mama takut Ara tenggelam." Rain menoleh sebentar, dan tidak menyangka bahwa sang ibu tiri sudah berdiri di sampingnya dengan raut wajah penuh kecemasan memandang ke arah Ara yang kini berada di kolam. Sangking fokusnya melihat Ara, sampai Rain tidak mendengar teriakan Wanda tadi. Tanpa berkata apa-apa, Rain kemudian menceburkan diri ke kolam, lalu berenang menghampiri Ara. Memeluk tubuh Ara, lalu membawanya ke tepian kolam. Begitu sampai di tepi kolam, Rain mengangkat tubuh Ara keluar dari ko
Setelah kejadian di kolam itu, Ara jadi tidak lagi berusaha mengakrabkan diri pada Rain. Tapi Ara juga tidak berani jika membantah perintah Rain yang kadang tidak masuk di akalnya. Hari demi hari Ara lewati. Dari segi ekonomi, tentunya Ara tidak kekurangan lagi. Semua kebutuhannya, dan sang ibu dipenuhi oleh Dedy. Ayah tirinya benar-benar memperlakukan Ara dengan baik. Sebenarnya Dedy sering berkata pada Ara agar Ara bilang apa yang ia inginkan, karena nanti Dedy pasti akan membelikannya. Tapi, Ara tidak bilang, karena Ara merasa semua sudah cukup, dan ia tidak perlu apa-apa lagi. Mengenai sikap Rain padanya pun masih belum berubah, meski kini terhitung sudah tiga tahun Ara menjadi adik tiri laki-laki itu. Rain masih suka menindas, dan menyuruh Ara ini itu, tidak lupa juga sering melontarkan kata-kata tajam nan menyakitkan. "Cuci baju ini!" Rain melemparkan sebuah kemeja warna hitam, tepat ke wajah Ara. "Apa sih, Kak? Aku baru aja istirahat setelah Kakak suruh aku bersihin kamar m
Malam itu Ara sendirian di rumah, karena Wanda, dan Dedy sedang menghadiri acara pesta pernikahan salah satu anak dari rekan bisnis Dedy. Asisten rumah tangga juga sedang cuti sejak seminggu terakhir, dan belum juga kembali. Sedangkan Rain, Ara tidak tahu kakak tirinya itu ada di mana, sebab dari kemarin tidak ada di rumah. Berada di rumah besar seorang diri tak membuat Ara takut, makanya pas sore harinya sewaktu Dedy mengajaknya untuk ikut, Ara menolak. Lagi pula sedang tidak ada Rain di rumah, lain lagi jika sebaliknya. Saat waktu menunjukkan pukul sembilan malam, Wanda memberi kabar bahwa ia, dan Dedy akan menginap di hotel. Ara tidak masalah dengan itu, karena ia cukup pemberani.Ara tertidur setelah mendapat kabar dari ibunya, lalu pukul satu dini hari ia terbangun karena merasa haus, dan lapar. Menuju ke dapur, Ara membuat mie instan untuk mengganjal perutnya. Saking fokusnya Ara memasak mie, sampai tak sadar ada sepasang mata yang memperhatikan Ara di dekat pintu dapur. Sosok
Flashback Saat itu Rain berumur dua puluh tahun ketika Dedy--sang ayah mengatakan akan menikah lagi setelah sekian tahun ibunya Rain meninggal. Rain setuju saja, karena menurutnya sang ayah juga butuh seorang pendamping hidup. Lalu, pada malam hari berikutnya, Rain diajak sang ayah ke sebuah rumah kontrakan sederhana yang ada di pinggiran kota. Tempat di mana calon istri sang ayah tinggal. "Selamat malam. Apakah Om tamu yang ditunggu mama?" Seorang gadis remaja menyapa setelah membuka pintu Cantik. Begitulah kesan pertama Rain saat pertama kali melihat gadis itu. "Iya. Kamu pasti Araya ya?" ucap Dedy. Gadis itu mengangguk. "Panggil aja Ara, Om. Mari silakan masuk." Senyuman Ara menghiasi wajahnya yang kini dipoles make up tipis. Ia sudah diberitahu oleh sang ibu bahwa akan datang tamu yang akan menjadi calon ayah tirinya. Makanya Ara tadi sempat dirias oleh ibunya. "Terima kasih, Ara. Kamu ternyata lebih cantik daripada yang pernah om lihat di foto," kata Dedy. Ara tersipu, ya
Dedy tak menyuruh Rain untuk memanggil Wanda, dan Ara sarapan, karena Rain sedari tadi belum sampai ke ruang makan. Begitu melihat sang ibu tiri memasuki kamar Ara, Rain pun melangkahkan kakinya mendekati kamar gadis yang ia renggut kehormatannya semalam. Berdiri di sana, dan menguping pembicaraan Ara, dan sang ibu. "Ah iya, Rain, nanti mama sama Ara nyusul sarapan. Kamu sarapan saja dulu bersama papa," kata Wanda. Rain hanya mengangguk, lantas membalikkan tubuhnya, kemudian pergi menjauhi kamar Ara. "Ayo sarapan dulu, Ra, habis itu minum paracetamol. Kamu kayaknya demam," ujar Wanda. "Nanti siang kalau belum sembuh juga, mama akan panggil dokter."Ara menggeleng. Ia terlalu takut jika harus satu meja makan dengan Rain, orang yang sudah menghancurkan hidupnya. "Aku nggak nafsu makan, Ma." Wanda menghela napas. "Ya sudah, kamu istirahat dulu aja, nanti mama buatkan bubur." Seperginya sang ibu dari kamarnya, Ara langsung menutup pintu, dan menguncinya. Ara menyandarkan diri pada pi
Flashback Saat itu Rain berumur dua puluh tahun ketika Dedy--sang ayah mengatakan akan menikah lagi setelah sekian tahun ibunya Rain meninggal. Rain setuju saja, karena menurutnya sang ayah juga butuh seorang pendamping hidup. Lalu, pada malam hari berikutnya, Rain diajak sang ayah ke sebuah rumah kontrakan sederhana yang ada di pinggiran kota. Tempat di mana calon istri sang ayah tinggal. "Selamat malam. Apakah Om tamu yang ditunggu mama?" Seorang gadis remaja menyapa setelah membuka pintu Cantik. Begitulah kesan pertama Rain saat pertama kali melihat gadis itu. "Iya. Kamu pasti Araya ya?" ucap Dedy. Gadis itu mengangguk. "Panggil aja Ara, Om. Mari silakan masuk." Senyuman Ara menghiasi wajahnya yang kini dipoles make up tipis. Ia sudah diberitahu oleh sang ibu bahwa akan datang tamu yang akan menjadi calon ayah tirinya. Makanya Ara tadi sempat dirias oleh ibunya. "Terima kasih, Ara. Kamu ternyata lebih cantik daripada yang pernah om lihat di foto," kata Dedy. Ara tersipu, ya
Malam itu Ara sendirian di rumah, karena Wanda, dan Dedy sedang menghadiri acara pesta pernikahan salah satu anak dari rekan bisnis Dedy. Asisten rumah tangga juga sedang cuti sejak seminggu terakhir, dan belum juga kembali. Sedangkan Rain, Ara tidak tahu kakak tirinya itu ada di mana, sebab dari kemarin tidak ada di rumah. Berada di rumah besar seorang diri tak membuat Ara takut, makanya pas sore harinya sewaktu Dedy mengajaknya untuk ikut, Ara menolak. Lagi pula sedang tidak ada Rain di rumah, lain lagi jika sebaliknya. Saat waktu menunjukkan pukul sembilan malam, Wanda memberi kabar bahwa ia, dan Dedy akan menginap di hotel. Ara tidak masalah dengan itu, karena ia cukup pemberani.Ara tertidur setelah mendapat kabar dari ibunya, lalu pukul satu dini hari ia terbangun karena merasa haus, dan lapar. Menuju ke dapur, Ara membuat mie instan untuk mengganjal perutnya. Saking fokusnya Ara memasak mie, sampai tak sadar ada sepasang mata yang memperhatikan Ara di dekat pintu dapur. Sosok
Setelah kejadian di kolam itu, Ara jadi tidak lagi berusaha mengakrabkan diri pada Rain. Tapi Ara juga tidak berani jika membantah perintah Rain yang kadang tidak masuk di akalnya. Hari demi hari Ara lewati. Dari segi ekonomi, tentunya Ara tidak kekurangan lagi. Semua kebutuhannya, dan sang ibu dipenuhi oleh Dedy. Ayah tirinya benar-benar memperlakukan Ara dengan baik. Sebenarnya Dedy sering berkata pada Ara agar Ara bilang apa yang ia inginkan, karena nanti Dedy pasti akan membelikannya. Tapi, Ara tidak bilang, karena Ara merasa semua sudah cukup, dan ia tidak perlu apa-apa lagi. Mengenai sikap Rain padanya pun masih belum berubah, meski kini terhitung sudah tiga tahun Ara menjadi adik tiri laki-laki itu. Rain masih suka menindas, dan menyuruh Ara ini itu, tidak lupa juga sering melontarkan kata-kata tajam nan menyakitkan. "Cuci baju ini!" Rain melemparkan sebuah kemeja warna hitam, tepat ke wajah Ara. "Apa sih, Kak? Aku baru aja istirahat setelah Kakak suruh aku bersihin kamar m
Saat ini Ara merasa seperti tengah berada di antara hidup, dan mati, karena ia tak bisa berenang. Sementara pelaku yang membuat Ara tercebur hanya menyeringai. Mungkin ingin menyaksikan Ara meregang nyawa. "Astaga, Ara!" teriak Wanda yang tidak sengaja lewat, lalu melihat anak gadisnya yang seperti akan tenggelam.Wanda pun cepat berlari mendekati kolam, dan berdiri di samping Rain. Dengan mata berkaca-kaca , Wanda meminta tolong pada sang anak tiri. "Rain, tolong Ara, dia tidak bisa berenang. Mama takut Ara tenggelam." Rain menoleh sebentar, dan tidak menyangka bahwa sang ibu tiri sudah berdiri di sampingnya dengan raut wajah penuh kecemasan memandang ke arah Ara yang kini berada di kolam. Sangking fokusnya melihat Ara, sampai Rain tidak mendengar teriakan Wanda tadi. Tanpa berkata apa-apa, Rain kemudian menceburkan diri ke kolam, lalu berenang menghampiri Ara. Memeluk tubuh Ara, lalu membawanya ke tepian kolam. Begitu sampai di tepi kolam, Rain mengangkat tubuh Ara keluar dari ko
"Cepat! Lelet sekali," gerutu Rain sembari berbalik badan, menatap kesal ke arah Ara yang berjalan di belakangnya. "Iya, Kak." Rain kembali melangkah berniat menuju ke taman di halaman rumah kakek, dan neneknya ini. Ara tentu masih berjalan di belakang Rain. Sebenarnya Ara ingin sesekali jalan di samping Rain, layaknya saudara pada umumnya. Tidak seperti sekarang, jalan depan belakang yang justru lebih terlihat seperti majikan, dan pembantu. Namun, Ara tidak mau membuat kakak tirinya itu kesal, karena dulu Ara pernah sengaja berjalan di samping Rain, dan berakhir dimarahi Rain. Satu tahun sudah menjadi saudara tiri, nyatanya Rain tidak bisa menerima kehadirannya dengan baik. Padahal pada Wanda saja Rain mau menerima, dan mau menganggapnya sebagai ibu. Itulah yang kadang membuat Ara sedih. Meski begitu, Ara tidak menyerah, karena ia akan terus berusaha mendekatkan diri kepada Rain. Rain tiba-tiba menghentikan langkahnya, dan Ara yang sedang tidak fokus pun tidak sengaja menabrak pu
"Ara berapa hari di Jakarta, Ma?" Dedy menginterupsi. "Sudah mau balik ke Jogja, Pah. Tadi Ara bilang sudah di bandara mau berangkat." Dan perkataan Wanda itu pun sontak membuat Rain tersedak makanannya. Ingin rasanya Rain mengumpat. Ia kalah start lagi sekarang. Seharusnya tadi malam ia tak membiarkan Ara lolos begitu saja. "Lho, katanya Ara baru ke Jakarta kemarin kan? Kenapa sekarang sudah mau kembali ke Jogja lagi?" Dedy mengernyitkan dahi. Tidak biasanya sang anak tiri kesayangannya hanya sebentar di Jakarta. Ia bahkan semalam belum puas mengobrol dengan Ara. "Katanya ada urusan penting di Jogja, Pah, makanya harus berangkat ke sana hari ini juga," kata Wanda. Rain berdeham, kemudian menatap sang ibu tiri. "Apa Ara sekarang sedang menyusun skripsi, Ma?" Wanda tersenyum. "Sudah selesai skripsinya Ara, Rain. Sudah sidang juga. Tinggal nunggu wisuda saja." Informasi baru lagi bagi Rain. "Oh ya? Kapan wisudanya, Ma?" "Ara belum memberitahu mama, Rain. Tapi sepertinya sebenta
Rumah mewah milik Meta yang jadi tempat Ara menginap selama di Jakarta, sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali ke Yogyakarta, kota di mana Ara melanjutkan pendidikan perguruan tingginya. Bukan rumah orang tuanya atau lebih tepatnya rumah milik Dedy--sang ayah tiri tidak nyaman, justru sangat nyaman, dan tak kalah besar serta mewah seperti rumah Meta--sahabatnya. Hanya saja, yang menjadikan Ara malas pulang ke rumah adalah karena takut bertemu dengan Rain, sang kakak tiri yang selama ini membuat hidupnya terasa menyedihkan. Terhitung sudah empat tahun Ara berkuliah di Yogyakarta, dan ia pun sudah menyelesaikan sidang skripsinya, tinggal menunggu wisuda saja. Selama empat tahun itu pun, Ara tidak pernah pulang ke rumah Dedy. Jika liburan ataupun hari raya, Ara lebih memilih pulang ke rumah Meta. Baik Dedy maupun Wanda--ibu kandung Ara-- selalu meminta Ara untuk pulang ke rumah, tapi Ara selalu menolak, dengan alasan bahwa Meta butuh ditemani di rumah besarnya, karena selama ini ora
Ara bernapas lega. Setidaknya dengan kehadiran sang ayah tirinya, membuat Rain melepaskannya. Namun, tatapan tajam Rain yang mengarah kepadanya, seolah-olah memerintah agar Ara tak memberitahu yang sebenarnya terjadi di antara mereka tadi. "Ah, tidak ada apa-apa, Pah. Aku hanya ingin mengobrol dengan adikku. Sudah lama kami tidak bertemu kan?" Rain menjawab pertanyaan Dedy. Dedy mengernyitkan dahi, seolah tak paham dengan perkataan sang putra. "Kalau mau mengobrol, kenapa harus di tempat sepi seperti ini? Masih kurang luas kah, gedung yang papa sewa untuk malam ini?" "Tentu saja sangat luas, Pah, hanya saja, aku, dan Ara butuh tempat yang lebih privat untuk mengobrol. Bukan begitu, Adik manis?" Rain menyeringai, sembari menatap Ara. Mau tidak mau, Ara pun mengangguk. Sungguh ia tidak mau terjebak lebih lama lagi dengan Rain. "Ada ruangan khusus untuk keluarga, Rain. Kalian bisa mengobrol di sana," kata Dedy. "Iya, aku tau, Pah. Tapi, kebetulan Ara tadi ingin ke toilet, jadi aku m