Share

BAB 4

Author: Blezzia
last update Last Updated: 2021-02-12 18:27:08

Selama jamuan makan, aku memperhatikan Gavin yang tampak berbicara mesra dengan wanita di sebelah. Nama Nayla Quinn menjadi musuh dalam kamus ‘Mencari Cinta Gavin’, dan aku menandainya di urutan paling atas agar ingat betapa sakit hati pertemuan pertama Gavin membawa wanita lain.

Padahal dia sendiri yang memintaku untuk berjanji, tetapi dia mengingkari karena ternyata tidak menunggu sampai aku dewasa. Ugh! Ibu bisa-bisa membenarkan bahwa ini hanyalah mimpi monyet, begitu pula Audrey yang memastikan bahwa ini benar-benar cinta monyet. Aku memberi mosi tidak percaya, karena Gavin belum melihatku dengan benar dan seksama.

“Krista, jangan memainkan makananmu,” bisik Ibu yang duduk di sebelah.

“Aku tidak lapar,” balasku sama berbisik.

“Perhatikan etikamu, beberapa mata memperhatikan kita.”

Huft, aku ingin mengatakan pada Ibu bahwa mata-mata yang melihat ke sini bukan karena aku memainkan sendok di piring, tetapi memang karena aku selalu menarik perhatian banyak mata.

“Mom, aku tidak lapar,” bisik-ku lagi nyaris meninggikan suara. Ibu mendelik tajam hingga mau tidak mau aku bungkam.

Kembali kuperhatikan Gavin yang terang-terangan berbisik di telinga wanita itu tanpa malu. Seakan tidak ada orang lain di sekitar, dan dengan sadar aku menikam steak pada piringku. Benar-benar Gavin menyebalkan. Bisa-bisanya dia mengabaikan calon istrinya yang jelas-jelas duduk di seberang.

Jaxon menyembunyikan senyum dari balik gelas minuman, sedang matanya bagai pimpong melihat aku dan Gavin bergantian. Aku ingin menjulurkan lidah, tapi menahan diri saat Austin Walker mengatakan lelucon garing namun tetap mengundang tawa bapak-bapak di sekitar. Duh, mengapa Ibu selalu memaksaku hadir di jamuan makan malam tanpa mengundang remaja lain. Aku terlihat aneh di dalam kumpulan ini.

Belum lagi hatiku yang patah masih sakit menatap kemesraan Gavin dan plus one-nya itu. Menutup kedua telinga, aku pun memusatkan perhatian pada Gavin yang tampak ingin mencium Nayla. Kepalaku membayangkan menarik wanita itu menjauh, mengacak-acak rambut extension-nya, mencakar wajah mulus penuh make up tebal, lalu menyiram gaun malam itu dengan saus dan kecap.

Ugh! Aku benar-benar ingin melakukannya!

“Krista,” panggil suara berat baritone dari sebelah kiri.

Huh, sejak kapan Jaxon berpindah duduk?

“Kau memutilasi steakmu, lihat, tidak berbentuk.”

Aku menatap ke Steak-ku yang terpotong tidak beraturan. Kulirik Ibu yang masih sibuk berbincang dengan Nyonya Harque. Ah, untung saja Ibu tidak lihat.

“Sejak tadi kau menertawaiku, memangnya apa yang lucu?” desisku kesal.

Kali ini dia tidak tertawa, tetapi tersenyum dan kuikuti gerak matanya yang melirik ke arah Gavin.

Ugh, kalau pria itu benar-benar mencium jalang itu di hadapanku, akan kulepaskan Monster Krista dan memporak-porandakan siapa pun yang menghalangi jalan demi sampai ke hadapan jalang itu.

“Hey, kau harus bisa mengendalikan diri dan bersikap tidak terpengaruh pada sekitar,” saran Jaxon yang tentunya sulit kulakukan.

Aku orang yang sangat ekspresif, bagaimana mungkin bersikap void emosi. Bisa-bisa Ibu membawaku ke dokter gigi, karena hanya pada saat itu aku benar-benar tidak bicara.

“Aku orang yang sangat kreatif, diam saja hanya akan membuatku semakin gila,” kataku berbisik dengan suara rendah.

Jaxon sampai ikut merendahkan tubuh, dan mendengarkan perkataanku.

“Gavin sangat terbiasa dengan wanita yang selalu melemparkan tubuh padanya, jika kau menjadi sedikit dingin dan jaga jarak, dia pasti akan tertarik lalu mengejarmu. Percaya padaku, dia tidak peduli dengan wanita yang saat ini berada di sebelahnya, bahkan kau tanya pun siapa nama wanita itu, dia tidak akan hapal.”kata Jaxon sedikit menyadarkanku bahwa apa yang dia katakan, ada benarnya.

“Lalu, maksudmu aku diam saja dan menganggap dia lalat?”

“Tidak, bukan itu, tetapi bersikaplah biasa, dengan begitu dia akan penasaran. Jangan tunjukan kau tertarik padanya.”

Baiklah, sepertinya itu mudah. Bersikap biasa tanpa menunjukan perasaan. Akan kucoba.

“Ok,” kataku setuju. Jaxon memasang senyum, dan saat itulah kurasakan kehadiran seseorang di dekat kami.

Bersamaan aku dan Jaxon mengangkat kepala, tidak sadar sejak tadi wajah kami begitu dekat karena berbisik. Dan barulah aku sadar, banyak mata menatap kami penasaran.

“Jax, ingat ada Mia yang menunggumu di Aurelia,” ucap Gavin sembari melotot pada Jaxon.

Dari rumor yang beredar, aku dengar bahwa Jaxon tinggal di sebuah kastil bernama Aurelia yang berada di atas bukit emas, tetapi aku tidak tahu soal wanita di dalam hidupnya karena Jaxon sangat privat.

“Kau punya kekasih?” tanyaku spontan, tidak bisa menyembunyikan rasa penasaran.

Awalnya Jaxon menggeleng, namun berhenti, lalu mengangguk, berhenti, dan menggeleng, daaan … mengangguk. Okeeeey, jawaban yang benar apa?

“Dia punya kekasih dan dikurung di kastil,” jawab Gavin yang langsung mendapat delikan tajam dari Jaxon. Namun, wajah Jaxon berubah lembut saat menatap ke arahku.

“Gadis cantik, aku ingin berbicara dengan Ayahmu,” kata Jaxon sembari beranjak, “Aku permisi dulu.” Dan berlalu menuju ke arah Ayah yang duduk di sofa bersama beberapa pria.

Menyadari hanya Gavin dan Aku di sini, maka hati tanpa logikaku merasa bahwa ini adalah kesempatan, tanpa membuangnya aku pun memberanikan menawarkan diri.

“Kau mau berdansa denganku?” kataku berusaha terdengar biasa, seolah ditolak tidak masalah walau sebenarnya menyakitkan.

Saat kulihat Gavin menimbang ajakanku tanpa langsung mengiyakan, hatiku berdenyut ngilu, kepalaku mulai memaki hati yang tidak memiliki logika. Yah, tentu saja dia menolak, lagi pula dia datang bersama seorang wanita. Batinku merintih sakit mengingatnya.

“Baiklah,” jawabnya hingga membuat senyumku mengembang seketika.

Kulihat Gavin mematung sesaat, namun wajahnya kembali biasa dan membalas senyumku yang merekah. Bahkan suara gelas membentur lantai tidak lagi kupedulikan. Biar saja Ibu repot mengurusi pecahan gelas-gelas.

Kami berdua memasuki lantai dansa begitu terdengar melodi indah yang mengalun di seisi ruangan.

Gavin menaruh tangannya di pinggangku sedang satunya menggenggam telapak tanganku hangat, lalu mengayunku ke udara mengikuti irama. Rasanya aku ingin menyandar di dadanya yang bidang, membaui aroma tubuhnya yang bercampur cologne, lalu melupakan orang sekitar, tenggelam dalam dunia yang hanya milik berdua.

“Kau benar-benar lupa padaku?” tanyaku saat tubuh kami merapat.

Dia menatapku dengan wajah blank seperti kertas kosong tanpa tinta.

“Kau benar-benar lupa padaku,” kataku lebih seperti meyakinkan diri bahwa dia tidak pura-pura. Sepertinya perkataan Jaxon tidak benar semua. “Lima tahun lalu, kita bertemu di tempat ini, kau tidak ingat?” tanyaku lagi sembari mengingat percakapan kami yang terjadi di lantai dansa saat itu.

Bagaimana mungkin dia lupa, aku saja masih bisa mengingat jelas postur tubuh serta gaya berpakaiannya saat itu. Setiap kata yang keluar dari bibir sensualnya masih jelas terpatri di kepala. Tapi Gavin tetap menatapku tanpa menjawab. Matanya seakan memeta lekuk di setiap wajahku. Mungkin berusaha mengingat siapa aku lima tahun lalu.

“Gadis kecil tiga belas tahun yang mengatakan akan menikah denganmu,” kataku pada akhirnya, menjawab pertanyaan yang tergurat jelas di keningnya.

Bagaikan bunga yang mekar, wajah itu mengingat kembali identitasku. Tapi sayangnya, secepat itu pula dia layu begitu menatap mataku kembali.

“Tidak mungkin,” bisiknya.

“Aku tidak percaya kau lupa, padahal kau sendiri yang bilang ketika aku dewasa kau akan menikah denganku bila perasaanku masih tetap ada,” bisik-ku sembari menyandarkan kepala di dadanya yang bidang, seperti saat pertama aku membayangkan.

Namun, bukan kebahagiaan karena berhasil mengingat kembali, tubuh itu malah tegang dan dengan cepat sesi dansa berakhir ketika dia menjauhkan tubuh kami berdua. Membuat jarak yang jauh.

Tanpa kata-kata, Gavin meninggalkanku sendiri di tengah lantai dansa bersama orang-orang yang masih berputar mengikuti alunan musik.

Aku melihat nanar pada punggungnya yang tenggelam dalam keramaian, hatiku terasa sakit ditinggal tanpa alasan. Dia bahkan tidak menjawab lamaran yang barusan. Bukan ini yang kuimpikan. Seharusnya dia memainkan ukulele, atau mungkin piano, lalu berlutut di hadapanku hingga semua orang bersorak mengucapkan selamat setelah kukatakan I do.

Tanpa melihat sekitar, aku berjalan menuju toilet, bahkan tidak peduli apakah Ibu atau Ayah melihat yang barusan.

Baru saja aku mencuci muka untuk mendinginkan kepala, saat kulihat gaun merah yang dipakai oleh Nayla ditangkap ekor mataku. Dia mendekat tepat di belakang, tetapi kuabaikan, pura-pura sibuk mencuci muka.

“Kulihat kau sangat akrab dengan Jaxon Bradwood dan juga Gavin Caleston. Seharusnya anak kecil sepertimu tidak bermain dengan orang dewasa, fokus belajar agar mimpimu tercapai,” kata wanita itu penuh racun. Jelas sekali dia menahan diri untuk tidak meninggikan suara, takut menarik perhatian yang hanya akan merusak reputasi.

“Itu bukan urusanmu, mimpiku jug bukan urusanmu,” desisku sama kesalnya.

Siapa dia, ibuku juga bukan.

“Kau masih kecil, tidak seharusnya mengejar pria lebih tua.”

Oh, aku tidak tahan lagi!

“Siapa yang anak kecil? Dibandingkan dada palsumu, punyaku lebih asli. Bahkan aku bisa jamin ukuranku lebih besar dibanding milikmu yang seukuran jeruk,” sindirku sembari memerhatikan penampilannya dari ujung kepala hingga kaki.

Tidak peduli bila Ibu menceramahi panjang lebar soal etika, tetapi wanita ini berani menghinaku.

“Dasar jalang! Mau jadi apa setelah dewasa? Wanita murahan? Masih kecil ucapanmu tidak sopan!” pekiknya.

“Jaga ucapanmu, Ayahku seorang Mayor!”

“Kau bahkan tidak mirip Levi Reid, berani-beraninya mengakui.”

Saat dia melihat mataku mulai membara, wanita itu kembali memancing.

“Kau tahu, meski kau bersikap murahan dengan menggoda Gavin, malam ini yang menghangatkan ranjangnya adalah aku. Bukan kau. Jadi, anak haram sepertimu sebaiknya menyingkir dan jangan mencoba-coba mendekati Gavin,” desis si Jalang Nayla yang benar-benar membuatku marah.

Aku hendak menjambak rambutnya, saat tiba-tiba seorang wanita masuk ke dalam.

Kami berdua terdiam, karena pertama aku tidak ingin Ibu tahu kejadian tidak sengaja kali ini, hanya akan bikin malu, dan kedua aku tidak ingin Jaxon mengejeku tidak sabaran karena terpancing emosi terlibat pertengkaran.

“Urusan kita belum selesai,” kataku ketika wanita baru itu masuk ke dalam salah satu toilet.

Dengan wajah angkuh terangkat ke udara, si Jalang Nayla meninggalkanku.

Kutarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Perkataannya tentang aku yang anak haram tidaklah menyakitkan karena jelas sekali aku bukan anak haram, hanya spekulasi karena aku tidak mirip Ayah dan Ibu, tetapi perkataan si Jalang itu tentang menghabiskan malam dengan Gavin benar-benar menghunjam hatiku dengan sembilu yang sakitnya tidak terkira.

Ah, aku tidak boleh menangis. Ibu bilang gadis cengeng dibenci laki-laki.

Dengan langkah berat aku meninggalkan toilet, dan berjalan menuju lantai dansa, mencari Ibu untuk pamit duluan ke kamar. Tetapi langkahku terhenti saat melihat si Jalang Nayla berdansa dengan Gavin.

Keduanya terlihat mesra mengikuti irama. Bahkan kepala wanita itu bersandar di dada Gavin yang sudah kupastikan hangat dan kokoh. Ada seringai di bibirnya begitu melihatku yang memperhatikan dari kejauhan, si Jalang Nayla bahkan sengaja mendekatkan bibir ke telinga Gavin membuat pria itu tertawa sedang mata jalang itu terus memerhatikan reaksiku.

Walau Jaxon bilang aku harus mengendalikan diri, tetapi aku juga tidak bisa berlama-lama melihat yang begitu. Dengan berat hati kutinggalkan lantai dansa tanpa meminta izin Ibu lebih dulu.

Related chapters

  • Dear Gavin (INDONESIA)   BAB 5

    Setelah kejadian makan malam waktu itu, aku bertekad untuk menunjukan pada Gavin bahwa aku tidak pernah ingkar dengan janji yang telah dibuat. Kami bahkan sudah melakukan Pinky Promise dan mengesahkannya dengan saling menautkan jemari.Perduli setan dengan Si Jalang Nayla, Karena pada akhirnya aku yang akan memiliki Gavin dengan utuh!Baiklah, pertama-tama aku harus menyusun strategi agar memudahkan hubungan kami berdua.Selama ini aku membiarkan Gavin hidup bebas tanpa peduli kabar tentang kehidupan dia di luar sana, tetapi kali ini aku tidak akan duduk manis dan menunggu Gavin menyadari perasaannya. Bisa-bisa dia menemukan wanita lain dan posisi-ku digantikan orang lain.Tidak akan kubiarkan!Begitu jam pelajaran terakhir selesai, aku mencari Audrey yang sudah menunggu di parkiran. Dia menatapku dengan pandangan heran karena jelas sekali masih ada sisa-sisa kemarahan malam kemarin yang tidak sengaja dibawa ke sekolah.“Ada apa dengan

    Last Updated : 2021-03-26
  • Dear Gavin (INDONESIA)   BAB 6

    Dapat kurasakan tatapan dari Audrey yang pasti melihatku dengan penuh keraguan, namun aku menolak untuk kalah. Setiap hari hatiku selalu berbisik bahwa Gavin Caleston diciptakan untuk Krista Reid.Semua wanita di sekelilingnya hanyalah ujian cinta kami berdua.Aku tidak peduli bila orang-orang menentang hubungan ini, karena yang merasakan jantungku berdetak untuk Gavin hanyalah diriku sendiri.“Sepertinya kita datang disaat yang tidak tepat,” bisik Audrey yang mengikuti arah pandangku ke lantai dansa.Kami melihat Gavin yang sedang menggoyangkan pinggulnya ke tubuh seorang wanita. Dua orang itu bergerak seirama seolah memang diciptakan sepasang dengan sempurna, tetapi tetap saja aku menolak pemikiran tersebut, karena jelas sekali Gavin Caleston hanya untuk Krista Reid.“Krista, sebaiknya kita pulang,” ucap Audrey sembari menarik bajuku.“Tidak. Kita tunggu seberapa lama mereka bertahan di lantai dansa,” ka

    Last Updated : 2021-03-26
  • Dear Gavin (INDONESIA)   BAB 7

    Dua hari sudah berlalu sejak kejadian itu, tetapi rasa kesalnya masih terbawa sampai saat ini. Bahkan aku juga mengabaikan Ibu yang bercerita panjang lebar tentang rencana untuk berlibur ke Hawai.“Krista, apa kau tidak dengar?” tanya Ibu yang menghentikan cerita.Hhhh … aku dengar, hanya saja aku tidak diajak, jadi, untuk apa aku mendengarkan semua rencana Ibu yang hanya akan membuatku cemburu.“Iya, iya, Mom akan pergi bulan depan selama dua minggu,” kataku tidak antusias sembari menyeruput teh hangat. Aaahhh … memang disaat seperti ini cocok sekali dinikmati dengan secangkir teh dan juga cookies.Kudengar Ibu menghela napas karena aku sudah tidak berminat diajak bercerita.“Kau bisa membawa Audrey ke sini dan Ibu juga akan meminta Bethani untuk sering-sering berada di rumah,” kata Ibu berusaha menebus kesalahan karena meninggalkanku sendiri.“Hmm … Hmm …,” gumamku

    Last Updated : 2021-03-26
  • Dear Gavin (INDONESIA)   BAB 8

    Pagi ini aku merasa tidak semangat untuk bangun, bahkan rasanya berat ketika membuka loker dan menghadapi kelas selanjutnya. Bila perlu aku ingin tiduran di ruang UKS dan izin sakit, tetapi mengingat Ibu yang mengancam tidak akan memberi tiket konser Boyband STB yang diadakan dua bulan lagi, aku pun tidak ingin melakukan itu.Duh, mengapa sulit sekali menjadi remaja!Trust Fund-ku bahkan belum bisa dicairkan sebelum usiaku dua puluh enam. Apa kakek sengaja melakukan itu agar aku menderita! Bahkan setelah beliau meninggal pun, semua warisan diberi ke Ayah dan tidak sedikit menyisakan untuk-ku walau hanya satu cent.Beliau bilang; ‘Krista, kau masih terlalu muda untuk mengerti soal ini. Biar orang dewasa yang mengurus semua’ seolah-olah aku buta finansial.Apa susahnya memberiku satu juta dollar, kan uangnya tidak aku habiskan semua. Seriusan Kek, pasti akan kutabung, dan sisanya aku belikan mobil sport Buggati Veyron.“Krista, apa

    Last Updated : 2021-03-26
  • Dear Gavin (INDONESIA)   BAB 9

    Suasana dalam mobil terasa sunyi. Gavin sengaja mendiamkanku hingga atmosfir sekitar begitu sesak.Tidak tahan didiamkan, akhirnya aku menghidupkan musik dari radio, tetapi Gavin mematikanya dan membuat suasana hening kembali.Tidak mau kalah, aku pun menyalakan musik itu lagi, tetapi Gavin terus mematikan lagu dan menciptakan kebisuan di antara kami. Hal ini berulang sebanyak lima kali, hingga akhirnya aku menyerah dan duduk diam dengan wajah tertekuk kesal sembari menatap ke luar jendela.“Apa kau mau berkencan denganku besok?” tanyaku terus terang, berpikir ini adalah kesempatan baik untuk memulai pembicaraan kasual pertama kami.Kulihat Gavin mendengus dan terus menyetir tanpa mengatakan apa-apa, menjadikan hatiku berdenyut tidak nyaman.“Aku serius. Berkencanlah denganku besok,” ulangku lagi yang tetap diabaikan.Melihat rekasinya yang tidak antusias, aku pun menggembungkan pipi sembari mengetuk-ketuk jemari di d

    Last Updated : 2021-03-26
  • Dear Gavin (INDONESIA)   BAB 10

    Setelah kejadian beberapa hari yang lalu, aku memilih untuk tidak pergi keluar untuk mengikuti Gavin lagi, tetapi aku tetap mencari kabar tentang dia di Ingram yang ternyata tidaklah mudah. Nyaris semua sosial medianya tidak pernah up to date.Huft!Bila bukan karena Ayah, aku juga tidak akan diam saja.“Krista!” panggil Audrey yang membuatku memutar bola mata.Sejak tadi Audrey mengajaku untuk pulang cepat-cepat. Dia tidak ingin bertemu dengan Evan yang sejak tadi menunggu di gerbang.“Aku sudah dengar ketika kau memanggilku sekali, jangan berteriak-teriak,” desahku sembari mensejajarkan langkah dengan Audrey yang jalan terburu-buru hendak lari.Melihat kepala Evan yang selalu berputar ke arah sini, aku yakin dia sedang menunggu Audrey melewatinya, dan benar saja, sebelum kami melangkah keluar, Evan memanggilku karena bila dia memanggil Audrey pasti tidak begitu ditanggapi.Terkadang aku lelah dengan hubungan

    Last Updated : 2021-04-03
  • Dear Gavin (INDONESIA)   BAB 11

    Tatapan mataku dan Gavin saling bertemu. Langkahnya terhenti ketika menyadari kehadiranku dalam ruangan.Sekilas sekelebat emosi bermain di wajahnya yang rupawan, entah memang salah lihat atau mungkin saja benar bahwa dia juga memendam rindu, tetapi raut mukanya berubah keruh ketika matanya menangkap sosok Evan yang duduk di hadapanku.Sengaja untuk memancing reaksi, aku pun menyentuh telapak tangan Evan sedikit mesra yang dibalas Evan dengan sentuhan biasa.Sebelah alis Gavin naik sedikit, tetapi tidak kentara.Hatiku bersorak penuh kemenangan, karena ternyata dia menyadari keberadaanku dan gerakan kecil yang baru saja kulakukan.“Apa ada sesuatu di wajahku?” tanya Evan yang duduk membelakangi Gavin, seolah-olah fokusku padanya.Kali ini senyumku melembut seketika, sengaja bersikap sensual yang lagi-lagi terdengar suara gelas jatuh dalam restaurant.Ya ampun! Kemana pun aku pergi, selalu saja ada orang-orang yang kehilang

    Last Updated : 2021-04-26
  • Dear Gavin (INDONESIA)   BAB 12

    “Gavin, Baby, kenapa lama sekali?”Aku mendelik tajam pada wanita yang tadi bersama Gavin di resturan.Berani-beraniya dia memanggil Gavin dengan Baby.Wanita itu membalas tatapanku sama sengitnya.Melihat ada kemungkinan perkelahian, Gavin mendengus dan menarikku ke sisi tubuhnya, dan dia berkata pada si Jalang di hadapanku dengan suara rendah dan dingin.“Sebaiknya kau masuk ke dalam, urusanku masih belum selesai di sini, Reni.”Kulihat perubahan wajah wanita di hadapanku dengan menakjubkan. Ekspresi bersahabatnya menjadi keruh, dengan kulit wajah berubah merah padam.“Namaku Ralin, bukan Reni!” sergah wanita tersebut dengan kaki menghentak ke tanah sebelum akhirnya berbalik masuk ke dalam restaurant kembali.Kulirik Gavin yang menatap wanita itu tidak peduli, dan baru kusadari bahwa fokusnya masih tetap padaku.“Kenapa kau sengaja merubah nama wanita itu?” tanyaku

    Last Updated : 2021-04-26

Latest chapter

  • Dear Gavin (INDONESIA)   -TAMAT-

    “Kemana kau akan membawaku?” tanya gadis itu ketika Gavin mengemudikan mobil menuju ke jalanan yang jauh dari kota, seolah-olah mereka menuju sebuah tempat terpencil.Dengan tatapan ingin tahu, Krista tidak bisa melepas pandangan pada pria yang menyetir di sebelah.Cukup lama Gavin akhirnya menjawab.“Kau akan tahu bila kita tiba,” ucap pria itu dengan senyuman simpul.Bahkan, Krista melihat sesuatu yang sangat tidak biasa dari cara Gavin menatapnya, seolah pria itu melihat bongkahan berlian dengan ekspresi antusias, yang seketika menghangatkan pipi gadis itu hingga bersemu merah.Bukannya kecanggungan yang tercipta, suasana di sekitar beruba

  • Dear Gavin (INDONESIA)   BAB 68

    Saat terbangun pagi itu, Krista meraba sisi ranjang di sampingnya hanya untuk mendapati tempat itu terasa dingin, seolah-olah tidak ada tubuh yang berbaring di sana dalam waktu yang cukup lama. Seketika dia pun terkesiap dan terduduk sembari memperhatikan ke sekitar ruangan.Perlahan-lahan rasa takut mulai menjalari diri, membuat kepanikan menyelimuti hingga dia merasakan getir pada mulut.“Gavin,” panggil gadis itu, layaknya seseorang yang kehilangan.Dengan tergesa-gesa, Krista menyibak selimut sembari berlari keluar kamar menuju tangga ke lantai bawah.Napas gadis itu memburu ketika dia tiba-tiba saja melihat sosok Gavin tengah berdiri di dekat jendela di ruang keluarga dengan ponsel di telinga. Sembari menata napas, Krista memperhatikan pria di hadapan yang berpakaian sangat rapi dengan kemeja biru dongker membalut tubuh, lengkap dasi dan sepatu kulit hitam mengkilat.Mendengar suara yang berasa dari balik tubuhnya, pria itu p

  • Dear Gavin (INDONESIA)   BAB 67

    Langit tampak mendung di pemakaman, membuat Krista mendongak sebentar sebelum memusatkan perhatian kembali pada dua batu nisan di hadapan.Lama dia terdiam, dengan kepala menunduk, menyembunyikan tangisan yang tadi sempat mengering.Sementara itu, Gavin yang berada di sampingnya sejak tadi hanya diam sembari mengawasi. Pria itu menatap batu nisan yang sering dia kunjungi selama beberapa tahun terakhir dengan tatapan sama sendunya dengan langit yang hendak menurunkan hujan.Dalam kesunyian yang menyelimuti, keheningan itu pun pecah dengan suara serak Krista yang berkata; “Terima kasih.”Mendengar ucapannya, Gavin hanya menoleh pelan.Kini, gadis itu memandang ke arahnya dengan mata yang basah kembali.“Terima kasih sudah merawat keduanya selama aku tidak ada,” lanjut Krista yang mendapat senyuman lemah.“Bagaimana kau tahu?” tanya Gavin lembut.Dia merapikan anak rambut gadis itu yang diterban

  • Dear Gavin (INDONESIA)   BAB 66

    Sentuhan lembut di bahu membangunkan Krista. Tubuhnya menggeliat pelan sembari menoleh ke samping dengan mata sedikit terbuka. Kemudian, dia pun terdiam ketika mendapati wajah Gavin yang mengulas senyuman halus di wajah rupawannya.“Bangunlah sleepy head,” bisiknya pelan sembari mengelus pipi gadis itu.Krista tampak masih dikusai kantuk, membuat Gavin sedikit merasa bersalah telah membangunkan.“Kita ada di mana?” tanya Krista sembari melirik ke luar jendela.Dia pun terdiam saat mendapati bangunan yang sangat familiar.“Kita sudah tiba,” bisik Krista itu gugup saat menyadari mereka telah berada di dalam Kota Denver.Dengan cepat Gavin menggamit lengan gadis itu, lalu meremasnya hati-hati.“Ya. Aku akan membawamu ke tempatku,” ucap Gavin, tanpa melepaskan pegangan keduanya.Kepala Krista menunduk seketika, dia tahu bahwa Gavin mengerti perasaannya saat ini.“Ok

  • Dear Gavin (INDONESIA)   BAB 65

    Gavin hendak membawa Krista ke dalam kamar hotel, saat tiba-tiba gadis itu menahannya.Mendapati mata Krista yang mendelik tajam, hati Gavin pun meringis melihat itu.“Masuklah, kita bisa bicarakan di dalam,” ucapnya, membuat Krista tampak ingin pergi, sehingga Gavin pun menangkup wajah gadis itu di antara kedua telapak tangan.Dia mendekatkan wajah dan berbisik pelan dengan tatapan mata yang lembut.“Kau tahu bahwa tidak ada pilihan untuk menghindariku, Baby Girl,” tambahnya sembari mengusap dagu Krista dengan kedua ibu jari penuh kehati-hatian. “Berkali-kali aku meminta kesempatan, namun kau tidak memberikannya. Dan ini satu-satunya cara yang kutahu untuk menghilangkan egomu itu.”Krista meremas jas yang melekat di tubuh Gavin. Dia ingin menumpahkan kemarahan, akan tetapi tatapan pria itu yang tulus membuatnya merenggangkan pegangan. Mata gadis itu berubah panas, sebelum akhirnya lelehan air mata bergulir pelan

  • Dear Gavin (INDONESIA)   BAB 64

    Esok paginya, sebuah nada dering membangunkan Krista dari tidur lelap. Seketika dia terjaga dan meraba permukaan meja untuk mencari-cari benda pipih yang sangat ribut sejak tadi menjadi alarm pengganti.Namun, ketika melihat nama yang tertera di layar, seketika Krista menggeram kesal. Dia tidak ingin berbicara dengan pria tua itu di jam sepagi ini. Bisa-bisa mood-nya rusak seharian karena pastilah yang dibicarakan tidak jauh-jauh dari masalah hutang dan bank.Setelah mematikan ponsel, Krista kembali menarik selimut dan mengundang alam mimpi menyelimuti. Akan tetapi, suara gedoran keras yang berasal dari depan pintu membuat Krista menyibak selimut dengan gerakan marah.“Ini masih pagi!” hardiknya kesal.Kepala Krista berputar ke seluruh ruangan, mencari-cari keberadaan Linda yang ternyata tidak pulang sejak semalam.Sembari memijit pelipis, dia bergumam pelan; “Di saat semua orang memiliki kisah cinta yang berbunga, aku malah mende

  • Dear Gavin (INDONESIA)   BAB 63

    Suasana hening di dalam mobil tampaknya tidak sedikit pun mengusik Gavin, karena sejak tadi dia terus mengulas senyuman sembari mengelus permukaan kulit Krista yang berada dalam genggaman.Sejak mereka berhenti di parkiran asrama, tidak satu pun dari keduanya keluar dari sana. Bahkan, rasa enggan berpisah terlihat jelas dari wajah Gavin yang terus memegangi tangan Krista.Pandangan pria itu tidak sedikit pun lepas, walau hanya sekedip saja. Seakan tidak ingin gadis itu pergi dan mereka kembali pada situasi semula.“Sebentar lagi libur semester, ikutlah denganku ke Denver,” ucap Gavin lembut.Mendengar itu, Krista membuang wajah dan menatap ke luar jendela. Tampaknya, dia masih belum menerima Gavin sepenuhnya. Atau mungkin, Gavin saja yang terlalu percaya diri bahwa hubungan mereka sudah lebih baik dari sebelumnya.“Jika kau tidak mau ke sana, aku akan menemanimu di sini,” tambahnya yang masih tidak Krista pedulikan.M

  • Dear Gavin (INDONESIA)   BAB 62

    Sebuah tamparan mendarat di pipi Gavin hingga meninggalkan jejak merah seukuran lima jari.Seketika pria itu memejamkan mata, dan dia menarik napas panjang sebelum akhirnya membuka kelopak matanya kembali dengan tatapan mengunci pandangan mereka.Mata sebiru samudra yang diarahkan pada Krista menatap tulus, seolah mengisyaratkan bahwa dia akan menerima tamparan dari wanita itu sebanyak apa pun itu. Dan dengan jari-jemari yang mengelus pipi Krista lembuat, Gavin pun melontarkan pertanyaan yang sama kembali.“Maukah kau menikah denganku, Princess?” Tatapan matanya lurus ke depan, dan tidak sedikit pun dia membiarkan pandangan keduanya lepas.Lagi, satu tamparan mendarat di pipi Gavin yang seketika membuat kepalanya berputar Sembilan puluh derajat ke kiri.Tanpa mengatakan apa-apa, pria itu pun menoleh pelan untuk menatap Krista yang mendelik tajam dari balik bulu matanya yang basah. Bahkan, sebulir air matanya tampak menetes jatuh hingga

  • Dear Gavin (INDONESIA)   BAB 61

    “Aku tidak bisa melakukannya,” jawab Jaxon dari seberang sambungan, membuat Krista terdiam seketika.Detak jantung gadis itu memompa cepat hingga keringat dingin membasahi telapak tangan.Susah payah Krista menata diri akan rasa tidak percaya yang perlahan menguasai.Saat dia hendak bertanya alasannya, pria itu pun menjawab dengan sendirinya.“Dengar, aku tahu bahwa kita punya kesepakatan, tapi untuk masalah ini aku benar-benar tidak bisa membantu. Kau bisa saja meminta yang lain, tapi kali ini aku angkat tangan.”Pembicaraan keduanya pun menjadi hening. Dan saat itulah Krista dapat mendengar suara serangga yang berasal dari danau di taman.Kini, matanya menatap lurus, pada siluet pria yang sabar menunggu di ujung jalan.Bila saja dia meneriakkan nama pria itu, maukah dia berlari ke tempatnya berdiri?Merasa diperhatikan, Gavin memiringkan kepala dan balas menatap dengan seksama. Seolah-olah dia me

DMCA.com Protection Status