Atha menghentikan langkahnya ketika seekor merpati yang amat familiar dengannya terbang rendah menghampirinya, Atha menyodorkan tangannya dan mengundang merpati itu untuk bertengger di tangannya.
"Mari kembali, kupikir kak Kanzo pasti sudah menaburkan makananmu di lapangan sana!"
Atha mendekap merpati itu dan melanjutkan langkahnya yang tertunda. Di tengah desau angin yang menenangkan jiwa, terdengar lantunan ayat Al-Qur'an, begitu merdu, merasuki sanubari.
Atha menghirup nafas sedalam mungkin, mendadak udara disekitarnya lebih segar dari pada sebelumnya, Atha melangkahkan kakinya dengan riang, menikmati suasana menyenangkan sore ini.
Langkah kakinya melambat ketika di antara desau angin terdengar lantunan Al-Qur'an dengan suara merdu dari jarak dekat. Atha tahu surat ini, surat yang sangat ia sukai setelah Al-Ikhlas dan Al-Mulk.
"رب المشرقين و رب المغربين. فباي الاء ربكما تكذبن. مرج البحرين يلتقين. بينهما برزخ لا يبغين. فباي الاء ربكما تكذبن. يخرج منهما اللؤلؤ والمرجان. فباي الاء ربكما تكذبن. وله الجوار المنشأت في البحر كا العلام. فباي الاء ربكما تكذبن.كل من عليها فان. و يبقى وجه ربك ذو الجلل والاكرام. فباي الاء ربكما تكذبن. يسئله من فى السموات و الارض, كل يوم هو فى شاءن. فباي الاء ربكما تكذبن. سنفرغ لكم ايه الثقلن. فباي الاء ربكما تكذبن. يمعشر الجن و الانس ان استطعتم ان تنفدوا من اقطار السموات والارض فانفذوا, لا تنفذون الا بسلطان. فباي الاء ربكما تكذبن. يرسل عليكما شواظ من نار و نحاس فلا تنتصران. فباي الاء ربكما تكذبن. فاذا انشقت السماء فكانت وردة كالدهان. فباي الاء ربكما تكذبن. فيومئذ لا يسئل عن ذنبه انس ولا جان. "
"Astaghfirullah!" jerit Atha- yang menikmati qiroah Qur'an Kanzo yang duduk dibalik pohon- terpeleset.
Sontak membuat Kanzo menghentikan acara melalarnya, dan bangkit menghampiri Atha. "Atha.. kamu.."
"Aku baik-baik aja kok, Kak," tutur Atha meringis, memegangi pergelangan kakinya yang terasa ngilu.
"Bisa jalan sendiri ga?" tanya Kanzo yang semakin cemas ketika Atha malah terduduk lama dan memegangi kakinya, raut wajah gadis itu jelas menjabarkan berapa level sakit yang ia rasakan.
"In Sya Allah," lirih Atha setelah menghela nafas pelan, air matanya jatuh.
"Sakit banget ya, Tha? Aku bantu berdiri ya?" tawar Kanzo sembari menggigit bibirnya, bingung harus melakukan apa, ia sendiri tak pernah berada di posisi seperti ini.
"Ga usah, ga perlu," tolak Atha cepat.
"Tapi kamu," desis Kanzo serba salah.
Atha meraih batang pohon di sampingnya dan berpegangan, ia berhasil berdiri. Tepat ketika ia mulai melangkahkan kakinya, ia limbung ke belakang. Terjatuh tepat di pelukan Kanzo.
Atha menggigit bibirnya, jantungnya yang berdebar tak beraturan malah membuatnya tak bisa berpikir jernih. Kanzo menatap Atha iba, kemudian atas inisiatifnya sendiri ia meraih lutut Atha dan mengangkatnya.
Atha menjerit kecil.
"Aku bawa kamu ke panti, aku ga yakin kamu bisa jalan dengan keadaan begini," putus Kanzo tanpa menatap Atha.
"Tapi.." Atha baru akan meminta Kanzo untuk menurunkannya, tapi nyeri dikakinya kambuh, ia kembali meringis.
"Aku langsung bawa ke klinik aja, ya? Daripada langsung ke kamar nanti ga dapat obat," ucap Kanzo setelah berpikir sejenak.
"Langsung ke kamar aja," sahut Atha.
"Kakimu bisa bengkak, Tha," paksa Kanzo dengan nada khawatir.
"Malu tahu, masa iya aku ke klinik kaya gini?!" Pipinya yang bersemu membuatnya harus memalingkan wajahnya ke arah dada Kanzo, agar Kanzo tak melihatnya.
"Terus maumu gimana? Ga ada kursi roda di panti. Adanya di klinik," gerutu Kanzo, ia punya firasat buruk untuk hal ini.
"Turunin aja disini, terus kamu ambilin kursi rodanya ya.." Atha memelas.
"Tuh kan!" decak Kanzo yang sudah menduga sejak awal.
"Apa? Kalo ga mau ya turunin aku di sini, aku jalan sendiri,". ucap Atha mengambek.
Kanzo menimbang sejenak "Oke, aku ambilin! Jangan ke mana-mana," peringat Kanzo sebelum berbalik dan mengambil langkah ke arah klinik dengan langkah lebar.
15 menit kemudian Kanzo kembali dengan kursi roda. Lalu mengangkat Atha ke atasnya dan mendorongnya.
"Kak Kanzo apain calon kakak iparku?!" sorak Kahlil, suaranya yang cukup keras membuat seisi lapangan menoleh pada Kanzo.
Kanzo yang terus berjalan tanpa menghiraukan Kahlil, membuat Kahlil gemas dan mendatangi mereka. Tapi Kahlil memasang raut terkejut ketika melihat wajah tertunduk Atha menahan rasa sakit.
"Atha.. Kamu ga papa?" serbu Kahlil.
"Ga bisa dibilang ga apa-apa, dia ga bisa jalan," sahut Kanzo acuh.
"Lah kenapa?" Kahlil kaget.
"Kepleset tadi, di belakang," jelas Kanzo tersenyum tipis, tiba-tiba ia merasa bersalah.
"Kak Kanzo yang dorong, ya?" tuduh Kahlil.
"Fitnah aja.. Aku tadi muroja'ah hafalanku, terus lihat Atha jatuh." Kanzo mencebik.
"Terus kak Kanzo gendong, tapi Atha nolak. Dan minta dibawain kursi roda. Gitu?" tebak Kahlil terkikik.
"Kalo ga ada kerjaan, mending kerjain PR liburanmu deh," sahut Kanzo menatap Kahlil sengit.
"Tau aja PR ku belum selesai," gerutu Kahlil berdecak.
"Udah sana! Kamu ga bakal ikut ke klinik 'kan?" sindir Kanzo.
"Iya, aku balik.." Kahlil melengos. Meninggalkan kakaknya yang menahan senyum.
[{}{}{}]
Maise mengetuk pintu kamar Atha yang tertutup, di tangannya terdapat semangkuk sup yang sejak dulu selalu disukai Atha.
Maise mengetuk sekali lagi ketika tak mendapat jawaban dari dalam kamar. Setelah menimbang sejenak, Maise memilih masuk. Ia khawatir pada Atha. Ia dengar dari salah satu pengurus kalau Atha terpeleset di belakang gedung putih, dan dibawa Kanzo ke klinik.
Mengingat hal terakhir ia selalu ingin tersenyum sendiri, bayangan Kanzo kecil yang selalu memintanya membuat sup terbayang. Dalam hatinya, ia berharap Kanzo adalah jodoh Atha.
Maise meletakkan mangkuknya dengan hati-hati agar tak menimbulkan suara yang dapat mengganggu Atha. Ia lalu meraih kursi di samping meja belajar dan meletakkan di samping ranjang untuknya duduk. Ia mengamati wajah Atha yang sangat tenang dan polos, rambutnya yang putih seakan melengkapi kecantikan tersebut.
###
"Bi... Atha jangan dibiarin keluar dong! Kasihan kepanasan," sorak Kanzo suatu hari ketika Maise menyuruh Atha memanggil Kanzo untuk membawakan kunci gudang.
"Cuma Atha yang ada di sampingku saat ini, Kanzo." Maise tersenyum pada Atha yang juga membalas senyumnya.
"Kan Bibi bisa bilang ke Atha buat panggilin anak lain. Gedung putih jauh, Bi," sela Kanzo.
"Kak Kanzo kenapa, sih? Aku yang diperintah aja biasa aja.." ujar Atha tersenyum kecil, meski Maise tahu bahwa di hati Atha, ia merasa sedikit jengkel.
"Kamu tuh gampang sakit Atha, kulitmu sensitif," gerutu Kanzo berusaha memberi pengertian.
"Tapi aku baik-baik aja sekarang!" seru Atha balas membentak.
Kanzo menutup matanya untuk menebalkan rasa sabarnya, "Aku cuma khawatir sama kamu, Tha."
"Khawatirnya kakak itu berlebihan, masa apa-apa ga boleh, beresin perpustakaan ga boleh, kuras kolam ga boleh, nyapu lapangan ga boleh, ini ga boleh, itu ga boleh, sekalian aja besok aku ga boleh hidup sekalian!"
"ATHA!" bentak Kanzo yang diliputi amarah.
Atha tersentak kaget, air matanya mengalir tanpa aba-aba, dan itu membuat Kanzo merasa amat bersalah. Sekarang Atha terisak, "AKU BENCI KAK KANZO!" Atha menghentakkan kakinya lalu berbalik meninggalkan Maise berdua bersama Kanzo.
Sepeninggal Atha, Kanzo mengerang jengkel.
"Kamu sayang sama Atha?" Maise bertanya tanpa banyak basa-basi.
Kanzo menegang, menatap Maise dengan tatapan yang tak dapat diartikan, sejenak kemudian mengangguk dengan raut wajah yang benar-benar datar.
###
Maise ingat, banyak sekali kenangan Kanzo dengan Atha yang baginya sangat berharga untuk dilupakan.
###
"Atha kenapa nutupi wajahnya gitu?" Kahlil menunjuk Atha yang berlarian dengan tangan yang memegangi hijab untuk menutupi wajahnya.
"Dia ga tahan panas, kulitnya bakal memerah kalo kena cahaya matahari. Albino sih emang gitu," tutur Kanzo menatap Atha lekat.
"Tumben tahu gituan?" sindir Kahlil berkedok tanya.
"Tadi lihat di internet," balas Kanzo memutar bola matanya.
"Hm... Paling sengaja cari biar bisa tahu tentang Atha lebih banyak," cibir Kahlil.
"Selain ga tahan panas, albino juga ga tahan dingin." sambung Kanzo mengabaikan Kahlil.
"Jadi itu alasannya, Atha pake selimut tebel waktu tidur." Kahlil manggut-manggut.
"Hah?! Kamu pernah lihat Atha tidur?!" sorak Kanzo kaget.
"Ye, cemburu," ejek Kahlil.
"Bi, ini." Atha menyerahkan 2 tongkat galah pada Maise, namun diambil paksa oleh Kanzo.
"Aku ngambil buat Bibi, bukan buat Kak Kanzo," ketus Atha merengut.
Kanzo mendebat ia jelas tak mau kalah, "Tapi aku yang bakal ambil mangganya."
Setelah menghela nafas jengkel, Atha berlari ke arah dinding panti, dan berdiri di sana agar terlindung dari sinar matahari. Atha mengernyit heran ketika Kanzo menyerahkan galah tersebut pada Maise dan Kahlil, lalu menghampirinya.
Atha tetap melirik Kanzo melalui sudut matanya, Kanzo tersenyum kecil lalu ikut bersandar pada dinding, dengan jarak 30 centimeter dari Atha.
Tak betah berdiam dalam keheningan, Kanzo melontarkan tanya, "Apakah salah satu dari orang tuamu adalah albino?"
Atha menggeleng. "Tidak, genetika resesif dari ibu yang membuatku berbeda. Kelainan bawaan hipopigmentasi membuat seluruh tubuhku termasuk rambutku berwarna putih. Sebenarnya aku menderita miopi yang cukup parah, alasan kenapa aku selalu memakai lensa," terang Atha, menghela nafas pelan.
"Oh begitu. Aku tidak melihatmu sebagai albino saat pertama kali menjumpaimu di lapangan dahulu. Karena cahaya matahari sore membuat alismu berwarna oranye, tapi ketika kamu mengakui bahwa matamu berwarna merah, aku mengerti."
"Apa aku terlihat begitu mencolok?"
"Apa aku terlihat begitu mencolok?" Atha menatap Kanzo meminta jawaban, di negaranya dahulu ia selalu direndahkan, tak punya teman dan selalu sendirian. Alasan kenapa ia lebih suka tempat ini, hangat dan penuh kasih sayang serta kepedulian. Maise terharu ketika Atha bercerita tentang perasaannya. "Ya.. Kulitmu yang putih itu terutama, apalagi aku yang punya darah Jepang saja kalah putih. Padahal disekolah aku juga mencolok." Kanzo terkekeh menjaabatkan fakta. Ia tak bisa membayangkan jika Atha sekolah di tempat yang sama dengannya, ia berpikir bagaimana tatapan semua murid kepada Atha yang tampak begitu unik dan cantik. "Sama dong, di sekolahku dulu, aku juga gitu. Malah lebih parah lagi. Karena dapat sanjungan dari guru yang terkenal killer, aku dijauhi teman sekelas, bahkan jadi bahan bully-an," curhat Atha, ia tersenyum ketika mengingat itu semua. "Mereka cuma iri," ujar Kanzo
Atha kembali sendirian lagi. Menatap bulan yang menggantung di langit malam malah membuat dadanya semakin berdenyut perih, perih untuk alasan yang tidak jelas. Sesak yang terlalu abstrak untuk dijabarkan. Di telinganya, bergema suara-suara yang berasal dari ingatannya. Semua berputar dan terulang secara acak, membuat Atha merasa lelah. "Kamu sukanya marah-marah terus sih kalo sama aku. Coba sama Kahlil pasti cuma disenyumin terus pergi," protes Kanzo ketika ia mendelik menatap Kanzo yang menarik ujung pasminanya. Di lain waktu, Kanzo malah berkelakar ketika ia memarahinya di gudang. "Marah aja, aku malah senang kalo kamu marah. Itu artinya aku berhasil melindungimu, dan yang aku lindungi adalah Atha yang asli, bukan samaran jin atau siluman." "Aku cuma mau bantu, ini tugas lelaki. Kamu kenapa sih semarah ini?" tanya Kanzo tersenyum masam, ketika dirinya melotot pada Kanzo yang menarik meja ka
Atha menghela nafas pelan, dengan gerak pelan, ia melipat mukenanya dan meletakkannya di atas nakas samping kasur. Tangan kirinya merogoh bawah bantal dan menarik sebuah buku catatan dari sana. "Aku tahu segala tentangmu, dan kamu.. ga akan pernah bisa mengelaknya." Ucapan Kanzo di suatu hari terputar di ingatannya, membuat senyum kecil di wajah Atha timbul. Sejenak kemudian, ia menggeleng pelan, dan menatap buku catatannya dengan penuh arti. 'Kamu salah, Kak.. Kamu mungkin tahu segalanya tentangku, tapi itu hanya beberapa yang sengaja aku biarkan kamu tahu. Sampai kapan pun, kamu tidak akan tahu dengan apa yang tidak kuizinkan kamu mengetahuinya.' Wajah Kanzo yang memasang tampang songong terbayang. Setelah beberapa saat memandang buku catatannya dengan penuh arti, Atha mengusap cover buku tersebut dengan lembut. Lalu membuka halaman pertama dengan pe
Kanzo berlarian kearah tangga ketika melihat Maise membawa nampan berisi semangkuk bubur dan segelas teh hangat. Ini adalah kesempatan emasnya untuk menemui Atha, dan kesempatan ini seolah hanya ada satu, ia harus mendapatkannya atau malah kehilangan. "Bibi Maise!" teriak Kanzo sekeras mungkin. Di aula yang kosong dan hampa ini, sudah jelas kalau suara Kanzo menggema, menyebabkan Maise kaget, yang untungnya tidak sampai menjatuhkan nampan yang dibawanya. Maise menoleh kearah Kanzo yang membungkuk, mengatur nafasnya yang tak beraturan. Maise tersenyum kecil, ia tahu apa yang diinginkan Kanzo kali ini. "Ada apa?" Kanzo menatap Maise dengan pandangan memelas semaksimal mungkin, "Biar aku aja yang bawa ya, ke kamar Atha kan?" pinta Kanzo. Maise menatap Kanzo jahil, "Bagaimana kalau aku menolak?" goda Maise. Kanzo mulai merengek
"Aku kira para kakak kesini, tadi pagi aku dengar sayup-sayup suaranya. Ke mana mereka?" Kenzo menatap Aumy heran ketika melihat meja makan kosong melompong. Sama seperti pagi-pagi lainnya, hanya saja yang Kenzo herankan kenapa tidak ada saudaranya disana. "Tadi pada ke panti asuhan, abimu tiba-tiba pengen ketemu sama anak-anaknya," jawab Aumy tenang. "Dan aku ga diajak?" lirih Kenzo kecewa. Ia merasakan perih di hatinya. Apa ia bukan bagian dari keluarga ini? "Negative thinking kan kamu," cetus Aumy sembari meletakkan apel yang telah ia potong-potong didepan Kenzo. "Tadi kakakmu, Akihiro sama Akihiko kesini pagi-pagi sekali. Dan kamu masih tidur, mereka minta izin pada Okaasan, dan tentu saja Okaasan menyetujuinya. Saat mereka menanyakan tentangmu, Okaasan jawab kalau kamu masih tidur. Lalu mereka batal mengajakmu pergi bersama," jelas Aumy pada anaknya yang ia kenal gampang emos
Aku hanya Atha Jeremia Stasya, seorang gadis yang teramat biasa. Tak punya kelebihan selain seorang hafidzah dan penghafal hadist, tak ada yang bisa dibilang mengagumkan. Tapi aku menjalani kehidupan dengan penuh kekaguman, kekaguman pada islam yang tak bisa aku jelaskan. Mualaf, dan tinggal di panti asuhan adalah yang kupilih. Dan Allah menjagaku, memberikan ku kebebasan dan keamanan. Syair adalah kehidupanku, rangkaian aksara yang tersusun melambangkan perjalanan kehidupanku. Lagu adalah nafasku, kehidupan dan kebahagiaan dibingkai kesempurnaan nada yang mengalun. ~Atha Jeremia Stasya Pepatah 'buah jatuh tak jauh dari pohonnya' atau 'air tak akan pernah mengalir keatas' hanya membuatku semakin muak dengan semua ini. Aku anak seorang kyai yang disegani dan dihormati, mereka kira anaknya akan menjadi seperti ayahnya yang kemana-mana memakai sarung dan berpeci, tapi tidak. Aku memilih jalanku sendiri. Islam terlalu mengekang ku, dan tak pernah sejalan dengan pikiranku. Aku pa
Atha berdiri dalam diam, ia masih betah menatap perbukitan hijau dibelakang panti. Harum udara setelah hujan membuatnya mampu meresap kedamaian yang dibalut keheningan penuh ketentraman, kesempatan langka yang tak akan ia dapatkan jika ia tidak berada di tempat ini. Panti asuhan, meskipun dipenuhi anak-anak kecil bermata jernih dan menyenangkan, tak akan pernah bisa menawarkan kedamaian semacam ini. Atha memejamkan matanya, berusaha menghirup udara disekitarnya sebanyak-banyaknya. Hari Jum'at selalu menyenangkan baginya, karena hanya pada hari itulah ia bisa menyisihkan waktu untuk dirinya sendiri, menikmati indahnya alam bebas, meski tak seluas yang dipandang banyak orang. Mau bagaimana lagi, ia telah berjanji akan mengabdikan hidupnya untuk panti asuhan yang baru ia tempati 2 tahun terakhir ini. Panti asuhan yang langsung ia cintai ketika ia pertama kali melihatnya, panti asuhan yang terletak di pinggir kota kecil yang damai, Naj
"Oh ya, kalo misalnya kamu ketemu kak Kanzo, lebih baik jangan disapa ya," peringat Kahlil. Atha merasa aneh, lalu memutuskan untuk bertanya, "Kenapa?" "Barangkali yang kamu temui itu sebenarnya adalah kak Kenzo. Mereka berdua mirip banget soalnya," terang Kahlil. "Kembar, ya?" tebak Atha. "Iya.. Kembar yang terlalu identik. Ga ada perbedaan sama sekali di tubuhnya. Kan biasanya pada anak kembar terdapat perbedaan, entah itu tahi lalat atau tanda lahir, tapi kak Kenzo dan kak Kanzo ga ada. Cuma sifatnya aja yang beda seratus delapan puluh derajat." "Maksudnya?" Atha berusaha meraba maksud ucapan Kahlil. "Kak Kanzo itu orangnya lemah lembut, penyayang dan care. Kalo kak Kenzo itu temperamen, keras dan mudah terpancing emosi. Kamu udah lihat mata kak Kanzo kan tadi?" "Eh?" Pertanyaan Kahlil membuat pipi
Aku hanya Atha Jeremia Stasya, seorang gadis yang teramat biasa. Tak punya kelebihan selain seorang hafidzah dan penghafal hadist, tak ada yang bisa dibilang mengagumkan. Tapi aku menjalani kehidupan dengan penuh kekaguman, kekaguman pada islam yang tak bisa aku jelaskan. Mualaf, dan tinggal di panti asuhan adalah yang kupilih. Dan Allah menjagaku, memberikan ku kebebasan dan keamanan. Syair adalah kehidupanku, rangkaian aksara yang tersusun melambangkan perjalanan kehidupanku. Lagu adalah nafasku, kehidupan dan kebahagiaan dibingkai kesempurnaan nada yang mengalun. ~Atha Jeremia Stasya Pepatah 'buah jatuh tak jauh dari pohonnya' atau 'air tak akan pernah mengalir keatas' hanya membuatku semakin muak dengan semua ini. Aku anak seorang kyai yang disegani dan dihormati, mereka kira anaknya akan menjadi seperti ayahnya yang kemana-mana memakai sarung dan berpeci, tapi tidak. Aku memilih jalanku sendiri. Islam terlalu mengekang ku, dan tak pernah sejalan dengan pikiranku. Aku pa
"Aku kira para kakak kesini, tadi pagi aku dengar sayup-sayup suaranya. Ke mana mereka?" Kenzo menatap Aumy heran ketika melihat meja makan kosong melompong. Sama seperti pagi-pagi lainnya, hanya saja yang Kenzo herankan kenapa tidak ada saudaranya disana. "Tadi pada ke panti asuhan, abimu tiba-tiba pengen ketemu sama anak-anaknya," jawab Aumy tenang. "Dan aku ga diajak?" lirih Kenzo kecewa. Ia merasakan perih di hatinya. Apa ia bukan bagian dari keluarga ini? "Negative thinking kan kamu," cetus Aumy sembari meletakkan apel yang telah ia potong-potong didepan Kenzo. "Tadi kakakmu, Akihiro sama Akihiko kesini pagi-pagi sekali. Dan kamu masih tidur, mereka minta izin pada Okaasan, dan tentu saja Okaasan menyetujuinya. Saat mereka menanyakan tentangmu, Okaasan jawab kalau kamu masih tidur. Lalu mereka batal mengajakmu pergi bersama," jelas Aumy pada anaknya yang ia kenal gampang emos
Kanzo berlarian kearah tangga ketika melihat Maise membawa nampan berisi semangkuk bubur dan segelas teh hangat. Ini adalah kesempatan emasnya untuk menemui Atha, dan kesempatan ini seolah hanya ada satu, ia harus mendapatkannya atau malah kehilangan. "Bibi Maise!" teriak Kanzo sekeras mungkin. Di aula yang kosong dan hampa ini, sudah jelas kalau suara Kanzo menggema, menyebabkan Maise kaget, yang untungnya tidak sampai menjatuhkan nampan yang dibawanya. Maise menoleh kearah Kanzo yang membungkuk, mengatur nafasnya yang tak beraturan. Maise tersenyum kecil, ia tahu apa yang diinginkan Kanzo kali ini. "Ada apa?" Kanzo menatap Maise dengan pandangan memelas semaksimal mungkin, "Biar aku aja yang bawa ya, ke kamar Atha kan?" pinta Kanzo. Maise menatap Kanzo jahil, "Bagaimana kalau aku menolak?" goda Maise. Kanzo mulai merengek
Atha menghela nafas pelan, dengan gerak pelan, ia melipat mukenanya dan meletakkannya di atas nakas samping kasur. Tangan kirinya merogoh bawah bantal dan menarik sebuah buku catatan dari sana. "Aku tahu segala tentangmu, dan kamu.. ga akan pernah bisa mengelaknya." Ucapan Kanzo di suatu hari terputar di ingatannya, membuat senyum kecil di wajah Atha timbul. Sejenak kemudian, ia menggeleng pelan, dan menatap buku catatannya dengan penuh arti. 'Kamu salah, Kak.. Kamu mungkin tahu segalanya tentangku, tapi itu hanya beberapa yang sengaja aku biarkan kamu tahu. Sampai kapan pun, kamu tidak akan tahu dengan apa yang tidak kuizinkan kamu mengetahuinya.' Wajah Kanzo yang memasang tampang songong terbayang. Setelah beberapa saat memandang buku catatannya dengan penuh arti, Atha mengusap cover buku tersebut dengan lembut. Lalu membuka halaman pertama dengan pe
Atha kembali sendirian lagi. Menatap bulan yang menggantung di langit malam malah membuat dadanya semakin berdenyut perih, perih untuk alasan yang tidak jelas. Sesak yang terlalu abstrak untuk dijabarkan. Di telinganya, bergema suara-suara yang berasal dari ingatannya. Semua berputar dan terulang secara acak, membuat Atha merasa lelah. "Kamu sukanya marah-marah terus sih kalo sama aku. Coba sama Kahlil pasti cuma disenyumin terus pergi," protes Kanzo ketika ia mendelik menatap Kanzo yang menarik ujung pasminanya. Di lain waktu, Kanzo malah berkelakar ketika ia memarahinya di gudang. "Marah aja, aku malah senang kalo kamu marah. Itu artinya aku berhasil melindungimu, dan yang aku lindungi adalah Atha yang asli, bukan samaran jin atau siluman." "Aku cuma mau bantu, ini tugas lelaki. Kamu kenapa sih semarah ini?" tanya Kanzo tersenyum masam, ketika dirinya melotot pada Kanzo yang menarik meja ka
"Apa aku terlihat begitu mencolok?" Atha menatap Kanzo meminta jawaban, di negaranya dahulu ia selalu direndahkan, tak punya teman dan selalu sendirian. Alasan kenapa ia lebih suka tempat ini, hangat dan penuh kasih sayang serta kepedulian. Maise terharu ketika Atha bercerita tentang perasaannya. "Ya.. Kulitmu yang putih itu terutama, apalagi aku yang punya darah Jepang saja kalah putih. Padahal disekolah aku juga mencolok." Kanzo terkekeh menjaabatkan fakta. Ia tak bisa membayangkan jika Atha sekolah di tempat yang sama dengannya, ia berpikir bagaimana tatapan semua murid kepada Atha yang tampak begitu unik dan cantik. "Sama dong, di sekolahku dulu, aku juga gitu. Malah lebih parah lagi. Karena dapat sanjungan dari guru yang terkenal killer, aku dijauhi teman sekelas, bahkan jadi bahan bully-an," curhat Atha, ia tersenyum ketika mengingat itu semua. "Mereka cuma iri," ujar Kanzo
Atha menghentikan langkahnya ketika seekor merpati yang amat familiar dengannya terbang rendah menghampirinya, Atha menyodorkan tangannya dan mengundang merpati itu untuk bertengger di tangannya. "Mari kembali, kupikir kak Kanzo pasti sudah menaburkan makananmu di lapangan sana!" Atha mendekap merpati itu dan melanjutkan langkahnya yang tertunda. Di tengah desau angin yang menenangkan jiwa, terdengar lantunan ayat Al-Qur'an, begitu merdu, merasuki sanubari. Atha menghirup nafas sedalam mungkin, mendadak udara disekitarnya lebih segar dari pada sebelumnya, Atha melangkahkan kakinya dengan riang, menikmati suasana menyenangkan sore ini. Langkah kakinya melambat ketika di antara desau angin terdengar lantunan Al-Qur'an dengan suara merdu dari jarak dekat. Atha tahu surat ini, surat yang sangat ia sukai setelah Al-Ikhlas dan Al-Mulk. "رب المشرقين و رب المغربين. فباي الاء رب
"Oh ya, kalo misalnya kamu ketemu kak Kanzo, lebih baik jangan disapa ya," peringat Kahlil. Atha merasa aneh, lalu memutuskan untuk bertanya, "Kenapa?" "Barangkali yang kamu temui itu sebenarnya adalah kak Kenzo. Mereka berdua mirip banget soalnya," terang Kahlil. "Kembar, ya?" tebak Atha. "Iya.. Kembar yang terlalu identik. Ga ada perbedaan sama sekali di tubuhnya. Kan biasanya pada anak kembar terdapat perbedaan, entah itu tahi lalat atau tanda lahir, tapi kak Kenzo dan kak Kanzo ga ada. Cuma sifatnya aja yang beda seratus delapan puluh derajat." "Maksudnya?" Atha berusaha meraba maksud ucapan Kahlil. "Kak Kanzo itu orangnya lemah lembut, penyayang dan care. Kalo kak Kenzo itu temperamen, keras dan mudah terpancing emosi. Kamu udah lihat mata kak Kanzo kan tadi?" "Eh?" Pertanyaan Kahlil membuat pipi
Atha berdiri dalam diam, ia masih betah menatap perbukitan hijau dibelakang panti. Harum udara setelah hujan membuatnya mampu meresap kedamaian yang dibalut keheningan penuh ketentraman, kesempatan langka yang tak akan ia dapatkan jika ia tidak berada di tempat ini. Panti asuhan, meskipun dipenuhi anak-anak kecil bermata jernih dan menyenangkan, tak akan pernah bisa menawarkan kedamaian semacam ini. Atha memejamkan matanya, berusaha menghirup udara disekitarnya sebanyak-banyaknya. Hari Jum'at selalu menyenangkan baginya, karena hanya pada hari itulah ia bisa menyisihkan waktu untuk dirinya sendiri, menikmati indahnya alam bebas, meski tak seluas yang dipandang banyak orang. Mau bagaimana lagi, ia telah berjanji akan mengabdikan hidupnya untuk panti asuhan yang baru ia tempati 2 tahun terakhir ini. Panti asuhan yang langsung ia cintai ketika ia pertama kali melihatnya, panti asuhan yang terletak di pinggir kota kecil yang damai, Naj