Kriukk kriukk..Suara stik kentang yang digoreng kering begitu renyah didengar. Tawa lepas juga mengisi di sela-sela obrolan.“Bisa-bisanya kan, berandalan kaya dia ni jadi pemusik yang rapi.” Celetuk kak Aimi. Karena penasaran, aku bertanya bagaimana mereka semua bisa kenal. Namun karena terlalu asik, pembahasan mengalir begitu saja sampai kemana-mana.Kak Hikaru sering mengerutkan dahinya karena sejak tadi ia yang dibully habis-habisan. Katanya waktu sekolah, dia jadi ketua geng-geng gitu. Wah gak kebayang sih......Sekolah begitu sepi saat ini, sepertinya banyak dari mereka yang sudah pulang.Terlihat seorang siswa mondar-mandir bergumam. Tergambar jelas kebimbangan itu.“Michio!!” Namanya terpanggil, dengan senyum hangat, Michio membalas sapaannya.Dua siswa itu memulai sesi obrolan mereka dengan tenang. Bukan tenang karena sangat lancar tapi tenang karena Michio banyak basa-basi dulu di awal.Ia tarik nafas dengan panjangnya.“Ada sesuatu yang harus aku omongin sama kam
CEKREK!! Begitu halus suara kamera dari ponsel itu, sampai Kyohei tak menyadarinya. Wanita itu juga langsung bersembunyi setelah memotret Kyohei dan Minami. Dia sibuk dengan rencananya selanjutnya, yaitu mengirimkan foto itu pada Yuuki. Beberapa saat setelahnya, Minami pergi lebih dulu, ia meninggalkan Kyohei yang masih bengong. Tak terduga, arahnya semakin mendekat pada wanita tadi. Dua orang itu tampak melakukan high five disana. “Gimana gimana? Udah kamu kirim kak?” Tanya Minami. Rupanya mereka bersekongkol untuk menyakiti Yuuki. Betapa dangkalnya pola mikir yang dimilikinya. Saat di sekolahan, Yuuki banyak menghindari tatapan dari Kyohei. Mungkin ia masih merasakan rasa sakit yang dimilikinya akan sahabatnya. Bahkan hari ini, sudah berkali-kali tatapan Kyohei diputus oleh Yuuki. Sebagai teman sejak kecil, Kyohei menyadari hal ini. Karena itulah ia sengaja menatap Yuuki terus-menerus. Karena salah tingkah, Yuuki sampai keluar kelas saat tak ada guru disana. Tapi karena terbur
“Kamu kenapa loh?” tanya Hiromi pada sahabatnya yang terlihat lesu seakan tak nafsu makan. Yuuki kali ini, walaupun ia terlihat jelas mengerutkan dahinya, dia belum mampu untuk mencurahkan perasaannya.Gadis itu hanya bisa menenangkan sahabatnya dengan senyum tipis.Di sisi lain, Kyohei sepertinya sudah menyelesaikan urusan dengan pacarnya. Dua alis itu semakin berdekatan jenuh, saat ia menjauh dari Minami. Entah karena rasa sedih atau tak senang akan sesuatu.“Gila,” lirih Yuuki yang membuat Michio menoleh padanya. Yuuki tak menyadari bahwa keluhan singkatnya itu terdengar oleh Michio. Anak itu malah tersenyum polos dalam wajahnya.“Oke. Dengan ini kelompok sudah terbentuk ya, kalian bisa mulai bahas tugasnya dari sekarang,” ucap Pak Yoshida memegang satu buah buku di tangannya.Yuuki mengangkat tangan kanannya kemudian. Hal ini disadari oleh sang guru.“Iya, gimana Yuuki?”“Sa-saya boleh g-ganti kelompok gak pak?” tanyanya dengan sedikit terbata.Sangat disayangkan, kelompok lain
“Oh, ya. Pakai aja.” Jawab Hikaru cuek saat Kyohei ijin memakai gitarnya. Dengan langkah yang ragu, Hikaru akhirnya pergi dari kos meninggalkan Yuuki dan Kyohei. Nama Yuuki terpanggil. Akhirnya, teman-temannya yang lain datang juga. Mereka bertiga datang bersama. Kata Hiromi ia bertemu dengan Raul dan Michio di dekat sini. Gadis itu menaruh beberapa kantong plastik yang sejak tadi ia bawa. Menggelinding, ada banyak buah diletakkan di atas meja. Mereka pun memulai kerja kelompoknya. Karena Kyohei terus bermain gitar, akhirnya kelompok ini memutuskan untuk memakai gitar saat penilaian musik. “Aku boleh ajak kamu keliling sekitar sini sebentar nanti?” tanya Michio pada Yuuki saat mereka sedang mencuci piring tempat mereka makan tadi. Mengangguk penasaran, Yuuki setuju atas ajakan itu. Hampir saja usahanya digagalkan oleh Kyohei yang bersikeras ingin ikut. Untung saja ada pesan dari Minami yang menyuruhnya untuk bertemu. Kalau tidak saat ini Kyohei akan tetap bersama Yuuki dan Mich
“Mari saya antar. Silakan,” kata salah satu pegawai di sebuah perusahaan yang bertuliskan Daiki di depan gedungnya. Perusahaan itu adalah tempat papa Yuuki bekerja.Akhirnya, anak itu memutuskan untuk menemui papanya. Tetapi ia datang tanpa pemberitahuan, membuatnya menunggu sekitar satu setengah jam di tempat tunggu. Papanya merupakan wakil presiden di perusahaan Daiki ini. Karena itu tak bisa sembarang waktu untuk menemuinya.Pegawai yang mengantarkan Yuuki tadi mengetuk satu ruangan besar, mungkin salah satu ruang rapat perusahaan. "Masuk saja," jawab seseorang dari dalam.Yuuki berterima kasih pada pegawai tadi dan ia langsung masuk menghampiri papanya yang masih berdiri melihat beberapa dokumen di atas meja. Kedatangan anak satu-satunya, bukannya disambut dengan kehangatan, ia malah menoleh Yuuki sebentar dan menyuruhnya untuk menunggu lagi.Walaupun menurut, Yuuki mengerutkan keningnya."Ada apa, tumben banget kamu datang ke sini? Apalagi semenjak kamu pergi dari rumah." Yuuki m
"Mau coba yang itu gak?" "Boleh." Saat ini, aku dan Kyohei sedang berada di pusat perbelanjaan di dekat stasiun. Sudah makan sejak tadi, kini kami ingin mencoba berbagai kue cantik di sebuah cafe. Banyak pernak-pernik dan ada juga buku-buku untuk dibaca di sini. Pelayanan yang diberikan juga sangat memuaskan. Tak sia-sia menghabiskan uang kalau pikiran fresh sebagai gantinya. Uang bisa dicari, menata mental lebih penting. Kami berkeliling ke sekitar setelah keluar dari cafe. Menghampiri kios yang menjual odeng di pinggir jalan. Dingin-dingin gini kan, enak dong makan yang hangat-hangat? Karena matahari semakin terbenam, aku mengajaknya untuk pulang. Kyohei pun setuju. Saat sedang menunggu kereta, ia pakaikan syal miliknya di leherku. Ah iya! Dimana syalku?? "Aku gak sadar daritadi, ini punya kamu pakai aja. Aku aman kok, gak kedinginan," kataku sembari melepas syal miliknya. Namun tangannya menahanku, "udah pakai aja dulu. Aku cuma pinjemin sampai depan kos kok." B
“Sebelah ini, Pak? Rumah yang sebelah betul??”“Betul, coba saja.”"Baik, terima kasih Pak. Maaf merepotkan."Hikaru menunduk sampai setengah badannya. Dia langsung pergi ke rumah yang di sebelah seusai berterima kasih dan meminta maaf atas gangguannya malam-malam seperti ini.Ada sebuah bel yang menempel di dinding dekat pagar. Aimi menekan bel itu berkali-kali, sampai akhirnya pintu terbuka. Seorang wanita keluar dari sana, membukakan gerbang dengan pelan. Aimi dan Hikaru bertanya tentang Shima. Ya benar, memang ini rumah Shima.Akhirnya perjuangannya menekan banyak bel rumah terbayar juga.“L-loh!? Kak, ada apa?” tanya Shima setelah dia dibangunkan oleh mamanya. Dua orang tadi langsung bertanya apa Shima tahu di mana Yuuki berada saat ini. Namun, sayang sekali, Shima dan Yuuki tak bertukar pesan seharian ini. Raut wajahnya turut kacau mengetahui Yuuki hilang.Karena tak ingin melibatkan anak sekolah, Hikaru memaksa Shima untuk tetap berada di rumah dan mencoba untuk menghubungi te
“Kak!” seru seseorang yang mengangkat ponselnya sembari melambaikan satu tangannya pada Hikaru. Dengan cepat, Hikaru berlari ke arahnya, “gimana? Udah ketemu siapa dalangnya?!” tanyanya. Orang tadi mengangguk yakin, ia serahkan ponselnya ke Hikaru. Laki-laki itu mengambil alih panggilan yang masih tersambung. Setelah selesai percakapannya dengan seorang informan, raut wajah Hikaru terlihat geram seperti ingin menerkam. Beberapa orang otomatis mundur dari posisinya, bahkan ada yang menunduk takut. Hikaru menarik nafas panjang, “setelah ini, biar aku, Aimi, Shin dan Usa yang urus. Kalian semua bisa pulang sekarang. Atas bantuan kalian, aku berterima kasih sekali!” teriaknya sembari menunduk sampai setengah badannya. Semua orang yang ada di sana membalas kesopanan ketua geng mereka dulu dengan menunduk lebih dari setengah badannya. Tak lama setelah itu, mereka bubar dan menyisakan Hikaru, Aimi, Shin dan Usa saja. Kembali ke kos, mereka memastikan Yuuki baik-baik saja sebelum akhirny
“Yuu~” panggil Shima dengan sangat lantang. Dia berdiri, tangannya terpaku memegang tepian pintu. Kepala itu melongok ke dalam kelas, tepat lurus guna memandangku.Huft! Ini anak satu emang aneh!!Beberapa murid di kelasku, memang sudah mengerti kalau aku siswi yang sering bersama Shima. Namun, tetap saja mereka masih terheran saking lekatnya jarak di antara kami berdua. Padahal, dulu aku dan Kyohei tak sedekat ini di sekolah ini. Memang, semua tergantung orangnya bukan?“Hei, Yuuki. Bukannya itu, sahabat dekatmu? Samperin gih, keburu berisik!” tegas Hiromi sembarangan sambil cekikikan. Aku meliriknya sinis, kurang tepat candaan itu dilontarkan dengan nada bicara yang tak tanggung-tanggung.Karena sudah dibilang begitu dan memang aku tak ingin bising lebih lanjut, kuhampiri Shima daripada ia yang masuk melesat ke meja. Dia dan Souta kan seperti air dan minyak!“Apa, gimana, kenapa?” tanyaku sangat gemas. Lihat lihat, dia meringis kegirangan kini. Kalau saja dia ini anak kecil, sudah k
"Kamu ngomong sama aku?"Souta mengangguk dengan pasti sebagai jawaban atas pertanyaanku. Dia menarik kursi tempat ia duduk di kelas ini, dan menaruh tasnya pada gantungan di samping meja.Karena aku cukup bingung atas ucapannya tiba-tiba, kulirik Takumi sambil berharap ia memberiku kunci jawaban atas sikap Souta, dia kan datang bersama Souta, harusnya ngerti dong..Namun, salah ternyata aku berharap.Takumi hanya mengedikkan bahunya sambil meringis. Seakan ia tahu, tetapi pura-pura tak tahu.Kocak ini anak, pikirku saat itu.Aku jadi terus penasaran apa yang sebenarnya Souta maksud, tetapi dia tak mau menjawab dan akhirnya kulupakan begitu guru yang menjadi wali kelas kami masuk.Bu Yukino, beliau yang akan jadi wali kelas duaku di sekolah ini. Beliau adalah guru yang jarang sekali kulihat semenjak aku masuk sekolah. Pernah kami berpapasan, dan hanya sekedar tegur sapa saja. Bahkan kala itu, aku belum mengerti namanya. Sedikit tak sopan, tetapi terlalu banyak guru yang ada. Daya ing
“Sampahnya, udah semua kan? Gak ada yang ketinggalan?” tanya Kak Masao memastikan lagi. Puas sudah menikmati piknik bersama ini, akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Tadinya.Ya, tadinya. Niat untuk pulang jadi tertunda saat Kak Kenta melihat ada kedai yang menjual teh sakura. Teh sakura ini, dibuat oleh kelopak bunga sakura yang diseduh dengan air panas. “Wah, enak ya. Manis!” kataku terlalu bersemangat. Sayangnya, yang merasakan minuman itu manis hanya aku dan Souta saja. Karena yang lain lumayan suka manis ternyata. Jadi, bagi mereka teh ini belum terasa manis.Tak lupa juga, kami membeli beberapa permen dan camilan bertema sakura untuk dibawa pulang. “Selamat datang,” ucap Kak Aimi menyambutku dengan senyuman hangat. Aku berikan oleh-oleh yang kubawa dari taman untuk semua orang di kos. Berbicara tentang kos, lagi-lagi keuanganku makin menipis. Aku harus mengumpulkan uang lagi untuk membayar kos. Sepertinya, aku butuh part time demi mengisi dompet unguku yang sudah tipis ini
“Selamat tinggal bukanlah sebuah kata yang menyedihkan Ia menghubungkan kita dengan mimpi kita masing-masing” Menggema, suara Shima disusul Kak Masao mengisi penuh aula ini. Semua siswa kelas tiga terharu mendengar lagu Ikimono Gakari yang berjudul Yell. Bahkan beberapa dari mereka meneteskan air matanya sampai mengalir ke lantai licin itu. Suasana semakin haru, aku semakin membayangkan bagaimana jadinya jika aku di posisi mereka. Perpisahan bisa menjadi hal yang menakutkan, bisa juga jadi hal indah. Semua tergantung bagaimana kita mengatur mindset kita, ya kan? Namun, bagaimana aku di masa nanti saat datangnya perpisahan itu? Apa aku mampu untuk berpikir positif? Atau …. Entahlah, biar diriku di tahun-tahun berikutnya yang menjalaninya. Aku percayakan saja, padanya. Usai acara perpisahan, semua siswa berfoto dengan teman dan keluarga mereka. Beberapa masih sibuk menyatakan perasaannya. Lihat, bahkan baru saja kami melewati salah satu kakak kelas yang sedang menyatakan perasaann
“Sini, duduk.” Aku ditawari mama, ingin dibuatkan teh atau kopi untuk kuminum. Tanpa sungkan, kukatakan saja apa yang kumau. Itu bukan permintaan yang sulit, kan? “Jadi, ada apa Mama memanggilku?” tanyaku terus terang. Aku pikir, Mama hanya merindukanku setelah dirinya dan Papa telah resmi bercerai.Aku kira, Mama akan kesepian dan merindukan anak satu-satunya ini dengan tulus dan penuh rasa haru. Tetapi aku salah. Tujuannya memanggilku kesini hanya untuk dijadikan tong sampah atas segala unek-uneknya akan Papa. Seakan melepas beban, Mama terus bercerita tentang bagaimana ia tersakiti oleh mantan suaminya. Padahal, aku sudah mengetahui cerita-cerita itu. Entah Mama yang lupa, atau segala ingatan menyakitkan itu yang terlalu membekas padanya. Aku hanya diam, duduk, mendengarkan semua keluhnya. Sampai-sampai, aku seperti kurang darah dibuatnya. Kepala ini mulai berputar, dan aku ingin pergi dari sini. Srakk! Suara dari seragamku berpadu dengan tempat yang sejak tadi aku duduki be
Michio muncul dari belakang, ia bertanya sedang apa aku duduk sendirian di sini. Katanya, dia baru saja pulang dari rumah temannya. Kami mengobrol banyak hal setelahnya.Michio bercerita tentang temannya yang sedang sakit karena cedera saat bermain bola voli. Dia benar-benar menggambarkan bagaimana perasaan sedihnya akan temannya itu, seolah-olah dia sendiri yang merasakan.Karena terus menangapi ceritanya, Michio dengan sengaja mengganti topik pada pembahasan mengenai band sekolah kami. Dia khawatir, bagaimana perasaan setiap anggota setelah dicurangi oleh keadaan. Aku tersenyum pahit mendengar pertanyaannya. “Bisa ditebak mungkin, gimana suasana band saat ini,” jawabku lirih.Michio menyemangatiku dan terus membuatku yakin bahwa semua ini akan berlalu, “Kalian pasti akan kembali bangkit dan bahagia seperti semula,” katanya. Dia tak memberi banyak motivasi atau solusi, tetapi setiap ucapan yang ia beri itu membuatku lebih tenang di pikiran. Michio benar-benar fokus pada apa yang seda
Malam ini, aku mempersiapkan diri untuk lomba besok pagi.Akhirnya, tiba juga saat band kami akan berhadapan dengan band dari sekolah-sekolah lain. Ada rasa bersemangat, ada juga rasa takut. Belum sempat bisa membayangkan bagaimana penampilan kami, hati ini sudah berdegup tak berirama.Membuatku sulit untuk tidur pasti nanti.Entah terlelap di pukul berapa, mata ini akhirnya terbuka karena suara alarm berbunyi dengan nyaring di telinga. Bangun dari tidur, aku duduk terdiam cukup lama sambil mengumpulkan seluruh nyawa.Rasa malas untuk keluar dari zona nyaman, bercampur dengan perasaan yang menggebu-gebu. Waktu juga terus berlalu, membuatku terpaksa untuk keluar dari kamar dan pergi mandi.Karena ini pertama kalinya bermain band di hadapan banyak orang dan dari luar sekolah, tentu saja aku berpakaian serapi mungkin. Tak lupa juga rambut yang kuhiasi dengan beberapa jepit rambut, sedikit aku mengepangnya.Memakai jaket dan syal yang melingkar di leher, kubuka pintu dengan semangat. “Ak
[“Ashita koso wa" tteKyou mo shimyureeshonKimi to no koi waAmai musuku no kaori ga shitanda~]Menahan malu, akhirnya kami sudah memulai latihan untuk lagu Suki Dakara di mana aku turut bernyanyi di dalamnya. Sungguh, mood yang sangat dipaksakan.“Bagus bukan? Kalau dinyanyikan bersama Yuuki??” tanya Kak Kenta dengan muka sombongnya seakan ia minta dipuji.“Iya, iya. Ide bagus Ken!” balas Kak Masao menanggapi sahabatnya dengan ekspresi datar. Walaupun dia tahu temannya tak begitu menanggapi, Kak Kenta tetap cengengesan dengan bangga. Dia keluar dari zona drumnya, lalu merangkul Kak Masao. “Kalau gitu, kita istirahat dulu lima belas menit. Setelah itu, kita latihan lagu yang kemarin dan pastinya kita mainkan Suki Dakara lagi, fufufu~”Biarpun mereka ini cukup menyebalkan dan tak jarang aku kewalahan mengikutinya, aku sangat senang dengan keseharianku ini. Meskipun Kyohei tak ada lagi di dalam hari-hariku, aku rasa, tak apa. Ya, aku tak apa.***“Mau ngapain?”“Ah, mau balik ke
Pagi yang ramai, adalah pagi di mana Shima berjalan bersamaku dari depan sampai masuk ke kelas. Tak ada henti-hentinya, dia terus berbicara dan terkadang memberiku pertanyaan yang membuatku kewalahan. Sepertinya sekarang aku sudah terbiasa dengan tatapan tak suka dari anak-anak lain yang jelas iri saat Shima mendekatiku.Entahlah, mungkin saja aku sudah mulai bodoamat terhadap mereka.“Pagi,” sapaku cepat pada beberapa temanku saat mata kami bertatapan.Baru juga masuk kelas, sudah ada catatan tugas saja di papan tulis. Karena guru sedang mengadakan rapat hari ini, semua murid diberi tugas untuk beberapa jam kedepan. Untung saja bukan tugas kelompok, karena sejujurnya aku malas untuk kegiatan seperti itu.Mengeluarkan headset berkabel saat jam istirahat tiba, aku berniat mendengarkan musik yang akan Kaze band bawakan untuk lomba. Sepertinya moodku hari ini sedang aneh, atau ini karena perceraian papa dan mama ya?Kunaikkan volume musik mendekati full volume, kulihat beberapa anak y