[Aku melihat pacarmu selingkuh dan mereka sedang berada di klub malam saat ini. Kumohon kali ini percaya padaku, Emi. Aku akan mengirim bukti fotonya kalau kamu tidak percaya.]
Pesan yang dikirimkan sahabatnya benar-benar membuat Emily murka. Ia tak menyangka jika kekasih yang hendak dinikahinya ternyata berselingkuh di belakangnya. Lebih parahnya lagi, pria itu berselingkuh dengan rival Emily saat kuliah. Pesan itulah yang membuatnya sekarang berada di depan pintu ruang pribadi klub malam, malam ini. Emily mengepalkan kedua tangan di samping tubuhnya saat menatap pintu di depannya. Mereka terang-terangan bercumbu meskipun pintu ini terbuat dari kaca. Dua manusia itu benar-benar tidak peduli dengan sekelilingnya. Berengsek. Baru Emily ingin melabrak dua manusia itu, Emily sayup-sayup mendengar pria berengsek itu berkata, “Tenang saja, ketimbang Emi yang sok suci bahkan berciuman saja masih berpikir sepuluh kali, aku lebih memilihmu yang bisa menyenangkanku. Lagian, aku menjalin hubungan dengannya karena ingin mengambil keuntungan darinya. Keluarganya kaya dan berkuasa di bidang property, ini sangat menguntungkan bagiku. Jika aku bisa menikahinya, aku bisa perlahan mengambil miliknya.” Berengsek dua kali. Kepala Emily rasanya mau meledak mendengar ucapan Farrel. Pria itu ternyata bermuka dua dan licik. Emily marah diselingkuhi, tetapi dia lebih tidak terima dirinya begitu bodoh karena mencintai pria licik seperti Farrel. Emily mendorong pintu dengan elegan, lalu tepuk tangannya yang menggema di ruangan itu menghentikan dua sejoli di hadapannya. Emily melangkah dengan anggun, masih terus bertepuk tangan sambil menyeringai. Sedang, Farrel, yang kini statusnya telah berubah menjadi mantan kekasih terlihat panik dan berjauhan dengan selingkuhannya. “Emi!” teriak Farrel terkejut. “Kalian memang cocok. Sampah seharusnya memang bersama sampah!” “Aku bisa jelaskan, Emi,” ujar Farrel mencoba menenangkan Emily. Farrel berusaha menggapai tangan Emily, tetapi ditepisnya. Emily melangkah mundur. “Jelaskan? Apa yang mau kamu jelaskan, hah? Menjelaskan kalau kamu selingkuh dengannya, padahal tahu dia ini musuh bebuyutanku! Atau kamu mau menjelaskan ingin menggerogoti harta keluargaku?! Jangan mimpi!” hardik Emily penuh emosi. “Kamu seharusnya sadar diri! Kita berencana menikah, tapi kamu menolak tidur denganku, jangankan tidur, ciuman saja kamu terus menghindar! Pria mana yang betah dengan wanita sepertimu, hah!” Darah Emily mendidih. Bisa-bisanya Farrel menyalahkan dirinya hanya karena ia tidak menuruti permintaan mesum pria itu? Emily tidak bisa berkata-kata lagi. Terlalu muak dan jijik menatap Farrel dan wanita selingkuhannya. “Kamu, pria tidak tahu malu. Kita putus.” Setelahnya, Emily mengambil botol untuk dilempar ke Farrel dan selingkuhan, membuat dua manusia tak tahu malu itu panik sampai berpelukan untuk saling melindungi. Emily makin geram melihat tingkah keduanya. Lantas, dia pun menyiram bir di botol ke kepala rivalnya, lalu memilih meninggalkan mereka. “Dasar sialan! Akan kubalas perbuatanmu, Emi!” Emily mendengar suara teriakan rivalnya, tetapi dia tak peduli dan terus mengayunkan langkah meninggalkan tempat itu. Emily tidak akan mengeluarkan air matanya di sana, dia tidak sudi harus menangis demi pria berengsek itu. Namun, ternyata pertahanannya hancur ketika Emily seorang diri di dalam mobil. Sekuat apa pun dia bertahan, ternyata hatinya tetap sakit. “Mami, maaf,” lirih Emily dalam tangisannya, sambil mencengkeram kemudi. Emily mengingat perdebatannya dengan sang mami karena lebih memilih membela pria itu dan mempertahankan hubungannya. Bahkan karena perdebatannya itu, Emily pergi dari rumah sejak dua hari yang lalu. Sekarang dia benar-benar menyesal tidak mendengar perkataan ibunya. Emily menatap jalanan lurus di depannya. Matanya merah dan isakan sesekali keluar dari bibirnya. Perasaan bersalah terhadap ibunya sekaligus kekesalan dikhianati merajai hatinya. Jalanan yang sepi malam ini membuat Emily menginjak pedal gas dengan kuat. Dari jauh, wanita itu bisa melihat lampu lalu lintas dari arahnya berwarna hijau, dan Emily semakin menginjak pedal gas. Kecepatan mobilnya terlalu cepat, tetapi tia tidak peduli. Hatinya terlalu sakit. Namun, tiba-tiba sebuah cahaya kuning muncul dari arah samping, menyilaukan pandangannya. Emily tahu harus menghindar, tetapi terlambat. Bagian belakang mobilnya tertabrak mobil yang melaju dari sisi kanan. Mobil Emily berputar hingga menabrak sebuah pohon di sisi jalan. Tubuh Emily terguncang, kepalanya terantuk kaca pintu membuat wanita itu tak sadarkan diri.“Mami,” lirih Emily masih terpejam.Emily belum ingin mati, meskipun dia tahu telah menjadi anak durhaka tetapi dia masih ingin hidup. Emily ingin memohon ampun pada kedua orang tuanya atas kesalahannya. Perlahan wanita itu akhirnya merasa bisa membuka kedua kelopak matanya, mencoba beradaptasi dengan ruangan yang tidak dia kenal. Dia berusaha mengenali ruangan itu, akan tetapi kepalanya berdenyut keras membuatnya meringis kesakitan.Sebelah tangan Emily memegang kepalanya yang berbalut perban. “Akh,” decit wanita itu. Saat Emily masih berusaha untuk sadar, samar-samar dia mendengar suara dua pria asing sedang saling bicara di hadapannya.“Hasil CT-Scan tak menampakkan kerusakan atau ada penggumpalan darah di otak, kemungkinan pasien syok karena benturan sangat keras juga luka yang didapat di kening, tapi selebihnya dia baik-baik saja.”“Jadi begitu, terima kasih informasinya, Dok.”Salah satu pria yang mengenakan jas putih pergi meninggalkan pria lain yang berdiri memunggungi ranja
“Jadi, kamu ingat apa yang terjadi padamu?” tanya pria itu memastikan.“Memang salahku mengemudi dengan kecepatan tinggi,” ucap Emily pelan. Akan tetapi, tak lama dia merasa kesal. Dia ingat, meskipun mengemudi dengan kecepatan tinggi tetapi dia yakin berada di lajur yang benar.“Tapi bukan semua kesalahanku juga. Aku yakin jalurku sudah lampu hijau, tapi tiba-tiba dari arah kanan, ada orang bodoh yang mengemudikan mobil menerobos lampu merah lalu menabrak bagian belakang mobilku. Ya, aku ingat ada mobil lain yang menabrakku, apa kamu melihatnya?” tanya Emily berapi-api pada pria itu.Emily sekali lagi tertegun melihat pria di hadapannya. Ada sebersit keterkejutan di mata pria itu, akan tetapi sejurus kemudian ekspresi pria itu kembali tenang.Ada yang aneh.“Saya tidak melihat ada mobil lain. Saya hanya melihat mobilmu yang sudah menabrak pohon,” jawab pria itu menjelaskan.Emily mendengkus kasar mendengar jawabannya. “Sial, mungkin pengemudi mobil itu kabur. Semoga saja dia dapat ba
“Apa tadi kamu bilang?” tanya Emily menatap tak percaya. “Menikahlah dengan saya.” Alaric menjawab dengan santai. Emily mengerutkan alis. Dia tidak takut dengan tawaran pria itu, hanya saja merasa aneh dengan tawaran pria tampan itu yang mengajaknya menikah padahal baru saja kenal. “Kenapa aku harus menikah denganmu, sedangkan aku bisa cari yang lebih kaya dan tampan darimu. Lagi pula kita baru kenal, apa alasanmu mengajakku menikah?” tanya Emily mencecar dengan tatapan penuh curiga. Emily menatap Alaric yang terlihat menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan, lantas mendengar pria itu menjawab. “Saya kaya, beberapa perusahaan yang saya jalankan popularitasnya sudah tembus sampai ke luar negeri. Soal tampan, kamu sudah jelas bisa menilai.” Emily hampir tersedak ludah mendengar ucapan Alaric. Ingin mengingkari, tetapi kenyataannya pria itu memang sangat tampan, membuat kedua pipinya terasa panas saat menatap pria itu. “Meski begitu, aku juga tak mau sembarangan menyetujui
“Kamu ingat pulang!”Suara melengking itu terdengar nyaring saat Emily dan Alaric baru saja menginjakkan kaki di rumah.Emily melihat sang Mami yang menatapnya tajam penuh emosi.“Maaf kalau saya terlambat membawanya pulang.”Emily langsung menoleh pada Alaric yang seakan melindungi dirinya, hingga berpikir mungkinkah ini bagian dari akting?“Siapa kamu?” tanya sang Mami.Alaric tiba-tiba menggandeng tangan Emily, membuat wanita itu syok sambil menatap pria di sampingnya itu.Emily menatap Alaric dengan rasa tak percaya, tetapi sejurus kemudian dia sadar itu hanya sandiwara. Akan tetapi, tiba-tiba saja Emily tetap merasa gugup.“Dia pacarmu? Bukan, bukan dia.” Sang Mami menatap Alaric dengan teliti.Emily ingin menjelaskan saat adik dan ayahnya keluar melihatnya datang bersama pria, hingga Alaric tiba-tiba bicara lebih dulu.“Perkenalkan, saya Alaric Byantara. Saya pacar Emi, ada yang ingin saya sampaikan sehingga mengantarnya pulang,” ucap Alaric.Emily melihat ibu dan keluarganya te
Setelah Alaric pamit pulang, sang Mami, Papi dan Emily berkumpul, masih membahas lamaran yang tiba-tiba datang dari pria itu. “Beberapa hari lalu kamu bertengkar dengan mami karena ingin menikahi si Farrel-Farrel itu, sekarang malah mau menikah dengan Alaric? Kamu sedang mempermainkan kami?”Emily melihat sang Mami marah, lantas menghela napas kasar. Dia melihat sang Papi yang hanya diam, membuatnya mendekat pada sang Mami, lantas merangkul lengan wanita itu meski sang Mami memberontak menolak.“Iya, aku tahu kalau salah. Mami benar Farrel tidak baik, tapi Alaric berbeda, Mi. Lihat saja dia, datang ke sini dengan ketulusan dan kesungguhan hati melamarku. Berani menghadapi Mami dan Papi tanpa aku bela. Dia memang tulus ingin menikahiku dan aku setuju.” Emily bicara agak dilebih-lebihkan agar orang tuanya percaya. Jangan sampai rencana balas dendam pada mantan berengseknya gagal karena terhalang restu.Emily melirik kedua orang tuanya yang saling tatap, hingga pura-pura memasang wajah
“Aku bersyukur Kakak tidak jadi menikah dengan Kabel Paralel itu, hanya saja apa Kakak yakin ingin menikahi pria lain? Ini begitu cepat.” Emily menoleh sang adik yang sedang melayangkan protes ke arahnya. “Anak kecil tahu apa? Ssttt … diam saja.” Emily meminta adiknya diam karena dia sedang sibuk berhias untuk menyambut Alaric dan keluarganya datang hari ini. “Bukan tak tahu. Kakak itu gampang dimanfaatkan orang. Dikit-dikit kasihan, dikit-dikit kasihan, ujungnya apa? Patah hati! Farrel selingkuh ‘kan, makanya Kakak patah hati dan mau menikah dengan pria lain?” Emily langsung berdiri mendengar ucapan sang adik. Dia membekap mulut adiknya yang bocor saat bicara. “Dari mana kamu tahu?” tanya Emily. Sang adik menyingkirkan telapak tangannya dari mulut remaja itu, hingga sang adik bicara, “Ada, Kakak tidak perlu tahu. Yang jelas, Kakak putus sama si Kabel Paralel, tapi kenapa menikah dengan pria asing? Kalian tidak saling kenalkan?” Emily terdiam mendengar ucapan sang adik. T
“Berhari-hari hilang bak ditelan kucing, habis ketemu kamu bilang mau nikah? Kamu masih mau nikah sama si brengsek Farrel itu!”Emily menatap Claudia yang bicara dengan berapi-api, bahkan hidung sahabatnya itu kembang-kempis karena syok mendengar ucapannya.Emily mengambil satu kentang goreng, lantas memasukkan ke mulut Claudia, membuat sahabatnya itu langsung diam karena mengunyah kentang goreng.“Bukan sama Farrel. Dia sudah aku tenggelamkan ke segitiga bermuda. Aku dilamar presdir tampan, sangat tampan. Lebih tampan dari Farrel,” ucap Emily menjelaskan.Emily melihat Claudia yang sedang menelan kentang, sahabatnya itu siap bicara tapi Emily dengan iseng memasukkan kentang ke mulut temannya itu lagi.“Emi!” Claudia melotot ke Emily.Emily tertawa sampai hampir tersedak.“Kenapa tiba-tiba? Bukankah kamu cinta mati sama Farrel, sampai-sampai aku peringatkan ribuan kali pun kamu kekeh sama si brengsek itu,” ucap Claudia tak habis pikir.Emily memandang Claudia, lantas membalas, “Ga tiba
“Gaun pernikahannya bisa pas sekali di badanmu.”Emily menatap sang mami yang sedang memperhatikan gaun pengantin yang kini sudah melekat di tubuhnya. Dia tidak melakukan fitting baju sama sekali karena sudah disiapkan oleh keluarga Alaric.Hari itu pernikahannya dengan Alaric akan digelar. Emily berada di ruang ganti pengantin sudah selesai dirias.“Mungkin karena ukuran tubuhku pasaran, coba gemukan dikit, pasti nih gaun ga muat,” celetuk Emily ngasal.“Ish … apa-apaan. Ini tubuh udah bagus, ngapain pengen gemuk. Modelnya kekinian, cantik,” ucap sang mami sambil mengusap bagian pinggang.Emily menghela napas kasar, sejujurnya dia pun merasa sangat gugup dengan pernikahan yang akan dijalaninya ini.“Gugup?” tanya sang mami.“Iya,” jawab Emily sambil menatap sang mami yang kini memandangnya.“Tidak apa, ini wajar. Mami juga dulu gitu,” balas sang mami.“Tapi dulu Mami sangat tenang, bahkan sangat cantik,” ujar Emily sambil menatap ke wanita yang sudah membesarkannya selama 20 tahun in