Semoga suka, MyRe. Love sekebun untuk kalian semua ... Dukung novel kita dengan cara vote gems, hadiah, doa manis dan komentar. Yuk, MyRe yang belum kasih review di kolom komentar berbintang, segera kasih review manis yuk. Meskipun itu hal kecil, tetapi itu sangat berharga bagi penulis dan novel kita. Sehat slalu buat kalian semua, MyRe. Semangat! IG:@deasta18
"Kecelakaan Mama dan Papa, itu ulah orangtuamu." Deg' Novel di tangan Lea seketika terjatuh, terlalu kaget mendengar ucapan suaminya. Wajahnya mendadak kaku dan jantungnya berdebar sangat kencang. Orangtuanya yang telah merencanakan kecelakaan Mama dan Papa angkat Lea? Ingatan Lea seketika berputar ke hari kematian mama dan papanya. Semenjak masih di rumah sakit, otangtuanya tak menunjukan reaksi apapun. Lalu ketika telah di rumah duka, orangtua kandungnya bahkan masih bisa bercanda dengan temannya yang datang. Padahal itu hari kematian adik kandungnya. Meski sering berselisih, tetapi Denis selalu sigap membantu Yoga jika terkena masalah. Tubuh Lea mendadak lemas sehingga dia tak bisa berkata-kata. "Tapi-- Mama dan Papa masih hidup," lanjut Haiden. Lea yang sempat lemas dan rasanya ingin pingsan, seketika kembali bersemangat. Awalnya jantungnya berdebar kencang karena perasaan kecewa yang teramat dalam, tetapi kini debaran itu berubah karena perasaan gembira yang menggebu-geb
'Jadi dia istri Kak Haiden?' Perempuan yang tak lain adalah Jema tersebut menatap ke arah Lea, dari atas hingga bawah. 'Dia cukup cantik. Tetapi aku jauh lebih cantik, dan … entah kenapa dia tidak asing.' "Kak, aku dan temanku yang lebih dulu memilih gaun ini. Jadi gaun ini milik kami," ucap Ziea pada pelayan toko. Pelayan toko menganggukkan kepala, setuju jika gaun ini memang milik kedua perempuan muda tersebut. Pelayan tersenyum ramah pada Jema, menjelaskan secara sopan jika gaun tersebut memanglah milik Lea dan Ziea. "Mohon maaf, Nona. Gaun ini lebih dulu diambil oleh kedua Nona ini, jadi gaun ini milik kedua Nona ini." "Tidak!" Jema menjawab dengan arogan. "Aku butuh gaun ini untuk sebuah acara penting. Aku seorang model terkenal dan jauh lebih pantas mengenakan gaun mewah ini." "Mohon maaf, Nona. Akan tetapi gaun ini memang lebih dulu diambil oleh kedua Nona muda ini. Saya tidak bisa memberikannya padamu. Ah, atau … Nona bisa melihat gaun lain. Kami masih punya gaun yang
'Aku sudah memperbaikinya dan aku akan datang ke rumah Tuan untuk menyerahkannya.' Citra berkata dengan nada lembut, agar terkesan sopan dan baik di mata Haiden. Wajah Haiden berubah tak bersahabat, rahangnya mengatup dan tatapannya berubah tajam. Satu hal yang Haiden tak suka, seseorang yang ia anggap asing lancang datang ke rumahnya. Bagi Haiden rumah adalah tempat privasi, dan dia tak suka jika wilayah privasinya diusil oleh orang luar. Nanda yang sudah dekat dengannya saja-- jarang ke rumah untuk pekerjaan. Jika hanya genting, barulah Nanda menginap di rumahnya. "Berikan file pada Nanda dan jangan pernah datang ke rumahku," dingin Haiden, masih berusaha tenang menghadapi Citra. 'Ta-tapi Tuan, saya sudah di depan rumah anda.' jawab Citra di seberang sana, 'mobilku mogok, Tuan. Dan di sini sangat sepi,' lanjutnya, berharap Haiden akan datang menolongnya. Dia cukup takut karena hari yang sudah sangat gelap padahal masih menunjukkan jam empat sore, namun suasana hati sudah sepe
Malam ini Lea dan Haiden berangkat untuk rencana bulan madu mereka. Haiden tak langsung membawa Lea ke desa, akan tetapi Haiden berniat menghabiskan waktu lebih dulu di pantai dengan istrinya. Namun, saat di depan rumah, supir menghentikan mobil. Seorang perempuan tiba-tiba muncul dan berdiri di tengah jalan, menghalangi mobil. Tok tok tok' Citra mengetuk kaca mobil Haiden, wajahnya pucat karena sejak tadi menunggu di sini. Nanda sudah datang menjemput dokumen yang ada padanya, akan tetapi Citra tak pulang dengan alasan mobilnya mogok dan ia tak bisa meninggalkan mobil tersebut di sini. Intinya dia melontarkan banyak alasan, padahal niatannya ingin diperhatikan oleh Haiden. Tapi-- hujan turun dengan deras, tetapi Citra tetap bertahan. Sekarang dia kedinginan dan pucat, berharap dengan kondisi yang seperti ini Haiden iba padanya. Srett' Kaca mobil diturunkan, memperlihatkan Haiden dengan tampang muka dingin dan mata sayu yang mengintimidasi. 'Seperti biasa. Tuan sangat tampa
"Aaaa …." Lea memekik horor dan kaget, shock karena Haiden sudah di depannya. Tadi, dia sudah berhasil lari dan bersembunyi, akan tetapi ujung-ujungnya Haiden tetap menemukannya. Haiden menaikkan sebelah alis, menyunguingkan evil smirk yang tipis. Mungkin Lea berpikir bisa bersembunyi darinya diantara keramaian. Namun, Lea tentu tak bisa. Bahkan ketika Lea bersembunyi dengan cara menjadi transparan pun, Haiden akan menemukan dengan mudah. Parfum! Yah, parfum khusus yang Haiden berikan pada istrinya, itu sangat membantu. "A-aku suntuk di kamar, makanya aku keluar, Mas," cicit Lea, mundur beberapa langkah karena Haiden mendekat padanya. Senyuman Haiden memang membuat suaminya semakin tampan, akan tetapi secara bersamaan membuat Lea ketakutan–merinding disko. Lea berpikir keras supaya bisa kabur dari pria pemarah ini. Dia tiba-tiba tersenyum lembut kemudian mengedipkan sebelah mata secara genit. Ting' Haiden terdiam seketika, senyuman evil di bibirnya langsung menghilangkan. Ta
"Apa aku kunci saja yah pintunya supaya Mas Haiden nggak bisa masuk? Ck, kesal banget aku sama dia," gerutu Lea, berdecak sembari berkacak pinggang. Dia duduk di atas ranjang, menahan dongkol dalam hati karena ditinggal Haiden. Lea pada akhirnya mengambil handphone untuk membuang suntuk. Sudah hampir empat jam Haiden meninggalkannya. Lea menghela napas, tak tahu harus melakukan apa. Kenyataannya HP tak bisa mengusir kebosanan. Melihat sebuah lilin aroma terapi di meja sebelah pintu kamar mandi, Lea beranjak dari sana kemudian meraih lilin tersebut. Dia penasaran dengan aroma lilin ini, apakah harum atau menusuk. Ceklek' Tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka, memperlihatkan Haiden dengan muka yang flat. Keningnya mengerut, menatap istrinya yang masih belum tertidur. "Azalea, kenapa kau belum tidur?" Haiden berucap datar. Lea menoleh pada Haiden. "Menunggu Mas Haiden," jawabnya acuh tak acuh, kembali menatap lilin di tangannya. 'Ya kali tidur. Banci saja baru mangkal jam se
"Ih, mana bisa begitu?" Lea bergumam pelan, kemudian mengangkat telepon sang suami. Dia sebenarnya malas, akan tetapi dia penasaran siapa yang menelpon suaminya. 'Selamat pagi, Tuan. Mohon maaf mengganggu waktunya. Ini mengenai dokumen penting untuk proyek, Tuan. Dokumen tersebut terkena tumpahan kopi oleh seorang staf yang tak bertanggung jawab. Saya sudah membuat ulang dan membenahi, akan tetapi kami butuh tanda tangan Tuan Haiden. Apakah saya boleh menyusul anda, Tuan? Karena dokumen ini sangat penting dan tiga hari lagi harus sudah diperlihatkan pada mitra,' ucap seseorang di seberang sana. Tak lain dia adalah Citra–menghubungi Haiden karena ada sedikit masalah di kantor. Lea menjauhkan handphone kemudian menoleh pada suaminya yang sedang berpakaian. "Mas Haiden," panggil Lea pelan. "Humm." Haiden berdehem rendah, menoleh pada istrinya kemudian berjalan ke sana, "ada apa?" ulangnya, mengeluarkan kata–tak sekedar deheman saja. "Ini--" Setelah Haiden duduk di sebelahnya, Lea lan
"Pulang?" tanya Haiden saat Lea sudah di depannya. Lea memperhatikan wajah datar sang suami. Dari sorot mata suaminya, Lea tahu Haiden menahan kesal dan marah. Haiden sangat mudah marah, dan Haiden tidak pernah bisa menutupi ekspresi kemarahannya. Selalu terlihat dengan jelas, dapat dirasakan dari aura pria ini juga. Lea menganggukkan kepala, tersenyum kaku pada Haiden. 'Aku hanya nggak sengaja tabrakan dengan pria. Bukan jatuh cinta. Ck, tapi ekspresi Pak suami-- seakan-akan ingin mengulitiku hidup-hidup.' batin Lea, langsung memeluk lengan Haiden ketika pria itu berdiri dari kursi malas. Mereka melangkah pergi dari sana, menjauh dari lokasi tersebut. Di sisi lain, pria yang bertabrakan dengan Lea terlihat menyunggingkan smirk tipis. Tatapannya terus mengikuti kemana Lea melangkah, seakan tak ada objek apapun selain Lea di tempat ini. "Cantik dan menarik. Aku suka kelinci manis," gumam pria itu, suaranya terdengar berat dan serak. **** Lea merapalkan doa keselamatan saat
"A-apa? Aku dijodohin sama Papa?" Kaget dan panik Nindi. "Udah. Kamu mandi dulu. Nanti Mama bicarain ke kamu." Setelah sampai di kamar putrinya, Lachi mendorong Nindi masuk ke dalam kamar–menyuruh putrinya untuk segera mandi. *** "Jadi bagaimana? Masih ingin menikahi putri Paman?" tanya Danzel, di mana saat ini dia sedang berbicara dengan anak dari salah satu temannya lamanya di dunia bisnis. Sejak dulu pemuda ini sudah mendatanginya dan mengatakan keinginannya untuk memperistri putranya. Dulu, Danzel menertawakan karena anak ini masih remaja labil. Tapi meski begitu, dia menganggukkan kepala–setuju jika pria ini menikahi putrinya di masa depan. Sejujurnya Danzel tak terlalu serius dan menganggap itu hanya candaan ssmata. Danzel merasa anak ini tak akan bertahan lama dalam rasa sukanya pada Nindi. Dari remaja hingga dewasa–tak mungkin pria ini tak menemukan perempuan lain di luaran sana. Intinya, Danzel tak yakin jika pemuda ini bertahan dalam hal menyukai putrinya. Namu
Saat ini Nindi berada di kontrakan kecil miliknya. Hidupnya berubah drastis setelah empat bulan terakhir ini. Dia menjalani hari-hari penuh dengan kekurangan, dia berusaha bertahan di era miskin yang melanda dirinya karena ingin hidup mandiri seperti ibunya saat muda dulu. Neneknya bilang ibunya seorang perempuan mandiri yang tak pernah mengandalkan kekayaan orangtuanya. Nindi yang selama ini berfoya-foya dengan uang ayahnya, merasa tersindir. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk hidup sendiri. Dia memisah dari keluarga Adam, mencari pekerjaan secara mandiri di perusahaan lain, dan berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan ekonomi yang serba kurang. Bagi Nindi ini cukup sulit karena dia terbiasa hidup penuh kemewahan. Namun, sejauh ini, Nindi menikmati kehidupan barunya. Derrttt'Nindi meraih handphone di atas meja nakas, samping ranjang kecil miliknya. Dia langsung mengangkat telepon dari sahabatnya, Clara. "Iya, Ra?" ucap Nindi, satu tangan menempelkan ponsel ke telinga, satu la
"Lihat penampilanmu sekarang, nggak terurus, buruk dan … harus aku akui, kamu jelek banget." "Yang penting aku masih hidup." "Iya, masalahnya, siapa yang mau pacaran sama kamu kalau kamu bentukannya begini, Nindi." Mendengar nama itu, seorang pria yang sedang menunggu pesanannya segera menoleh ke arah sumber suara tersebut. Dia bisa melihat dua perempuan sedang duduk bersama, satu perempuan berpenampilan rapi dan satu lagi terlihat seperti gembel. Perempuan gembel itu-- rambutnya berminyak, wajah kusam, pakaian tak disetrika, dan sandal jepit yang dia kenakan sudah diikat tali plastik. Sepertinya sandalnya putus, dan dia mengakalinya dengan tali plastik. Diam-diam pria itu mengambil potret si perempuan gembel tersebut, setelah itu mengamati potret yang ia ambil dengan sangat serius. Sejujurnya meskipun berpenampilan gembel, perempuan ini masih tetap cantik. Hanya saja-- bukankah perempuan ini berasal dari keluarga terpandang, kenapa penampilannya seperti gembel? Apa pamannya–a
"Apa mereka sedang menggunjing istri yah?" timpal Ziea, membuat semua orang menoleh padanya. "Ahahah, tidak mungkin, Ziea." Serena tertawa dengan anggun, menatap lucu pada Ziea. "Positif thinking, pasti membahas mobil. Para pria kan suka begitu," tebak Lea, kali ini mendapat anggukkan dari yang lainnya karena itu masuk diakal dan mereka setuju. "Ah ya ampun!! Pria yang pake kemeja hitam, ganteng sekali." Lea senyum-senyum manis. "Kak Deden?" Ziea memicingkan mata, mendapat anggukan dari Lea. "Tampan kan?!" Lea menaik turunkan alis. "Aduh. Tobat, Lea, tobat! Kamu sudah tua, Sayang!" Ziea mengomeli Lea, tetapi Lea tidak peduli–tetap memuji ketampanan suaminya. "Ada Alana loh di sini. Kamu tidak malu?" "Enggak apa-apa, Aunty. Alana sudah biasa kok," jawab Alana santai. "Pantas anteng, ternyata sudah biasa." Serena tertawa kecil. "Itu adek Kak Zana kan?" bisik Kanza pelan pada Anna, menatap seorang pria yang baru masuk. Pria itu tinggi, berpenampilan rapi dan p
*** Ethan memasuki rumahnya dengan langkah cool. Hari ini dia pulang lebih cepat dari kantor karena orangtua dan mertuanya sayang ke rumah. Keluarga yang lain juga akan datang, untuk menjenguk Alana yang sedang hamil. Sebenarnya ini kebiasaan keluarga Mahendra yang sangat kekeluargaan. Namun, karena daddynya tak mau kalah dan pada akhirnya yang lain ikut-ikutan. Jadilah hari ini mereka semua datang ke rumah ini. Ah, kakaknya juga datang. Namun, Samuel lebih dulu sampai ke sini dibandingkan Ethan yang merupakan tuan rumah. "Nyonya ada di mana?" tanya Ethan pada salah satu maid, ketika maid itu tergesa-gesa keluar dari sebuah ruangan lalu memberi hormat padanya saat melewatinya. Maid tersebut terlihat panik, segera menyembunyikan buku nyonya-nya ke belakang tubuh. "Ah-- itu, Tuan, Nyonya di-di halaman belakang bersama keluarga." "Humm." Ethan berdehem singkat. "Apa yang kau sembunyikan? Perlihatkan sekarang!" titah Ethan kemudian. Maid tersebut dengan ragu memperlihatkan buku
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Alana, melayangkan tatapan tajam ke arah seorang laki-laki. Karena mendapat laporan dari maid–ada seorang pria di depan gerbang rumah, Alana langsung ke sana untuk memeriksa. Alana sejujurnya malas, akan tetapi dia tak ingin membuat keributan. Dia takut pria itu nekat ke dalam atau Ethan tiba-tiba pulang dan salah paham pada si pria itu. Jadi lebih baik Alana turun tangan. "Alana, akhirnya kau bersedia menemuiku." Pria itu begitu senang setelah melihat Alana datang. Dia tersenyum lebar, layaknya seseorang yang telah menemukan berlian langka di dunia. Pria itu mendekat tetapi Alana mundur. "Ck, kamu ngapain datang ke sini, Hendru?!" ketus Alana, menatap sinis dan tak suka pada Hendru. Alana sudah muak dengan Hendru karena pria ini sangat mengganggunya. Hendru meninggalkan kenangan buruk bagi Alana, tetapi pria ini muncul dengan gampangnya dihadapannya, tanpa merasa bersalah sedikit pun atau tak malu sama sekali. "Aku ingin meminta maaf pa
Alana terdiam di depan pintu ruangan Ethan. Dia sudah membuat kopi untuk Ethan akan tetapi dia tak berani untuk mengantarnya akibat dia … memanggil Ethan dengan embel-embel 'mas. Dia melakukannya tanpa sadar dan sekarang dia sangat malu. "Tapi sepertinya Kak Ed juga tidak sadar kalau tadi aku memangilnya Mas," gumam Alana pelan, mengenal napas pela untuk menenangkan diri. Setelah itu, dia membuka pintu ruangan Ethan dan langsung masuk. "Ini kopinya, Kak," ucap Alana pelan, meletakkan kopi di dekat suaminya. Ethan mendongak, sejenak mengamati wajah cantik istrinya lalu tiba-tiba menyunggingkan smirk tipis. "Aku suka." Alana mengerutkan kening, "tapi Kak Ethan belum mencoba kopinya," jawabnya bingung. "Aku suka dipanggil mas olehmu," lanjut Ethan, berhasil membuat pipi Alana memerah dan terasa panas. 'Astaga, jadi Kak Ed sadar? Hah, kok jantungku berdebar-debar kencang? Apakah ini tanda-tanda …- tidak!' Alana langsung membalik tubuh, meletakkan tangan di dada untuk merasakan
"Ugh, Kak Ethan sangat tampan!" gumam Alana pelan, senyum malu-malu ketika melihat suaminya turun dari mobil. Pipinya panas, menyembulkan semu merah yang mempercantik wajahnya. Melihat Ethan berjalan ke rumah, jantung Alana berdebar kencang. Dia segera beranjak dari sana, berjalan buru-buru dan kembali ke tempat semula. "Nyonya, ke-kenapa anda kembali ke sini? Nyonya tidak ingin menyambut Tuan yah?" tanya salah satu maid, cukup bingung karena Alana berlari kecil dari pintu utama. Bukankah seharusnya Alana membukakan pintu untuk suaminya dan menyambutnya? "Ekhm." Alana berdehem singkat, melirik maid dengan wajah datar, "untuk apa?""Jadi … kenapa kami disuruh memantau Tuan, Nyo-Nyonya?" bingung maid tersebut. "Ck." Alana berdecak, "kalian saja yang menyambutnya. Sana sana."Para maid segera beranjak dari sana, menyisakan Alana di ruangan tersebut. Alana meraih novel di atas meja kemudian menutup ke wajah, dia kembali tersenyum malu-malu–mengingat paras Ethan yang sangat tampan.
Mata Tia melebar mendengarkan perkataan Ebrahim. Dia mulai panik dan muali takut. "Ta-tapi … Alana jahat padaku, dan Tuan Ethan melakukan hal buruk padaku, Tu-Tuan Ebrahim," ucap Tia dengan nada gemetar, "anda terkenal baik dan selalu berpihak pada kebenaran." "Dan kebenarannya, kau berencana mencelakai adikku. Aku berniat merebut suami adikku, dan kau menusuk adikku dari belakang," jawab Ebrahim santai, "sekarang kutanya padamu, kau ingin mati di tanganku atau tetap hidup lebih lama dalam lingkar penderitaan yang Ethan ciptakan untukmu." Deg deg deg' Mata Tia melebar, reflek mundur bahkan berakhir terjatuh ke lantai karena lemas dan drop mendengar ucapan Ebrahim. Dia kira dia selamat bila meminta bantuan Ebrahim, akan tetapi status hidupnya malah diperjelas–hanya sebatas mati dan menderita. "Ku sarankan kau memilih Ethan, siapa tahu kau berobat dan Ethan melepasmu," ucap Ebrahim dengan menyunggingkan smirk tipis. Dia sedang menjebak perempuan ini. Faktanya, sekalipun Tia berub