Dapat kurasakan tatapan dari Audrey yang pasti melihatku dengan penuh keraguan, namun aku menolak untuk kalah. Setiap hari hatiku selalu berbisik bahwa Gavin Caleston diciptakan untuk Krista Reid.
Semua wanita di sekelilingnya hanyalah ujian cinta kami berdua.
Aku tidak peduli bila orang-orang menentang hubungan ini, karena yang merasakan jantungku berdetak untuk Gavin hanyalah diriku sendiri.
“Sepertinya kita datang disaat yang tidak tepat,” bisik Audrey yang mengikuti arah pandangku ke lantai dansa.
Kami melihat Gavin yang sedang menggoyangkan pinggulnya ke tubuh seorang wanita. Dua orang itu bergerak seirama seolah memang diciptakan sepasang dengan sempurna, tetapi tetap saja aku menolak pemikiran tersebut, karena jelas sekali Gavin Caleston hanya untuk Krista Reid.
“Krista, sebaiknya kita pulang,” ucap Audrey sembari menarik bajuku.
“Tidak. Kita tunggu seberapa lama mereka bertahan di lantai dansa,” kataku keras kepala.
Audrey mendengus kesal.
“Sampai kapan kau akan melihat bahwa pria itu tidak menaruh rasa padamu, Krista. Sudahlah, akhiri saja kegilaan ini. Obsesimu sudah berlebihan,” nasihatnya yang tidak kudengarkan sama sekali.
Aku melirik Audrey dengan sengit.
“Kau berada di pihak-ku atau semua orang yang menentang?”
Melihat wajahku yang serius, Audrey pun mengulum bibir dan menghembuskan napas.
“Baiklah. Mari kita lihat seberapa lama mereka berdansa,” jawabnya yang kembali menaruh fokus pada pasangan di depan.
Kepalaku mengangguk setuju. Kami pun mengawasi pasangan itu berdansa selama satu jam penuh, bahkan tidak sekali pun aku berkedip. Dan selama itu pula Gavin bergerak sangat sensual hingga beberapa kali bibirnya tampak dekat di wajah wanita berambut brunet. Rasanya aku ingin berjalan ke sana dan memisahkan keduanya dan menampar wajah wanita itu bolak-balik hingga dia tidak bisa melihat Gavin lagi.
Susah payah aku menahan diri hingga bokongku terasa panas, memaksa untuk duduk.
Setelah pasangan itu berhenti, keduanya berjalan menuju ke luar klub. Aku pun menarik tangan Audrey dan menyeretnya hingga kami melewati pintu.
“Pelan-pelan, Krista. Kakiku kebas karena terlalu lama duduk,” keluh Audrey yang menghentikan langkahku seketika.
“Ya ampun, kenapa kau tidak bilang,” kataku sembari terus menatap ke arah Gavin yang berjalan bersisian dengan wanita brunet menuju mobil.
Kami berdiri beberapa menit sampai Audrey bisa berjalan lagi.
“Apa kita kehilangan keduanya?” tanya Audrey begitu sampai di parkiran.
“Tidak, dia masih berada di dalam mobil dan sedang melakukan entah apa,” desisku dengan rahang mengeras dan gigi beradu.
Hatiku bahkan terasa sakit membayangkan hal-hal yang mungkin dilakukan keduanya di dalam sana, tetapi Ibu selalu menasihati untuk selalu berpikir positif bila ingin mendapatkan hal positif pula, maka itu pula yang kulakukan.
Positif … positif … positif.
“Mantra apa yang kau sebut? Kutukan agar Gavin impoten?”
Seketika pikiranku pun buyar mendengar Audrey yang matanya melekat ke mobil di depan.
Astaga, tidak kusangka sahabatku tahu arti impoten.
“Darimana kau mendengar kata-kata itu?” tanyaku heran.
Kedua bahu Audrey terangkat ke udara.
“Bibi Flo sering mengutuk tetangga sebelah apartemen kami yang suka mengundang wanita berbeda setiap malam,” jawab Audrey ringan.
“Kuharap Gavin tidak impoten,” desisku.
Bagaimana kami akan punya anak bila dia impoten. Ucapan Adurey benar-benar membahayakan masa depan kami berdua!
“Ya ampun, tenang, aku tidak benar-benar menginginkan dia impoten, hanya saja, aku berharap tidak terjadi sesuatu di dalam sana, karena mereka sangat lama sekali. Ini saja sudah lewat sepuluh menit,”jelas Audrey yang membuatku ingin berlari ke sana dan memecahkan kaca mobil pria itu.
“Lalu, kita harus bagaimana?” tanyaku masih terus memperhatikan mobil Gavin yang lampu belakangnya menyala sejak tadi tapi tidak ada tanda-tanda akan beranjak.
“Perhatikan baik-baik, apa mobilnya bergoyang atau tidak?” ucap Audrey dengan suara rendah seolah dia baru saja mengatakan sebuah rahasia.
“Memangnya kenapa kalau bergoyang?” kataku balik bertanya.
Percakapan ini benar-benar tidak membantu sama sekali!
Aku bahkan semakin bingung dan marah pada Gavin bersamaan. Teganya dia bersama wanita lain disaat sudah berjanji akan menikah denganku.
“Bibi Flo pernah cerita dengan tetangga kami yang sebelah lagi ketika datang curhat ke rumah, katanya dia tahu pacarnya selingkuh saat melihat mobil pria itu goyang dan seorang wanita setengah telanjang berada di dalam bersama si pacar,” jelas Audrey yang membuatku semakin tidak tenang. “Aku tidak tahu apa hubungannya mobil yang goyang dengan wanita telanjang, tetapi pastilah hasilnya tidak baik.”
Bersamaan aku dan Audrey memperhatikan mobil Gavin yang terparkir sejak tadi, tetapi tetap saja mobil itu diam.
“Apa menurutmu kita dekati mobil itu dan lihat apakah ada wanita telanjang di sana?” tanyaku dengan ragu.
Kepala Audrey menggeleng cepat.
“Jangan! Apa kau mau jika Gavin tahu bahwa kita sedang mengikutinya?”
Kali ini kepalaku yang menggeleng cepat.
“Sekarang belum waktunya dia tahu. Aku masih ingin melihat tempat-tempat yang sering dia kunjungi,” ucapku menjelaskan alasan.
Oops! Sepertinya aku sudah salah bicara, karena jelas saja Audrey tidak setuju.
“Aku tahu kau memang gila, tetapi jangan sampai kegilaanmu berubah menjadi stalker!”
“Aku bukan penguntit! Kita berbicara Gavin di sini, Audrey. Calon Ayah dari anak-anakku di masa depan.”
Audrey menghela napas sembari memukul keningnya di kaca pintu mobil.
“Bila dua bulan ke depan kau masih bersikap seperti ini, aku akan menyeretmu ke psikiater! Dengarkan Krista Reid, aku tidak bercanda!”
Dari mata Audrey aku tahu dia serius.
“Baiklah,” jawabku acuh. “Tapi, mengapa menunggu dua bulan lagi?”
“Karena kau sendiri yang bilang ingin mengajak Gavin ke acara prom night, dan bila saatnya tiba dia tidak juga menerimamu, maka aku tidak peduli lagi dan membawamu ke psikiater.”
Kali ini ketika jari kelingkingku terangkat ke udara, Audrey menautkannya dan mengikat perjanjian kami berdua.
“Promise,” ucap kami bersamaan.
Saat itulah aku melihat mobil Gavin menyala dan perlahan meninggalkan parkiran menuju jalan utama.
“Ayo, ikuti dia,” kataku sembari memacu mobil dan mengekori Gavin dari belakang.
Awalnya kami hanya berputar-putar tidak jelas, hingga pada akhirnya mobil itu berhenti di depan sebuah hotel dan kami berdua bergegas turun dengan gerakan hati-hati, mengikuti Gavin dan si wanita brunet yang tidak henti memeluk Gavin sembari tertawa-tawa genit.
Rasanya aku ingin menutup mulut wanita itu dengan sepatu kets yang ada di kaki.
Berani-beraninya jemari bercat merah itu menyentuh Gavin-ku yang suci!
“Hentikan napasmu yang memburu, petugas jaga di depan sana bisa curiga,” desis Audrey yang menyadarkanku kembali. “Bersikap biasa. Senyum dan pura-pura ceria,” usulnya yang langsung merubah kami menjadi aktris paling berbakat di dunia.
Aku yakin kami bisa memenangkan Oscar bila diteruskan.
“Selamat malam,” sapaku pada penjaga pintu.
Pria itu awalnya terpaku pada kecantikan kami berdua, tetapi setelah aku menjentikan jari di depan wajahnya, dia pun balas tersenyum.
“Selamat malam Nona-nona,” katanya sembari mempersilahkan kami masuk ke dalam.
“Ya ampun, itu tadi sangat mudah sekali,” bisik Audrey di telingaku begitu kami menjauhi lobby dan memasuki ruang utama.
“Lalu, bagaimana kita bisa tahu dia akan berada di kamar yang mana?” tanya Audrey bingung.
“Kau ikut masuk ke lift, aku akan menyusul belakangan,” kataku yang langsung membuat mata Audrey membulat seketika.
“Kau bahkan tidak mempersiapkan semua dengan matang,” desisnya kesal karena dijadikan tumbal. “Bila aku tahu seperti ini, lebih baik aku menunggu di luar.”
Aku menarik tangan Audrey dan memohon padanya dengan mata penuh binar. Gesture yang sulit dia tolak.
“Tenang saja, dia tidak akan mengenalmu. Lain cerita jika dia melihatku.”
“Bagaimana mungkin kau tahu dia tidak mengenalku?”
“Kau masih remaja, dia pasti tidak peduli dengan anak-anak atau remaja.”
Sudah menjadi rahasia umum bahwa anggota Red Cage bisa mengenali penduduk kota dengan mudah.
Audrey mendengus dan akhirnya mengalah.
“Kau berhutang banyak setelah ini, Krista, ingat … seminggu jatah makan siang di kantin adalah milikku,” ucap Audrey dengan pandangan mengunci mataku.
Setelah aku mengangguk, barulah dia setuju dan mulai berjalan menuju lift dimana Gavin dan si wanita brunet berdiri setelah mengambil kunci dari resepsionis.
Untung saja ada banyak orang yang menunggu lift bersamaan, sehingga keberadaan Audrey tidak menimbulkan kecurigaan sama sekali.
Setelah orang-orang itu masuk ke lift, barulah aku bergegas menuju tangga dengan ponsel siap siaga di tangan. Begitu memasuki lantai enam ponselku pun berbunyi dan pesan dari Audrey masuk. Napasku yang putus-putus akhirnya normal kembali. Dengan semangat aku melanjutkan langkah dan menuju lantai delapan, dimana Gavin berada.
‘Dia berada di kamar nomor empat puluh Sembilan.’
Tulis Audrey.
Begitu memasuki lantai delapan, aku pun menemukan Audrye yang pura-pura berdiri di dekat pintu bertuliskan nomor empat puluh.
“Dia ada di sana,” bisik Audrey saat aku berada di sampingnya.
“Terima kasih,” kataku sembari tersenyum.
“Lalu, apa setelah ini? Pulang?”
Aku menggelengkan kepala yang membuat Audrey bertanya.
“Tunggulah di sini,” kataku pada Audrey. “Atau kau bisa turun ke lantai bawah.”
Audrey hendak mengatakan sesuatu tetapi urung. Dia penasaran dengan apa yang selanjutnya hendak kulakukan.
Sengaja kupercepat langkah hingga ke kamar nomor empat puluh Sembilan.
Kuketuk pintu di depan hingga terdengar suara maskulin dari dalam kamar yang menyuruh untuk menunggu.
“Sebentar!” katanya samar-samar.
Kujauhkan kuping dari pintu, karena aku tidak mau begitu pintu terbuka tubuhku jatuh ke dalam dan terguling. Tentunya akan sangat memalukan dan juga tidak sexy sama sekali.
Tidak lama kemudian pintu pun terbuka, dan wajah yang kulihat bukanlah Gavin melainkan seorang wanita yang pakaiannya sudah berganti hanya dengan memakai handuk melilit di tubuh.
Aku mendelik tajam pada wanita itu, yang membuat wanita berambut brunet kebingungan.
Sebelum dia membuka mulut, aku mendorong tubuhnya ke samping dan masuk ke dalam ruangan tanpa permisi. Begitu kakiku melangkah ke dalam, mataku tertuju pada sosok Gavin yang duduk di salah satu sofa sedang menikmati wine dengan tubuh masih dibalut baju lengkap. Tidak sedikit pun terlihat tanda-tanda bahwa tadi mereka melakukan sesuatu, membuatku sedikit lega.
Sebelah alis Gavin naik ke dahi, seolah dia sudah menunggu kehadiranku.
“Apa kau puas main detektif-detektifan Miss Reid?” tanya Gavin dengan intonasi sedikit bosan.
“Kau sudah tahu aku mengikuti sejak tadi?” tanyaku sembari mendengus.
Rasanya sia-sia saja usaha yang tadi. Dia bahkan tampak tidak peduli dan terus menyesap wine dan mengabaikan wanita setengah telanjang yang masih berdiri di ambang pintu.
“Mr. Caleston, siapaꟷ”
Belum sempat wanita berambut brunet itu menyelesaikan ucapan, Gavin pun menyela.
“Sebaiknya kau selesaikan mandimu Anna, dan segeralah pergi,” ucap Gavin dengan nada dingin hingga aku pun ikut merasakan bulu roma yang berdiri.
Wanita bernama Anna itu menghentakan kaki kesal dan berjalan ke kamar mandi dengan perasaan marah yang jelas.
Keheningan menyelimuti kami berdua begitu wanita tersebut menutup pintu dengan keras. Aku memilih duduk di ujung ranjang, tepat di depan meja dan sofa yang Gavin duduki. Pria itu masih asyik menyesap wine tanpa memedulikan sekitar. Sesekali aku melihat ke arahnya dan juga plavon serta seisi ruangan.
Entah mengapa sausana di antara kami berubah berat seketika.
Lima menit kemudian, wanita tadi keluar kamar mandi lengkap dengan baju yang tadi.
Dahiku berkerut melihat wanita itu yang memakai baju dengan cepat. Aku yakin dia tidak mandi karena aku tidak mendengar suara percikan air dari dalam.
Setelah menarik tas dari atas kasur, wanita itu pun berjalan menuju pintu dan seperti dalam drama, tidak lupa melemparkan tatapan tajam ke arahku, seolah aku-lah yang salah di sini, bukan dia.
“Namaku Anne, bukan Anna,” desis wanita itu dengan intonasi kesal sebelum akhirnya membanting pintu untuk ke-dua kalinya.
Sepeninggalan si wanita berambut brunet, ruangan pun kembali diliputi keheningan. Begitu perhatianku kembali pada Gavin, ternyata sejak tadi matanya tidak lepas memandangku. Bahkan, dia mungkin tidak sadar bahwa wanita yang tadi bersamanya sudah pergi.
Ditatap begitu lama, aku pun merasa canggung dan berdehem untuk mencairkan suasana.
“So … sepertinya aku salah kamar,” kataku bermaksud hendak beranjak, tetapi ternyata Gavin menahan tanganku hingga aku terduduk di atas pangkuannya.
Tanpa sadar aku terkesiap dan menatap Gavin dengan mata membulat, sedang kedua tanganku berada di dada-nya.
“Apa yang sebenarnya sedang kau lakukan, Krista?” tanya Gavin dengan suara rendah, sengaja berbisik di telingaku yang sensitif.
“Sudah kubilang, aku salah kamar,” kataku berusaha lepas dari cengkraman lengannya yang melingkar erat di perutku.
“Apa kau pikir aku tidak tahu bahwa kau sudah mengikutiku sejak tadi?”
Pandangan kami beradu. Dapat kudengar suara detak jantungku yang memacu, tetapi aku kecewa mendapati jantung Gavin yang tidak berdetak kuat di bawah telapak tanganku.
“Kalau kau sudah tahu, mengapa tidak kau biarkan saja diriku dan terus bersama wanita itu, bukan mengusirnya!” balasku marah mengingat dia bersama wanita lain padahal jelas-jelas dia menyadari keberadaanku sejak tadi.
Sudut bibir Gavin berkedut, ada senyum tipis mengulas di wajah yang membuatku tanpa sadar menyentuh bibir sensualnya. Dia bahkan membiarkanku menyentuh bebas wajahnya, masih dengan menatapku lamat-lamat.
“Dimana letak menyenangkannya itu,” kata dia dengan sedikit seringai di wajah.
Aku menepuk dadanya keras, karena jelas dia mempermainkanku!
“Untung saja kau berpakaian lengkap! Bila tidak, aku tidak akan membiarkan wanita itu keluar dari ruangan ini!” pekiku marah sembari melepaskan diri dari dekapannya.
Dia membiarkanku lepas dengan susah payah, seolah menikmati tanpa peduli kekesalanku.
Setelah menjauhkan tubuh kami, aku pun berjalan menuju pintu dengan langkah buru-buru.
“Miss Reid,” panggilnya dengan suara maskulin yang sulit kutolak.
Aku menoleh masih dengan wajah memberengut.
“Jangan ulangi lagi. Aku tidak suka seseorang mengikutiku,” katanya yang hanya mendapat tatapan tajam dariku.
Tanpa menjawab perkataannya, aku pun membanting pintu dengan keras seperti wanita tadi dan berjalan meninggalkan kamar.
Kulihat Audrey yang berjongkok di tempat semula. Dia langsung berdiri ketika melihatku mendekat.
“Wanita itu tadiꟷ”
“Kita pulang. Tidak ada yang terjadi,” kataku menyela. Sudah terlalu malas menjelaskan, besok bila moodku membaik, dengan sendirinya aku akan cerita.
Dua hari sudah berlalu sejak kejadian itu, tetapi rasa kesalnya masih terbawa sampai saat ini. Bahkan aku juga mengabaikan Ibu yang bercerita panjang lebar tentang rencana untuk berlibur ke Hawai.“Krista, apa kau tidak dengar?” tanya Ibu yang menghentikan cerita.Hhhh … aku dengar, hanya saja aku tidak diajak, jadi, untuk apa aku mendengarkan semua rencana Ibu yang hanya akan membuatku cemburu.“Iya, iya, Mom akan pergi bulan depan selama dua minggu,” kataku tidak antusias sembari menyeruput teh hangat. Aaahhh … memang disaat seperti ini cocok sekali dinikmati dengan secangkir teh dan juga cookies.Kudengar Ibu menghela napas karena aku sudah tidak berminat diajak bercerita.“Kau bisa membawa Audrey ke sini dan Ibu juga akan meminta Bethani untuk sering-sering berada di rumah,” kata Ibu berusaha menebus kesalahan karena meninggalkanku sendiri.“Hmm … Hmm …,” gumamku
Pagi ini aku merasa tidak semangat untuk bangun, bahkan rasanya berat ketika membuka loker dan menghadapi kelas selanjutnya. Bila perlu aku ingin tiduran di ruang UKS dan izin sakit, tetapi mengingat Ibu yang mengancam tidak akan memberi tiket konser Boyband STB yang diadakan dua bulan lagi, aku pun tidak ingin melakukan itu.Duh, mengapa sulit sekali menjadi remaja!Trust Fund-ku bahkan belum bisa dicairkan sebelum usiaku dua puluh enam. Apa kakek sengaja melakukan itu agar aku menderita! Bahkan setelah beliau meninggal pun, semua warisan diberi ke Ayah dan tidak sedikit menyisakan untuk-ku walau hanya satu cent.Beliau bilang; ‘Krista, kau masih terlalu muda untuk mengerti soal ini. Biar orang dewasa yang mengurus semua’ seolah-olah aku buta finansial.Apa susahnya memberiku satu juta dollar, kan uangnya tidak aku habiskan semua. Seriusan Kek, pasti akan kutabung, dan sisanya aku belikan mobil sport Buggati Veyron.“Krista, apa
Suasana dalam mobil terasa sunyi. Gavin sengaja mendiamkanku hingga atmosfir sekitar begitu sesak.Tidak tahan didiamkan, akhirnya aku menghidupkan musik dari radio, tetapi Gavin mematikanya dan membuat suasana hening kembali.Tidak mau kalah, aku pun menyalakan musik itu lagi, tetapi Gavin terus mematikan lagu dan menciptakan kebisuan di antara kami. Hal ini berulang sebanyak lima kali, hingga akhirnya aku menyerah dan duduk diam dengan wajah tertekuk kesal sembari menatap ke luar jendela.“Apa kau mau berkencan denganku besok?” tanyaku terus terang, berpikir ini adalah kesempatan baik untuk memulai pembicaraan kasual pertama kami.Kulihat Gavin mendengus dan terus menyetir tanpa mengatakan apa-apa, menjadikan hatiku berdenyut tidak nyaman.“Aku serius. Berkencanlah denganku besok,” ulangku lagi yang tetap diabaikan.Melihat rekasinya yang tidak antusias, aku pun menggembungkan pipi sembari mengetuk-ketuk jemari di d
Setelah kejadian beberapa hari yang lalu, aku memilih untuk tidak pergi keluar untuk mengikuti Gavin lagi, tetapi aku tetap mencari kabar tentang dia di Ingram yang ternyata tidaklah mudah. Nyaris semua sosial medianya tidak pernah up to date.Huft!Bila bukan karena Ayah, aku juga tidak akan diam saja.“Krista!” panggil Audrey yang membuatku memutar bola mata.Sejak tadi Audrey mengajaku untuk pulang cepat-cepat. Dia tidak ingin bertemu dengan Evan yang sejak tadi menunggu di gerbang.“Aku sudah dengar ketika kau memanggilku sekali, jangan berteriak-teriak,” desahku sembari mensejajarkan langkah dengan Audrey yang jalan terburu-buru hendak lari.Melihat kepala Evan yang selalu berputar ke arah sini, aku yakin dia sedang menunggu Audrey melewatinya, dan benar saja, sebelum kami melangkah keluar, Evan memanggilku karena bila dia memanggil Audrey pasti tidak begitu ditanggapi.Terkadang aku lelah dengan hubungan
Tatapan mataku dan Gavin saling bertemu. Langkahnya terhenti ketika menyadari kehadiranku dalam ruangan.Sekilas sekelebat emosi bermain di wajahnya yang rupawan, entah memang salah lihat atau mungkin saja benar bahwa dia juga memendam rindu, tetapi raut mukanya berubah keruh ketika matanya menangkap sosok Evan yang duduk di hadapanku.Sengaja untuk memancing reaksi, aku pun menyentuh telapak tangan Evan sedikit mesra yang dibalas Evan dengan sentuhan biasa.Sebelah alis Gavin naik sedikit, tetapi tidak kentara.Hatiku bersorak penuh kemenangan, karena ternyata dia menyadari keberadaanku dan gerakan kecil yang baru saja kulakukan.“Apa ada sesuatu di wajahku?” tanya Evan yang duduk membelakangi Gavin, seolah-olah fokusku padanya.Kali ini senyumku melembut seketika, sengaja bersikap sensual yang lagi-lagi terdengar suara gelas jatuh dalam restaurant.Ya ampun! Kemana pun aku pergi, selalu saja ada orang-orang yang kehilang
“Gavin, Baby, kenapa lama sekali?”Aku mendelik tajam pada wanita yang tadi bersama Gavin di resturan.Berani-beraniya dia memanggil Gavin dengan Baby.Wanita itu membalas tatapanku sama sengitnya.Melihat ada kemungkinan perkelahian, Gavin mendengus dan menarikku ke sisi tubuhnya, dan dia berkata pada si Jalang di hadapanku dengan suara rendah dan dingin.“Sebaiknya kau masuk ke dalam, urusanku masih belum selesai di sini, Reni.”Kulihat perubahan wajah wanita di hadapanku dengan menakjubkan. Ekspresi bersahabatnya menjadi keruh, dengan kulit wajah berubah merah padam.“Namaku Ralin, bukan Reni!” sergah wanita tersebut dengan kaki menghentak ke tanah sebelum akhirnya berbalik masuk ke dalam restaurant kembali.Kulirik Gavin yang menatap wanita itu tidak peduli, dan baru kusadari bahwa fokusnya masih tetap padaku.“Kenapa kau sengaja merubah nama wanita itu?” tanyaku
Mobil yang Gavin kendarai berjalan mulus di atas aspal.Aku melirik ke arahnya yang terlihat begitu konsentrasi hingga tidak ada waktu menatap ke arahku. Kali ini aku mencoba untuk menyalakan musik dari radio seperti sebelumnya, tetapi sampai dua buah judul lagu diputar, tidak sekali pun dia menyela. Membuatku yakin jika dia membiarkanku berbuat sesuka hati.“Kau mau berkencan denganku besok?”Aku tidak peduli bila melemparkan pertanyaan yang sama seperti sebelum-sebelumnya, karena tidak ada salahnya mencoba. Mungkin saja dia menyetujui kali ini.Gavin hanya melirikku sekilas sebelum menatap fokus ke depan. Dia pun menaikan volume suara musik hingga membuat gendang telingaku sedikit berdengung.Astaga, apa dia sengaja agar aku tidak mengajak bicara?Kubiarkan alunan musik dari radio, dan kutoel lengan tangannya yang menyetir.Dia melirikku lagi dengan ekspresi sedikit sebal.Uwu …. Tampannya!Tanpa ped
Aku pulang ke rumah dalam keadaan kecewa karena Gavin meninggalkanku begitu saja. Padahal bila dia mau, aku akan mengundangnya masuk dan mengajak makan malam bersama.Dia rugi sendiri karena pergi tanpa permisi, sehingga tidak sempat mendengar tawaranku makan di rumah.Hhhh … jika dia di sini, aku kan jadi bisa memasak sesuatu dan menunjukan padanya bahwa aku kandidat pasangan hidup yang sempurna, diidamkan banyak pria, serta rebutan para mertua. Cantik, cerdas, berasal dari keluarga yang hangat dengan berlimpah kasih sayang, dan mau belajar untuk memuaskan pasangan.Lihatkan, siapa saja pasti akan melamarku detik ini juga jika saja aku membuat pengumuman di Ingram atau Koran Pagi, tetapi sikap keras kepala Gavin membuat bakatku jadi terbatas di matanya.Ya ampun, mengapa Tuhan tega mengutukku jatuh cinta pada Freezer berjalan seperti dia!Setelah menaruh tas dan kunci di kamar, aku langsung menghubungi Audrey. Mengusir pikiran tentang Gavin
“Kemana kau akan membawaku?” tanya gadis itu ketika Gavin mengemudikan mobil menuju ke jalanan yang jauh dari kota, seolah-olah mereka menuju sebuah tempat terpencil.Dengan tatapan ingin tahu, Krista tidak bisa melepas pandangan pada pria yang menyetir di sebelah.Cukup lama Gavin akhirnya menjawab.“Kau akan tahu bila kita tiba,” ucap pria itu dengan senyuman simpul.Bahkan, Krista melihat sesuatu yang sangat tidak biasa dari cara Gavin menatapnya, seolah pria itu melihat bongkahan berlian dengan ekspresi antusias, yang seketika menghangatkan pipi gadis itu hingga bersemu merah.Bukannya kecanggungan yang tercipta, suasana di sekitar beruba
Saat terbangun pagi itu, Krista meraba sisi ranjang di sampingnya hanya untuk mendapati tempat itu terasa dingin, seolah-olah tidak ada tubuh yang berbaring di sana dalam waktu yang cukup lama. Seketika dia pun terkesiap dan terduduk sembari memperhatikan ke sekitar ruangan.Perlahan-lahan rasa takut mulai menjalari diri, membuat kepanikan menyelimuti hingga dia merasakan getir pada mulut.“Gavin,” panggil gadis itu, layaknya seseorang yang kehilangan.Dengan tergesa-gesa, Krista menyibak selimut sembari berlari keluar kamar menuju tangga ke lantai bawah.Napas gadis itu memburu ketika dia tiba-tiba saja melihat sosok Gavin tengah berdiri di dekat jendela di ruang keluarga dengan ponsel di telinga. Sembari menata napas, Krista memperhatikan pria di hadapan yang berpakaian sangat rapi dengan kemeja biru dongker membalut tubuh, lengkap dasi dan sepatu kulit hitam mengkilat.Mendengar suara yang berasa dari balik tubuhnya, pria itu p
Langit tampak mendung di pemakaman, membuat Krista mendongak sebentar sebelum memusatkan perhatian kembali pada dua batu nisan di hadapan.Lama dia terdiam, dengan kepala menunduk, menyembunyikan tangisan yang tadi sempat mengering.Sementara itu, Gavin yang berada di sampingnya sejak tadi hanya diam sembari mengawasi. Pria itu menatap batu nisan yang sering dia kunjungi selama beberapa tahun terakhir dengan tatapan sama sendunya dengan langit yang hendak menurunkan hujan.Dalam kesunyian yang menyelimuti, keheningan itu pun pecah dengan suara serak Krista yang berkata; “Terima kasih.”Mendengar ucapannya, Gavin hanya menoleh pelan.Kini, gadis itu memandang ke arahnya dengan mata yang basah kembali.“Terima kasih sudah merawat keduanya selama aku tidak ada,” lanjut Krista yang mendapat senyuman lemah.“Bagaimana kau tahu?” tanya Gavin lembut.Dia merapikan anak rambut gadis itu yang diterban
Sentuhan lembut di bahu membangunkan Krista. Tubuhnya menggeliat pelan sembari menoleh ke samping dengan mata sedikit terbuka. Kemudian, dia pun terdiam ketika mendapati wajah Gavin yang mengulas senyuman halus di wajah rupawannya.“Bangunlah sleepy head,” bisiknya pelan sembari mengelus pipi gadis itu.Krista tampak masih dikusai kantuk, membuat Gavin sedikit merasa bersalah telah membangunkan.“Kita ada di mana?” tanya Krista sembari melirik ke luar jendela.Dia pun terdiam saat mendapati bangunan yang sangat familiar.“Kita sudah tiba,” bisik Krista itu gugup saat menyadari mereka telah berada di dalam Kota Denver.Dengan cepat Gavin menggamit lengan gadis itu, lalu meremasnya hati-hati.“Ya. Aku akan membawamu ke tempatku,” ucap Gavin, tanpa melepaskan pegangan keduanya.Kepala Krista menunduk seketika, dia tahu bahwa Gavin mengerti perasaannya saat ini.“Ok
Gavin hendak membawa Krista ke dalam kamar hotel, saat tiba-tiba gadis itu menahannya.Mendapati mata Krista yang mendelik tajam, hati Gavin pun meringis melihat itu.“Masuklah, kita bisa bicarakan di dalam,” ucapnya, membuat Krista tampak ingin pergi, sehingga Gavin pun menangkup wajah gadis itu di antara kedua telapak tangan.Dia mendekatkan wajah dan berbisik pelan dengan tatapan mata yang lembut.“Kau tahu bahwa tidak ada pilihan untuk menghindariku, Baby Girl,” tambahnya sembari mengusap dagu Krista dengan kedua ibu jari penuh kehati-hatian. “Berkali-kali aku meminta kesempatan, namun kau tidak memberikannya. Dan ini satu-satunya cara yang kutahu untuk menghilangkan egomu itu.”Krista meremas jas yang melekat di tubuh Gavin. Dia ingin menumpahkan kemarahan, akan tetapi tatapan pria itu yang tulus membuatnya merenggangkan pegangan. Mata gadis itu berubah panas, sebelum akhirnya lelehan air mata bergulir pelan
Esok paginya, sebuah nada dering membangunkan Krista dari tidur lelap. Seketika dia terjaga dan meraba permukaan meja untuk mencari-cari benda pipih yang sangat ribut sejak tadi menjadi alarm pengganti.Namun, ketika melihat nama yang tertera di layar, seketika Krista menggeram kesal. Dia tidak ingin berbicara dengan pria tua itu di jam sepagi ini. Bisa-bisa mood-nya rusak seharian karena pastilah yang dibicarakan tidak jauh-jauh dari masalah hutang dan bank.Setelah mematikan ponsel, Krista kembali menarik selimut dan mengundang alam mimpi menyelimuti. Akan tetapi, suara gedoran keras yang berasal dari depan pintu membuat Krista menyibak selimut dengan gerakan marah.“Ini masih pagi!” hardiknya kesal.Kepala Krista berputar ke seluruh ruangan, mencari-cari keberadaan Linda yang ternyata tidak pulang sejak semalam.Sembari memijit pelipis, dia bergumam pelan; “Di saat semua orang memiliki kisah cinta yang berbunga, aku malah mende
Suasana hening di dalam mobil tampaknya tidak sedikit pun mengusik Gavin, karena sejak tadi dia terus mengulas senyuman sembari mengelus permukaan kulit Krista yang berada dalam genggaman.Sejak mereka berhenti di parkiran asrama, tidak satu pun dari keduanya keluar dari sana. Bahkan, rasa enggan berpisah terlihat jelas dari wajah Gavin yang terus memegangi tangan Krista.Pandangan pria itu tidak sedikit pun lepas, walau hanya sekedip saja. Seakan tidak ingin gadis itu pergi dan mereka kembali pada situasi semula.“Sebentar lagi libur semester, ikutlah denganku ke Denver,” ucap Gavin lembut.Mendengar itu, Krista membuang wajah dan menatap ke luar jendela. Tampaknya, dia masih belum menerima Gavin sepenuhnya. Atau mungkin, Gavin saja yang terlalu percaya diri bahwa hubungan mereka sudah lebih baik dari sebelumnya.“Jika kau tidak mau ke sana, aku akan menemanimu di sini,” tambahnya yang masih tidak Krista pedulikan.M
Sebuah tamparan mendarat di pipi Gavin hingga meninggalkan jejak merah seukuran lima jari.Seketika pria itu memejamkan mata, dan dia menarik napas panjang sebelum akhirnya membuka kelopak matanya kembali dengan tatapan mengunci pandangan mereka.Mata sebiru samudra yang diarahkan pada Krista menatap tulus, seolah mengisyaratkan bahwa dia akan menerima tamparan dari wanita itu sebanyak apa pun itu. Dan dengan jari-jemari yang mengelus pipi Krista lembuat, Gavin pun melontarkan pertanyaan yang sama kembali.“Maukah kau menikah denganku, Princess?” Tatapan matanya lurus ke depan, dan tidak sedikit pun dia membiarkan pandangan keduanya lepas.Lagi, satu tamparan mendarat di pipi Gavin yang seketika membuat kepalanya berputar Sembilan puluh derajat ke kiri.Tanpa mengatakan apa-apa, pria itu pun menoleh pelan untuk menatap Krista yang mendelik tajam dari balik bulu matanya yang basah. Bahkan, sebulir air matanya tampak menetes jatuh hingga
“Aku tidak bisa melakukannya,” jawab Jaxon dari seberang sambungan, membuat Krista terdiam seketika.Detak jantung gadis itu memompa cepat hingga keringat dingin membasahi telapak tangan.Susah payah Krista menata diri akan rasa tidak percaya yang perlahan menguasai.Saat dia hendak bertanya alasannya, pria itu pun menjawab dengan sendirinya.“Dengar, aku tahu bahwa kita punya kesepakatan, tapi untuk masalah ini aku benar-benar tidak bisa membantu. Kau bisa saja meminta yang lain, tapi kali ini aku angkat tangan.”Pembicaraan keduanya pun menjadi hening. Dan saat itulah Krista dapat mendengar suara serangga yang berasal dari danau di taman.Kini, matanya menatap lurus, pada siluet pria yang sabar menunggu di ujung jalan.Bila saja dia meneriakkan nama pria itu, maukah dia berlari ke tempatnya berdiri?Merasa diperhatikan, Gavin memiringkan kepala dan balas menatap dengan seksama. Seolah-olah dia me