Semoga suka dengan part ini, Myre. Ig:@deasta18
'Jadi dia istri Kak Haiden?' Perempuan yang tak lain adalah Jema tersebut menatap ke arah Lea, dari atas hingga bawah. 'Dia cukup cantik. Tetapi aku jauh lebih cantik, dan … entah kenapa dia tidak asing.' "Kak, aku dan temanku yang lebih dulu memilih gaun ini. Jadi gaun ini milik kami," ucap Ziea pada pelayan toko. Pelayan toko menganggukkan kepala, setuju jika gaun ini memang milik kedua perempuan muda tersebut. Pelayan tersenyum ramah pada Jema, menjelaskan secara sopan jika gaun tersebut memanglah milik Lea dan Ziea. "Mohon maaf, Nona. Gaun ini lebih dulu diambil oleh kedua Nona ini, jadi gaun ini milik kedua Nona ini." "Tidak!" Jema menjawab dengan arogan. "Aku butuh gaun ini untuk sebuah acara penting. Aku seorang model terkenal dan jauh lebih pantas mengenakan gaun mewah ini." "Mohon maaf, Nona. Akan tetapi gaun ini memang lebih dulu diambil oleh kedua Nona muda ini. Saya tidak bisa memberikannya padamu. Ah, atau … Nona bisa melihat gaun lain. Kami masih punya gaun yang
'Aku sudah memperbaikinya dan aku akan datang ke rumah Tuan untuk menyerahkannya.' Citra berkata dengan nada lembut, agar terkesan sopan dan baik di mata Haiden. Wajah Haiden berubah tak bersahabat, rahangnya mengatup dan tatapannya berubah tajam. Satu hal yang Haiden tak suka, seseorang yang ia anggap asing lancang datang ke rumahnya. Bagi Haiden rumah adalah tempat privasi, dan dia tak suka jika wilayah privasinya diusil oleh orang luar. Nanda yang sudah dekat dengannya saja-- jarang ke rumah untuk pekerjaan. Jika hanya genting, barulah Nanda menginap di rumahnya. "Berikan file pada Nanda dan jangan pernah datang ke rumahku," dingin Haiden, masih berusaha tenang menghadapi Citra. 'Ta-tapi Tuan, saya sudah di depan rumah anda.' jawab Citra di seberang sana, 'mobilku mogok, Tuan. Dan di sini sangat sepi,' lanjutnya, berharap Haiden akan datang menolongnya. Dia cukup takut karena hari yang sudah sangat gelap padahal masih menunjukkan jam empat sore, namun suasana hati sudah sepe
Malam ini Lea dan Haiden berangkat untuk rencana bulan madu mereka. Haiden tak langsung membawa Lea ke desa, akan tetapi Haiden berniat menghabiskan waktu lebih dulu di pantai dengan istrinya. Namun, saat di depan rumah, supir menghentikan mobil. Seorang perempuan tiba-tiba muncul dan berdiri di tengah jalan, menghalangi mobil. Tok tok tok' Citra mengetuk kaca mobil Haiden, wajahnya pucat karena sejak tadi menunggu di sini. Nanda sudah datang menjemput dokumen yang ada padanya, akan tetapi Citra tak pulang dengan alasan mobilnya mogok dan ia tak bisa meninggalkan mobil tersebut di sini. Intinya dia melontarkan banyak alasan, padahal niatannya ingin diperhatikan oleh Haiden. Tapi-- hujan turun dengan deras, tetapi Citra tetap bertahan. Sekarang dia kedinginan dan pucat, berharap dengan kondisi yang seperti ini Haiden iba padanya. Srett' Kaca mobil diturunkan, memperlihatkan Haiden dengan tampang muka dingin dan mata sayu yang mengintimidasi. 'Seperti biasa. Tuan sangat tampa
"Aaaa …." Lea memekik horor dan kaget, shock karena Haiden sudah di depannya. Tadi, dia sudah berhasil lari dan bersembunyi, akan tetapi ujung-ujungnya Haiden tetap menemukannya. Haiden menaikkan sebelah alis, menyunguingkan evil smirk yang tipis. Mungkin Lea berpikir bisa bersembunyi darinya diantara keramaian. Namun, Lea tentu tak bisa. Bahkan ketika Lea bersembunyi dengan cara menjadi transparan pun, Haiden akan menemukan dengan mudah. Parfum! Yah, parfum khusus yang Haiden berikan pada istrinya, itu sangat membantu. "A-aku suntuk di kamar, makanya aku keluar, Mas," cicit Lea, mundur beberapa langkah karena Haiden mendekat padanya. Senyuman Haiden memang membuat suaminya semakin tampan, akan tetapi secara bersamaan membuat Lea ketakutan–merinding disko. Lea berpikir keras supaya bisa kabur dari pria pemarah ini. Dia tiba-tiba tersenyum lembut kemudian mengedipkan sebelah mata secara genit. Ting' Haiden terdiam seketika, senyuman evil di bibirnya langsung menghilangkan. Ta
"Apa aku kunci saja yah pintunya supaya Mas Haiden nggak bisa masuk? Ck, kesal banget aku sama dia," gerutu Lea, berdecak sembari berkacak pinggang. Dia duduk di atas ranjang, menahan dongkol dalam hati karena ditinggal Haiden. Lea pada akhirnya mengambil handphone untuk membuang suntuk. Sudah hampir empat jam Haiden meninggalkannya. Lea menghela napas, tak tahu harus melakukan apa. Kenyataannya HP tak bisa mengusir kebosanan. Melihat sebuah lilin aroma terapi di meja sebelah pintu kamar mandi, Lea beranjak dari sana kemudian meraih lilin tersebut. Dia penasaran dengan aroma lilin ini, apakah harum atau menusuk. Ceklek' Tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka, memperlihatkan Haiden dengan muka yang flat. Keningnya mengerut, menatap istrinya yang masih belum tertidur. "Azalea, kenapa kau belum tidur?" Haiden berucap datar. Lea menoleh pada Haiden. "Menunggu Mas Haiden," jawabnya acuh tak acuh, kembali menatap lilin di tangannya. 'Ya kali tidur. Banci saja baru mangkal jam se
"Ih, mana bisa begitu?" Lea bergumam pelan, kemudian mengangkat telepon sang suami. Dia sebenarnya malas, akan tetapi dia penasaran siapa yang menelpon suaminya. 'Selamat pagi, Tuan. Mohon maaf mengganggu waktunya. Ini mengenai dokumen penting untuk proyek, Tuan. Dokumen tersebut terkena tumpahan kopi oleh seorang staf yang tak bertanggung jawab. Saya sudah membuat ulang dan membenahi, akan tetapi kami butuh tanda tangan Tuan Haiden. Apakah saya boleh menyusul anda, Tuan? Karena dokumen ini sangat penting dan tiga hari lagi harus sudah diperlihatkan pada mitra,' ucap seseorang di seberang sana. Tak lain dia adalah Citra–menghubungi Haiden karena ada sedikit masalah di kantor. Lea menjauhkan handphone kemudian menoleh pada suaminya yang sedang berpakaian. "Mas Haiden," panggil Lea pelan. "Humm." Haiden berdehem rendah, menoleh pada istrinya kemudian berjalan ke sana, "ada apa?" ulangnya, mengeluarkan kata–tak sekedar deheman saja. "Ini--" Setelah Haiden duduk di sebelahnya, Lea lan
"Pulang?" tanya Haiden saat Lea sudah di depannya. Lea memperhatikan wajah datar sang suami. Dari sorot mata suaminya, Lea tahu Haiden menahan kesal dan marah. Haiden sangat mudah marah, dan Haiden tidak pernah bisa menutupi ekspresi kemarahannya. Selalu terlihat dengan jelas, dapat dirasakan dari aura pria ini juga. Lea menganggukkan kepala, tersenyum kaku pada Haiden. 'Aku hanya nggak sengaja tabrakan dengan pria. Bukan jatuh cinta. Ck, tapi ekspresi Pak suami-- seakan-akan ingin mengulitiku hidup-hidup.' batin Lea, langsung memeluk lengan Haiden ketika pria itu berdiri dari kursi malas. Mereka melangkah pergi dari sana, menjauh dari lokasi tersebut. Di sisi lain, pria yang bertabrakan dengan Lea terlihat menyunggingkan smirk tipis. Tatapannya terus mengikuti kemana Lea melangkah, seakan tak ada objek apapun selain Lea di tempat ini. "Cantik dan menarik. Aku suka kelinci manis," gumam pria itu, suaranya terdengar berat dan serak. **** Lea merapalkan doa keselamatan saat
"Jadi keingat dulu sama sosok Anomali yang menuduhku cemburu tanpa alasan," sindir Lea dengan nada kesal, menatap berang pada Haiden yang sedang sibuk membaca sesuatu di tabletnya–duduk di sofa, berhadapan dengan Lea yang tengah duduk di sisi ranjang. Lea sangat ingat dulu Haiden menegurnya untuk tak terlalu mudah cemburu dan bahkan mengatai Lea cemburu tanpa alasan. Itu terjadi ketika dia dan Haiden akan menikah, Lea saat itu ingin pulang dari rumah Haiden dan Haiden mengantarnya. Tiba-tiba Melody ingin ikut dengan mereka–Melody sakit perut dan butuh ke dokter. Haiden membiarkan Melody ikut sebab alasan yang masuk diakal dan rumah sakit cukup dekat dari rumah kediaman Mahendra. Karena hal tersebut Lea bertengkar dengan Haiden, lalu akhirnya Haiden menyebutnya cemburu tanpa sebab. Namun, lihat sekarang? Siapa yang paling gila dalam hal cemburu? Siapa yang lebih cocok disebut cemburu tanpa alasan? Lea atau Haiden? Lea cemburu karena jelas-jelas dia tahu Melody suka pada Haiden.
"Kamu dari mana sih, Alana sayang?" tanya Lea ketika putrinya telah kembali. Dia langsung menghampiri sang putri, menatap Alana lekat dan penuh perhatian. Lea tentu khawatir pada Alana. Tadi malam putrinya hampir terkena masalah yang luar biasa mengerikan. Pagi ini, ada berita buruk tentang seseorang yang membenci putrinya. Lea khawatir orang tersebut melakukan aksi kejahatan pada Alana; menyerang Alana secara fisik. Lea sangat panik tetapi dia tidak berani memberitahu suaminya karena dia takut jika Haiden mengamuk. Meski sekarang suaminya jauh lebih lembut dan hangat, tetapi Haiden tetaplah Haiden. Sumbu pendek, nuklir ataupun gunung berapi. Jadi Lea tak ingin mengambil resiko. Dia memilih menghubungi Ethan, pria yang sudah ia dan suaminya setujui untuk menjadi menantu. Sebenarnya ada opsi menghubungi putranya, tetapi sifat Ebrahim tak jauh dari dadanya–sangat mudah marah. Takutnya, Ebrahim memarahi adiknya yang pergi tanpa pamit. "Aku habis jalan-jalan, Mommy," jawab Lea, t
"Aku calon suami Alana."Deg deg deg Alana reflek mendongak pada Ethan, menatap pria itu dengan mimik muka campuran tegang dan malu-malu. Namun, Alana tak seperti biasanya, di mana dia akan kesal serta tak terima ketika Ethan menyebutnya pasangan. Alana hanya … merasa gugup.Satria menatap Ethan dengan senyuman remeh, pria ini pasti orang yang mengaku-ngaku sebagai calon suami Alana. Atau jangan-jangan dia fans fanatik dari Alana? "Kau ini--" Satria menatap Ethan dari atas hingga bawah. 'Pakaiannya sangat berkelas, dia penuh wibawa dan karisma. Orang sepertinya seharusnya jarang menonton televisi. Ah, bisa saja dia berpenampilan seperti ini untuk memikat perempuan. Tapi tak bisa ku pungkiri, dia memiliki aura yang mahal.' batin Satria, dia memperhatikan penampilan Ethan untuk menghina pria ini. Akan tetapi, dia tidak memiliki bahan untuk menghina pria ini. Bahkan semua yang pria ini pakai harganya hampir setara dengan harga mobil miliknya yang biasa ia pakai ke lokasi shooting. "
"Angkat kamera kalian dan kalau berani, menghadap padaku!" dingin Haiden, nada menggeram marah dan tatapan sangat tajam–penuh emosi. Alih-alih mengangkat kamera, para wartawan tersebut bergerak mundur. Mereka menunduk dalam, menutupi wajah agar tidak dilihat oleh sang legendaris Mahendra. Rurom menyebut, apabila dalam keadaan marah Haiden menatap seseorang, maka orang tersebut akan menghilang. Tak ada yang bisa membenarkan rumor tersebut, akan tetapi banyak yang menyebutnya nyata. "Kalian berani mengganggu putriku, Hah?!" bentar Haiden dengan suara menggelegar–para wartawan tersentak kaget, tubuh bgemetar hebat dan jantung berdebar kencang. "Ma-maafkan kami, Tuan Haiden," ucap salah satu dari wartawan tersebut. "Kalian semua pantas mati!" dingin Haiden. Lea melepas pelukannya pada putrinya lalu buru-buru menghampiri suaminya. "Mas Deden Terlope-lope, tenangkan diri kamu," peringat Lea, memeluk suaminya sembari satu tangan mengusap dada bidang sang suami. "Sebaiknya kita pulang.
"Putriku. Di-dimana putriku?" Haiden dan yang lainnya datang ke sana. Ebrahim yang memberitahu supaya daddynya datang ke tempat ini. Awalnya Ebrahim dan Ethan sepakat ingin menutup-nutupi masalah ini dari Haiden dan Lea. Akan tetapi, daddynya terus menghubunginya–menyuruh Ebrahim untuk mencari Alana ada di mana. Pada akhirnya Ebrahim mengatakan yang sejujurnya. "Daddy …." Alana langsung berdiri, menangis sembari menatap ke arah daddynya. Haiden merentangkan tangan supaya putrinya datang dan memeluknya. Alana langsung berlari dan …-Bug' Memeluk sosok perempuan di sebelah daddynya–mommynya. Haiden yang masih merentangkan tangan–berharap dipeluk oleh putrinya, terlihat memasang muka kaku dan dengan mata berkedut-kedut. Hell! Dia hanya mendapat angin untuk dipeluk. Semua orang yang melihat itu, berusaha menahan tawa. Lucu akan tetapi salah waktu saja. "Su-sudah, Den. Tak ada yang ingin memelukmu," ucap Reigha, menurunkan tangan Haiden yang masih direntangkan. "Nanti kita berpel
"Sudah?" tanya Ethan, melirik sekilas pada Alana yang masih berendam dalam bath up. Sebenarnya Ethan ingin sekali melirik Alana lebih dari satu detik, tetapi … damn! Dia takut dia mencelakai gadis ini. Alana menekuk kaki lalu memeluk diri sendiri. Dia sudah sadar dan tubuhnya tidak lagi merasa terbakar. "Sudah, Kak," jawabnya pelan, malu karena keadaannya hampir telanjang. "Humm." Ethan berdehem singkat, meraih handuk lalu memberikannya pada Alana. "Aku keluar," ucapnya setelah itu."Kak Ethan, bajuku basah dan aku tidak punya baju lagi," cicit Alana ketika Ethan berniat keluar dari kamar mandi. "Humm." Ethan hanya berdehem, dia keluar dari kamar mandi lalu menghubungi seseorang untuk mengantar pakaian pada Alana. Orang yang dia hubungi adalah Zana, perempuan itu dekat dengan Alana dan tentunya tahu selera berpakaian Alana. Satu lagi. Zana sepupunya dan mereka lumayan dekat. Tak lama Zana datang dengan Ebrahim, di mana raut muka Ebrahim sangat tak bersahabat–khawatir dan marah
Alana menjauhkan pandangan, meraih handphonenya dan pura-pura sibuk dengan ponsel. Jantung Alana berdebar kencang, padahal dia hanya bersitatap dengan Ethan tetapi kenapa dia gugup? Ada getaran yang tak ia pahami di dalam hati. Di sisi lain, Ethan menghela napas, Alana tidak suka padanya dan dia tidak ingin memaksa. Acara berlanjut dan begitu meriah. Di depan sana, orangtuanya membanggakan Ethan, granddad dan grandma-nya juga memuji Ethan. Di tempatnya Alana ikut senang melihatnya. Dia masih ingat waktu Ethan termenung di ruangannya karena masalah yang iklan. Masih teringat jelas wajah murung Ethan ketika kakaknya menyalahkannya di depan banyak orang, karena masalah tersebut. Namun, di sini Ethan terlihat bersinar. Dia bisa membuktikan dirinya sendiri dan akhirnya dia diakui. Tanpa sadar Alana tersenyum dan bertepuk tangan kecil. Akan tetapi senyumannya langsung lenyap ketika Ethan menatapnya. Lagi-lagi jantungnya berdebar kencang dan Alana tidak nyaman dengan tatapan Ethan. Semua
"Dia memang Azam, tetapi dia berdiri diatas kakinya sendiri. Dia tidak pernah mengandalkan nama belakangnya. Dan Kakak perhatikan Kak Ethan sangat memperhatikanmu, kau sangat beruntung jika mendapatkannya. Karena Kak Ethan tidak peduli pada sekitarnya, dan kau satu-satunya yang akan dia perhatikan.""Kak! Tolong jangan paksa aku. Aku nggak suka Kak Ethan," pekik Alana. Ebrahim menghela napas, berdiri dari sebelah adiknya lalu mengusap pucuk kepala Alana. "Terserah. Tapi-- gengsinya jangan lama-lama. Yang suka pada Kak Ethan itu bukan hanya kau.""Ih apaan sih?!" ketus Alana, langsung menutup pintu dengan kasar–setelah Ebrahim keluar dari kamarnya. Semua orang gila! Sudah Alana bilang kalau dia tidak suka pada Ethan, tetapi orang-orang terus keukeuh menganggap Alana suka pada Ethan. Hell! Bukan hanya Ethan laki-laki di dunia ini, dan … big no untuk pria Azam. Sekalipun Ebrahim sudah menasehati, itu tak mempan pada Alana. Tidak tetap tidak suka! Tok tok tok'Alana membuka pintu deng
Alana kembali mengurung diri di dalam kamar karena tidak tahan di goda oleh para sepupunya. Dia bahkan bahkan berniat menghubungi daddynya supaya menjemputnya pulang, saking tidak tahannya dia dicie-ciekan dengan Ethan. Namun, dia takut itu akan mendatangkan masalah sehingga Alana memilih mengurungkan diri. Lagi pulang hanya satu hati lagi, setelah itu mereka akan pulang dari pulau ini. Hah, Ethan. Alih-alih suka, Alana malah semakin tak Sudi menikah dengan pria itu. Dia benar-benar tidak suka dicie-ciekan. Dia sangat benci!Ceklek'Alana menoleh ke arah pintu, mendapati kakaknya di sana. Ebrahim masuk ke dalam kamar dan berjalan mendekat ke arah adiknya yang duduk di sofa. "Kenapa kau terus mengurung diri, Alana?" tanya Ebrahim, duduk di sebelah adiknya. Alana menatap sejenak pada Ebrahim kemudian lanjut membaca novel di tangan, "aku tidak nyaman dengan kalian. Dikit dikit cie cie cie. Aku tidak suka Kak Ethan dan aku tidak punya hubungan dengan Kak Ethan. Kalian begitu, aku ma
Alana langsung menarik tangannya, meringsut ke lemari kabinet bawah sembari menatap Ethan dengan muka konyol–malu bercampur panik secara bersamaan. Ethan bangkit, melayangkan tatapan dingin ke arah Alana. Setelah itu, dia beranjak dari sana–tanpa mengatakan apa-apa pada Alana. "Eih." Kanza menatap Ethan dengan tampang muka bingung. Pria itu pergi begitu saja dengan muka dingin dan terlihat seperti marah. Mengingat sesuatu, Kanza buru-buru melangkah ke dapur, bersama dengan Anne. "Kamu kenapa, Al?" tanya Kanza dengan nada perhatian, mendekati Alana lalu membantu perempuan itu untuk berdiri. "I-itu … kecoa," jawab Alana, terpaksa berbohong karena dia tak mungkin jujur kalau dia habis …-Haisss! Tangannya! "Trus Kak Ethan …-" Anne bertanya tetapi cukup ragu karena melihat wajah adik iparnya yang terlihat kaku–seperti sedang marah. Sebenarnya Ethan dan Anne seumuran, akan tetapi karena dia berbicara dengan Alana, dia menyebut Ethan dengan embel-embel kakak. Alasannya karena Ethan ja