“Udah selesai latihannya?” Tanya kak Hikaru berdiri santai menyilangkan tangannya di depan dada. Aku kaget dikit sih, soalnya kukira gak ada orang di rumah. “Wah, kaget ya? Maaf maaf.. Masuk gih bersih-bersih dulu. Nanti kita makan bareng, biar kak Hikaru siapin dulu makanannya ya.” “Hehe iya kaget tapi gapapa kak santai, aku cuma ngira gak ada orang di rumah, jadi kaget.” Terangku seketika. Suara perpaduan air mendidih dan pisau yang mengiris terdengar jelas sampai atas. Aku segera turun setelah selesai, “hai kak,” kataku. Senyum tampan itu merekah, menyuruhku untuk duduk menunggu di meja makan. “Umm, gak butuh bantuan kak?” “Aku?” Tanya kak Hikaru, “iyalah kak, siapa lagi dong kan disini cuma ada kak Hikaru sama a… ekhmm, sama akuu..” “Iya juga ya, emangnya kamu mau masak? Bukannya bocah satu ini gak bisa masak ya, hmmm?” “Auh, ngeledeknya jangan sambil ganteng-ganteng gitu dong kak!” Tertawa tipis aku berniat meledeknya balik. Tapi, kak Hikaru malah diam mematung di
Shima berdiri menunduk dengan dua kaleng jus jeruk di tangannya. Punggungnya yang melekat di tembok putih terlepas setelah melihatku. Kulambaikan tangan ini padanya, “gimana?” Tanyanya. Aku hanya menggelengkan kepalaku sebelum kuangkat dua bahu ini.“Dasar, anak gak jelas emang. Ah ya ini,” salah satu kaleng itu diberikan untukku.Setelah latihan untuk festival budaya selesai, kami istirahat sejenak sebelum lanjut untuk latihan lomba, niatnya sejenak.."Yosshaaaa!! Aku menang lagi huahaha!!" Teriak Hiromi yang mengagetkanku. Baru kali ini aku melihatnya seperti orang yang berbeda.Ia tiba-tiba masuk saat kami masih berkutat dengan kertas musik. Mengintip kami latihan, katanya."Oke, tinggal Kenta sama Shima ya." Tegas kak Masao, Souta terlihat cemberut tanda tak suka. Secara, di permainan sebelumnya ia yang kalah. Kalau sampai Shima kalah, ia dan Shimalah yang akan kami hukum.Terdengar teriakan bahagia dari kak Kenta, Shima benar-benar kalah. Dia berguling-guling di lantai, tanganku
"Hei cantik!" "Kaget eh! Santai aja dong.. Kamu itu mencolok kok, gak usah sambil ditegaskan gitu kehadiranmu.." Kyohei terkekeh mendengar ucapanku, "kenapa ngelamun? Jangan-jangan, karena gak ada wali yang dateng di upacara tadi ya? Gak masalah lah gak penting begituan. Ada aku juga di sekolah ini,” lanjutnya dengan penuh percaya diri. Siswa berwajah tengil tapi tampan itu adalah sahabatku. Kami sudah berteman sejak kecil dan payahnya, aku menyimpan rasa untuknya. Aku memendam perasaanku karena takut pertemanan kami akan hancur. “Aku, bakal ada di sisi kamu sampai waktu yang tak terhingga. Dimanapun, kapanpun kamu butuh, aku akan melesat seketika hoho~" "Kamu mau aku pura-pura percaya, atau pura-pura gak denger aja nih?" "Jangan diragukan gitu dong." "Aku gak bisa percaya omongan orang. Omongan diri sendiri aja gak bisa kupercaya kok." "Gapapa, kalo aku bisa deh dipercaya. Aku jamin ga akan tinggalin kamu." Kyohei berhenti di depanku. Kali ini, ia menyodorka
"Yuu~ki~~!!" "Uwah!!! -eh maaf aku kaget.” “Hahaha imutnya!!" "Hah?" "Pffttt.. Kamu lagi ngapain sibuk sendirian kaya gitu?" "Milah sampah, kan aku piket hari ini." "Sini aku bantuin deh.." "Nggak usah, kamu juga besok piket kan?" "Heee, kok Yuuki tau sih?" "Gimana gak tau, kamu nulis nama di jadwal segede harapan orang." "Hmm? Kamu ngomong apa? Jangan bisik-bisik gitu dong kan aku jadi gak denger kamu ngomong apa.." "Ahahah iya juga ya. Gapapa kalo gak kedengeran, bukan hal penting juga kok. Jangan dipikirin." "Gitu kah? Mm ya udah deh.. Yamazaki kemana kok kamu sendiri?" "Ah, Yamazaki? Dia tadi masih di kelas, tapi aku emang ngajuin diri buat buang sampah kok, sekalian aja sebelum pergi ke ruang musik." "Kamu mau masuk ekstra musik?" "Engg- eh belum tau maksudnya." "Kalo gitu aku ikutan deh!, hehehe." "Emang yang selama ini anak-anak tanya 'Shima kok kamu belum nentuin mau ikut ekstra apa?', itu bener?" "Iya dong. Tidak pernah ada
Terdiam dengan hati menjerit, sekuat tenaga kucoba menyadarkan otakku. 'Yuuki, aku mohon, alihkan pandanganmu!!'.. Tapi tak berhasil. Aku dalam situasi yang aneh, seperti dua orang yang saling bertolak belakang. Aku ingin menolehkan kepalaku tapi tak bisa melakukannya. Terdiam cukup lama aku berhasil sadar. Yang membantuku sadar adalah detak jantung ini yang berdegup dengan cepatnya. Suhu panas menjalar di kedua pipiku saat kak Hikaru mendekat. Santai ia malah meminta maaf. Tesss.. tesss.. Air jatuh dari rambutnya yang basah mulai kurasa dingin di wajahku. Aku menutup mata dan dengan cepat meraih handukku untuk masuk ke kamar mandi. “Maaf?? Karena membuatku kaget? Tu orang gak salah??” Gerutuku setelah kamar mandi kututup. Padahal kalo dia mau minta maaf bukan karena membuatku kaget bukan?? Ya aku salah juga sih. Kesalahan pertama, aku yang dengan percaya dirinya merasa kalau aku masih sendirian di kos. Kedua, aku tak melihat kamar mandi yang seharusnya tadi tertut
"A-ah gak, gak gitu. Kenal kok, aku kenal dia." Mereka terlihat bingung. Daripada harus menjelaskan banyak hal yang memalukan, aku memutuskan untuk berpamitan pada mereka dan menghampiri kak Hikaru dengan cepat. POV AUTHOR.. Mari kita mundur ke beberapa jam sebelumnya sebentar.. Empat orang makan dengan keheningan yang menjalar kesetiap sudut ruang. Hanya suara sumpit yang mengiringi, menyentuh mangkok dengan halusnya. Aimi berdecak, "Bisa berhenti gak diem-diemannya! Apaan sih kalian, tanya tinggal tanya," ia menunjuk Hikaru kemudian, "kamu juga! Kalo ada apa-apa tuh ngomong jangan sok kalem gitu!" Dengan polosnya Hikaru meminta maaf, ia hanya bercerita tentang kejadian kemarin sore. Tiga orang temannya menganga penuh heran. "Kamu lupa dia masih anak SMA?" "Maksudnya?" “Kamu tu tinggal bareng dua cewek, Ru. Aku sih gak masalah, karena kiita udah bareng dari kecil. Yuuki itu orang baru loh di hidup kita, apalagi dia masih anak-anak.” Terang Aimi dengan bijakn
“Saya akan bekerja keras sebaik mungkin!!” “Hehe, mohon bantuannya ya, Yuuki..” Setelah kemarin datang dan mengajukan diri untuk bekerja di sebuah toko buku, hari ini aku berangkat full dua shift. Toko buku ini bukan toko yang besar, tapi banyak hal yang berharga ada disini. Kalau bukan demi uang, aku beli buku-buku ini. Barusan saja, aku berkenalan dengan karyawan yang akan kugantikan selama libur. Aku diajari berbagai hal dari sebelum toko buka sampai solusi-solusi dalam menghadapi pelanggan yang ada. “Pekerjaan apapun itu bagian dari kehidupan. Tak akan lepas dari masalah. Jadi, siapkan mental dan percaya saja bahwa nantinya, semua masalah yang kamu hadapi akan berlalu.” Imbuhnya. Aku terus berkeringat karena gugup, tapi untunglah aku bisa mengaturnya dengan baik. Sekuat tenaga mengontrol suara dan kalimat bicaraku dengan pelanggan. Pintu toko terbuka, kuucapkan sapaan selamat datang namun terhenti. Karena orang itu adalah Michio, ia juga kaget saat melihatku. Biar
"Owalah, kamu nunggu?" Tanyanya, "padahal bisa loh di taroh sini aja." "Gapapa, lagian ini bukan wilayah kami jadi tak sopan jika kami bertindak seenaknya seperti itu." Aku mengangguk menyapanya saat kami bertatapan, tapi dia alihkan pandangan matanya itu dengan cepat. Diam, aku mendengarkan saja dua orang ini mengobrol. Untungnya Michio memahami posisiku, ia menutup obrolan lebih dulu dan pamit untuk kembali ke kelas. "Kalian udah kenal dari lama ya?" "Ah, ya.. Kami tetanggaan, dan satu SMP juga sih." Aku hanya memberinya anggukkan karna kurasa tidak sopan jika bertanya lagi, tapi orang ini malah dengan sukarelanya memberitahu, "Emm sejak kapan ya, akhir sekolah dasar sepertinya, dia mulai menunjukkan rasa yang lebih dari teman. Tapi sampai sekarang, ia tak pernah mengatakannya. Aku sendiri juga gak berani untuk membuka pintu yang ia tutup rapat." "Bagi orang lain mungkin ia tak terlihat menutupi. Tapi sebenarnya ia sudah dengan sekuat tenaga menahan perasaannya."