Setelah kejadian makan malam waktu itu, aku bertekad untuk menunjukan pada Gavin bahwa aku tidak pernah ingkar dengan janji yang telah dibuat. Kami bahkan sudah melakukan Pinky Promise dan mengesahkannya dengan saling menautkan jemari.
Perduli setan dengan Si Jalang Nayla, Karena pada akhirnya aku yang akan memiliki Gavin dengan utuh!
Baiklah, pertama-tama aku harus menyusun strategi agar memudahkan hubungan kami berdua.
Selama ini aku membiarkan Gavin hidup bebas tanpa peduli kabar tentang kehidupan dia di luar sana, tetapi kali ini aku tidak akan duduk manis dan menunggu Gavin menyadari perasaannya. Bisa-bisa dia menemukan wanita lain dan posisi-ku digantikan orang lain.
Tidak akan kubiarkan!
Begitu jam pelajaran terakhir selesai, aku mencari Audrey yang sudah menunggu di parkiran. Dia menatapku dengan pandangan heran karena jelas sekali masih ada sisa-sisa kemarahan malam kemarin yang tidak sengaja dibawa ke sekolah.
“Ada apa denganmu?” tanya Audrey sembari membuka pintu mobil.
Kali ini aku memberikan kunci padanya, karena ditakutkan, bukannya sampai ke rumah masing-masing tapi kami berdua malah berakhir di rumah sakit.
“Kau ingin aku yang menyetir?” tanya Audrey dengan tatapan bingung setelah menerima kunci yang tadi kulempar ke tangannya.
“Hmm … hmm …,” gumamku sembari duduk di sebelah kemudi.
Audrey mendelik tajam. Dia tidak begitu pandai mengendarai mobil, tetapi ini adalah kesempatan baginya untuk belajar.
“Bagaimana bila ada polisi yang menghentikan di tengah jalan? Aku tidak punya surat izin mengemudi, Krista!” serunya sedikit panik.
Aku menghela napas dan melirik Audrey yang pikirannya pasti terbelah.
“Hey, apa kau lupa kita punya senjata paling kuat di kota?” ucapku dengan sebelah alis terangkat.
Audrey menatapku bingung, membuatku lagi-lagi menghela.
“Ayahku,” jawabku yang membuat Audrey mendengus seketika.
“Astaga, Krista. Terkadang aku lupa kau adalah anak seorang Mayor,” sungutnya sembari membawa mobil menuju jalan utama.
“Itu karena aku memang tidak memanfaatkan posisi Ayah sebagai orang nomor satu di Denver,” kataku sedikit membusungkan dada, tetapi ternyata Adurey berpikir sebaliknya.
“Apa kau bilang?” kata Audrey sedikit tertawa. “Mungkin kau lupa, tetapi dua bulan yang lalu kau berhasil membuat guru matematika berhenti dari sekolah.”
Kali ini aku melemparkan tatapan tajam pada Audrey.
“Hey! Seharusnya orang-orang berterima kasih padaku, karena dia adalah guru yang mesum. Apa kau tidak ingat kalau dia sengaja mengajak Sunny berhubungan di gudang sekolah? Tidak hanya itu, dia juga menargetkan anak-anak yang lain.”
Audrey menghembuskan napas dan mengangguk.
“Ok, Ok … kau benar. Tetapi kau juga pernah menggunakan jabatan Ayahmu saat menolak ikut kelas olahraga dan meminta sekretarisnya untuk berbicara pada Mr. Hatington.”
Kali ini aku mengulum bibir, well … bukan salahku bila aku benci pelajaran olahraga. Salahkan saja gen di tubuhku.
Ayah bahkan pernah mengakui kalau dia tidak suka sesuatu yang berhubungan dengan olahraga.
See … itu adalah sesuatu yang diwariskan, bukan karena pribadiku, tetapi warisan genetik!
Tetapi aku tidak bisa mengatakan itu pada Audrey, karena dia akan bilang; kau hanya melebihkan saja.
“Lalu, bagaimana dengan yang ini; saat kita tertangkap basah skinny dipping di salah satu property milik Nyonya Harque. Kau bahkan mengancam polisi yang bertugas dan akan melaporkan pada Ayahmu malam itu.” Audrey melirik ke arahku sekilas. “Dimana-mana polisi yang mengatakan akan melaporkan pada orang tua, bukan sebaliknya, Krista.”
Okeee … untuk satu hal itu aku mengakui telah menggunakan jabatan Ayah agar lepas dari polisi.
“Nah, kau juga mungkin sudah lupa saatꟷ”
“Cukup! Baiklah-baiklah, aku pernah melakukan hal-hal itu. Sekarang fokus saja menyetir. Di depan sana ada lampu merah,” kataku, menarik fokus Audrey kembali dan merubah topik.
Kali ini Audrey tersenyum penuh kemenangan.
Hhhh … ini bukan kompetisi, bisa-bisanya dia menatapku seperti itu!
“Ke mana kita akan pergi?” tanya Audrey dalam keheningan yang sengaja kuciptakan.
“Ke apartemenmu, aku ingin meminta izin pada Bibi agar kau bisa menginap di rumahku.”
Laju kendaraan melambat seketika, dan kepala Audrey menoleh ke arahku.
“Krista, aku tahu kau sedang merancanakan sesuatu. Sebaiknya lupakan, karena aku tidak mau terlibat dengan kekonyolanmu!”
Ya ampun, temanku ini drama sekali.
“Aku tidak merencanakan hal konyol. Kita hanya menginap di rumah saja, kebetulan Ayah dan Ibu sedang ke luar kota,” jelasku sedikit menyelipkan kebenaran.
Audrey masih melemparkan tatapan tidak percaya, tetapi melihat sikapku yang tenang, akhirnya dia menurunkan kewaspadaaan.
Lama dia berpikir sebelum akhirnya setuju.
“Baiklah, tetapi janji tidak melakukan hal-hal aneh?”
Aku mengangguk dan tidak mengatakan apa-apa. Dengan pandangan ragu, kami pun meluncur menuju apartemen Audrey di perbatasan kota.
………………………………..
“Kau bilang kita tidak akan melakukan hal-hal aneh, Krista!” jerit Audrey hingga gendang telingaku berkedut nyeri.
Ya ampun, dia seperti dukun dalam serial drama korea yang berteriak saat minta hujan.
Aku penasaran, apa yang Bibi Flo beri padanya untuk sarapan pagi ini. Toa?
“Kita tidak melakukan hal aneh,” bujuk-ku halus sembari menepuk punggung tangannya pelan, tetapi lagi-lagi Audrey menjerit kesal.
“Jika ini bukan aneh, lalu apa lagi kau menyebutnya?” ucap Audrey sembari mengangkat kedua tangan ke sekitar, pada deretan pub dan klub malam.
“Kau sudah mendekati delapan belas, tidak aneh bila kita berada di sini,” kataku membela apa yang sedang kami lakukan.
Ternyata Audrey tidak setuju.
“Katakan, apa lagi kali ini, Krista? Mencuri wine puluhan dollar? Mencari bukti perselingkuhan salah satu guru di sekolah? Menjadi papparazi dadakan untuk mengungkap kasus kematian wanita misterius yang akhir-akhir ini terjadi di Denver?” Audrey tidak henti-hentinya melempar asumsi-asumsi yang tidak salah sepenuhnya.
Well … aku hanya lupa membayar botol wine pada bartender ketika berkunjung ke salah satu klub waktu itu. Aku bukan mencuri, suer! Salahkan saja si bartender yang dengan sengaja hendak menyentuh payudaraku.
Untuk yang ke-dua … hhhh … baiklah-baiklah. Saat itu istri dari Mr. Dean ꟷ sekarang sudah mantan istriꟷ curhat panjang lebar tentang rumah tangga mereka ketika dia bertemu dengan Ibu di perpustakaan. Aku hanya tidak sengaja menguping, dan …. Karena aku tidak punya kerjaan, maka malam itu aku yang bosan akhirnya ke klub di mana, menurut cerita Mrs. Dean, suaminya sering berkunjung, lalu … perselingkuhan itu pun terbukti. Serius, semua tidak disengaja! Kebetulan saja aku ada di klub saat itu dengan kamera siap siaga di tangan.
Sedangkan yang ke-tiga, aku hanya tidak sengaja memfoto semua tempat dimana terjadi kasus pembunuhan akhir-akhir ini. Lagi pula, Ayah membelikan kamera baru padaku, dan sayang sekali bila tidak digunakan. Foto-foto itu hanya untuk melihat kameranya berfungsi dengan baik.
Tidak salahku bila akhirnya aku memfoto salah satu pelaku yang baru saja membunuh seorang wanita, mengakibatkan polisi mencariku karena tertangkap CCTV ada di dekat kejadian dengan kamera tersampir di leher, mereka percaya aku memiliki foto si pelaku yang memang tidak berada dalam jangkauan CCTV.
Setelah mendapati tatapan tajam Audrey yang entah sudah ke berapa kali, aku pun memberikan senyum terbaik-ku padanya.
“Tidak usah khawatir, kali ini aku tidak akan membawamu dalam masalah. Janji,” ucapku sembari mengangkat kelingking.
Mata Audrey menatap kelingkingku yang terangkat ke udara cukup lama, membuat tanganku sedikit pegal.
“Ayolah, aku tidak akan membiarkanmu diseret polisi, atau mungkin bertemu pembunuh di dalam sana. Kita hanya bersenang-senang,” kataku masih dengan meyakinkan.
Huft … Kelingkingku pun diabaikan.
Dia menatap wajahku sebelum akhirnya melirik sekitar.
Terdapat lampu neon menyala terang yang berasal dari papan nama berjajar di sepanjang jalan. Beberapa wanita juga terlihat berdiri sembari berpose di berbagai sudut dan jalan, begitu pula kumpulan orang-orang lalu-lalang di sekitar.
Kepala Adurey mengangkat sedikit, pada papan nama yang menyalan terang menunjukan nama tempat yang akan kami masuki. GC Club. Salah satu klub paling terkenal di Denver milik Gavin Caleston dan Jaxon Bradwood.
“Apa kau yakin kita akan masuk ke dalam?” tanya Audrey ragu.
Aku mengangguk yakin.
“Ayo, aku tidak mau kita ketinggalan pertunjukan di sana.”
Dengan susah payah aku menarik Audrey untuk mau masuk ke dalam. Untung saja dia menerima dan kami ikut berdiri dalam antrian yang panjang. Begitu giliran kami tiba, Bouncer di gerbang yang kukenal bernama Thomas akhirnya memberikan jalan tanpa meminta identitas.
“Apa dia sengaja membiarkan kita masuk?” bisik Audrey begitu kami melewati pintu.
“Aku dan dia sudah saling mengenal,” kataku sembari menatap sekitar, mencari sosok yang menjadi alasan kami berada di sini.
“Kau dan pria itu? Bagaimana bisa? Apa kau sering datang ke tempat ini?” tanya Audrey sembari melirik ke belakang, tetapi aku terus menyuruhnya maju sampai kami berada di sofa dan sedikit menjauhi lantai dansa.
Dari spot ini, aku bisa bebas memperhatikan sekitar.
“Ya ampun, kau benar-benar penuh pertanyaan,” kataku sembari tetap waspada. “Dia itu salah satu bawahan Jaxon Bradwood, tentu saja aku tahu. Setiap kali Ayah mengundang mereka ke rumah, maka sebanyak itu pula aku bertemu dengannya,” jelasku yang membuat Audrey mengerti seketika.
“Jangan bilang, kau datang ke sini untuk bertemu Gavin,” desis Audrey yang otaknya mulai bekerja setelah melihat kepalaku berputar ke segala arah.
Aku memberinya kedikan bahu sebagai jawaban. Dia juga pasti sudah tahu.
“Astaga Krista! Kau benar-benar …!” geramnya sembari bersungut-sungut dan melipat kedua tangan di dada.
Sengaja kuabaikan Audrey dan terus mencari keberadaan pangeran berkuda putihku. Cukup lama kami duduk di sofa tanpa memesan apa-apa, karena kami berdua menolak untuk mabuk.
Bersenang-senang bukan tujuan utama ke sini, melainkan mencari keberadaan Gavin.
“Lima belas menit lagi dia tidak muncul, aku akan pulang,” ucap Audrey yang membuatku sedikit putus asa.
Tuhan, mengapa sulit sekali mencari keberadaan si pujaan hati.
Ternyata, Tuhan menjawab doa-ku lima menit kemudian. Bersama-sama kami melihat pada Gavin yang turun dari lantai dua menuju lantai dansa.
Senyumku yang tadinya mekar akhirnya sirna seketika. Karena kulihat dia tidak sendiri. Lagi-lagi ada wanita yang berjalan di sampingnya dan menggandeng dia mesra.
Dapat kurasakan tatapan dari Audrey yang pasti melihatku dengan penuh keraguan, namun aku menolak untuk kalah. Setiap hari hatiku selalu berbisik bahwa Gavin Caleston diciptakan untuk Krista Reid.Semua wanita di sekelilingnya hanyalah ujian cinta kami berdua.Aku tidak peduli bila orang-orang menentang hubungan ini, karena yang merasakan jantungku berdetak untuk Gavin hanyalah diriku sendiri.“Sepertinya kita datang disaat yang tidak tepat,” bisik Audrey yang mengikuti arah pandangku ke lantai dansa.Kami melihat Gavin yang sedang menggoyangkan pinggulnya ke tubuh seorang wanita. Dua orang itu bergerak seirama seolah memang diciptakan sepasang dengan sempurna, tetapi tetap saja aku menolak pemikiran tersebut, karena jelas sekali Gavin Caleston hanya untuk Krista Reid.“Krista, sebaiknya kita pulang,” ucap Audrey sembari menarik bajuku.“Tidak. Kita tunggu seberapa lama mereka bertahan di lantai dansa,” ka
Dua hari sudah berlalu sejak kejadian itu, tetapi rasa kesalnya masih terbawa sampai saat ini. Bahkan aku juga mengabaikan Ibu yang bercerita panjang lebar tentang rencana untuk berlibur ke Hawai.“Krista, apa kau tidak dengar?” tanya Ibu yang menghentikan cerita.Hhhh … aku dengar, hanya saja aku tidak diajak, jadi, untuk apa aku mendengarkan semua rencana Ibu yang hanya akan membuatku cemburu.“Iya, iya, Mom akan pergi bulan depan selama dua minggu,” kataku tidak antusias sembari menyeruput teh hangat. Aaahhh … memang disaat seperti ini cocok sekali dinikmati dengan secangkir teh dan juga cookies.Kudengar Ibu menghela napas karena aku sudah tidak berminat diajak bercerita.“Kau bisa membawa Audrey ke sini dan Ibu juga akan meminta Bethani untuk sering-sering berada di rumah,” kata Ibu berusaha menebus kesalahan karena meninggalkanku sendiri.“Hmm … Hmm …,” gumamku
Pagi ini aku merasa tidak semangat untuk bangun, bahkan rasanya berat ketika membuka loker dan menghadapi kelas selanjutnya. Bila perlu aku ingin tiduran di ruang UKS dan izin sakit, tetapi mengingat Ibu yang mengancam tidak akan memberi tiket konser Boyband STB yang diadakan dua bulan lagi, aku pun tidak ingin melakukan itu.Duh, mengapa sulit sekali menjadi remaja!Trust Fund-ku bahkan belum bisa dicairkan sebelum usiaku dua puluh enam. Apa kakek sengaja melakukan itu agar aku menderita! Bahkan setelah beliau meninggal pun, semua warisan diberi ke Ayah dan tidak sedikit menyisakan untuk-ku walau hanya satu cent.Beliau bilang; ‘Krista, kau masih terlalu muda untuk mengerti soal ini. Biar orang dewasa yang mengurus semua’ seolah-olah aku buta finansial.Apa susahnya memberiku satu juta dollar, kan uangnya tidak aku habiskan semua. Seriusan Kek, pasti akan kutabung, dan sisanya aku belikan mobil sport Buggati Veyron.“Krista, apa
Suasana dalam mobil terasa sunyi. Gavin sengaja mendiamkanku hingga atmosfir sekitar begitu sesak.Tidak tahan didiamkan, akhirnya aku menghidupkan musik dari radio, tetapi Gavin mematikanya dan membuat suasana hening kembali.Tidak mau kalah, aku pun menyalakan musik itu lagi, tetapi Gavin terus mematikan lagu dan menciptakan kebisuan di antara kami. Hal ini berulang sebanyak lima kali, hingga akhirnya aku menyerah dan duduk diam dengan wajah tertekuk kesal sembari menatap ke luar jendela.“Apa kau mau berkencan denganku besok?” tanyaku terus terang, berpikir ini adalah kesempatan baik untuk memulai pembicaraan kasual pertama kami.Kulihat Gavin mendengus dan terus menyetir tanpa mengatakan apa-apa, menjadikan hatiku berdenyut tidak nyaman.“Aku serius. Berkencanlah denganku besok,” ulangku lagi yang tetap diabaikan.Melihat rekasinya yang tidak antusias, aku pun menggembungkan pipi sembari mengetuk-ketuk jemari di d
Setelah kejadian beberapa hari yang lalu, aku memilih untuk tidak pergi keluar untuk mengikuti Gavin lagi, tetapi aku tetap mencari kabar tentang dia di Ingram yang ternyata tidaklah mudah. Nyaris semua sosial medianya tidak pernah up to date.Huft!Bila bukan karena Ayah, aku juga tidak akan diam saja.“Krista!” panggil Audrey yang membuatku memutar bola mata.Sejak tadi Audrey mengajaku untuk pulang cepat-cepat. Dia tidak ingin bertemu dengan Evan yang sejak tadi menunggu di gerbang.“Aku sudah dengar ketika kau memanggilku sekali, jangan berteriak-teriak,” desahku sembari mensejajarkan langkah dengan Audrey yang jalan terburu-buru hendak lari.Melihat kepala Evan yang selalu berputar ke arah sini, aku yakin dia sedang menunggu Audrey melewatinya, dan benar saja, sebelum kami melangkah keluar, Evan memanggilku karena bila dia memanggil Audrey pasti tidak begitu ditanggapi.Terkadang aku lelah dengan hubungan
Tatapan mataku dan Gavin saling bertemu. Langkahnya terhenti ketika menyadari kehadiranku dalam ruangan.Sekilas sekelebat emosi bermain di wajahnya yang rupawan, entah memang salah lihat atau mungkin saja benar bahwa dia juga memendam rindu, tetapi raut mukanya berubah keruh ketika matanya menangkap sosok Evan yang duduk di hadapanku.Sengaja untuk memancing reaksi, aku pun menyentuh telapak tangan Evan sedikit mesra yang dibalas Evan dengan sentuhan biasa.Sebelah alis Gavin naik sedikit, tetapi tidak kentara.Hatiku bersorak penuh kemenangan, karena ternyata dia menyadari keberadaanku dan gerakan kecil yang baru saja kulakukan.“Apa ada sesuatu di wajahku?” tanya Evan yang duduk membelakangi Gavin, seolah-olah fokusku padanya.Kali ini senyumku melembut seketika, sengaja bersikap sensual yang lagi-lagi terdengar suara gelas jatuh dalam restaurant.Ya ampun! Kemana pun aku pergi, selalu saja ada orang-orang yang kehilang
“Gavin, Baby, kenapa lama sekali?”Aku mendelik tajam pada wanita yang tadi bersama Gavin di resturan.Berani-beraniya dia memanggil Gavin dengan Baby.Wanita itu membalas tatapanku sama sengitnya.Melihat ada kemungkinan perkelahian, Gavin mendengus dan menarikku ke sisi tubuhnya, dan dia berkata pada si Jalang di hadapanku dengan suara rendah dan dingin.“Sebaiknya kau masuk ke dalam, urusanku masih belum selesai di sini, Reni.”Kulihat perubahan wajah wanita di hadapanku dengan menakjubkan. Ekspresi bersahabatnya menjadi keruh, dengan kulit wajah berubah merah padam.“Namaku Ralin, bukan Reni!” sergah wanita tersebut dengan kaki menghentak ke tanah sebelum akhirnya berbalik masuk ke dalam restaurant kembali.Kulirik Gavin yang menatap wanita itu tidak peduli, dan baru kusadari bahwa fokusnya masih tetap padaku.“Kenapa kau sengaja merubah nama wanita itu?” tanyaku
Mobil yang Gavin kendarai berjalan mulus di atas aspal.Aku melirik ke arahnya yang terlihat begitu konsentrasi hingga tidak ada waktu menatap ke arahku. Kali ini aku mencoba untuk menyalakan musik dari radio seperti sebelumnya, tetapi sampai dua buah judul lagu diputar, tidak sekali pun dia menyela. Membuatku yakin jika dia membiarkanku berbuat sesuka hati.“Kau mau berkencan denganku besok?”Aku tidak peduli bila melemparkan pertanyaan yang sama seperti sebelum-sebelumnya, karena tidak ada salahnya mencoba. Mungkin saja dia menyetujui kali ini.Gavin hanya melirikku sekilas sebelum menatap fokus ke depan. Dia pun menaikan volume suara musik hingga membuat gendang telingaku sedikit berdengung.Astaga, apa dia sengaja agar aku tidak mengajak bicara?Kubiarkan alunan musik dari radio, dan kutoel lengan tangannya yang menyetir.Dia melirikku lagi dengan ekspresi sedikit sebal.Uwu …. Tampannya!Tanpa ped
“Kemana kau akan membawaku?” tanya gadis itu ketika Gavin mengemudikan mobil menuju ke jalanan yang jauh dari kota, seolah-olah mereka menuju sebuah tempat terpencil.Dengan tatapan ingin tahu, Krista tidak bisa melepas pandangan pada pria yang menyetir di sebelah.Cukup lama Gavin akhirnya menjawab.“Kau akan tahu bila kita tiba,” ucap pria itu dengan senyuman simpul.Bahkan, Krista melihat sesuatu yang sangat tidak biasa dari cara Gavin menatapnya, seolah pria itu melihat bongkahan berlian dengan ekspresi antusias, yang seketika menghangatkan pipi gadis itu hingga bersemu merah.Bukannya kecanggungan yang tercipta, suasana di sekitar beruba
Saat terbangun pagi itu, Krista meraba sisi ranjang di sampingnya hanya untuk mendapati tempat itu terasa dingin, seolah-olah tidak ada tubuh yang berbaring di sana dalam waktu yang cukup lama. Seketika dia pun terkesiap dan terduduk sembari memperhatikan ke sekitar ruangan.Perlahan-lahan rasa takut mulai menjalari diri, membuat kepanikan menyelimuti hingga dia merasakan getir pada mulut.“Gavin,” panggil gadis itu, layaknya seseorang yang kehilangan.Dengan tergesa-gesa, Krista menyibak selimut sembari berlari keluar kamar menuju tangga ke lantai bawah.Napas gadis itu memburu ketika dia tiba-tiba saja melihat sosok Gavin tengah berdiri di dekat jendela di ruang keluarga dengan ponsel di telinga. Sembari menata napas, Krista memperhatikan pria di hadapan yang berpakaian sangat rapi dengan kemeja biru dongker membalut tubuh, lengkap dasi dan sepatu kulit hitam mengkilat.Mendengar suara yang berasa dari balik tubuhnya, pria itu p
Langit tampak mendung di pemakaman, membuat Krista mendongak sebentar sebelum memusatkan perhatian kembali pada dua batu nisan di hadapan.Lama dia terdiam, dengan kepala menunduk, menyembunyikan tangisan yang tadi sempat mengering.Sementara itu, Gavin yang berada di sampingnya sejak tadi hanya diam sembari mengawasi. Pria itu menatap batu nisan yang sering dia kunjungi selama beberapa tahun terakhir dengan tatapan sama sendunya dengan langit yang hendak menurunkan hujan.Dalam kesunyian yang menyelimuti, keheningan itu pun pecah dengan suara serak Krista yang berkata; “Terima kasih.”Mendengar ucapannya, Gavin hanya menoleh pelan.Kini, gadis itu memandang ke arahnya dengan mata yang basah kembali.“Terima kasih sudah merawat keduanya selama aku tidak ada,” lanjut Krista yang mendapat senyuman lemah.“Bagaimana kau tahu?” tanya Gavin lembut.Dia merapikan anak rambut gadis itu yang diterban
Sentuhan lembut di bahu membangunkan Krista. Tubuhnya menggeliat pelan sembari menoleh ke samping dengan mata sedikit terbuka. Kemudian, dia pun terdiam ketika mendapati wajah Gavin yang mengulas senyuman halus di wajah rupawannya.“Bangunlah sleepy head,” bisiknya pelan sembari mengelus pipi gadis itu.Krista tampak masih dikusai kantuk, membuat Gavin sedikit merasa bersalah telah membangunkan.“Kita ada di mana?” tanya Krista sembari melirik ke luar jendela.Dia pun terdiam saat mendapati bangunan yang sangat familiar.“Kita sudah tiba,” bisik Krista itu gugup saat menyadari mereka telah berada di dalam Kota Denver.Dengan cepat Gavin menggamit lengan gadis itu, lalu meremasnya hati-hati.“Ya. Aku akan membawamu ke tempatku,” ucap Gavin, tanpa melepaskan pegangan keduanya.Kepala Krista menunduk seketika, dia tahu bahwa Gavin mengerti perasaannya saat ini.“Ok
Gavin hendak membawa Krista ke dalam kamar hotel, saat tiba-tiba gadis itu menahannya.Mendapati mata Krista yang mendelik tajam, hati Gavin pun meringis melihat itu.“Masuklah, kita bisa bicarakan di dalam,” ucapnya, membuat Krista tampak ingin pergi, sehingga Gavin pun menangkup wajah gadis itu di antara kedua telapak tangan.Dia mendekatkan wajah dan berbisik pelan dengan tatapan mata yang lembut.“Kau tahu bahwa tidak ada pilihan untuk menghindariku, Baby Girl,” tambahnya sembari mengusap dagu Krista dengan kedua ibu jari penuh kehati-hatian. “Berkali-kali aku meminta kesempatan, namun kau tidak memberikannya. Dan ini satu-satunya cara yang kutahu untuk menghilangkan egomu itu.”Krista meremas jas yang melekat di tubuh Gavin. Dia ingin menumpahkan kemarahan, akan tetapi tatapan pria itu yang tulus membuatnya merenggangkan pegangan. Mata gadis itu berubah panas, sebelum akhirnya lelehan air mata bergulir pelan
Esok paginya, sebuah nada dering membangunkan Krista dari tidur lelap. Seketika dia terjaga dan meraba permukaan meja untuk mencari-cari benda pipih yang sangat ribut sejak tadi menjadi alarm pengganti.Namun, ketika melihat nama yang tertera di layar, seketika Krista menggeram kesal. Dia tidak ingin berbicara dengan pria tua itu di jam sepagi ini. Bisa-bisa mood-nya rusak seharian karena pastilah yang dibicarakan tidak jauh-jauh dari masalah hutang dan bank.Setelah mematikan ponsel, Krista kembali menarik selimut dan mengundang alam mimpi menyelimuti. Akan tetapi, suara gedoran keras yang berasal dari depan pintu membuat Krista menyibak selimut dengan gerakan marah.“Ini masih pagi!” hardiknya kesal.Kepala Krista berputar ke seluruh ruangan, mencari-cari keberadaan Linda yang ternyata tidak pulang sejak semalam.Sembari memijit pelipis, dia bergumam pelan; “Di saat semua orang memiliki kisah cinta yang berbunga, aku malah mende
Suasana hening di dalam mobil tampaknya tidak sedikit pun mengusik Gavin, karena sejak tadi dia terus mengulas senyuman sembari mengelus permukaan kulit Krista yang berada dalam genggaman.Sejak mereka berhenti di parkiran asrama, tidak satu pun dari keduanya keluar dari sana. Bahkan, rasa enggan berpisah terlihat jelas dari wajah Gavin yang terus memegangi tangan Krista.Pandangan pria itu tidak sedikit pun lepas, walau hanya sekedip saja. Seakan tidak ingin gadis itu pergi dan mereka kembali pada situasi semula.“Sebentar lagi libur semester, ikutlah denganku ke Denver,” ucap Gavin lembut.Mendengar itu, Krista membuang wajah dan menatap ke luar jendela. Tampaknya, dia masih belum menerima Gavin sepenuhnya. Atau mungkin, Gavin saja yang terlalu percaya diri bahwa hubungan mereka sudah lebih baik dari sebelumnya.“Jika kau tidak mau ke sana, aku akan menemanimu di sini,” tambahnya yang masih tidak Krista pedulikan.M
Sebuah tamparan mendarat di pipi Gavin hingga meninggalkan jejak merah seukuran lima jari.Seketika pria itu memejamkan mata, dan dia menarik napas panjang sebelum akhirnya membuka kelopak matanya kembali dengan tatapan mengunci pandangan mereka.Mata sebiru samudra yang diarahkan pada Krista menatap tulus, seolah mengisyaratkan bahwa dia akan menerima tamparan dari wanita itu sebanyak apa pun itu. Dan dengan jari-jemari yang mengelus pipi Krista lembuat, Gavin pun melontarkan pertanyaan yang sama kembali.“Maukah kau menikah denganku, Princess?” Tatapan matanya lurus ke depan, dan tidak sedikit pun dia membiarkan pandangan keduanya lepas.Lagi, satu tamparan mendarat di pipi Gavin yang seketika membuat kepalanya berputar Sembilan puluh derajat ke kiri.Tanpa mengatakan apa-apa, pria itu pun menoleh pelan untuk menatap Krista yang mendelik tajam dari balik bulu matanya yang basah. Bahkan, sebulir air matanya tampak menetes jatuh hingga
“Aku tidak bisa melakukannya,” jawab Jaxon dari seberang sambungan, membuat Krista terdiam seketika.Detak jantung gadis itu memompa cepat hingga keringat dingin membasahi telapak tangan.Susah payah Krista menata diri akan rasa tidak percaya yang perlahan menguasai.Saat dia hendak bertanya alasannya, pria itu pun menjawab dengan sendirinya.“Dengar, aku tahu bahwa kita punya kesepakatan, tapi untuk masalah ini aku benar-benar tidak bisa membantu. Kau bisa saja meminta yang lain, tapi kali ini aku angkat tangan.”Pembicaraan keduanya pun menjadi hening. Dan saat itulah Krista dapat mendengar suara serangga yang berasal dari danau di taman.Kini, matanya menatap lurus, pada siluet pria yang sabar menunggu di ujung jalan.Bila saja dia meneriakkan nama pria itu, maukah dia berlari ke tempatnya berdiri?Merasa diperhatikan, Gavin memiringkan kepala dan balas menatap dengan seksama. Seolah-olah dia me