Aku menatap gedung di depan dengan penasaran. Selama ini, aku hanya mendengar cerita keseruan pertunjukan tinju di Red Cage melalui gossip terpercaya.
Akhirnya, hari ini aku bisa masuk melewati gerbang. Dua penjaga di sana bahkan tersenyum ramah begitu melihat kedatanganku.
Lima tahun sudah berlalu sejak pertemuan kami waktu itu, tapi aku tidak pernah lupa. Kata Ibu yang namanya janji harus ditepati. Sekarang umurku delapan belas, sudah waktunya menemui calon suami. Dia pasti terlalu lama menungguku menjadi dewasa. Betapa malangnya dia harus bersabar hingga aku berusia delapan belas.
Bahkan rumor yang beredar mengatakan dia belum menikah, pasti menunggu dengan setia.
Benar-benar pria sejati yang menepati janji.
Dengan langkah semangat aku memasuki gedung melewati tangga menuju ruang bawah tanah.
Ya ampun, tempat ini ramai sekali. Tidak mengira sepadat ini. Memangnya seseru apa sampai antrian panjang mengular ke jalan raya. Benar-benar gila. Teriakan memekan telinga membuatku tuli sebelah. Belum lagi sangkar merah di tengah arena, membuat sakit mata.
“Tempat dudukmu ada di depan,” kata Mason yang datang bersamaku.
Dia adalah anggota Red Cage tapi dari pengakuannya hanyalah seorang pesuruh. Bagiku tidak berbeda, karena dia bagian dari organisasi paling ditakuti di Denver. Jika bukan karena Mason, aku juga tidak akan bisa melewati gerbang.
“Wah, aku dapat bangku paling depan?”
Tidak buruk juga, mengingat penonton di belakang tidak diberi kursi. Aku tidak suka berdiri lama-lama, nanti darahku tidak naik ke kepala.
“Anggap saja hadiah ulang tahun ke delapan belas,” jawabnya.
“Ulang tahunku sudah lewat.”
Lebih tepatnya dua bulan lalu.
Mason hanya tersenyum sembari menuntunku ke dekat arena.
“Apa kau akan meninggalkanku sendiri?”
Kepalaku memutar ke sekitar, semua penonton didominasi laki-laki. Bagaimana mungkin aku merasa nyaman bila setiap detik mata-mata mereka tertuju padaku bukannya arena.
“Tidak perlu khawatir, kau lihat penjaga berjas hitam di sekitar?”
Jari telunjuk Mason menandai beberapa pria yang berjaga. Termasuk seorang pria tampan luar biasa di pinggir arena.
“Mereka adalah pengawal di sini, jadi tidak perlu khawatir. Aku sudah menitip pesan untuk menjagamu, mereka sudah mengenal wajahmu. Bila terjadi sesuatu mereka akan segera datang membantu.”
Kepalaku mengangguk mendengar penjelasan Mason, sedang mataku menikmati pemandangan pria berjas hitam yang tampan sedang bertugas. Aduh, mataku selingkuh tanpa sadar.
“Maaf aku tinggal dulu, banyak pekerjaan yang butuh perhatian,” katanya meninggalkanku sendiri untuk mandiri.
Begitu acara dimulai, tanpa sadar perhatianku terfokus pada sangkar. Melihat dua pria saling menggelepar di lantai menjadi tontonan menarik. Pantas saja tempat ini tidak pernah sepi, pertunjukannya sangat menghibur. Terutama salah satu dari kedua petarung napasnya tinggal satu-satu. Tidak sadarkan diri di lantai menandakan pertarungan berakhir.
Aku pun ikut berteriak seru menyemangati pria bernama Joe yang menjadi pemenang. Selain Hercules, Joe adalah super hero terbaru.
Ya ampun, perut six pack-nya benar-benar menggoda. Lihat, lagi-lagi mataku selingkuh. Sepertinya aku harus cepat-cepat keluar dari sini sebelum hatiku mengikuti jejak mata.
Ketika di parkiran, sesaat tadi aku melihat Gavin yang memasuki mobil. Sayang sekali aku terlambat memanggil.
“Krista!”
Kulihat Mason berlari-lari kecil keluar dari gedung utama.
“Ada apa?” tanyaku yang sudah bersiap pulang ke rumah.
“Kau tidak ingin masuk ke dalam?” tanya Mason menunjuk gedung utama yang terpisah dengan gedung bawah tanah.
“Untuk apa? Pertunjukannya sudah selesai, aku kan sudah bilang hanya penasaran.”
“Ya sudah, lain kali saja. Hati-hati di jalan,” katanya sembari berpamitan.
……………………………………………………………………………
Aku baru saja masuk ke rumah saat Ibu lagi-lagi memanggil.
“Krista! Ya ampun, kemana saja? Mom pikir kau ada di kamar,” katanya, mengikutiku yang berjalan terus ke dapur.
“Aku ingin mencari Gavin, Mom,” kataku terus terang.
Ibu menghela napas dan menatapku simpati.
“Sampai kapan kau memendam mimpi monyet itu? Usiamu sudah delapan belas, tidak seharusnya mengenang masa lalu.”
Aku mengutuk diri yang menceritakan kejadian lima tahun lalu pada Ibu beberapa minggu setelah acara. Konsekuensinya, Ibu jadi menganggap aku terobsesi pada Gavin Caleston, kenyataannya aku hanya ingin menepati janji. Gavin sendiri yang menyuruh untuk menemui dirinya bila aku sudah dewasa. Bagaimana Ibu lupa tentang etika yang dia ajarkan.
“Ini bukan mimpi monyet Mom, tapi nyata. Seharusnya kurekam saja perkataan dia waktu itu, atau membuat perjanjian hitam di atas putih biar Mommy percaya,” sungutku kesal dianggap berbohong.
“Saat itu usiamu tiga belas, tanda tangan saja tidak berlaku, tidak ada guna hitam di atas putih,” katanya dengan ekspresi kesal yang sama.
Aku mendengus dan menengguk air putih. Sepertinya sudah waktunya untuk mencari aprtemen dan pindah dari rumah Ibu dan Ayah.
“Aduh Mom, biarkan waktu yang menjawab. Apa yang bukan milik Krista pasti akan pergi dan apa yang memang untuk Krista pada akhirnya akan mendekat,” kataku dengan percaya diri mengutip quote orang asing yang kulihat di Ingram dua hari lalu.
Ibu hanya mengurut pelipis dan mengangkat kedua tangan ke udara, seolah mengalah.
“Ayahmu akan mengadakan makan malam bersama organisasi Red Cage. Mungkin kau bisa bertemu Gavin di sana, tapi kau harus janji untuk tidak membuat ulah.”
Mendengar perkataan Ibu barusan, aku pun beranjak dari kursi dan memeluknya erat-erat.
“Kapan acaranya?” tanyaku antusias, memikirkan gaun malam untuk menarik perhatian Gavin.
Dia pasti tidak akan memalingkan wajah, sama seperti pria-pria lain yang sudah-sudah.
“Jika kau sengaja mencari masalah, kau dilarang untuk keluar rumah selama sebulan.”
Ibu mengancamku dengan hukuman yang sama. Tidak kusangka Ibu tidak sekreatif itu. Padahal Ibu tahu aku anak rumahan yang lebih suka berbaring daripada jalan-jalan. Tetapi demi menyukseskan peran Ibu, aku pun pura-pura tidak terima.
“Tapi Mom, bagaimana kalau teman-temanku mengajak main ke luar? Mom tega sekali melarang seorang remaja untuk keluar rumah dan memenjaranya di dalam,” protesku dengan bibir manyun yang kuyakini menggemaskan.
“Karena itu jangan membuat ulah, selama kau patuh, hukuman itu tidak terjadi,” ucap Ibu membuat logika.
“Baiklah, tapi jangan larang aku untuk bicara dengannya, janji.” Kelingking kananku terangkat ke udara, Ibu awalnya hanya melihat, namun akhirnya pasrah dan menautkan jemari kami.
“Jadilah anak yang baik selama acara makan malam, kau bebas melakakukan apa saja tanpa ada drama.”
Aku nyaris menari mengingat tidak lama lagi akan berjumpa Gavin di sini. Bahkan kepalaku berulang-ulang memutar adegan pertemuan itu. Mungkin saja dia akan terpesona hingga rahangnya terbuka begitu melihatku tumbuh dewasa. Bisa saja dia langsung bilang pada ayah untuk segera menikahkan kami berdua.
Atau mungkin dia membuat kejutan dengan mengeluarkan cincin berlian di hadapan tamu undangan, lalu bermain ukulele, tidak… ukulele tidak romantic, ganti jadi piano saja. Tapi biola jauh lebih romantis, hmm … sepertinya harmonika jauh lebih romantis. Bagaiaman dengan gitar! Ya ampun, pria yang pandai bermain gitar lebih romantis lagi. Tunggu … sampai dimana tadi.
Aduh, ya ampun aku malah sibuk memilih alat musik.
Baiklah, setelah dia memainkan nyaris semua alat musik itu, dia pun berlutut dan melamarku di hadapan semua orang. Aku pun akan menangis haru dan mengatakan ‘I do’ hingga terdengar tepukan tangan juga ucapan selamat dalam ruangan.
Astaga, rasanya tidak sabar itu menjadi nyata sehingga aku bisa menatap rendah wanita-wanita yang pernah bersamanya dan berteriak lantang; ‘lihat, tidak peduli berapa banyak wanita yang dia tiduri, pada akhirnya akulah yang dia nikahi’.
Aaaah … pasti romantis sekali.
“Krista!”
Aduh Bu, aku sedang memikirkan membuat cucumu di masa depan. Bisa-bisanya Ibu membuyarkan semua.
“Krista, jangan melamun. Habiskan makan malammu, dan langsung tidur. Aku tidak ingin gurumu di sekolah memanggilku hanya karena kau bolos dan tidur di UKS,” hardik Ibu sembari menyodorkan piring yang tidak kusentuh.
Hari kelulusanku dua bulan lagi, dan aku tidak sabar melepas status anak SMA menjadi dewasa. Sayangnya, Ibu sering menanyakan universitas yang akan kumasuki. Jujur saja, aku belum memilih. Kalau bisa langsung menikah dengan Gavin, untuk apa aku buru-buru kuliah.
Baru saja aku keluar dari toilet saat teman dekatku, Audrey Jewel memanggil dari arah kantin. Ya ampun Audry, aku sedang tidak ingin bertemu denganmu. Bukannya kemarin dia sendiri yang bilang untuk tidak menyapa, mengapa selalu dia yang lebih dulu melanggar.“Krista!” pekiknya hingga menarik perhatian seisi kantin dan koridor.Duh, sekarang semua orang memperhatikan kami seperti sirkus.“Ada apa kau memanggilku?” kataku berusaha ketus, tetapi Audrey malah nyengir kuda tanpa dosa.“Ada berita baik yang ingin kusampaikan,” katanya dengan mata berbinar.“Maksudmu, berita baik untukmu tetapi buruk untukku?” sindirku tidak halus sama sekali.Senyum Audrey semakin lebar yang mana semakin membuatku yakin dia benar-benar ingin mengajak pertengkaran.“Ya ampun, kau sensitif sekali,” sungutnya sembari melingkarkan tangan ke lenganku. Dan begitu saja, pertengkaran kami yang tadi terlupa
Malam ini Ayah dan Ibu bersiap untuk menyambut tamu. Mereka bahkan mewanti-wanti agar aku tidak membuat masalah dan menasihati panjang lebar apa yang boleh dan tidak boleh kulakukan. Karena kata Ayah dia mengundang hampir seluruh anggota Red Cage, jadi aku tidak boleh mempermalukan mereka. Ibu bahkan berpesan, kelakukanku adalah cerminan Ayah sebagai seorang Mayor, sehingga aku harus jadi anak manis walau hanya semalam.Duh, memangnya kapan aku pernah bikin malu mereka?Ehm … padahal dua minggu lalu aku hanya tidak sengaja menyiram wajah Natasha dengan wine karena dia membuka mulutnya terlalu lebar dan mengatakan sesuatu yang tidak pantas hingga tanganku bergerak sendiri menyiramkan wine ke wajahnya.Sebulan yang lalu aku juga tidak sengaja menendang kemaluan Austin Walker si tuan rumah acara amal karena dia bilang tidak sengaja saat menyentuh payudaraku.Nah, see, aku hanya tidak sengaja.Kali ini aku akan berusaha bersikap manis agar membe
Selama jamuan makan, aku memperhatikan Gavin yang tampak berbicara mesra dengan wanita di sebelah. Nama Nayla Quinn menjadi musuh dalam kamus ‘Mencari Cinta Gavin’, dan aku menandainya di urutan paling atas agar ingat betapa sakit hati pertemuan pertama Gavin membawa wanita lain.Padahal dia sendiri yang memintaku untuk berjanji, tetapi dia mengingkari karena ternyata tidak menunggu sampai aku dewasa. Ugh! Ibu bisa-bisa membenarkan bahwa ini hanyalah mimpi monyet, begitu pula Audrey yang memastikan bahwa ini benar-benar cinta monyet. Aku memberi mosi tidak percaya, karena Gavin belum melihatku dengan benar dan seksama.“Krista, jangan memainkan makananmu,” bisik Ibu yang duduk di sebelah.“Aku tidak lapar,” balasku sama berbisik.“Perhatikan etikamu, beberapa mata memperhatikan kita.”Huft, aku ingin mengatakan pada Ibu bahwa mata-mata yang melihat ke sini bukan karena aku memainkan sendok di piring,
Setelah kejadian makan malam waktu itu, aku bertekad untuk menunjukan pada Gavin bahwa aku tidak pernah ingkar dengan janji yang telah dibuat. Kami bahkan sudah melakukan Pinky Promise dan mengesahkannya dengan saling menautkan jemari.Perduli setan dengan Si Jalang Nayla, Karena pada akhirnya aku yang akan memiliki Gavin dengan utuh!Baiklah, pertama-tama aku harus menyusun strategi agar memudahkan hubungan kami berdua.Selama ini aku membiarkan Gavin hidup bebas tanpa peduli kabar tentang kehidupan dia di luar sana, tetapi kali ini aku tidak akan duduk manis dan menunggu Gavin menyadari perasaannya. Bisa-bisa dia menemukan wanita lain dan posisi-ku digantikan orang lain.Tidak akan kubiarkan!Begitu jam pelajaran terakhir selesai, aku mencari Audrey yang sudah menunggu di parkiran. Dia menatapku dengan pandangan heran karena jelas sekali masih ada sisa-sisa kemarahan malam kemarin yang tidak sengaja dibawa ke sekolah.“Ada apa dengan
Dapat kurasakan tatapan dari Audrey yang pasti melihatku dengan penuh keraguan, namun aku menolak untuk kalah. Setiap hari hatiku selalu berbisik bahwa Gavin Caleston diciptakan untuk Krista Reid.Semua wanita di sekelilingnya hanyalah ujian cinta kami berdua.Aku tidak peduli bila orang-orang menentang hubungan ini, karena yang merasakan jantungku berdetak untuk Gavin hanyalah diriku sendiri.“Sepertinya kita datang disaat yang tidak tepat,” bisik Audrey yang mengikuti arah pandangku ke lantai dansa.Kami melihat Gavin yang sedang menggoyangkan pinggulnya ke tubuh seorang wanita. Dua orang itu bergerak seirama seolah memang diciptakan sepasang dengan sempurna, tetapi tetap saja aku menolak pemikiran tersebut, karena jelas sekali Gavin Caleston hanya untuk Krista Reid.“Krista, sebaiknya kita pulang,” ucap Audrey sembari menarik bajuku.“Tidak. Kita tunggu seberapa lama mereka bertahan di lantai dansa,” ka
Dua hari sudah berlalu sejak kejadian itu, tetapi rasa kesalnya masih terbawa sampai saat ini. Bahkan aku juga mengabaikan Ibu yang bercerita panjang lebar tentang rencana untuk berlibur ke Hawai.“Krista, apa kau tidak dengar?” tanya Ibu yang menghentikan cerita.Hhhh … aku dengar, hanya saja aku tidak diajak, jadi, untuk apa aku mendengarkan semua rencana Ibu yang hanya akan membuatku cemburu.“Iya, iya, Mom akan pergi bulan depan selama dua minggu,” kataku tidak antusias sembari menyeruput teh hangat. Aaahhh … memang disaat seperti ini cocok sekali dinikmati dengan secangkir teh dan juga cookies.Kudengar Ibu menghela napas karena aku sudah tidak berminat diajak bercerita.“Kau bisa membawa Audrey ke sini dan Ibu juga akan meminta Bethani untuk sering-sering berada di rumah,” kata Ibu berusaha menebus kesalahan karena meninggalkanku sendiri.“Hmm … Hmm …,” gumamku
Pagi ini aku merasa tidak semangat untuk bangun, bahkan rasanya berat ketika membuka loker dan menghadapi kelas selanjutnya. Bila perlu aku ingin tiduran di ruang UKS dan izin sakit, tetapi mengingat Ibu yang mengancam tidak akan memberi tiket konser Boyband STB yang diadakan dua bulan lagi, aku pun tidak ingin melakukan itu.Duh, mengapa sulit sekali menjadi remaja!Trust Fund-ku bahkan belum bisa dicairkan sebelum usiaku dua puluh enam. Apa kakek sengaja melakukan itu agar aku menderita! Bahkan setelah beliau meninggal pun, semua warisan diberi ke Ayah dan tidak sedikit menyisakan untuk-ku walau hanya satu cent.Beliau bilang; ‘Krista, kau masih terlalu muda untuk mengerti soal ini. Biar orang dewasa yang mengurus semua’ seolah-olah aku buta finansial.Apa susahnya memberiku satu juta dollar, kan uangnya tidak aku habiskan semua. Seriusan Kek, pasti akan kutabung, dan sisanya aku belikan mobil sport Buggati Veyron.“Krista, apa
Suasana dalam mobil terasa sunyi. Gavin sengaja mendiamkanku hingga atmosfir sekitar begitu sesak.Tidak tahan didiamkan, akhirnya aku menghidupkan musik dari radio, tetapi Gavin mematikanya dan membuat suasana hening kembali.Tidak mau kalah, aku pun menyalakan musik itu lagi, tetapi Gavin terus mematikan lagu dan menciptakan kebisuan di antara kami. Hal ini berulang sebanyak lima kali, hingga akhirnya aku menyerah dan duduk diam dengan wajah tertekuk kesal sembari menatap ke luar jendela.“Apa kau mau berkencan denganku besok?” tanyaku terus terang, berpikir ini adalah kesempatan baik untuk memulai pembicaraan kasual pertama kami.Kulihat Gavin mendengus dan terus menyetir tanpa mengatakan apa-apa, menjadikan hatiku berdenyut tidak nyaman.“Aku serius. Berkencanlah denganku besok,” ulangku lagi yang tetap diabaikan.Melihat rekasinya yang tidak antusias, aku pun menggembungkan pipi sembari mengetuk-ketuk jemari di d
“Kemana kau akan membawaku?” tanya gadis itu ketika Gavin mengemudikan mobil menuju ke jalanan yang jauh dari kota, seolah-olah mereka menuju sebuah tempat terpencil.Dengan tatapan ingin tahu, Krista tidak bisa melepas pandangan pada pria yang menyetir di sebelah.Cukup lama Gavin akhirnya menjawab.“Kau akan tahu bila kita tiba,” ucap pria itu dengan senyuman simpul.Bahkan, Krista melihat sesuatu yang sangat tidak biasa dari cara Gavin menatapnya, seolah pria itu melihat bongkahan berlian dengan ekspresi antusias, yang seketika menghangatkan pipi gadis itu hingga bersemu merah.Bukannya kecanggungan yang tercipta, suasana di sekitar beruba
Saat terbangun pagi itu, Krista meraba sisi ranjang di sampingnya hanya untuk mendapati tempat itu terasa dingin, seolah-olah tidak ada tubuh yang berbaring di sana dalam waktu yang cukup lama. Seketika dia pun terkesiap dan terduduk sembari memperhatikan ke sekitar ruangan.Perlahan-lahan rasa takut mulai menjalari diri, membuat kepanikan menyelimuti hingga dia merasakan getir pada mulut.“Gavin,” panggil gadis itu, layaknya seseorang yang kehilangan.Dengan tergesa-gesa, Krista menyibak selimut sembari berlari keluar kamar menuju tangga ke lantai bawah.Napas gadis itu memburu ketika dia tiba-tiba saja melihat sosok Gavin tengah berdiri di dekat jendela di ruang keluarga dengan ponsel di telinga. Sembari menata napas, Krista memperhatikan pria di hadapan yang berpakaian sangat rapi dengan kemeja biru dongker membalut tubuh, lengkap dasi dan sepatu kulit hitam mengkilat.Mendengar suara yang berasa dari balik tubuhnya, pria itu p
Langit tampak mendung di pemakaman, membuat Krista mendongak sebentar sebelum memusatkan perhatian kembali pada dua batu nisan di hadapan.Lama dia terdiam, dengan kepala menunduk, menyembunyikan tangisan yang tadi sempat mengering.Sementara itu, Gavin yang berada di sampingnya sejak tadi hanya diam sembari mengawasi. Pria itu menatap batu nisan yang sering dia kunjungi selama beberapa tahun terakhir dengan tatapan sama sendunya dengan langit yang hendak menurunkan hujan.Dalam kesunyian yang menyelimuti, keheningan itu pun pecah dengan suara serak Krista yang berkata; “Terima kasih.”Mendengar ucapannya, Gavin hanya menoleh pelan.Kini, gadis itu memandang ke arahnya dengan mata yang basah kembali.“Terima kasih sudah merawat keduanya selama aku tidak ada,” lanjut Krista yang mendapat senyuman lemah.“Bagaimana kau tahu?” tanya Gavin lembut.Dia merapikan anak rambut gadis itu yang diterban
Sentuhan lembut di bahu membangunkan Krista. Tubuhnya menggeliat pelan sembari menoleh ke samping dengan mata sedikit terbuka. Kemudian, dia pun terdiam ketika mendapati wajah Gavin yang mengulas senyuman halus di wajah rupawannya.“Bangunlah sleepy head,” bisiknya pelan sembari mengelus pipi gadis itu.Krista tampak masih dikusai kantuk, membuat Gavin sedikit merasa bersalah telah membangunkan.“Kita ada di mana?” tanya Krista sembari melirik ke luar jendela.Dia pun terdiam saat mendapati bangunan yang sangat familiar.“Kita sudah tiba,” bisik Krista itu gugup saat menyadari mereka telah berada di dalam Kota Denver.Dengan cepat Gavin menggamit lengan gadis itu, lalu meremasnya hati-hati.“Ya. Aku akan membawamu ke tempatku,” ucap Gavin, tanpa melepaskan pegangan keduanya.Kepala Krista menunduk seketika, dia tahu bahwa Gavin mengerti perasaannya saat ini.“Ok
Gavin hendak membawa Krista ke dalam kamar hotel, saat tiba-tiba gadis itu menahannya.Mendapati mata Krista yang mendelik tajam, hati Gavin pun meringis melihat itu.“Masuklah, kita bisa bicarakan di dalam,” ucapnya, membuat Krista tampak ingin pergi, sehingga Gavin pun menangkup wajah gadis itu di antara kedua telapak tangan.Dia mendekatkan wajah dan berbisik pelan dengan tatapan mata yang lembut.“Kau tahu bahwa tidak ada pilihan untuk menghindariku, Baby Girl,” tambahnya sembari mengusap dagu Krista dengan kedua ibu jari penuh kehati-hatian. “Berkali-kali aku meminta kesempatan, namun kau tidak memberikannya. Dan ini satu-satunya cara yang kutahu untuk menghilangkan egomu itu.”Krista meremas jas yang melekat di tubuh Gavin. Dia ingin menumpahkan kemarahan, akan tetapi tatapan pria itu yang tulus membuatnya merenggangkan pegangan. Mata gadis itu berubah panas, sebelum akhirnya lelehan air mata bergulir pelan
Esok paginya, sebuah nada dering membangunkan Krista dari tidur lelap. Seketika dia terjaga dan meraba permukaan meja untuk mencari-cari benda pipih yang sangat ribut sejak tadi menjadi alarm pengganti.Namun, ketika melihat nama yang tertera di layar, seketika Krista menggeram kesal. Dia tidak ingin berbicara dengan pria tua itu di jam sepagi ini. Bisa-bisa mood-nya rusak seharian karena pastilah yang dibicarakan tidak jauh-jauh dari masalah hutang dan bank.Setelah mematikan ponsel, Krista kembali menarik selimut dan mengundang alam mimpi menyelimuti. Akan tetapi, suara gedoran keras yang berasal dari depan pintu membuat Krista menyibak selimut dengan gerakan marah.“Ini masih pagi!” hardiknya kesal.Kepala Krista berputar ke seluruh ruangan, mencari-cari keberadaan Linda yang ternyata tidak pulang sejak semalam.Sembari memijit pelipis, dia bergumam pelan; “Di saat semua orang memiliki kisah cinta yang berbunga, aku malah mende
Suasana hening di dalam mobil tampaknya tidak sedikit pun mengusik Gavin, karena sejak tadi dia terus mengulas senyuman sembari mengelus permukaan kulit Krista yang berada dalam genggaman.Sejak mereka berhenti di parkiran asrama, tidak satu pun dari keduanya keluar dari sana. Bahkan, rasa enggan berpisah terlihat jelas dari wajah Gavin yang terus memegangi tangan Krista.Pandangan pria itu tidak sedikit pun lepas, walau hanya sekedip saja. Seakan tidak ingin gadis itu pergi dan mereka kembali pada situasi semula.“Sebentar lagi libur semester, ikutlah denganku ke Denver,” ucap Gavin lembut.Mendengar itu, Krista membuang wajah dan menatap ke luar jendela. Tampaknya, dia masih belum menerima Gavin sepenuhnya. Atau mungkin, Gavin saja yang terlalu percaya diri bahwa hubungan mereka sudah lebih baik dari sebelumnya.“Jika kau tidak mau ke sana, aku akan menemanimu di sini,” tambahnya yang masih tidak Krista pedulikan.M
Sebuah tamparan mendarat di pipi Gavin hingga meninggalkan jejak merah seukuran lima jari.Seketika pria itu memejamkan mata, dan dia menarik napas panjang sebelum akhirnya membuka kelopak matanya kembali dengan tatapan mengunci pandangan mereka.Mata sebiru samudra yang diarahkan pada Krista menatap tulus, seolah mengisyaratkan bahwa dia akan menerima tamparan dari wanita itu sebanyak apa pun itu. Dan dengan jari-jemari yang mengelus pipi Krista lembuat, Gavin pun melontarkan pertanyaan yang sama kembali.“Maukah kau menikah denganku, Princess?” Tatapan matanya lurus ke depan, dan tidak sedikit pun dia membiarkan pandangan keduanya lepas.Lagi, satu tamparan mendarat di pipi Gavin yang seketika membuat kepalanya berputar Sembilan puluh derajat ke kiri.Tanpa mengatakan apa-apa, pria itu pun menoleh pelan untuk menatap Krista yang mendelik tajam dari balik bulu matanya yang basah. Bahkan, sebulir air matanya tampak menetes jatuh hingga
“Aku tidak bisa melakukannya,” jawab Jaxon dari seberang sambungan, membuat Krista terdiam seketika.Detak jantung gadis itu memompa cepat hingga keringat dingin membasahi telapak tangan.Susah payah Krista menata diri akan rasa tidak percaya yang perlahan menguasai.Saat dia hendak bertanya alasannya, pria itu pun menjawab dengan sendirinya.“Dengar, aku tahu bahwa kita punya kesepakatan, tapi untuk masalah ini aku benar-benar tidak bisa membantu. Kau bisa saja meminta yang lain, tapi kali ini aku angkat tangan.”Pembicaraan keduanya pun menjadi hening. Dan saat itulah Krista dapat mendengar suara serangga yang berasal dari danau di taman.Kini, matanya menatap lurus, pada siluet pria yang sabar menunggu di ujung jalan.Bila saja dia meneriakkan nama pria itu, maukah dia berlari ke tempatnya berdiri?Merasa diperhatikan, Gavin memiringkan kepala dan balas menatap dengan seksama. Seolah-olah dia me