Di perjalanan pulang Damar begitu bahagia ia terus tersenyum dan ingin secepatnya sampai ke rumah. Anak itu melihat warna langit yang mulai gelap dan suara hembusan angin yang berderu. Ia mengayuh sepedanya untuk berpacu dengan waktu . Sesekali menelentangkan satu tangan agar bisa meraih rumput di tepi jalan. Dari kejauhan mukanya berseri melihat rumah yang mulai dekat. Dengan berhati-hati damar lantas memarkirkan sepedanya di dekat gerbang.
Damar melepas ikatan balon di sepedanya untuk di berikan pada Adik yang paling ia sayang. Baru ingin membuka pintu seketika wajah yang berseri itu hilang, berubah menjadi muram melihat apa yang ada di depannya. Keributan itu tak benar-benar berakhir anak itu menyangka Papanya tak akan pernah pulang ketika terakhir kali ia pergi. Ya itu terakhir kalinya dia melihat sosok Papa yang dulu pernah jadi indolanya.
Dengan muka gusar Papa Damar langsung pergi membawa beberapa barang. Damar mencoba menghalangi agar Papanya tak pergi.
“Papa mau kemana?” Ucap Damar memeluk erat tubuh Papa nya.
“Awas! Jangan halangi aku!” Bentak Papa nya
“Kenapa Papa jahat sama kita?” Ucap Damar dengan menangis terisak.
Anak malang itu marah kenapa Papa yang dulu ia idolakan, papa yang sangat ia sayang mau meninggalkan keluarga begitu saja. Tanpa sepatah kata pun Papa Damar tega mendorong putra kecilnnya hingga tersungkur. Balon yang ia pegang terbang bersamaan dengan hembusan angin membawa tetesan hujan yang pilu. Damar mencoba bangkit ia tak peduli dengan luka di sikunya lalu berjalan menapaki setiap lantai di rumah.
“Mah Papa pergi! Kenapa mama gak menghalangi Papa!” ucap Damar menggoyang-goyangkan tubuh sang mama.
Mama nya hanya terdiam tatapan nya begitu kosong ia tak menghiraukan perkataan Anaknya. Gistara yang tak tau apa-apa hanya bisa menangis lantas Damar mencoba menenangkan.
“Gistara jangan nangis ya? Ucap Damar pada Adik nya.
“Tapi kenapa pipi kaka basah? kaka juga menangis!” Seru Gistara mengusap pipi Damar.
Damar yang tak tahan lagi hatinya rapuh ia langsung memeluk erat tubuh adik kecilnya, air matanya tumpah tak tertahankan lagi anak laki-laki yang kuat itu mulai melemah. Suara tangis terisak bersamaan dengan tetesan air yang berderai. Air hujan semakin deras memberi suara yang gemricik di atap, langit seolah tau dengan kisah pilu itu ia pun ikut meratap.
***
Suara bising membangunkan Damar dalam tidurnya dengan mata masih mengantuk ia berusaha berdiri dan lantas memeriksa. Ternyata sang mama yang sedang membersihkan pecahan kaca di lantai.
“Damar sudah bangun! Mama membangunkan mu ya Nak?” ucap Mamanya sembari memunguti pecahan kaca di lantai.
“Gak kok Ma!” Seru Damar.
Anak laki-laki itu tak menyangka sang mama sudah mau berbicara lagi dengan nya.
“Mama mau Damar bantu.?”
Dengan tersenyum mama nya lantas mengusap lembut rambut anaknya hatinya tak tega melihat anak sekecil itu harus dituntut dewasa karena keadaan.
“Gak sayang Damar belom makan kan?” Ucap Mama dengan lembut.
“Belom Ma.!”.
“Mama udah siapin masakan yang enak buat Damar.!”.
Mama nya lantas mengantar Damar ke meja makan lalu menyiapkan nasi dan lauk pauk untuk sang anak. Damar masih tak menyangka kenapa Mamanya begitu lembut saat ini, anak laki-laki itu tak hentinya berpikir. Ia masih tak percaya mamanya bisa bangkit lagi tidak seperti kemarin yang tak semangat menjalani hidup lebih suka merenung dan menangis. Damar bersyukur bisa melihat senyuman mama yang penuh kehangatan seperti dulu.
“Kaka! Gistara pengen main!” Rengek Adik kecilnya.
“Damar ajak Ade main ya,?” seru Mamanya
Damar lantas mengaguk sembari menggandeng tangan sang Adik untuk bermain, dari kejauhan mama nya hanya menatap. Raut wajah nya seketika muram ia tak benar-benar melupakan semuanya. Air matanya mulai tumpah bercucuran membasahi wajah yang lelah. Hatinya ingin menjerit mama damar termenung dalam kesendirian, berusaha menghela nafas ia tak ingin melihat anak laki-lakinya ikut bersedih. Berusaha agar Damar tetap bahagia dan menikmati masa kecilnya dengan ketenangan.
Wanita itu dengan tangan gemetar berusaha membuka laci di samping nya mengabil secarik kertas dan sesekali mengelap air mata di pipi. Kertas itu berisi gugatan perceraian dari Papa Damar ia berusaha tegar menerima dengan ikhlas. Di hari kemarin Papa Damar pulang hanya ingin mengambil barang-barang dan memberi gugatan perceraian. Hal ini membuat mama damar sangat syok lantas tak terima yang menjadikan pertikaian di antara keduanya.
“Mama kenapa? Mama menangis?” Ucap Gistara dengan polos.
Sambil tersenyum Mama Damar lantas menyeka air matanya.“Ngga apa-apa mama cuma kelilipan! Gistara kok gak main sama kaka.?”
“Gistara haus Ma.!”
“Sini mama ambilin ya? udah sekarang main lagi ya?. Dengan mengagguk Gistara lantas berlari menemui sang kaka di teras rumah.
Satu bulan berlalu
Satu bulan telah berlalu kehidupan Damar sudah mulai membaik ia bersiap-siap pergi ke rumah Delia untuk belajar bersama. Karena sebentar lagi akan di laksanakan ujian akhir semester. Hal itu membuat mereka berdua berencana belajar bersama hingga uas berlangsung. Damar meminta izin pada sang mama dengan rencana nya itu.
“Ma berangkat dulu ya?” Ucar Damar sambil bersalaman.
“Iya Damar bekal nya udah di bawa kan?” Seru Mamanya mengingatkan.
“udah Ma!” Ucap Damar sambil membuka tas untuk memastikan.
“ Mama buat banyak nanti di bagi buat temen nya juga ya.?”
Sambil mengangguk Damar berpamitan dengan mengecup lembut tangan Mamanya, dan ia langsung berlari keluar rumah lalu mengayuh sepeda nya. Sesekali memandang Mamanya ke belakang. Mamanya pun melambaikan tangan dengan tersenyum melihat Putranya pergi. Di sepanjang jalan Damar merasakan dingin hembusan angin yang meniupi rambut nya. Ia melewati jalan tepi Laut sambil memandang keindahan pemandangan. Suara deburan ombak Laut dari kejauhan terdengar begitu syahdu.
Sesampainya di rumah Delia ia terpana dengan gadis yang sudah menunggu di teras rumah. Ia begitu cantik dengan bandana di atas kepalanya gadis itu langsung memanggil Damar agar cepat turun dari sepeda. Lantas Damar dengan membawa tas ransel ia bergegas menemui sang sahabat dan duduk di sebelahnya.
Mereka berdua mulai membuka buku masing-masing dan belajar bersama. Hari ini mereka mempelajari materi matematika lantas membuat Delia tak bersemangat. Gadis itu tak begitu pandai dalam soal hitung-hitungan. Damar yang menyadarinya dengan sabar menuntun Delia mengerjakan soal matematika agar ia paham. Delia pun sangat senang karena sahabatnya mau mengajari dengan telaten. Dari beberapa soal delia hanya mampu mengerjakan 1 soal hal itu membuat Delia sangat senang. Akhirnya ia bisa paham dan delia tersenyum lebar hingga menampakan gigi kecilnya. Damar yang melihatnya pun sangat senang melihat Delia begitu bahagia. Gadis itu langsung lari menuju ke ayahnya di dalam rumah ia memperlihatkan satu soal yang sudah ia kerjakan.
“Ayah lihat Delia bisa ngerjain satu soal!” Ucap Delia begitu senang.
Ayahnya tersenyum dan lantas mengelus rambut panjang Putri nya. Delia langsung memeluk erat sang Ayah. Damar hanya terpaku melihat kebahagiaan mereka. Tatapan nya penuh harap ia sangat rindu dengan kehanagatan pelukan sang Papa. Ayah Delia yang melihat Damar dengan wajah begitu muram sontak memanggilnya untuk berpelukan bersama.
“Damar sini!” Ucap ayah Delia sembari menghentangkan kedua tangannya. Damar sangat senang ia pun berlari dan lantas memeluk Ayah Delia penuh kebahagiaan.
Di tempat lain Mama Damar dengan wajah bimbang sesekali kali mengecek jumlah uang yang ia punya. Karena sudah mulai menipis Mamanya pun mencari cara agar memiliki pendapatan untuk menyambung hidup. Dulu ketika papa damar masih sukses mamanya tak pernah di izinkan untuk bekerja dan hanya mengurus anak. Sekarang ia sadar untuk tidak terlalu bergantung pada siapapun termasuk sang suami.
“Mama mau kemana?” Ucap Gistara penasaran.
“Gistara anak baik kan? nanti sama Kak Sekar dulu ya,?” seru mama nya pada sang Putri.
“Gistara pengen ikut Mama!” Ucap Gistara menangis.
Sang Mama lantas membawa Gistara untuk di titipkan pada tetangga dekatnya Kak Sekar.
“Mama Gistara ikut! Mama jangan tinggalin Gistara!” Ucap Gistara dengan menangis terisak-isak.
Mama Damar mulai merapihkan semua dokumen lalu ia pergi untuk mencari pekerjaan, sebenarnya Mama Damar tak tega menitipkan putri kecilnya pada tetangga. Namun karena sebuah tuntutan dan memiliki kewajiban untuk menafkahi ke dua anaknya lantas ia harus mencari pekerjaan. Tetangga nya pun dengan senang hati mau menjaga Gistara. Wanita itu mencari lowongan pekerjaan di manapun tetapi tidak ada satu pun yang mau menerimanya. Apalagi karena Mama Damar yang tak memiliki pengalaman kerja hal ini membuat beberapa tempat tak begitu tertarik. Mama Damar yang begitu letih ia terus berjalan di tepi jalan raya dan akan menyebrang. Namun ia tak begitu fokus ada kendaraan besar yang melaju kencang dari kejauhan, seseorang wanita dari kejauhan mencoba berteriak untuk menyadarkan Mama Damar agar segera menepi. “ Mba awas!” ucap seorang wanita dari kejauhan.Sontak mama Damar langsung tersadar namun kaki nya begitu kaku ia lan
Sesampainya di depan rumah Delia lantas mengendap-endap ia berjalan berjinjit-jinjit agar tak mengeluarkan suara. Di dalam rumah tampak begitu sepi dan bajunya yang basah membuat tetesan air di lantai. “Bruk! Aduh!” Erangan suara gadis kecil itu terdengar lirih mencoba menahan sakit. Genangan air di lantai membuat ia jatuh terpleset. Delia takut jika Ibu atau Ayahnya tau pasti bisa di marahi. Setelah masuk ke dalam rumah gadis itu menelusuri setiap ruangan namun tak ada siapapun di sana. Dari kejauhan matanya menyorot ke depan terlihat Ibunya yang sedang memasak, sontak ia pun sedikit lega dengan hati-hati delia langsung pergi ke kamar mandi, namun tiba-tiba ada suara yang mengagetkannya. “Delia kenapa bajunya basah?” Dengan memegang pundak Delia yang gemetar, Ibunya sontak marah karena Delia sudah membasahi lantai. Delia berusaha berpikir mencari alasan agar Ibunya mau percaya,dengan m
“Tet tet tet!" Suara bel mulai berbunyi semua murid sekolah dasar berkumpul di Lapangan untuk melaksanakan upacara bendera. “Ayo Anak-anak kumpul di Lapangan!” Teriak seorang guru mengingatkan bahwa upacara bendera segera di mulai. “Delia ayo,!” pekik Ayuna mengajak Delia cepat-cepat menuju ke Lapangan. Kedua gadis itu lantas berlari ke barisan paling belakang. Suasana pagi begitu cerah para murid fokus melaksanakan upacara bendera. “Ayuna” Bisik Delia ingin mengatakan sesuatu pada teman dekatnya. “Ssst!” Delia lantas diam dengan mulut mayun ia ingin sekali bercerita pada Ayuna, sungguh saat ini Delia merasa sangat bosan sekali. Tiba-tiba Pak Kepala Sekolah mulai berpidato di Lapangan dan menjelaskan bahwa sebentar lagi akan di laksanakan ujian akhir semester. Maka para murid di beri amanat untuk belajar guna mempersiapkan ujian akhir semest
"Baik Anak-anak semua. Untuk materi di pagi hari ini adalah Matematika Bu Guru yakin kalian semua sudah mempersiapkan dengan sebaik mungkin?" Bu Guru mulai membagikan lembar soal dan jawaban pada tiap-tiap bangku siswa. Di ruang kelas semua murid mulai bersiap-siap melaksanakan ujian akhir semester. Tak lupa seorang gadis kecil berdoa dan berharap agar di mudahkan dalam mengerjakan ujian. Sudah beberapa hari ujian ini berlangsung, dan di hari ini semua murid tampak tegang mengerjakan soal matematika yang di sajikan. Namun ada satu anak laki-laki yang begitu tenang ia mulai mengerjakan satu per satu soal seperti tak ada kesulitan. Gadis itu tampak gelisah selalu saja memegangi kepalanya, sesekali memutar-mutar pensil yang ia punya. Betapa sulit soal yang di berikan ia hanya melihat sebuah angka-angka saling berputar dalam kepalanya. Satu jam telah berlalu Ibu Guru menjelaskan kalau ujian tinggal 15 menit lagi. Sontak para murid mulai geli
"Ibu kapan kita pulang." Tanya Delia memandang keluar dari jendela Toko Bunga. Suara gemuruh terdengar keras di langit bersamaan rintikan hujan yang deras. Gadis itu nampak bosan melihat ke jendela mata nya tertuju pada lalu lalang kendaraan yang tiada henti. Ia mulai menyandarkan kepalanya di tangan sambil menggambar simbol-simbol pada embun di kaca. Raut wajahnya begitu senang sesekali mengucap kalimat lirih, entah apa yang sedang ia katakan. "Delia jangan dekat jendela Nak!" Perintah Ibunya melarang untuk tidak terlalu dekat pada jendela karena hujan yang deras di tambah petir mengglegar. "Iya Ibu." Gadis itu tampak cuek dan tak menghiraukan apa kata ibunya. "Jgeeer...!" Sampai seketika kilatan cahaya dan suara petir yang keras mengagetkan gadis itu. Kedua kakinya terasa lemas ia lantas menutup telinga menggunakan tangan dan lari. "Ibu...! Delia takut" Teriak gadis itu menunduk di ba
“Hei Delia. Ada apa?” Tanya Damar yang menatap wajah Delia tampak begitu murung tak seperti biasanya.“Gak papa ko!” Jawab Delia begitu lirih, ia masih memikirkan kondisi Ayahnya di Rumah Sakit rasanya ingin sekali menjenguk tapi belum di bolehkan oleh Ibunya. Karena dia masih melaksanakan ujian akhir semester.“Ngga! pasti ada masalah kan? Kamu gak kaya biasanya. Ada apa Del.?” Delia yang melihat sahabatnya begitu perhatian, ia lantas tersenyum.“Ayah aku kecelakaan Damar! Rasanya pengin banget jenguk tapi gak tau gimana caranya.?” Dengan wajah sendu Delia menceritakan kronologi kecelakaan Ayahnya tadi malam, mata gadis kecil itu tampak berkaca-kaca Delia sangat rindu pada Sang Ayah.Delia ingin sekali menemui ayahnya tapi dia bingung tak tau bagaimana caranya. Damar ikut sedih dengan cerita Delia ia pun berusaha menghibur sahabatnya dengan
“Ibu! Damar di mana?.” Tanya Delia melihat ke luar dan tak ada sosok sahabatnya itu.Ibunya menatap hangat seraya mengelus lembut rambut panjang putri kecilnya. “Tadi Damar Ibu antar pulang sayang.” Delia begitu penasaran “mengapa Damar tak berpamitan dulu padanya, atau mungkin ia ada urusan mendadak?.” Batinnya dalam hati. Semua pertanyaan itu terlintas dalam pikirannya, tak seperti biasanya Damar seperti ini.“Ibu. Delia boleh gak menginap satu malam?” Delia merapatkan kedua tangannya mencoba memohon pada sang Ibu. Ia berharap Ibunya memberi izin karna Delia masih ingin bersama sang Ayah.“Gak bisa! Delia nanti istirahat di Rumah ya Nak? sama Bibi Susi dulu.” Ibunya tak ingin jika Delia sakit karena kecapekan menunggu Ayahnya yang di rawat. Delia tampak kecewa karena ia ingin sekali semalaman bersama sang Ayah.“Iya Delia
Gadis kecil itu kebingungan ia menatap sekitar begitu sepi tak ada siapapun, kakanya yang tadi izin pergi sebentar, namun tak kunjung datang juga. Gistara begitu asyik bermain bola ia melemparnya hingga terlalu jauh menggeliding ke tengah jalan. Gistara melangkah menatap polos bola merah di depannya, lantas berlari kecil untung mengambil bola itu. Gistara tak menyadari ada truk besar melintas begitu kencang gadis kecil itu sontak terkejut. “Arkhh…!” Ia menutup mata dengan kedua tangannya yang mungil suara bising klakson mobil terdengar keras, orang-orang meneriaki Gistara agar menepi. Namun gadis kecil itu tak bergerak ia terpaku wajahnya tampak ketakutan. Damar yang melihat adiknya di tengah jalan berlari sekencang mungkin. Supir truk berusaha mengerem hingga akhirnya bisa terhenti, Bapak itu tampak kesal ia memarahi Mama Damar yang tak bisa menjaga putrinya dengan baik. “Punya anak kecil di jaga Bu, Kalau ketabra
Sinar rembulan begitu terang menyorot permukaan air laut yang tampak bergelombang, suara tawa terus terdengar bersamaan serangga malam yang ikut bergeming. Wajah dua sosok manusia yang saling menatap seraya tersenyum menikmati hamparan laut yang begitu tenang. Sesekali mereka bersenda gurau untuk memecah keheningan malam yang tak terasa mulai larut. Delia mengecek jam yang pada ponsel genggamnya tampak waktu menunjuk sepuluh malam. Namun suasana laut masih begitu ramai, banyak orang berlalu lalang untuk sekedar bersantai sembari menikmati indahnya bintang-bintang di langit.“Gimana Kamu jadi cari model untuk promosiin baju kamu?” Ucap Romi dengan menatap lama mata Delia yang tampak bersinar terkena cahaya rembulan.Delia terdiam sebentar dia masih asyik sendiri tatkala bola matanya menyorot ke ujung hamparan air laut yang tampak tenang. Bibirnya sedikit tersenyum dengan menggaguk dia berkata “Iya Rom, Tapi…!” D
“Kring….Kring…”Suara lonceng sepeda terdengar begitu nyaring Ibu Delia menoleh,menatap ke luar kaca dan tampak putri cantiknya yang baru sampai mengantar bunga pesanan dari pelanggan. Wanita itu hanya tersenyum kecil, dengan kelakuan putrinya yang membuatnya cemas.“Ibu… Delia pulang!” Ucap gadis itu dengan begitu riang, lalu segera berlari menuju sang ibu yang terdiam seraya menatap tajam.“Ya ampun Delia! Ke mana aja tadi?”“He he.. Maaf Ibu, tadi Delia istirahat sebentar di Taman, suasananya asyik sih! Jadi kelupaan deh!”“Hmm… Kebiasaan deh Kamu!” Seru Ibunya lalu mencubit lembut pipi sang putri yang memerah.“Iya maaf.. Terus pesanan bunganya gimana Bu?”“Udah dianterin sama karyawan Ibu tadi! Kalau nungguin Kamu dulu, nanti pelanggan p
Keesokan harinya“Ini pesanan bunganya jangan lupa ya? Rumahnya dekat lapangan bola samping taman itu!” Ucap ibunya lalu segera mengemas dengan begitu cantik, sebuah rangkaian bunga mawar merah pesanan seorang pelanggan.“Iya Ibu! Alamatnya sudah di tulis kan ya?”“Sudah sayang! Kamu memangnya gak repot? kalau harus mengantar pesanan sebanyak ini?” Ibunya bertanya pada Delia karena dia tak ingin merepotkan sang putri.“Ngga kok! Delia masih sanggup, nanti kalau susah bawanya Delia kan bisa nganterin satu persatu Bu!” Ucap Delia meyakinkan ibunya, jikalau dia memang tak direpotkan sedikit pun.“Kamu lagi gak sibuk nih? Nanti gimana butik Kamu?”“Ngga Ibu, Delia sengaja mau bantu Ibu! Sudah lama Delia gak ke Toko. Delia senang kok!” Ujar Delia mengagut seraya tersenyum manis pada sang ibu yang t
Delia termenung menatap suasana yang tak asing baginya, suara desiran laut begitu syahdu. Dengan gelombang air yang nampak tenang, Delia menatap lama matanya tertuju pada jernihnya air yang berwarna hijau kebiruan. Perasannya tampak heran dia seperti tak asing dengan tempat ini sebelumnya. Ada rasa rindu yang terpendam begitu dalam, entah mengapa tiba-tiba air matanya jatuh hingga membasahi pipinya yang merah. Dia teringat akan sahabatnya dulu yang telah lama pergi, entah ke mana tak ada kabar sedikit pun darinya. Kepalanya langsung tertunduk Delia mencoba menahan untuk tidak menangis namun air matanya tak bisa dibendung lagi. Tangisnya begitu pilu hingga membuat dadanya sakit karena menahan napas yang tersengal-sengal. Delia ingin berteriak sekencang mungkin namun suaranya tak bisa keluar seperti tertahan.“Delia” Suara panggilan yang begitu jelas membuat gadis itu terkejut, dia langsung menoleh ke arah belakang dan terlihat sosok laki-laki kecil ya
12 tahun kemudian“Tok…tok…tok”Suara ketukan pintu di depan terdengar keras Bibi Susi dengan terburu-buru berlari kecil untuk membukakannya. “Iya tunggu sebentar!”Dari kejauhan sosok laki-laki muda sedang berdiri mematung menghadap ke pintu, senyuman kecil nampak terlihat di bibir Bibi Susi yang merah. “Eh Mas Romi! Cari Mba Delia ya?” Romi tersenyum lebar seraya mengangguk tubuhnya semakin tinggi hingga melampaui Bibi Susi. Anak laki-laki itu sudah beranjak dewasa. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, Bibi Susi tak menyangka pertumbuhan anak-anak itu yang amat cepat. Sejak lulus sd Romi selalu bersama Delia, mereka begitu dekat hingga kedua orang tuanya saling mengenal satu sama lain. Romi selalu bersama Delia sejak smp sampai sma mereka berada di sekolahnya yang sama, hanya saja mereka tak berada di satu kelas.“Delia…Ini a
Satu bulan kemudian….“Selamat ulang tahun kami ucapkan…Selamat panjang umur Kita kan doakan!” Suara nyanyian ulang tahun menggema hingga ke setiap sudut ruang tamu. Anak-anak itu tampak bahagia penuh senyum sembari mendendangkan sebuah lagu untuk Delia. Namun gadis kecil itu tampak terdiam lesu hanya sesekali tersenyum kecil.“Delia selamat ya?” Ucap Romi lalu memberikan sebuah hadiah yang sudah terbungkus rapih dalam kertas kado berwarna cokelat.Delia tersenyum lalu memanggut menerima hadiah dari Romi, entah hadiah apa yang anak laki-laki itu berikan, Begitu pun dengan Ayuna dan teman-teman lain mereka semua cukup gembira bisa berkumpul bersama kembali. Ada perasaan rindu yang terselip di relung hati terdalamnya, gadis kecil itu mengingkan Damar juga, agar dapat mengucapkan selamat di hari ulang tahunnya saat ini. Namun semua itu tak bisa dia rasakan lagi, karena sejak Damar pergi dia
Di atas ranjang tidur sesosok gadis kecil terbaring lemas, wajahnya pucat pasi bibirnya terus bergetar. Dia berkomat-kamit seperti mengatakan sesuatu, tetapi suaranya yang lirih tak begitu terdengar. Sang Ibu hanya menatap dengan penuh sendu kedua tangannya menggengam erat tangan kecil putinya yang tak berdaya. Sudah beberapa jam sang putri tak sadarkan diri karena demam tinggi akibat kelelahan dan tak mau makan seharian. Sang Dokter menyarankan agar ibunya bisa beristirahat, namun wanita itu tetap bersih kukuh untuk menemani putri kecilnya duduk di samping ranjang.“Ibu…ibu...!” Suara lirih gadis kecil itu membuat Ibunya tersadar, lantas segera mengusap lembut rambut putrinya yang berantakan.“Kenapa sayang?” Ucap Ibunya dengan begitu lembut, hatinya sakit melihat kondisi putrinya yang menyedihkan.“Damar mana? Delia pengin ketemu Damar!” Ucap Delia dengan suara parau, air mata
“Delia ayo ke luar Nak! Makan dulu ya? Nanti Kamu sakit.” Ucap ibunya dengan raut wajah begitu cemas, sejak kemarin sore Delia bertingkah sangat aneh. Dia terus saja terdiam membisu dan tak mau ke luar dari kamar. Ibunya paham pasti Delia baru saja bertemu dengan Damar untuk yang terakhir kalinya. Karena gadis kecil itu masih tak percaya dengan apa yang terjadi kemarin, dia belum siap menghadapi perpisahan yang begitu cepat hingga membuatnya sedih."Iya Mba Delia! Ayok makan dulu Bibi masakin makanan yang enak." Bibi Ikut cemas dengan apa yang di lakukan Delia, gadis kecil itu sangat marah hingga tak menghiraukan siapa pun yang memanggilnya."Sayang! Keluar yuk, nanti Ibu kasih hadiah apa pun yang Delia inginkan!"Ibu Delia terus saja membujuk putrinya untuk keluar, entah berapa kali dia terus memanggil namanya. Hingga membuat tenggorokannya kering dan serak, begitu pun dengan Bibi Susi dan Ayah Delia, mereka m
Beberapa hari kemudian“Damar tumben Kamu ajak akau kesini?” Ucap Delia begitu senang karena sudah beberapa hari ini dia tak pernah bertemu dengan Damar.Kedua kakinya tak memakai alas kaki berlari-lari kecil di antara pasir putih Pantai yang tenang. Delia menggenggam erat tangan Damar seraya mengajaknya untuk bermain. Anak laki-laki itu hanya tertegun menatap wajah manis sahabatnya yang begitu ceriya. Bibirnya tak bisa berkata-kata membungkam rasanya ingin mengatakan semuanya pada Delia namun hatinya sungguh sulit tuk mengatakannya.“Delia memang Kamu belum tahu?” Ucap Damar tertunduk, dia berusaha menarik napas yang berat. Damar lantas melepas genggaman tangannya yang membuat Delia kebingungan. Apa yang sedang terjadi sebenarnya? Kenapa sahabatnya begitu serius saat ini. Pertanyaan tersebut terus berkecamuk di dalam hati.“Memang apa yang sedang terjadi Damar?