Setelah puas melihat senja ke lima anak sd itu bergegas pulang ke rumahnya masing-masing. Sambil mengayuh sepeda dengan penuh cemas hatinya gelisah Damar tak ingin pulang ke rumah. Begitu sampai di muka pintu, benar saja sudah terdengar suara bising pecahan benda yang jatuh. Damar sangat benci dengan suara itu ia menutup kedua telinganya berharap semua itu cepat hilang. Keributan ke dua orang tuanya terdengar jelas dari luar. Tangisan adik kecil membuat ia tak tega, anak malang itu tak hiraukan apapun dan masuk ke dalam rumah. Papa damar yang melihat anaknya seketika marah karena pulang telat.
“Kemana saja kamu?” Tanya Papa Damar penuh kemarahan.
Damar hanya terdiam dan langsung pergi menemui adiknya Papa Damar pun kesal dengan tingkah laku anaknya ia terus menyalahkan Mama Damar karena tak becus mendidik anak.
“Lihat anakmu! tak punya sopan santun!’’ Ucap Papa Damar penuh kesal.
Mamanya yang muak tak mengatakan apapun ia hanya duduk dan memalingkan wajahnya. Hal itu menambah kemarahan Papa Damar, dengan wajah geram dia pergi lalu membanting keras pintu depan.
Damar langsung memeluk erat adik nya ia menenangkan dengan penuh kasih sayang. Anak malang itu berkata “Adek jangan sedih lagi Kaka akan selalu bersama Adek.” Ucap sang Kaka memeluk erat tubuh kecil Adiknya.
Mama Damar termenung tak tega melihat ke dua anak itu lantas menjadi korban. Sontak Mama Damar mencari cara agar bisa terbebas dari penderitaan ini.Tetapi pikirannya buntu Mama Damar merasa tidak mampu menjadi seorang Ibu yang baik karena tak bisa melindungi kedua anaknya.
Wanita itu berjalan langkah kakinya tergopoh-gopoh tatapan yang begitu kosong. Membuat Damar cemas dan mengikutinya. Mama Damar mulai berpikir gila ia beranjak pergi ke dapur lalu mengambil sebilah pisau dan ingin menusuk perutnya. Damar yang membututi Mamanya sontak terkejut dengan tidakan yang akan dilakukan olehnya.
Ia pun memegang erat tangan wanita itu agar tidak bertindak buruk.“Mama jangan Ma sadar!” ucap Damar sambil menangis .
Mama nya begitu frustasi ia bertindak nekat berharap penderitaan ini cepat berlalu. Damar langsung menarik erat pisau itu dari tangan sang Mama sampai terhempas ke ujung tembok.
“Jangan halangi Mama Damar!” Ucap Mamanya penuh kesal.
Mamanya gusar dan medorong Damar hingga terjatuh,dahinya tergores meja kayu yang runcing dan lantas berdarah.Mama damar lalu tersadar dengan tindakannya ia sangat menyesal. Karena yang seharusnya memberi perlindungan malah sebaliknya. Tangannya gemetar memegang lembut wajah Damar darah terus mengalir di dahinya.
Wanita itu bergegas mengambil kotak p3k untuk mengobati luka Damar. Mama Damar tak hentinya menangis sambil mengusap lembut dahi anaknya.
“Aw,!” ucap Damar kesakitan.
“Maafin Mama nak.! Mama gak bisa lindungi kamu!” Ujar Mama Damar penuh sesal.
“Iya Mah! Mama tapi jangan nglakuin ini lagi ya.? Damar takut Mama kenapa-napa.!”
Mendengar perkataan Damar Mamanya meratap langsung memeluk sang putra dengan erat. Ia berjanji tak akan melakukan hal nekat ini lagi. Adiknya yang tak tau apapun lantas menangis akhirnya mereka bertiga berpelukan dengan erat.
***
Di tempat lain Delia yang sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti perlombaan puisi. Ia pergi ke mall bersama Ibunya membeli baju agar bisa di pakai besok. Delia pun meminta Ibunya memilihkan sebuah baju yang cantik. Ibunya berantusias dan sangat mendukung apapun yang dilakukan Delia. Dia memilihkan baju gaun panjang berwarna oren kemerahan dan ada pita di belakangnya. Delia sangat suka dengan pilihan Ibunya ia lantas berterima kasih.
“Wah ini sangat bagus Ibu terimakasih!” Ucap Delia sambil menari-nari memegang gaun itu.
Di sepanjang jalan Delia terus memeluk gaun itu dan selalu membayangkan tentang penampilannya besok. Sampai di rumah Delia menggantung gaun yang ia beli di lemari lalu gadis itu mulai merebahkan tubuhnya ke atas kasur. Delia tak bisa tidur karena terlalu senang ia berusaha menutup mata namun tetap saja tak bisa. Sampai waktu mulai larut, pada pertengahan malam suara detak jam terdengar jelas. Suasananya begitu sunyi dan sepi, lama-lama mata Delia mulai lelah ia tak sadar mulai terlelap.
"Gimana Delia suka?" Ucap Ibunya sembari memakaikan sebuah pita.
Ibu Delia sedang merias putri kecilnya dengan mengucir rambut menggunakan pita. Gadis kecil itu tampak menawan dan penuh percaya diri. Ibunya memberikan semangat agar dapat mengikuti lomba dengan sebaik mungkin.
“Delia semangat sayang!” Ucap Ibunya menyemangati.
“Siap! ibu mana ayah?" Sahut Delia bertanya-tanya.
“Ayah udah berangkat kerja nak! mending cepetan berangkat sekolah nanti telat loh!” Ucap sang Ibu mencubit lembut pipi Putrinya itu.
Delia lantas bersalaman bergegas pergi ke sekolah dengan menaiki sepeda. Ia menggoyang-goyangkan kepalanya dan sesekali tersenyum. Udara sejuk di pagi hari memberikan semangat, Delia menyapa pada sang mentari. Ia berpacu dengan waktu segera mengayuh sepeda dengan cepat agar tak terlambat ke sekolah. Sesampainya di sekolah anak-anak sd melihat Delia penuh takjum, ia sangat cantik dengan pita di kepalanya.
Delia tak begitu menghiraukan ia lantas mencari sahabatnya Damar. Gadis kecil itu melangkah di setiap ruangan kelas namun tak melihat keberadaan Damar. Delia bertanya pada siapapun namun mereka tak tahu keberadaan Damar.
“Romi kamu tahu Damar dimana?” Ucap Delia memandang Romi.
Romi hanya terdiam lama terpaku menatap teman di depan nya begitu cantik. Dengan menggelengakan kepala Delia lantas meninggalkan Romi. Ia sangat bingung kenapa Damar belum ada di sekolah karena damar anak yang rajin tak pernah sekali pun berangkat telat. Sambil menunggu damar Delia membuka secarik kertas di tasnya lalu berlatih puisi untuk lomba nanti. Delia berlatih di sudut ruangan menghadap ke jendela. Ia membaca puisi itu penuh dengan emosi menghayati setiap bait-bait kata. Gadis itu menulis puisi berjudul senja yang penuh dengan kerinduan. Senja yang mengahdirkan malam merubah warna langit menjadi oren kemerah-merahan.
Ketika menatap ke depan kaca mata delia langsung terbelalak tertuju pada sosok yang ia lihat. Gadis itu syok dengan dahi Damar terbalut kain kasa. Delia pun langsung lari menuju Damar dan merangkulnya, bertanya apa yang terjadi pada sahabatnya itu.
“Damar kenapa dahi kamu,?” ucap panik Delia melihat dahi Damar yang terluka.
“Ngga apa-apa kok aku hanya terjatuh Delia,!” ucap Damar memandang wajah Delia.
Damar yang melihat sosok delia penuh kagum sahabat yang ia kenal begitu cantik. Tangan Delia mengelus lembut dahi Damar yang terluka. Anak laki-laki itu tersipu malu dengan perlakuan lembut sahabatnya. Pipi nya memerah mencoba memalingkan mata, jantungnya berdegup kencang membuat Damar heran dengan perasaannya. Delia lantas memegang erat tangan damar mereka bergandengan dua mata saling bertatapan lalu tersenyum.
Tak lama bel berbunyi semua anak langsung menuju ke aula sekolah untuk melihat perlombaan. Delia mengaitkan kertas nomor di bajunya menggunakan jarum. Ia mendapat giliran ke 7 untuk maju dan menampilkan puisi yang akan ia persembahkan. Gadis itu duduk diantara peserta lain pada kursi kayu dekat panggung. Delia sangat gugup ini pertama kali nya ia membacakan puisi di lihat banyak orang. Damar dari kejauhan memberikan semangat agar delia tidak merasa gugup. Delia pun tersenyum lantas menarik nafas dalam-dalam agar lebih tenang.
Satu-persatu peserta lomba mulai maju dan menampilkan sebaik mungkin. Delia menunggu dengan sabar, saat ini peserta no lima sudah mulai menampilkan puisinya, suaranya begitu lantang anak itu sangat mengahayati isi puisi yang ia bawa.Delia sangat kagum dengan peserta no 5 syair yang di baca sangat indah dan menggunakan intonasi jelas.Semua orang pun takjub dengan penampilan puisi yang diberikan.Dan mereka semua bertepuk tangan mengapresiasi,beberapa peserta sudah mempersembahkan puisinya masing-masing. Guru mulai memanggil peserta no 7 untuk maju dengan percaya diri Delia membacakan bait demi bait syair yang ia buat bersama Damar berjudul senja.
Senja
Kau memberikan ketenangan
Datangmu penuh harap
Meninggalkan kesepian
Ketika kau pergi,
Pertemukan ku dengan malam
Senja aku tak ingin sendiri
Penuh asa menunggu mu datang
Memandang pelik di tepi Pantai
Riuh suara desir angin
Menyapu keheningan
Semua orang lantas bertepuk tangan dengan puisi yang di bacakan Delia. Gadis itu pun sangat senang tak hentinya tersenyum,di belakang Damar melambai ber isyarat memberikan selamat pada sahabatnya. Delia yang melihatnya pun ikut melambaikan tangan dan lantas menemui Damar. Mereka berdua duduk bersama sambil menunggu pemenang lomba yang akan di baca oleh Juri. Delia sudah tak sabar menunggu sesekali melihat kesekitar ruangan. Dan pada akhirnya Juri membacakan juara puisi di atas panggung.
Pada juara ke tiga juri memberikan selamat pada nomor peserta ke 1, dan anak itu pun ke depan panggung untuk mendapatkan piala. Delia ikut senang melihat nya dan ia penasaran dengan juara berikutnya.
Lalu juri mulai membacakan “juara ke dua yang di raih oleh peserta no 9.” Semua orang memberi tepuk tangan lantas anak itu langsng maju untuk mndapatkan piala.
Sekarang juara yang di tunggu-tunggu delia sangat penasaran siapa yang berada di posisi juara pertama. Dan ia pun tak begitu berharap untuk menang dalam perlombaan. Karna kata Ibunya yang terpenting Delia sudah berusaha dengan bersungguh-sungguh. Seorang juri mulai ke depan panggung dan menyalakan mikrofon.
“Baik semuanya di sini saya akan mengumumkan juara yang ditunggu-tunggu, juara pertama di peroleh peserta pada nomor ke 5. Selamat!” Ucap juri memberikan selamat.
Delia pun sudah menyangka karena peserta no 5 sangat bagus ia pantas untuk mejadi juara pertama. Karena acara sudah mulai selesai delia bergegas meninggalkan aula bersama Damar. Tiba-tiba guru mengumumkan bahwa ada juara yang belum disampaikan yaitu juara pada puisi dengan syair terbaik.
“Dan atas perundingan juri kami menemukan juara dengan syair terbaik di peroleh peserta no 7.” Ucap seorang juri memberi semangat.
Sontak Delia terkejut tersenyum dan berlari ke atas panggung semua orang bertepuk tangan. Delia mendapatkan sertifikat bertulis puisi dengan syair terbaik. Delia langsung menemui Damar dan mereka berdua pulang bersama dengan hati riang gembira.
Dengan menaiki sepeda nya masing-masing ke dua anak itu tak langsung pulang ke rumah. Mereka pergi ke sebuah pasar malam yang baru buka di samping lapangan bola dekat sekolah. Karena baru buka pasar malam ini menggratiskan pengunjung untuk masuk, hal ini menjadi kesempatan emas untuk kedua anak itu. Walau masih siang tempat ini sudah begitu ramai dengan pengunjung yang masuk. Berjajar pedagang kaki lima di depan pasar malam dengan menawarkan berbagai macam daganganya. Setelah masuk sontak mereka berlari dengan penuh kegembiraan melihat segala macam permainan di tempat itu. Seperti biang lala, kora-kora,ombak banyu, rumah hantu dan masih banyak lagi.“Damar lihat aku ingin menaiki semua itu!” Ucap Delia sambil menunjuk semua permainan yang ada di sana.“Kamu ingin naik yang mana Delia yang itu?” Sahut damar menunjuk sebuah permainan biang lala.“Iya Damar seperti sarang burung yang menggantun
Di perjalanan pulang Damar begitu bahagia ia terus tersenyum dan ingin secepatnya sampai ke rumah. Anak itu melihat warna langit yang mulai gelap dan suara hembusan angin yang berderu. Ia mengayuh sepedanya untuk berpacu dengan waktu . Sesekali menelentangkan satu tangan agar bisa meraih rumput di tepi jalan. Dari kejauhan mukanya berseri melihat rumah yang mulai dekat. Dengan berhati-hati damar lantas memarkirkan sepedanya di dekat gerbang.Damar melepas ikatan balon di sepedanya untuk di berikan pada Adik yang paling ia sayang. Baru ingin membuka pintu seketika wajah yang berseri itu hilang, berubah menjadi muram melihat apa yang ada di depannya. Keributan itu tak benar-benar berakhir anak itu menyangka Papanya tak akan pernah pulang ketika terakhir kali ia pergi. Ya itu terakhir kalinya dia melihat sosok Papa yang dulu pernah jadi indolanya.Dengan muka gusar Papa Damar langsung pergi membawa beberapa barang. Damar mencoba menghalan
Mama Damar mulai merapihkan semua dokumen lalu ia pergi untuk mencari pekerjaan, sebenarnya Mama Damar tak tega menitipkan putri kecilnya pada tetangga. Namun karena sebuah tuntutan dan memiliki kewajiban untuk menafkahi ke dua anaknya lantas ia harus mencari pekerjaan. Tetangga nya pun dengan senang hati mau menjaga Gistara. Wanita itu mencari lowongan pekerjaan di manapun tetapi tidak ada satu pun yang mau menerimanya. Apalagi karena Mama Damar yang tak memiliki pengalaman kerja hal ini membuat beberapa tempat tak begitu tertarik. Mama Damar yang begitu letih ia terus berjalan di tepi jalan raya dan akan menyebrang. Namun ia tak begitu fokus ada kendaraan besar yang melaju kencang dari kejauhan, seseorang wanita dari kejauhan mencoba berteriak untuk menyadarkan Mama Damar agar segera menepi. “ Mba awas!” ucap seorang wanita dari kejauhan.Sontak mama Damar langsung tersadar namun kaki nya begitu kaku ia lan
Sesampainya di depan rumah Delia lantas mengendap-endap ia berjalan berjinjit-jinjit agar tak mengeluarkan suara. Di dalam rumah tampak begitu sepi dan bajunya yang basah membuat tetesan air di lantai. “Bruk! Aduh!” Erangan suara gadis kecil itu terdengar lirih mencoba menahan sakit. Genangan air di lantai membuat ia jatuh terpleset. Delia takut jika Ibu atau Ayahnya tau pasti bisa di marahi. Setelah masuk ke dalam rumah gadis itu menelusuri setiap ruangan namun tak ada siapapun di sana. Dari kejauhan matanya menyorot ke depan terlihat Ibunya yang sedang memasak, sontak ia pun sedikit lega dengan hati-hati delia langsung pergi ke kamar mandi, namun tiba-tiba ada suara yang mengagetkannya. “Delia kenapa bajunya basah?” Dengan memegang pundak Delia yang gemetar, Ibunya sontak marah karena Delia sudah membasahi lantai. Delia berusaha berpikir mencari alasan agar Ibunya mau percaya,dengan m
“Tet tet tet!" Suara bel mulai berbunyi semua murid sekolah dasar berkumpul di Lapangan untuk melaksanakan upacara bendera. “Ayo Anak-anak kumpul di Lapangan!” Teriak seorang guru mengingatkan bahwa upacara bendera segera di mulai. “Delia ayo,!” pekik Ayuna mengajak Delia cepat-cepat menuju ke Lapangan. Kedua gadis itu lantas berlari ke barisan paling belakang. Suasana pagi begitu cerah para murid fokus melaksanakan upacara bendera. “Ayuna” Bisik Delia ingin mengatakan sesuatu pada teman dekatnya. “Ssst!” Delia lantas diam dengan mulut mayun ia ingin sekali bercerita pada Ayuna, sungguh saat ini Delia merasa sangat bosan sekali. Tiba-tiba Pak Kepala Sekolah mulai berpidato di Lapangan dan menjelaskan bahwa sebentar lagi akan di laksanakan ujian akhir semester. Maka para murid di beri amanat untuk belajar guna mempersiapkan ujian akhir semest
"Baik Anak-anak semua. Untuk materi di pagi hari ini adalah Matematika Bu Guru yakin kalian semua sudah mempersiapkan dengan sebaik mungkin?" Bu Guru mulai membagikan lembar soal dan jawaban pada tiap-tiap bangku siswa. Di ruang kelas semua murid mulai bersiap-siap melaksanakan ujian akhir semester. Tak lupa seorang gadis kecil berdoa dan berharap agar di mudahkan dalam mengerjakan ujian. Sudah beberapa hari ujian ini berlangsung, dan di hari ini semua murid tampak tegang mengerjakan soal matematika yang di sajikan. Namun ada satu anak laki-laki yang begitu tenang ia mulai mengerjakan satu per satu soal seperti tak ada kesulitan. Gadis itu tampak gelisah selalu saja memegangi kepalanya, sesekali memutar-mutar pensil yang ia punya. Betapa sulit soal yang di berikan ia hanya melihat sebuah angka-angka saling berputar dalam kepalanya. Satu jam telah berlalu Ibu Guru menjelaskan kalau ujian tinggal 15 menit lagi. Sontak para murid mulai geli
"Ibu kapan kita pulang." Tanya Delia memandang keluar dari jendela Toko Bunga. Suara gemuruh terdengar keras di langit bersamaan rintikan hujan yang deras. Gadis itu nampak bosan melihat ke jendela mata nya tertuju pada lalu lalang kendaraan yang tiada henti. Ia mulai menyandarkan kepalanya di tangan sambil menggambar simbol-simbol pada embun di kaca. Raut wajahnya begitu senang sesekali mengucap kalimat lirih, entah apa yang sedang ia katakan. "Delia jangan dekat jendela Nak!" Perintah Ibunya melarang untuk tidak terlalu dekat pada jendela karena hujan yang deras di tambah petir mengglegar. "Iya Ibu." Gadis itu tampak cuek dan tak menghiraukan apa kata ibunya. "Jgeeer...!" Sampai seketika kilatan cahaya dan suara petir yang keras mengagetkan gadis itu. Kedua kakinya terasa lemas ia lantas menutup telinga menggunakan tangan dan lari. "Ibu...! Delia takut" Teriak gadis itu menunduk di ba
“Hei Delia. Ada apa?” Tanya Damar yang menatap wajah Delia tampak begitu murung tak seperti biasanya.“Gak papa ko!” Jawab Delia begitu lirih, ia masih memikirkan kondisi Ayahnya di Rumah Sakit rasanya ingin sekali menjenguk tapi belum di bolehkan oleh Ibunya. Karena dia masih melaksanakan ujian akhir semester.“Ngga! pasti ada masalah kan? Kamu gak kaya biasanya. Ada apa Del.?” Delia yang melihat sahabatnya begitu perhatian, ia lantas tersenyum.“Ayah aku kecelakaan Damar! Rasanya pengin banget jenguk tapi gak tau gimana caranya.?” Dengan wajah sendu Delia menceritakan kronologi kecelakaan Ayahnya tadi malam, mata gadis kecil itu tampak berkaca-kaca Delia sangat rindu pada Sang Ayah.Delia ingin sekali menemui ayahnya tapi dia bingung tak tau bagaimana caranya. Damar ikut sedih dengan cerita Delia ia pun berusaha menghibur sahabatnya dengan
Sinar rembulan begitu terang menyorot permukaan air laut yang tampak bergelombang, suara tawa terus terdengar bersamaan serangga malam yang ikut bergeming. Wajah dua sosok manusia yang saling menatap seraya tersenyum menikmati hamparan laut yang begitu tenang. Sesekali mereka bersenda gurau untuk memecah keheningan malam yang tak terasa mulai larut. Delia mengecek jam yang pada ponsel genggamnya tampak waktu menunjuk sepuluh malam. Namun suasana laut masih begitu ramai, banyak orang berlalu lalang untuk sekedar bersantai sembari menikmati indahnya bintang-bintang di langit.“Gimana Kamu jadi cari model untuk promosiin baju kamu?” Ucap Romi dengan menatap lama mata Delia yang tampak bersinar terkena cahaya rembulan.Delia terdiam sebentar dia masih asyik sendiri tatkala bola matanya menyorot ke ujung hamparan air laut yang tampak tenang. Bibirnya sedikit tersenyum dengan menggaguk dia berkata “Iya Rom, Tapi…!” D
“Kring….Kring…”Suara lonceng sepeda terdengar begitu nyaring Ibu Delia menoleh,menatap ke luar kaca dan tampak putri cantiknya yang baru sampai mengantar bunga pesanan dari pelanggan. Wanita itu hanya tersenyum kecil, dengan kelakuan putrinya yang membuatnya cemas.“Ibu… Delia pulang!” Ucap gadis itu dengan begitu riang, lalu segera berlari menuju sang ibu yang terdiam seraya menatap tajam.“Ya ampun Delia! Ke mana aja tadi?”“He he.. Maaf Ibu, tadi Delia istirahat sebentar di Taman, suasananya asyik sih! Jadi kelupaan deh!”“Hmm… Kebiasaan deh Kamu!” Seru Ibunya lalu mencubit lembut pipi sang putri yang memerah.“Iya maaf.. Terus pesanan bunganya gimana Bu?”“Udah dianterin sama karyawan Ibu tadi! Kalau nungguin Kamu dulu, nanti pelanggan p
Keesokan harinya“Ini pesanan bunganya jangan lupa ya? Rumahnya dekat lapangan bola samping taman itu!” Ucap ibunya lalu segera mengemas dengan begitu cantik, sebuah rangkaian bunga mawar merah pesanan seorang pelanggan.“Iya Ibu! Alamatnya sudah di tulis kan ya?”“Sudah sayang! Kamu memangnya gak repot? kalau harus mengantar pesanan sebanyak ini?” Ibunya bertanya pada Delia karena dia tak ingin merepotkan sang putri.“Ngga kok! Delia masih sanggup, nanti kalau susah bawanya Delia kan bisa nganterin satu persatu Bu!” Ucap Delia meyakinkan ibunya, jikalau dia memang tak direpotkan sedikit pun.“Kamu lagi gak sibuk nih? Nanti gimana butik Kamu?”“Ngga Ibu, Delia sengaja mau bantu Ibu! Sudah lama Delia gak ke Toko. Delia senang kok!” Ujar Delia mengagut seraya tersenyum manis pada sang ibu yang t
Delia termenung menatap suasana yang tak asing baginya, suara desiran laut begitu syahdu. Dengan gelombang air yang nampak tenang, Delia menatap lama matanya tertuju pada jernihnya air yang berwarna hijau kebiruan. Perasannya tampak heran dia seperti tak asing dengan tempat ini sebelumnya. Ada rasa rindu yang terpendam begitu dalam, entah mengapa tiba-tiba air matanya jatuh hingga membasahi pipinya yang merah. Dia teringat akan sahabatnya dulu yang telah lama pergi, entah ke mana tak ada kabar sedikit pun darinya. Kepalanya langsung tertunduk Delia mencoba menahan untuk tidak menangis namun air matanya tak bisa dibendung lagi. Tangisnya begitu pilu hingga membuat dadanya sakit karena menahan napas yang tersengal-sengal. Delia ingin berteriak sekencang mungkin namun suaranya tak bisa keluar seperti tertahan.“Delia” Suara panggilan yang begitu jelas membuat gadis itu terkejut, dia langsung menoleh ke arah belakang dan terlihat sosok laki-laki kecil ya
12 tahun kemudian“Tok…tok…tok”Suara ketukan pintu di depan terdengar keras Bibi Susi dengan terburu-buru berlari kecil untuk membukakannya. “Iya tunggu sebentar!”Dari kejauhan sosok laki-laki muda sedang berdiri mematung menghadap ke pintu, senyuman kecil nampak terlihat di bibir Bibi Susi yang merah. “Eh Mas Romi! Cari Mba Delia ya?” Romi tersenyum lebar seraya mengangguk tubuhnya semakin tinggi hingga melampaui Bibi Susi. Anak laki-laki itu sudah beranjak dewasa. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, Bibi Susi tak menyangka pertumbuhan anak-anak itu yang amat cepat. Sejak lulus sd Romi selalu bersama Delia, mereka begitu dekat hingga kedua orang tuanya saling mengenal satu sama lain. Romi selalu bersama Delia sejak smp sampai sma mereka berada di sekolahnya yang sama, hanya saja mereka tak berada di satu kelas.“Delia…Ini a
Satu bulan kemudian….“Selamat ulang tahun kami ucapkan…Selamat panjang umur Kita kan doakan!” Suara nyanyian ulang tahun menggema hingga ke setiap sudut ruang tamu. Anak-anak itu tampak bahagia penuh senyum sembari mendendangkan sebuah lagu untuk Delia. Namun gadis kecil itu tampak terdiam lesu hanya sesekali tersenyum kecil.“Delia selamat ya?” Ucap Romi lalu memberikan sebuah hadiah yang sudah terbungkus rapih dalam kertas kado berwarna cokelat.Delia tersenyum lalu memanggut menerima hadiah dari Romi, entah hadiah apa yang anak laki-laki itu berikan, Begitu pun dengan Ayuna dan teman-teman lain mereka semua cukup gembira bisa berkumpul bersama kembali. Ada perasaan rindu yang terselip di relung hati terdalamnya, gadis kecil itu mengingkan Damar juga, agar dapat mengucapkan selamat di hari ulang tahunnya saat ini. Namun semua itu tak bisa dia rasakan lagi, karena sejak Damar pergi dia
Di atas ranjang tidur sesosok gadis kecil terbaring lemas, wajahnya pucat pasi bibirnya terus bergetar. Dia berkomat-kamit seperti mengatakan sesuatu, tetapi suaranya yang lirih tak begitu terdengar. Sang Ibu hanya menatap dengan penuh sendu kedua tangannya menggengam erat tangan kecil putinya yang tak berdaya. Sudah beberapa jam sang putri tak sadarkan diri karena demam tinggi akibat kelelahan dan tak mau makan seharian. Sang Dokter menyarankan agar ibunya bisa beristirahat, namun wanita itu tetap bersih kukuh untuk menemani putri kecilnya duduk di samping ranjang.“Ibu…ibu...!” Suara lirih gadis kecil itu membuat Ibunya tersadar, lantas segera mengusap lembut rambut putrinya yang berantakan.“Kenapa sayang?” Ucap Ibunya dengan begitu lembut, hatinya sakit melihat kondisi putrinya yang menyedihkan.“Damar mana? Delia pengin ketemu Damar!” Ucap Delia dengan suara parau, air mata
“Delia ayo ke luar Nak! Makan dulu ya? Nanti Kamu sakit.” Ucap ibunya dengan raut wajah begitu cemas, sejak kemarin sore Delia bertingkah sangat aneh. Dia terus saja terdiam membisu dan tak mau ke luar dari kamar. Ibunya paham pasti Delia baru saja bertemu dengan Damar untuk yang terakhir kalinya. Karena gadis kecil itu masih tak percaya dengan apa yang terjadi kemarin, dia belum siap menghadapi perpisahan yang begitu cepat hingga membuatnya sedih."Iya Mba Delia! Ayok makan dulu Bibi masakin makanan yang enak." Bibi Ikut cemas dengan apa yang di lakukan Delia, gadis kecil itu sangat marah hingga tak menghiraukan siapa pun yang memanggilnya."Sayang! Keluar yuk, nanti Ibu kasih hadiah apa pun yang Delia inginkan!"Ibu Delia terus saja membujuk putrinya untuk keluar, entah berapa kali dia terus memanggil namanya. Hingga membuat tenggorokannya kering dan serak, begitu pun dengan Bibi Susi dan Ayah Delia, mereka m
Beberapa hari kemudian“Damar tumben Kamu ajak akau kesini?” Ucap Delia begitu senang karena sudah beberapa hari ini dia tak pernah bertemu dengan Damar.Kedua kakinya tak memakai alas kaki berlari-lari kecil di antara pasir putih Pantai yang tenang. Delia menggenggam erat tangan Damar seraya mengajaknya untuk bermain. Anak laki-laki itu hanya tertegun menatap wajah manis sahabatnya yang begitu ceriya. Bibirnya tak bisa berkata-kata membungkam rasanya ingin mengatakan semuanya pada Delia namun hatinya sungguh sulit tuk mengatakannya.“Delia memang Kamu belum tahu?” Ucap Damar tertunduk, dia berusaha menarik napas yang berat. Damar lantas melepas genggaman tangannya yang membuat Delia kebingungan. Apa yang sedang terjadi sebenarnya? Kenapa sahabatnya begitu serius saat ini. Pertanyaan tersebut terus berkecamuk di dalam hati.“Memang apa yang sedang terjadi Damar?