Holla, MyRe. Bagaimana menurut kalian jika Lea hamil saat sekarang? Apa Pak Banteng akan marah? Jangan lupa vote novel kita dengan gems, hadiah, komentar manis di kolom review dan doa baik tentunya. Sehat selalu untuk MyRe semua dan semangat! IG:@deasta18
Malam ini Lea dan Haiden berangkat untuk rencana bulan madu mereka. Haiden tak langsung membawa Lea ke desa, akan tetapi Haiden berniat menghabiskan waktu lebih dulu di pantai dengan istrinya. Namun, saat di depan rumah, supir menghentikan mobil. Seorang perempuan tiba-tiba muncul dan berdiri di tengah jalan, menghalangi mobil. Tok tok tok' Citra mengetuk kaca mobil Haiden, wajahnya pucat karena sejak tadi menunggu di sini. Nanda sudah datang menjemput dokumen yang ada padanya, akan tetapi Citra tak pulang dengan alasan mobilnya mogok dan ia tak bisa meninggalkan mobil tersebut di sini. Intinya dia melontarkan banyak alasan, padahal niatannya ingin diperhatikan oleh Haiden. Tapi-- hujan turun dengan deras, tetapi Citra tetap bertahan. Sekarang dia kedinginan dan pucat, berharap dengan kondisi yang seperti ini Haiden iba padanya. Srett' Kaca mobil diturunkan, memperlihatkan Haiden dengan tampang muka dingin dan mata sayu yang mengintimidasi. 'Seperti biasa. Tuan sangat tampa
"Aaaa …." Lea memekik horor dan kaget, shock karena Haiden sudah di depannya. Tadi, dia sudah berhasil lari dan bersembunyi, akan tetapi ujung-ujungnya Haiden tetap menemukannya. Haiden menaikkan sebelah alis, menyunguingkan evil smirk yang tipis. Mungkin Lea berpikir bisa bersembunyi darinya diantara keramaian. Namun, Lea tentu tak bisa. Bahkan ketika Lea bersembunyi dengan cara menjadi transparan pun, Haiden akan menemukan dengan mudah. Parfum! Yah, parfum khusus yang Haiden berikan pada istrinya, itu sangat membantu. "A-aku suntuk di kamar, makanya aku keluar, Mas," cicit Lea, mundur beberapa langkah karena Haiden mendekat padanya. Senyuman Haiden memang membuat suaminya semakin tampan, akan tetapi secara bersamaan membuat Lea ketakutan–merinding disko. Lea berpikir keras supaya bisa kabur dari pria pemarah ini. Dia tiba-tiba tersenyum lembut kemudian mengedipkan sebelah mata secara genit. Ting' Haiden terdiam seketika, senyuman evil di bibirnya langsung menghilangkan. Ta
"Apa aku kunci saja yah pintunya supaya Mas Haiden nggak bisa masuk? Ck, kesal banget aku sama dia," gerutu Lea, berdecak sembari berkacak pinggang. Dia duduk di atas ranjang, menahan dongkol dalam hati karena ditinggal Haiden. Lea pada akhirnya mengambil handphone untuk membuang suntuk. Sudah hampir empat jam Haiden meninggalkannya. Lea menghela napas, tak tahu harus melakukan apa. Kenyataannya HP tak bisa mengusir kebosanan. Melihat sebuah lilin aroma terapi di meja sebelah pintu kamar mandi, Lea beranjak dari sana kemudian meraih lilin tersebut. Dia penasaran dengan aroma lilin ini, apakah harum atau menusuk. Ceklek' Tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka, memperlihatkan Haiden dengan muka yang flat. Keningnya mengerut, menatap istrinya yang masih belum tertidur. "Azalea, kenapa kau belum tidur?" Haiden berucap datar. Lea menoleh pada Haiden. "Menunggu Mas Haiden," jawabnya acuh tak acuh, kembali menatap lilin di tangannya. 'Ya kali tidur. Banci saja baru mangkal jam se
"Ih, mana bisa begitu?" Lea bergumam pelan, kemudian mengangkat telepon sang suami. Dia sebenarnya malas, akan tetapi dia penasaran siapa yang menelpon suaminya. 'Selamat pagi, Tuan. Mohon maaf mengganggu waktunya. Ini mengenai dokumen penting untuk proyek, Tuan. Dokumen tersebut terkena tumpahan kopi oleh seorang staf yang tak bertanggung jawab. Saya sudah membuat ulang dan membenahi, akan tetapi kami butuh tanda tangan Tuan Haiden. Apakah saya boleh menyusul anda, Tuan? Karena dokumen ini sangat penting dan tiga hari lagi harus sudah diperlihatkan pada mitra,' ucap seseorang di seberang sana. Tak lain dia adalah Citra–menghubungi Haiden karena ada sedikit masalah di kantor. Lea menjauhkan handphone kemudian menoleh pada suaminya yang sedang berpakaian. "Mas Haiden," panggil Lea pelan. "Humm." Haiden berdehem rendah, menoleh pada istrinya kemudian berjalan ke sana, "ada apa?" ulangnya, mengeluarkan kata–tak sekedar deheman saja. "Ini--" Setelah Haiden duduk di sebelahnya, Lea lan
"Pulang?" tanya Haiden saat Lea sudah di depannya. Lea memperhatikan wajah datar sang suami. Dari sorot mata suaminya, Lea tahu Haiden menahan kesal dan marah. Haiden sangat mudah marah, dan Haiden tidak pernah bisa menutupi ekspresi kemarahannya. Selalu terlihat dengan jelas, dapat dirasakan dari aura pria ini juga. Lea menganggukkan kepala, tersenyum kaku pada Haiden. 'Aku hanya nggak sengaja tabrakan dengan pria. Bukan jatuh cinta. Ck, tapi ekspresi Pak suami-- seakan-akan ingin mengulitiku hidup-hidup.' batin Lea, langsung memeluk lengan Haiden ketika pria itu berdiri dari kursi malas. Mereka melangkah pergi dari sana, menjauh dari lokasi tersebut. Di sisi lain, pria yang bertabrakan dengan Lea terlihat menyunggingkan smirk tipis. Tatapannya terus mengikuti kemana Lea melangkah, seakan tak ada objek apapun selain Lea di tempat ini. "Cantik dan menarik. Aku suka kelinci manis," gumam pria itu, suaranya terdengar berat dan serak. **** Lea merapalkan doa keselamatan saat
"Jadi keingat dulu sama sosok Anomali yang menuduhku cemburu tanpa alasan," sindir Lea dengan nada kesal, menatap berang pada Haiden yang sedang sibuk membaca sesuatu di tabletnya–duduk di sofa, berhadapan dengan Lea yang tengah duduk di sisi ranjang. Lea sangat ingat dulu Haiden menegurnya untuk tak terlalu mudah cemburu dan bahkan mengatai Lea cemburu tanpa alasan. Itu terjadi ketika dia dan Haiden akan menikah, Lea saat itu ingin pulang dari rumah Haiden dan Haiden mengantarnya. Tiba-tiba Melody ingin ikut dengan mereka–Melody sakit perut dan butuh ke dokter. Haiden membiarkan Melody ikut sebab alasan yang masuk diakal dan rumah sakit cukup dekat dari rumah kediaman Mahendra. Karena hal tersebut Lea bertengkar dengan Haiden, lalu akhirnya Haiden menyebutnya cemburu tanpa sebab. Namun, lihat sekarang? Siapa yang paling gila dalam hal cemburu? Siapa yang lebih cocok disebut cemburu tanpa alasan? Lea atau Haiden? Lea cemburu karena jelas-jelas dia tahu Melody suka pada Haiden.
Cup' Lea mencium pipi suaminya kemudian tersenyum manis. "Terimakasih, dan selamat malam, Mas Haiden Terlope-lope kesayangan Lea," ujarnya bersemangat, setelah itu menutup mata–masih dengan bibir yang membentuk senyum indah. Haiden tersenyum tipis, mengamati wajah istrinya yang sudah memejamkan mata. "Selamat malam, Nyonya HaiLe, milikku," balasnya dengan nada serak dan rendah, masih setia mengamati wajah cantik istrinya. Cemburu berlebihan? Mungkin Azalea-nya tidak sadar, akan tetapi Haiden tahu– dari tatapannya, pria itu jatuh cinta pada istrinya. Dari aura dan pembawaan pria tersebut, Haiden juga tahu dia menginginkan Azalea-nya. Ini alasan kenapa Haiden sangat malas dan bahkan enggan mempertemukan istrinya dengan teman-temannya. Lea punya daya tarik yang kuat di kalangan pria dengan karakter yang kuat (alpha) seperti dia, Kevan, Nanda dan pria tadi. Teman-temannya belum punya pasangan dan Haiden tahu isi kepala teman-temannya. *** "Kapan kita akan bertemu Mama dan
"Kau siapa?" tanya Haiden, menatap datar pada sosok pria yang berdiri di depan kamarnya. Pria itu cukup kaget melihatnya, matanya sejenak melebar kemudian tiba-tiba menunjukan ekspresi ramah. Mungkin pria ini kira dia bisa menyembunyikan ekspresi kesalnya, tapi dia salah. Haiden ahli dalam membaca ekspresi wajah. "Selamat malam, Tuan. Saya Rion. Saya ingin mengganti es krim Nona Lea karena kemarin saya menabraknya dan membuat es krimnya jatuh," ucap Orion, kembali tersenyum akan tetapi diam-diam menahan kemarahan karena bukan nona Lea-nya yang membuka pintu. Hell! Padahal dia sudah sudah payah mencari informasi tentang Lea, mendadak pindah ke penginapan ini padahal dia memiliki villa pribadi di sekitar pantai. Dia juga mengikuti Lea dan Haiden, supaya tahu kapan Lea sendiri dan kapan Haiden pergi. Seharusnya, dari yang dia cari tahu, Haiden pergi di jam ini. Akan tetapi kenapa Haiden masih di sini? Orion semakin panas dan kesal karena melihat penampilan Haiden. Pria ini menge
Lea diam-diam ke lantai bawah, dia pusing karena lama terkurung dalam kamar. Sedangkan Haiden, suaminya tertidur sangat pulas, dan oleh sebab itu Lea bisa diam-diam keluar. "Pak Rekq," ucap Lea, terkejut melihat pria yang membantunya selama penculikan ada di rumahnya. "Halo, Nona Lea. Senang bisa bertemu denganmu lagi." Rekq membungkuk hormat pada Lea, tak lupa sebuah senyuman manis menyungging di bibir. "Iya. Terimakasih untuk bantuannya, Pak Rekq," Lea mendekat lalu tersenyum balik pada Rekq. Saat itu dia belum sempat berterimakasih pada Rekq, dan untungnya mereka bertemu di sini."Terimakasih kembali juga pada Nona. Jika bukan karena Nona, mungkin saya dan beberapa maid itu, sudah tak ada di dunia ini," jawab Rekq dengan begitu manis dan sopan. Tak ada rasa apapun selain hormat yang dia miliki pada perempuan ini. Yang membuat Rekq sangat salut pada Lea adalah karena keteguhannya dalam menjaga kehormatannya selama penculikan. Lea tidak tahu siapa suaminya yang sebenarnya di duni
"Lalu apa yang kalian banggakan sedangkan kalian tak memiliki peran di keluarga Mahendra?" terang Denis, menatap para kerabat mertua putrinya dengan mimik muka tak bersahabat. Jelas ada pancaran kemarahan yang terlihat nyata karena dia tak menyangka putrinya difitnah oleh keluarga ini. Lea baru selamat dari kasus penculikan, bisa dikatakan kondisi putrinya belum baik-baik saja. Namun, mereka sangat keji dengan melempar ucapan jahat pada Lea. "Yang kami katakan fakta. Dan … bagiamana mungkin Lea lebih baik dari kami?" Ernio, suami Selly, melayangkan tatapan sinis pada Denis. "Jika bukan karena Ziea, memangnya putri yang kau banggakan tersebut memangnya bisa apa? Dia saja menikah dengan Haiden kami karena permintaan Ziea." "Kalian orang yang selalu merasa paling tahu." Kenzie angkat bicara, "fakta dan kebenarannya-- Ziea punya ide untuk bisnis cafenya karena melihat kemampuan Lea dalam memasak. Salah besar jika kalian mengira Lea mendapatkan pekerjaan karena diberi oleh Ziea, dia be
"Dan-- ja-jangan-jangan anak yang Lea kandung adalah anak Orion," cicit Selly pelan, cukup takut pada Haiden. Akan tetapi tatapan Kenzie juga mengerikan, membuatnya terpaksa bersuara. Nanda cengang mendengar ucapan tante dari Haiden. Bagaimana bisa dia berpikir demikian? "Kau yakin telah membawa otakmu sebelum datang ke sini?" Kenzie mengernyit, kesal mendengar ucapan iparnya. Bagaimana bisa dia berpikir anak yang Lea kandung milik Orion, sedangkan Lea diculik baru beberapa hari lalu. "Bi-bisa saja. Orion bertemu dengan Lea saat Haiden dan Lea berbulan madu, bukan?" Selly mencari pembenaran dan alasan lain. Intinya dia ingin membuat Lea hina dihadapan Kenzie dan Moza. Kenzie memijat pelipis, sakit kepala karena mendengar ucapan Selly. Tadi, menantunya difitnah hamil karena insiden penculikan, sekarang pindah karena bulan madu Haiden dan Lea. Semakin mereka ingin menjatuhkan Lea, semakin mereka terlihat blunder. "Kau juga ingin mati sepertinya!" geram Haiden. Syur' Tuk' Na
"Ck." Haiden berdecak pelan, berkacak pinggang sembari memperhatikan istrinya yang sedang berbaring lemah di atas ranjang. Hari ini Haiden berniat ke kantor. Dia sudah rapi dengan setelah jas mahal. Dia terlihat mendekati kata 'sempurna melalui pancaran pesona dan karismanya. Haiden bahkan telah ada dalam mobil–akan berangkat ke kantor. Namun, maid berlari panik. Maid tersebut mengejar mobil yang akan keluar dari pekarangan rumah untuk menghentikan mobil yang membawa tuannya. Haiden menyuruh Nanda berhenti lalu menghampiri maid, di mana maid melapor secara tergesa-gesa, mengatakan kalau sang nyonya pingsang. Untungnya nyonya mereka pingsang dalam keadaan duduk di sofa, sehingga kecemasan mereka tak berkali-kali lipat. Sekarang Lea sudah diperiksa oleh dokter, kondisinya sangat memprihatinkan. Fisik Lea sangat lemah, begitu juga dengan kandungannya. Namun, dokter mengatakan supaya Haiden tidak khawatir berlebihan. Beberapa wanita hamil mengalami hal seperti ini--mudah drop dan j
Namun, tiba-tiba saja Haiden muncul. Pria itu berjalan dengan langkah panjang, akan tetapi wajahnya menunjukkan mimik yang tenang sehingga sangat sulit bagi mereka untuk menebak apa yang sedang pria itu pikirkan serta rasakan. Mendengar langkah kaki, Lea menoleh ke arah belakang–menatap Haiden yang berjalan mendekat ke arahnya. Haiden melewatinya, akan tetap menyempatkan diri untuk mengusap pelan pucuk kepala Lea–saat dia melewati perempuan itu. Bug' Haiden langsung melayangkan tinju ke wajah tantenya, pukulannya sangat kuat sehingga perempuan itu terhempas kasar ke lantai kemudian berakhir tak sadarkan diri, di mana darah segar keluar dari hidung dan mulut. "Haiden!" bentak Tommi–suami dari Sania. Dia berlari ke arah istrinya dan langsung menggendongnya. Sedangkan Haiden, dia menggerakkan lengan–meregangkan otot lengan lalu kembali mengambil ancang-ancang untuk memukul Sania. Persetan, perempuan itu sudah tumbang. Jika dia masih terlihat oleh Haiden dalam bentuk utuh, maka H
Lea berusaha menenangkan diri di halaman samping, taman rumah yang sejuk dan indah. Kewarasan Lea berasa direnggut oleh Haiden, dan sekarang Lea ingin menyendiri–ditemani oleh Haiden. Yap! Lagi-lagi Lea ingin bebas dari Haiden akan tetapi suaminya ini seperti telah direkatkan pada tubuhnya. Lengket dan tak bisa disingkirkan! "Mas tidak kerja yah?" tanya Lea, nadanya cukup sinis karena masih dongkol pada Haiden. Sebenarnya Lea mengusir secara halus. Namun, Lea juga sejujurnya bingung kenapa Haiden tidak ke kantor. Ayolah! Suaminya penggila kerja. "Tidak." Haiden menjawab datar, "kondisimu belum stabil dan siapa tahu juga kau ingin sesuatu. Ibu hamil mengidam bukan?" "O-oh. Iya." Lea menganggukkan kepala, cukup kaku dan lagi-lagi bingung. Haiden tak ingin punya anak tetapi tetap perhatian pada Lea yang sedang mengandung. Konsepnya bagaimana?! *** Karena pusing diikuti terus-terusan oleh Haiden, pada akhrinya Lea memilih tidur siang. Lea berniat hanya pura-pura supaya
"Bagaimana rasanya menjadi ayah?" tanya Haiden, tepat setelah dia duduk di sebelah Reigha. Reigha menoleh padanya, menaikkan sebelah alis karena cukup tertarik dengan pertanyaan Haiden. "Seperti yang kau lihat," jawab Reigha. Haiden seketika menatap kesal pada Reigha. "Aku buta," ketusnya sebab tidak suka dengan jawaban Reigha. Shit! Kenapa harus jawaban itu? Memangnya jawaban seperti itu bisa menjelaskan apa?! Haiden butuh yang lebih rincih, diungkapkan dengan rangkaian kata pendukung untuk meyakinkan. "Jawab yang benar, Rei." Haiden berucap lagi, mendengkus lalu melayangkan tatapan malas pada Reigha. Dia bukan hanya dekat dengan Reigha, tetapi mereka juga sangat kompak sebenarnya. Fakta lucunya, pertemanan keduanya diawali dengan alasan yang konyol. Haiden dan Reigha memiliki hubungan kekerabatan. Namun, dulu mereka tak sedekat ini. Haiden lebih masuk pada pertemanan Rafael, Maxim, Nanda dan yang lainnya karena mereka semua seumuran. Sedangkan Reigha, selain lebih
"Jaga Azalea dengan baik." "Jangan terlalu manja pada Lea juga, Kak Den. Ingat, menantu Mommy sedang hamil. Jangan macam-macam juga!" Haiden menganggukkan kepala pada orangtuanya. Setelah itu, kedua orangtuanya pamit pulang. Haiden sudah lebih baik, begitu juga dengan Lea. Maka dari itu mereka pamit untuk pulang–memberi ruang untuk Haiden dan Lea. Mungkin pasangan itu butuh waktu. Lea menatap mobil mertuanya dengan muka murung. Sejak tadi dia hanya diam, perasaannya berkecamuk dan kepalanya sedikit pusing karena banyak pikiran. Benar dugaannya! Haiden sudah tahu tetapi Haiden dasarnya memang tak ingin membahas apapun. "Masuk dan kembali ke kamar." Haiden merangkul pundak Lea, mengiring istrinya untuk kembali masuk dalam rumah. "Kau harus istirahat," lanjutnya. Lea hanya menganggukkan kepala, berjalan pelan di sebelah suaminya. Sampai sekarang! Haiden tidak menyinggung pasal kehamilannya. Apa Haiden juga berpikiran yang sama dengan para tantenya? Haiden curiga ini anak Orion?
Setelah dokter pergi, Lea langsung menyambar novel. Dia sengaja untuk mengindari Haiden, dia takut menghadapi suaminya. Lea tersenyum perih, merasa dirinya telah gila dan jahat. 'Harusnya berita kehamilanku membawa kebahagiaan, harusnya aku senang karena sebentar lagi aku akan menjadi ibu, harusnya aku bahagia karena mengandung anak dari pria yang kucintai. Tapi-- aku malah sedih, aku takut, aku cemas dan … aku rasa aku akan menjadi gila dalam waktu dekat.' batin Lea, di mana dia ingin menangis akan tetapi ia tahan karena mendengar sebuah langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Haiden kembali ke kamar, setelah sebelumnya mengantar dokter. "Besok, Mama dan Papa akan aku bawa ke sini untuk bertemu denganmu," ucap Haiden, meletakkan botol vitamin dan pil di atas nakas. "Iya, Mas," jawab Lea seadanya, menganggukkan kepala tanpa mau bersitatap dengan suaminya. Dia pura-pura sibuk membaca novel, padahal pikirannya kemana-mana. Jantung Lea berdebar kencang, punggungnya panas akan