Baru saja aku keluar dari toilet saat teman dekatku, Audrey Jewel memanggil dari arah kantin. Ya ampun Audry, aku sedang tidak ingin bertemu denganmu. Bukannya kemarin dia sendiri yang bilang untuk tidak menyapa, mengapa selalu dia yang lebih dulu melanggar.
“Krista!” pekiknya hingga menarik perhatian seisi kantin dan koridor.
Duh, sekarang semua orang memperhatikan kami seperti sirkus.
“Ada apa kau memanggilku?” kataku berusaha ketus, tetapi Audrey malah nyengir kuda tanpa dosa.
“Ada berita baik yang ingin kusampaikan,” katanya dengan mata berbinar.
“Maksudmu, berita baik untukmu tetapi buruk untukku?” sindirku tidak halus sama sekali.
Senyum Audrey semakin lebar yang mana semakin membuatku yakin dia benar-benar ingin mengajak pertengkaran.
“Ya ampun, kau sensitif sekali,” sungutnya sembari melingkarkan tangan ke lenganku. Dan begitu saja, pertengkaran kami yang tadi terlupakan tanpa beban. Kurasa ada yang salah dengan kepala kami berdua.
“Kau tahu, Evan Sawyer mengajaku ke prom night!” serunya setengah menari di koridor, membuatku nyaris malu melihat kelakuannya itu.
Bahkan beberapa junior memperhatikan sembari menyembunyikan tawa.
“Selamat kalau begitu!” seruku pura-pura bersemangat. Aslinya memang aku senang si bodoh itu menyadari perasaannya dan memutuskan mengajak Audrey ke prom night, jika kemarin aku tidak menggetok kepalanya mungkin otaknya tidak bergeser dan berfungsi dengan benar.
“Ayolah, Evan itu sangat baik. Dia bahkan mengajaku makan malam ke Fontana dua bulan lagi,” bisik Audrey penuh konspirasi karena La Fontana bukan restaurant biasa yang sulit mendapatkan reservasi. Butuh waktu berbulan-bulan untuk bisa makan di sana.
“Memangnya Ibumu mengizinkan kau pergi keluar bersama laki-laki?” tanyaku balik, karena Ibu Audrey wanita yang sulit dan konservatif. Dia bahkan melarang Audrey memakai jeans, katanya tuhan melarang wanita berpakaian seperti laki-laki.
“Sebentar lagi usiaku delapan belas, Duh,” ujarnya memutar bola mata.
Aku melempar delikan tajam pada Audrey. Dasar tidak sopan.
“Bibi bilang aku bisa pindah mencari apartemen baru, bahkan Ibu tidak bisa melarangku,” jelasnya.
Audrey tidak lahir dalam keluarga berlimpah materi. Dia dibesarkan oleh seorang Ibu dan Bibi Flo yang tinggal di sebuah apartemen sewaan dekat pinggir Kota Denver. Orang-orang bahkan heran mengapa kami bisa berteman dekat. Pertemanan antara anak seorang Mayor dengan anak mantan pelacur sangatlah kontras berbeda, tetapi Ibu tidak pernah melarangku berteman dengan siapa saja. Dia bahkan menyayangi Audrey seperti anak sendiri. Setiap Audrey menginap, Ibu selalu menyambut dengan bahagia, namun Ayah sedikit berbeda. Dia memang tidak mengatakan apa-apa, namun bersikap dingin setiap Audrey ke rumah.
“Biar kubantu mencari tempatmu yang baru, mungkin Mason bisa membantu,” kataku menawarkan diri.
“Siapa itu Mason?”
Mata hazelnya menatapku bingung.
“Kami bertemu di salah satu acara gala saat Ayah membawaku ke sana. Lalu Mason menghampiri saat Ayah pergi menemui seseorang. Mason bekerja di Red Cage, dia membantuku membelikan tiket menonton pertunjukan di sana. Karena kau tidak bisa keluar malam, aku pergi sendiri. Dia mengenal banyak orang, mungkin Mason bisa membantu menanyakan tempat yang baru.”
Audrey mendengarkan dengan seksama, dan wajahnya berubah penasaran.
“Aku sangat ingin menonton pertunjukan di Red Cage!” serunya lagi kembali menarik banyak perhatian beberapa kepala.
“Ya ampun, sabar, kalau usiamu menjadi delapan belas kita bisa pergi ke sana bersama. Mason juga berjanji akan memberiku tiket baru jika aku meminta.”
“Bagaimana pertunjukan di sana? Apa seseru yang orang-orang bilang?” bisik Audrey kali ini lebih pelan, karena pembicaraan tentang Red Cage dianggap tabu di Denver.
“Seru sekali!” kataku jujur. “Apa lagi saat salah satu dari mereka tergeletak di lantai, dan pemenangnya diumumkan. Benar-benar pengalaman yang tidak bisa dilupakan. Kau tahu, bahkan aku tidak mengira saat pria bertarung bisa menjadi begitu seksi. Aku penasaran bagaimana pangeran berkuda putihku di atas arena,” kataku bercerita panjang lebar sembari membayangkan Gavin melakukan gerakan yang sama seperti Joe di arena saat itu.
Ya ampun, dia pasti seksi sekali.
Aduh, pikiranku jadi kotor lagi.
Tetapi ceritaku berhenti tiba-tiba saat melihat wajah Audrey yang memandangiku seakan tumbuh sulur di sekitar wajahku.
“Terkadang aku berpikir untuk menyeretmu ke psikiater untuk memeriksa apakah ada jiwa psikopat di tubuhmu,” gumamnya dengan wajah horror.
“Hey! Aku hanya suka olahraga tinju, itu saja,” kataku membela diri.
“Apa kau tidak ingat kalau kau juga suka memukul semua laki-laki yang kau anggap menyebalkan, padahal mereka hanya menatapmu saja. Belum lagi kau menendang salah satu pengawal ayahmu pada bagian … itu… hanya karena dia mengatakan kau seksi.”
Kali ini aku yang menatap Audrey seakan bulu hidungnya tumbuh menutupi wajah.
“Mereka tidak hanya sekedar menatap, tetapi berusaha menelanjangiku melalui mata,” desisku, lalu menambahkan; “Pengawal Daddy hendak menyentuh bokongku saat aku lewat, dia pantas mendapatkannya. Untung saja sekretaris Daddy ada di sana, kalau tidak, adik kecil pria itu tidak akan berfungsi.”
Audrey menghela napas dan menatapku frustrasi.
Yah, whatever.
“Kembali ke acara prom night. Kau akan mengajak siapa, sejak kemarin kau selalu merahasiakan siapa yang ingin kau ajak.”
Nah, aku memang tidak pernah bilang pada Audrey bahwa aku sudah memiliki kandidat, tetapi menyembunyikan lama-lama juga akan terbongkar.
Bukankah kabar baik itu harus disebar.
“Aku akan mengajak Gavin, tetapi belum sempat bertemu. Kebetulan besok Daddy akan mengadakan jamuan makan malam, jadi besok aku berencana mengutarakan padanya.”
Sungguh aku tidak sabar bertemu Gavin lalu mengajaknya ke acara prom night, tetapi sepertinya Audrey tidak seantusias diriku, tatapannya malah seperti orang kehilangan lidah. Tidak tahu harus berkata-kata.
“Katakan padaku cinta monyet masa anak-anak itu tidak menjadikanmu terobsesi pada Gavin yang malang,” gumamnya dengan suara rendah sembari menatap kanan-kiri takut pada dinding akan tumbuh telinga yang dapat berbisik pada Gavin.
“Aku tidak terobesesi, jangan bersikap sama seperti Ibuku seakan aku gila,” delik-ku tajam.
Mereka berdua sama saja, tidak memahami perasaanku yang tulus. Padahal keduanya tahu bahwa Gavin sendiri yang bilang jika aku dewasa datang padanya agar kami segera menikah.
“Krista, usianya sangat jauh dengan kita yang remaja, hampir sepuluh tahun.”
Aku tidak peduli, walau dia kakek-kakek sekali pun. Hanya Gavin pria yang ingin kunikahi.
“Kau mendukungku atau tidak?”
Kini Audrey memilih kata-katanya jika dia tidak ingin persahabatan kami berakhir detik ini juga. Dia tahu kesetiannya ada padaku, bukan pada perbedaan usiaku dan Gavin.
“Baiklah-baiklah, kau bebas bermimpi. Aku dukung sepenuh hati,” katanya walau jelas sekali hatinya tidak penuh, setengah saja tidak sampai.
“Ok, baiklah. Sebentar lagi masuk pelajaran ke-tiga, lebih baik kita ke kelas sebelum kita berpapasan dengan Evan dan membuat jantungmu berpacu tidak karuan.”
Audrey menatapku malu-malu. Duh, sahabatku ini polos sekali. Tidak seharusnya dia takut saat berpapasan dengan Evan, pria itu bahkan seperti poodle ketika bertemu Audrey, layaknya idiot yang lidahnya terikat.
Kapan kau dewasa Evan.
Malam ini Ayah dan Ibu bersiap untuk menyambut tamu. Mereka bahkan mewanti-wanti agar aku tidak membuat masalah dan menasihati panjang lebar apa yang boleh dan tidak boleh kulakukan. Karena kata Ayah dia mengundang hampir seluruh anggota Red Cage, jadi aku tidak boleh mempermalukan mereka. Ibu bahkan berpesan, kelakukanku adalah cerminan Ayah sebagai seorang Mayor, sehingga aku harus jadi anak manis walau hanya semalam.Duh, memangnya kapan aku pernah bikin malu mereka?Ehm … padahal dua minggu lalu aku hanya tidak sengaja menyiram wajah Natasha dengan wine karena dia membuka mulutnya terlalu lebar dan mengatakan sesuatu yang tidak pantas hingga tanganku bergerak sendiri menyiramkan wine ke wajahnya.Sebulan yang lalu aku juga tidak sengaja menendang kemaluan Austin Walker si tuan rumah acara amal karena dia bilang tidak sengaja saat menyentuh payudaraku.Nah, see, aku hanya tidak sengaja.Kali ini aku akan berusaha bersikap manis agar membe
Selama jamuan makan, aku memperhatikan Gavin yang tampak berbicara mesra dengan wanita di sebelah. Nama Nayla Quinn menjadi musuh dalam kamus ‘Mencari Cinta Gavin’, dan aku menandainya di urutan paling atas agar ingat betapa sakit hati pertemuan pertama Gavin membawa wanita lain.Padahal dia sendiri yang memintaku untuk berjanji, tetapi dia mengingkari karena ternyata tidak menunggu sampai aku dewasa. Ugh! Ibu bisa-bisa membenarkan bahwa ini hanyalah mimpi monyet, begitu pula Audrey yang memastikan bahwa ini benar-benar cinta monyet. Aku memberi mosi tidak percaya, karena Gavin belum melihatku dengan benar dan seksama.“Krista, jangan memainkan makananmu,” bisik Ibu yang duduk di sebelah.“Aku tidak lapar,” balasku sama berbisik.“Perhatikan etikamu, beberapa mata memperhatikan kita.”Huft, aku ingin mengatakan pada Ibu bahwa mata-mata yang melihat ke sini bukan karena aku memainkan sendok di piring,
Setelah kejadian makan malam waktu itu, aku bertekad untuk menunjukan pada Gavin bahwa aku tidak pernah ingkar dengan janji yang telah dibuat. Kami bahkan sudah melakukan Pinky Promise dan mengesahkannya dengan saling menautkan jemari.Perduli setan dengan Si Jalang Nayla, Karena pada akhirnya aku yang akan memiliki Gavin dengan utuh!Baiklah, pertama-tama aku harus menyusun strategi agar memudahkan hubungan kami berdua.Selama ini aku membiarkan Gavin hidup bebas tanpa peduli kabar tentang kehidupan dia di luar sana, tetapi kali ini aku tidak akan duduk manis dan menunggu Gavin menyadari perasaannya. Bisa-bisa dia menemukan wanita lain dan posisi-ku digantikan orang lain.Tidak akan kubiarkan!Begitu jam pelajaran terakhir selesai, aku mencari Audrey yang sudah menunggu di parkiran. Dia menatapku dengan pandangan heran karena jelas sekali masih ada sisa-sisa kemarahan malam kemarin yang tidak sengaja dibawa ke sekolah.“Ada apa dengan
Dapat kurasakan tatapan dari Audrey yang pasti melihatku dengan penuh keraguan, namun aku menolak untuk kalah. Setiap hari hatiku selalu berbisik bahwa Gavin Caleston diciptakan untuk Krista Reid.Semua wanita di sekelilingnya hanyalah ujian cinta kami berdua.Aku tidak peduli bila orang-orang menentang hubungan ini, karena yang merasakan jantungku berdetak untuk Gavin hanyalah diriku sendiri.“Sepertinya kita datang disaat yang tidak tepat,” bisik Audrey yang mengikuti arah pandangku ke lantai dansa.Kami melihat Gavin yang sedang menggoyangkan pinggulnya ke tubuh seorang wanita. Dua orang itu bergerak seirama seolah memang diciptakan sepasang dengan sempurna, tetapi tetap saja aku menolak pemikiran tersebut, karena jelas sekali Gavin Caleston hanya untuk Krista Reid.“Krista, sebaiknya kita pulang,” ucap Audrey sembari menarik bajuku.“Tidak. Kita tunggu seberapa lama mereka bertahan di lantai dansa,” ka
Dua hari sudah berlalu sejak kejadian itu, tetapi rasa kesalnya masih terbawa sampai saat ini. Bahkan aku juga mengabaikan Ibu yang bercerita panjang lebar tentang rencana untuk berlibur ke Hawai.“Krista, apa kau tidak dengar?” tanya Ibu yang menghentikan cerita.Hhhh … aku dengar, hanya saja aku tidak diajak, jadi, untuk apa aku mendengarkan semua rencana Ibu yang hanya akan membuatku cemburu.“Iya, iya, Mom akan pergi bulan depan selama dua minggu,” kataku tidak antusias sembari menyeruput teh hangat. Aaahhh … memang disaat seperti ini cocok sekali dinikmati dengan secangkir teh dan juga cookies.Kudengar Ibu menghela napas karena aku sudah tidak berminat diajak bercerita.“Kau bisa membawa Audrey ke sini dan Ibu juga akan meminta Bethani untuk sering-sering berada di rumah,” kata Ibu berusaha menebus kesalahan karena meninggalkanku sendiri.“Hmm … Hmm …,” gumamku
Pagi ini aku merasa tidak semangat untuk bangun, bahkan rasanya berat ketika membuka loker dan menghadapi kelas selanjutnya. Bila perlu aku ingin tiduran di ruang UKS dan izin sakit, tetapi mengingat Ibu yang mengancam tidak akan memberi tiket konser Boyband STB yang diadakan dua bulan lagi, aku pun tidak ingin melakukan itu.Duh, mengapa sulit sekali menjadi remaja!Trust Fund-ku bahkan belum bisa dicairkan sebelum usiaku dua puluh enam. Apa kakek sengaja melakukan itu agar aku menderita! Bahkan setelah beliau meninggal pun, semua warisan diberi ke Ayah dan tidak sedikit menyisakan untuk-ku walau hanya satu cent.Beliau bilang; ‘Krista, kau masih terlalu muda untuk mengerti soal ini. Biar orang dewasa yang mengurus semua’ seolah-olah aku buta finansial.Apa susahnya memberiku satu juta dollar, kan uangnya tidak aku habiskan semua. Seriusan Kek, pasti akan kutabung, dan sisanya aku belikan mobil sport Buggati Veyron.“Krista, apa
Suasana dalam mobil terasa sunyi. Gavin sengaja mendiamkanku hingga atmosfir sekitar begitu sesak.Tidak tahan didiamkan, akhirnya aku menghidupkan musik dari radio, tetapi Gavin mematikanya dan membuat suasana hening kembali.Tidak mau kalah, aku pun menyalakan musik itu lagi, tetapi Gavin terus mematikan lagu dan menciptakan kebisuan di antara kami. Hal ini berulang sebanyak lima kali, hingga akhirnya aku menyerah dan duduk diam dengan wajah tertekuk kesal sembari menatap ke luar jendela.“Apa kau mau berkencan denganku besok?” tanyaku terus terang, berpikir ini adalah kesempatan baik untuk memulai pembicaraan kasual pertama kami.Kulihat Gavin mendengus dan terus menyetir tanpa mengatakan apa-apa, menjadikan hatiku berdenyut tidak nyaman.“Aku serius. Berkencanlah denganku besok,” ulangku lagi yang tetap diabaikan.Melihat rekasinya yang tidak antusias, aku pun menggembungkan pipi sembari mengetuk-ketuk jemari di d
Setelah kejadian beberapa hari yang lalu, aku memilih untuk tidak pergi keluar untuk mengikuti Gavin lagi, tetapi aku tetap mencari kabar tentang dia di Ingram yang ternyata tidaklah mudah. Nyaris semua sosial medianya tidak pernah up to date.Huft!Bila bukan karena Ayah, aku juga tidak akan diam saja.“Krista!” panggil Audrey yang membuatku memutar bola mata.Sejak tadi Audrey mengajaku untuk pulang cepat-cepat. Dia tidak ingin bertemu dengan Evan yang sejak tadi menunggu di gerbang.“Aku sudah dengar ketika kau memanggilku sekali, jangan berteriak-teriak,” desahku sembari mensejajarkan langkah dengan Audrey yang jalan terburu-buru hendak lari.Melihat kepala Evan yang selalu berputar ke arah sini, aku yakin dia sedang menunggu Audrey melewatinya, dan benar saja, sebelum kami melangkah keluar, Evan memanggilku karena bila dia memanggil Audrey pasti tidak begitu ditanggapi.Terkadang aku lelah dengan hubungan
“Kemana kau akan membawaku?” tanya gadis itu ketika Gavin mengemudikan mobil menuju ke jalanan yang jauh dari kota, seolah-olah mereka menuju sebuah tempat terpencil.Dengan tatapan ingin tahu, Krista tidak bisa melepas pandangan pada pria yang menyetir di sebelah.Cukup lama Gavin akhirnya menjawab.“Kau akan tahu bila kita tiba,” ucap pria itu dengan senyuman simpul.Bahkan, Krista melihat sesuatu yang sangat tidak biasa dari cara Gavin menatapnya, seolah pria itu melihat bongkahan berlian dengan ekspresi antusias, yang seketika menghangatkan pipi gadis itu hingga bersemu merah.Bukannya kecanggungan yang tercipta, suasana di sekitar beruba
Saat terbangun pagi itu, Krista meraba sisi ranjang di sampingnya hanya untuk mendapati tempat itu terasa dingin, seolah-olah tidak ada tubuh yang berbaring di sana dalam waktu yang cukup lama. Seketika dia pun terkesiap dan terduduk sembari memperhatikan ke sekitar ruangan.Perlahan-lahan rasa takut mulai menjalari diri, membuat kepanikan menyelimuti hingga dia merasakan getir pada mulut.“Gavin,” panggil gadis itu, layaknya seseorang yang kehilangan.Dengan tergesa-gesa, Krista menyibak selimut sembari berlari keluar kamar menuju tangga ke lantai bawah.Napas gadis itu memburu ketika dia tiba-tiba saja melihat sosok Gavin tengah berdiri di dekat jendela di ruang keluarga dengan ponsel di telinga. Sembari menata napas, Krista memperhatikan pria di hadapan yang berpakaian sangat rapi dengan kemeja biru dongker membalut tubuh, lengkap dasi dan sepatu kulit hitam mengkilat.Mendengar suara yang berasa dari balik tubuhnya, pria itu p
Langit tampak mendung di pemakaman, membuat Krista mendongak sebentar sebelum memusatkan perhatian kembali pada dua batu nisan di hadapan.Lama dia terdiam, dengan kepala menunduk, menyembunyikan tangisan yang tadi sempat mengering.Sementara itu, Gavin yang berada di sampingnya sejak tadi hanya diam sembari mengawasi. Pria itu menatap batu nisan yang sering dia kunjungi selama beberapa tahun terakhir dengan tatapan sama sendunya dengan langit yang hendak menurunkan hujan.Dalam kesunyian yang menyelimuti, keheningan itu pun pecah dengan suara serak Krista yang berkata; “Terima kasih.”Mendengar ucapannya, Gavin hanya menoleh pelan.Kini, gadis itu memandang ke arahnya dengan mata yang basah kembali.“Terima kasih sudah merawat keduanya selama aku tidak ada,” lanjut Krista yang mendapat senyuman lemah.“Bagaimana kau tahu?” tanya Gavin lembut.Dia merapikan anak rambut gadis itu yang diterban
Sentuhan lembut di bahu membangunkan Krista. Tubuhnya menggeliat pelan sembari menoleh ke samping dengan mata sedikit terbuka. Kemudian, dia pun terdiam ketika mendapati wajah Gavin yang mengulas senyuman halus di wajah rupawannya.“Bangunlah sleepy head,” bisiknya pelan sembari mengelus pipi gadis itu.Krista tampak masih dikusai kantuk, membuat Gavin sedikit merasa bersalah telah membangunkan.“Kita ada di mana?” tanya Krista sembari melirik ke luar jendela.Dia pun terdiam saat mendapati bangunan yang sangat familiar.“Kita sudah tiba,” bisik Krista itu gugup saat menyadari mereka telah berada di dalam Kota Denver.Dengan cepat Gavin menggamit lengan gadis itu, lalu meremasnya hati-hati.“Ya. Aku akan membawamu ke tempatku,” ucap Gavin, tanpa melepaskan pegangan keduanya.Kepala Krista menunduk seketika, dia tahu bahwa Gavin mengerti perasaannya saat ini.“Ok
Gavin hendak membawa Krista ke dalam kamar hotel, saat tiba-tiba gadis itu menahannya.Mendapati mata Krista yang mendelik tajam, hati Gavin pun meringis melihat itu.“Masuklah, kita bisa bicarakan di dalam,” ucapnya, membuat Krista tampak ingin pergi, sehingga Gavin pun menangkup wajah gadis itu di antara kedua telapak tangan.Dia mendekatkan wajah dan berbisik pelan dengan tatapan mata yang lembut.“Kau tahu bahwa tidak ada pilihan untuk menghindariku, Baby Girl,” tambahnya sembari mengusap dagu Krista dengan kedua ibu jari penuh kehati-hatian. “Berkali-kali aku meminta kesempatan, namun kau tidak memberikannya. Dan ini satu-satunya cara yang kutahu untuk menghilangkan egomu itu.”Krista meremas jas yang melekat di tubuh Gavin. Dia ingin menumpahkan kemarahan, akan tetapi tatapan pria itu yang tulus membuatnya merenggangkan pegangan. Mata gadis itu berubah panas, sebelum akhirnya lelehan air mata bergulir pelan
Esok paginya, sebuah nada dering membangunkan Krista dari tidur lelap. Seketika dia terjaga dan meraba permukaan meja untuk mencari-cari benda pipih yang sangat ribut sejak tadi menjadi alarm pengganti.Namun, ketika melihat nama yang tertera di layar, seketika Krista menggeram kesal. Dia tidak ingin berbicara dengan pria tua itu di jam sepagi ini. Bisa-bisa mood-nya rusak seharian karena pastilah yang dibicarakan tidak jauh-jauh dari masalah hutang dan bank.Setelah mematikan ponsel, Krista kembali menarik selimut dan mengundang alam mimpi menyelimuti. Akan tetapi, suara gedoran keras yang berasal dari depan pintu membuat Krista menyibak selimut dengan gerakan marah.“Ini masih pagi!” hardiknya kesal.Kepala Krista berputar ke seluruh ruangan, mencari-cari keberadaan Linda yang ternyata tidak pulang sejak semalam.Sembari memijit pelipis, dia bergumam pelan; “Di saat semua orang memiliki kisah cinta yang berbunga, aku malah mende
Suasana hening di dalam mobil tampaknya tidak sedikit pun mengusik Gavin, karena sejak tadi dia terus mengulas senyuman sembari mengelus permukaan kulit Krista yang berada dalam genggaman.Sejak mereka berhenti di parkiran asrama, tidak satu pun dari keduanya keluar dari sana. Bahkan, rasa enggan berpisah terlihat jelas dari wajah Gavin yang terus memegangi tangan Krista.Pandangan pria itu tidak sedikit pun lepas, walau hanya sekedip saja. Seakan tidak ingin gadis itu pergi dan mereka kembali pada situasi semula.“Sebentar lagi libur semester, ikutlah denganku ke Denver,” ucap Gavin lembut.Mendengar itu, Krista membuang wajah dan menatap ke luar jendela. Tampaknya, dia masih belum menerima Gavin sepenuhnya. Atau mungkin, Gavin saja yang terlalu percaya diri bahwa hubungan mereka sudah lebih baik dari sebelumnya.“Jika kau tidak mau ke sana, aku akan menemanimu di sini,” tambahnya yang masih tidak Krista pedulikan.M
Sebuah tamparan mendarat di pipi Gavin hingga meninggalkan jejak merah seukuran lima jari.Seketika pria itu memejamkan mata, dan dia menarik napas panjang sebelum akhirnya membuka kelopak matanya kembali dengan tatapan mengunci pandangan mereka.Mata sebiru samudra yang diarahkan pada Krista menatap tulus, seolah mengisyaratkan bahwa dia akan menerima tamparan dari wanita itu sebanyak apa pun itu. Dan dengan jari-jemari yang mengelus pipi Krista lembuat, Gavin pun melontarkan pertanyaan yang sama kembali.“Maukah kau menikah denganku, Princess?” Tatapan matanya lurus ke depan, dan tidak sedikit pun dia membiarkan pandangan keduanya lepas.Lagi, satu tamparan mendarat di pipi Gavin yang seketika membuat kepalanya berputar Sembilan puluh derajat ke kiri.Tanpa mengatakan apa-apa, pria itu pun menoleh pelan untuk menatap Krista yang mendelik tajam dari balik bulu matanya yang basah. Bahkan, sebulir air matanya tampak menetes jatuh hingga
“Aku tidak bisa melakukannya,” jawab Jaxon dari seberang sambungan, membuat Krista terdiam seketika.Detak jantung gadis itu memompa cepat hingga keringat dingin membasahi telapak tangan.Susah payah Krista menata diri akan rasa tidak percaya yang perlahan menguasai.Saat dia hendak bertanya alasannya, pria itu pun menjawab dengan sendirinya.“Dengar, aku tahu bahwa kita punya kesepakatan, tapi untuk masalah ini aku benar-benar tidak bisa membantu. Kau bisa saja meminta yang lain, tapi kali ini aku angkat tangan.”Pembicaraan keduanya pun menjadi hening. Dan saat itulah Krista dapat mendengar suara serangga yang berasal dari danau di taman.Kini, matanya menatap lurus, pada siluet pria yang sabar menunggu di ujung jalan.Bila saja dia meneriakkan nama pria itu, maukah dia berlari ke tempatnya berdiri?Merasa diperhatikan, Gavin memiringkan kepala dan balas menatap dengan seksama. Seolah-olah dia me