Siang sebelumnya.Alaric menatap Anya yang terus memaksa ingin bicara. Dia tidak tahu lagi apa yang sebenarnya diinginkan wanita itu. Namun, jika Alaric tak mendengarkan, maka Anya akan terus menghantui hidupnya.“Lima menit, dimulai sekarang.” Alaric memberi kesempatan tapi tak mau jika diajak pergi ke tempat lain.Anya sangat terkejut mendengar ucapan Alaric, dia pun buru-buru menjelaskan.“Keluargaku saat itu hampir bangkrut, Al. Aku tidak tahu harus minta tolong siapa agar perusahaan Papa tidak koleps. Lalu bibimu datang, menawari bantuan dengan syarat agar aku meninggalkanmu. Aku ingin minta tolong kepadamu, tapi aku tahu saat itu kamu baru saja bekerja di perusahaan kakekmu, aku tidak punya pilihan selain menerima tawaran bibimu, karena itu aku pergi untuk menyelamatkan perusahaan Papa.”Alaric langsung tersenyum miring mendengar penjelasan Anya.“Kupikir setelah sekian tahun, aku masih bisa kembali kepadamu ketika semua membaik. Aku benar-benar menyesal.” Anya bicara sambil men
Alaric sangat terkejut mendengar pertanyaan Emily. Itu adalah pertanyaan random yang membuat pusing kepala.“Kenapa kamu tanya seperti itu?” tanya Alaric benar-benar harus bersabar menghadapi Emily.“Ya siapa tahu kamu berniat melakukannya. Aku sedang hamil, tidak bisa melayanimu, barangkali kamu terbujuk rayuan mantanmu!” sewot Emily karena moodnya yang berubah-ubah.Alaric ingin sekali menepuk jidat mendengar ucapan Emily, istrinya itu dapat pemikiran dari mana sampai curiga jika dia akan melakukan hal itu.“Kenapa kamu sampai berpikiran ke sana? Apa aku ini memiliki tampang selingkuh?” tanya Alaric benar-benar tak habis pikir.“Ada,” jawab Emily tegas tanpa berpikir.“Itu di film-film, saat istrinya hamil lalu melahirkan, suaminya malah asik selingkuh!” Emily bicara dengan nada emosi.Alaric menghela napas kasar, lantas meraih telapak tangan Emily dan menggenggamnya erat.
“Kamu sudah baik-baik saja?” tanya Claudia yang akhirnya masuk bersama Billy untuk melihat kondisi Emily.“Apa? Apa? Dasar pengkhianat!” amuk Emily lantas memanyunkan bibir.Claudia sampai meremas tali tasnya mendengar sahabatnya mengamuk.“Tapi terima kasih,” ucap Emily kemudian karena dirinya tak mungkin memarahi temannya itu.Claudia langsung menatap Emily yang tersenyum ke arahnya, membuatnya ingin menangis juga senang karena akhirnya temannya itu mau memaafkan dirinya.“Emi, kupikir kamu akan marah selamanya.” Claudia langsung memeluk Emily dengan erat.“Mana ada aku marah selamanya. Ga bisa aku melepas teman yang bisa diajak gila kayak kamu,” seloroh Emily.“Ish ... apaan diajak gila.” Claudia melepas pelukan, tanpa menatap Emily yang sudah terlihat lebih baik.Claudia melirik ke perut Emily yang masih datar, lantas menyentuhnya sambil mengusap lembut
“Aku mau makan semangka, Al.”Emily bicara sambil menatap penuh harap ke Alaric yang baru saja keluar dari kamar mandi.Emily sudah diperbolehkan pulang karena kondisinya yang stabil.“Semangka?” Alaric menengok ke jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam.“Iya.” Emily memandang Alaric dengan bola mata berkaca-kaca.“Coba aku lihat apa di dapur ada. Kamu di kamar saja,” ujar Alaric.Emily mengangguk-angguk sambil tersenyum lebar mendengar ucapan suaminya itu.Alaric pun pergi ke dapur, saat membuka lemari pendingin, tak melihat ada semangka.“Bagaimana ini?”Alaric bingung sendiri, jangan sampai Emily merajuk karena tak mendapat apa yang diinginkan.“Nyari apa, Tuan?”Suara pelayan rumah membuat Alaric terkejut. Pria itu pun menoleh dan melihat pelayan rumah mendekat.“Emi mau makan semangka, ternyata di kulkas tidak ada semangka,” jawab Alaric.“Oh ... ada kok, Tuan. Tapi belum dipotong, makanya masih disimpan di sana,” kata pelayan sambil menunjuk ke sebelah lemari p
Emily memandang Anya yang duduk berhadapan dengannya. Dia sebenarnya enggan berhadapan apalagi bicara dengan wanita itu. Namun, karena rasa penasarannya dengan munculnya Anya terus menerus di kehidupannya dan Alaric, membuat Emily akhirnya mau bicara berdua dengan wanita itu.“Apa yang ingin kamu bicaralan?” tanya Emily dengan nada ketus.Anya memulas senyum mendengar pertanyaan Emily, bersikap seolah dirinya itu tak ada rasa bersalah atau canggung karena menemui Emily.“Aku hanya ingin meluruskan kesalahpahaman yang terjadi,” ucap Anya.Emily mengerutkan dahi mendengar ucapan Anya. Apa maksud dari ingin meluruskan kesalahpahaman.“Maaf, kesalahpahaman apa?” Emily bicara dengan nada sindiran.Anya menatap Emily yang bersikap tak senang kepadanya, tapi meski begitu dia berusaha bersikap biasa saja.“Aku tahu kamu salah paham akan hubunganku dan Al. Kedatanganku hanya untuk menjelaskan alasan kenapa dulu aku pergi. Aku yakin Al mengerti dan memaafkan karena begitulah dia. Meski dia perna
Alaric terburu-buru pergi ke perusahaan Emily setelah mendapat kabar jika istrinya itu bertemu dengan Anya. Tentu saja dia cemas dan panik, takut jika sampai Emily merajuk lagi seperti sebelumnya.“Emi.” Alaric masuk ruang kerja Emily untuk menemui istrinya.Emily langsung memandang Alaric yang baru saja datang. Dia terkejut melihat suaminya masuk dengan ekspresi wajah panik.“Kebetulan kamu datang. Mau makan buah?” Emily malah menawari suaminya buah yang dibelinya dari penjual rujak.Alaric menatap Emily yang sedang mengunyah. Dia pun mendekat dengan sikap biasa meski dalam hatinya takut istrinya marah lagi.“Ini segar, sambalnya juga pedas,” ucap Emily lantas mencocol potongan buah ke sambal lalu memakannya.Alaric masih memperhatikan yang dilakukan Emily, mencoba antisipasi jika tiba-tiba istrinya itu marah.“Kenapa tiba-tiba ke sini ga kasih kabar? Terus kenapa sejak tadi hanya diam saja?&
“Nomornya sudah tidak aktif, aku sudah melacak ponselnya, dan tebak di mana ponsel itu sekarang.”Billy datang memberikan informasi yang diinginkan Alaric.“Di mana?” tanya Alaric menunggu.“Tempat sampah dalam kondisi hancur.” Billy mengeluarkan kantong plastik berisi ponsel yang dimaksud.Alaric memperhatikan ponsel yang diletakkan di meja, sudah rusak parah seolah sengaja dihancurkan.“Jadi kita tidak tahu siapa yang mengirimkan pesan itu? Tidak ada bukti diapa pelakunya?” tanya Alaric lantas menatap Billy.“Mungkin masih bisa dicari jika pelakunya belum menghapus semuanya. Aku akan coba mengambil data yang tersisa, semoga masih ada petunjuk,” ujar Billy lantas memasukkan kembali kantong plastik berisi ponsel rusak itu ke saku jasnya.Alaric pun diam berpikir. Dia bisa menebak jika pelakunya mungkin Anya, tapi tanpa bukti dia tak bisa menuduh sembarangan.“Unt
“Kamu sedang apa?” tanya Alaric saat melihat Emily terus menyentuh perut.Emily menoleh Alaric, suaminya itu baru dari kamar mandi dan sekarang naik ranjang menghampirinya.“Kenapa aku tidak merasakan apa-apa, ya?” tanya Emily memandang perutnya, lantas menoleh Alaric.Alaric malah menahan tawa mendengar pertanyaan random istrinya. Dia sampai mengambil ponsel dan mencari sesuatu.Emily pun memperhatikan yang dilakukan suaminya. Hingga dia melihat suaminya agak mendekat lantas memperlihatkan sesuatu di ponsel.“Lihat, ini tabel usia kehamilan. Bayi kita di usia ini,” ucap Alaric menunjuk tabel usia 8 minggu.“Masih kecil sekali,” gumam Emily sambil menyentuh layar ponsel suaminya.“Iya kecil, makanya belum terasa dan perutmu juga masih datar,” balas Alaric lantas menoleh untuk bisa menatap wajah istrinya.Emily menoleh suaminya lantas melebarkan senyum saat keduanya saling tatap.“Aku hanya penasaran saja,” ucap Emily lagi sambil melebarkan senyum sampai membuat deretan gigi putihnya t
Vano baru saja selesai rapat saat membaca pesan dari Sabrina. Dia sangat terkejut membaca pesan dari Sabrina hingga terburu-buru meninggalkan tempat rapat begitu selesai, membuat semua orang sampai keheranan.Vano pergi ke rumah sakit. Dia mencari Sabrina di poliklinik, hingga bertemu dengan sang bibi.“Bi, Sabrina dan Mami ke sini?” tanya Vano.“Dia di ruang inap, tadi sudah diperiksa dan karena tekanan darahnya rendah serta dia pusing dan mual, jadi aku menyarankan untuk rawat inap,” jawab sang bibi.Vano sangat panik mendengar jawaban sang bibi.“Dia dirawat di ruang mana?” tanya Vano dengan wajah panik.Sang bibi tersenyum melihat kepanikan Vano, lalu memberitahu di mana Sabrina sekarang.Vano pergi ke ruang inap dengan terburu-buru, hingga akhirnya bertemu Sabrina yang berbaring lemas dengan selang infus terpasang di tangan.“Bagaimana kondisinya, Mi?” tanya Vano saat menghampiri Sabrina.“Dia baik, kamu jangan cemas,” jawab Oma Aruna.“Baik apanya, dia sampai dirawat seperti ini,
Sabrina duduk sambil menikmati cokelat hangat pagi itu, hingga satu tangannya yang bebas dari cangkir, digenggam sampai jemarinya bertautan dengan tangan lain. Sabrina menoleh Vano, melihat suaminya itu tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Vano duduk di samping Sabrina yang duduk di bangku panjang. Mereka berlibur di pantai, menikmati kebersamaan mereka setelah sah menjadi suami-istri. “Kamu tidak pesan kopi?” tanya Sabrina sambil menyandarkan kepala di pundak Vano. “Sudah, tinggal menunggu datang saja,” jawab Vano lalu memiringkan kepala hingga menyentuh kepala Sabrina. Keduanya saling bersandar satu sama lain, menatap hamparan pasir putih bersamaan dengan deburan ombak yang menghantam pantai. “Kamu yakin tidak masalah tinggal sama mami?” tanya Vano memastikan. Sabrina mengerutkan alis mendengar pertanyaan Vano. “Kenapa masih tanya lagi?” tanya Sabrina keheranan. Dia mengangkat kepala dari pundak Vano, lalu memandang suaminya itu. “Ya, aku hanya memastikan saja, takut
“Nggak mau pulang. Mau bobok sama Om Vano!” Athalia merengek menolak pulang saat kedua orang tuanya mengajak selepas pulang setelah pesta. Vano hanya mengusap tengkuk melihat kelakuan absurd keponakan satunya itu. Alaric sampai pusing, kenapa anaknya sampai bandelnya seperti itu. “Pulang beli es krim, ya.” Emily membujuk agar Athalia mau pulang. “Nggak mau!” Athalia menolak sampai memeluk kaki Vano. Sabrina menahan tawa dengan kelakuan Athalia, lalu dia ikut membujuk. “Papa mau beli bunga sama balon, Thalia nggak mau ikut?” tanya Sabrina ke Athalia. Athalia langsung menoleh ke sang papa, hingga melihat ayah dan ibunya terkejut mendengar ucapan Sabrina. “Ah, benar. Papa dan mama mau beli bunga, kamu nggak mau ikut?” tanya Emily mengiakan ucapan Sabrina. Athalia tiba-tiba bangun dan melepas kaki Vano, kemudian menggandeng tangan ibunya. “Ayo! Nanti kamarku harus dikasih bunga-bunga,” celoteh Athalia. Alaric dan Emily lega karena Athalia mau dibujuk, akhirnya mereka mengajak p
Mereka masih menautkan bibir, sampai terlena hingga sejenak lupa akan status mereka sekarang.Sabrina melepas pagutan bibir mereka, lalu sedikit mendorong dada Vano agar menjauh darinya.“Airnya sudah panas,” ucap Sabrina sambil masih menunduk karena malu.Vano mematikan mesin pemanas air, lantas kembali memandang Sabrina.Sabrina menatap Vano, melihat wajah pria itu yang merah mungkin dia juga.“Sekadar ciuman boleh, tapi jangan melebihi batas,” ujar Sabrina mengingatkan.Vano langsung mengulum bibir sambil memulas senyum.“Aku tidak mau kita berhubungan sebelum menikah. Kamu paham maksudku, kan?” tanya Sabrina kemudian agar Vano tak salah paham dengan ucapannya.“Hm … ya, tentu,” balas Vano sedikit canggung karena dia terlalu impulsif. Dia tentunya takkan marah dengan keinginan Sabrina yang mencoba menjaga diri sampai mereka benar-benar sah menjadi suami istri.Van
Setelah bertunangan, Vano dan Sabrina sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Mereka jarang jalan di tempat umum karena Raditya melarang, pria tua itu takut kalau terjadi sesuatu lagi dengan Sabrina, padahal ada Vano yang menjaganya. Seperti hari ini, mereka berada di apartemen menonton film seolah berada di bioskop. Vano duduk sambil melingkarkan tangan di belakang pundak Sabrina, sehingga gadis itu bisa bersandar di dadanya. “Besok Mami mengajak fitting gaun untuk pernikahan kita,” ucap Vano sambil melihat ke film yang sedang mereka tonton. Sabrina sedang mengunyah snack, lalu menoleh ke kalender yang ada di meja hias. Tak terasa sudah dua bulan semenjak mereka bertunangan, pantas saja Oma Aruna sudah ingin melakukan fitting baju. “Iya,” balas Sabrina menoleh sekilas ke Vano. Mereka kembali fokus ke film, hingga ponsel Sabrina yang ada di meja berdering. Sabrina menegakkan badan, lalu mengambil benda pipih itu dan melihat sang papa yang menghubungi. “Papa telepon, aku
Hari pertunangan Sabrina dan Vano pun tiba. Pertunangan mereka diadakan di rumah Vano sesuai dengan kesepakatan Raditya dan Opa Ansel.Malam itu halaman samping rumah disulap menjadi tempat pesta untuk pertunangan yang terlihat romantis. Acara itu didatangi keluarga terdekat dan rekan kerja Sabrina di divisinya.“Rumah Pak Vano ternyata sangat besar,” celetuk salah satu staff yang datang.“Pastilah, perusahaannya saja besar. Lupa kalau dia anak pemilik perusahaan,” timpal yang lain.“Iya, lupa,” balas staff itu sampai membuat yang lain tertawa.Sabrina keluar bersama ayahnya memakai gaun elegan hingga membuatnya tampak begitu cantik.Vano sudah menatap tanpa berkedip saat melihat Sabrina. Dia tak menyangka kalau hari ini tiba lalu tinggal menunggu hari lain yang luar biasa tiba.Sabrina tersenyum saat melihat Vano menatapnya, hingga akhirnya mereka berdiri berhadapan untuk melakukan prosesi pertunan
Hari berikutnya, Vano masih menemani Sabrina di apartemen. Pagi itu bersama Sabrina di sofa untuk mengganti perban gadis itu.“Tahan bentar,” ucap Vano saat membersihkan luka Sabrina sebelum diperban lagi.Sabrina melirik ke lengannya. Dia agak meringis karena terasa sedikit perih.Vano membungkus luka itu lagi dengan perlahan setelah selesai dibersihkan.Sabrina menatap Vano yang serius mengganti perban, hingga dia bertanya, “Apa kamu yakin kalau keputusanmu ingin menikah tidak terburu-buru?”Sabrina merasa Vano mengatakan itu hanya spontan saja.Vano melirik Sabrina, lalu menjawab, “Kamu juga setuju, kan? Lalu kenapa sekarang tanya?”“Ya, aku hanya syok saja. Tidak menyangka kamu akan semudah itu bilang mau menikahiku,” balas Sabrina.“Aku serius mengatakan itu,” ucap Vano sambil merapikan perban yang baru saja selesai dipasang.Vano kini menatap Sabrina, memb
Sabrina mengajak Raditya duduk agar bisa mengobrol dengan nyaman. Vano juga ikut bersama keduanya tapi hanya menjadi pendengar saja.“Bagaimana kejadiannya sampai kamu diserang seperti itu?” tanya Raditya penasaran.Sabrina menceritakan dari awal dan akhir apa yang terjadi sampai membuatnya terluka.“Aku hanya masih nggak nyangka kalau dia masih dendam karena dulu aku kabur, Pa. Dia bilang dihajar habis-habisan dan ganti rugi, makanya begitu melihatku dia mau membawaku,” ujar Sabrina menjelaskan.“Dia sudah salah karena menjualmu, lalu dengan enaknya bilang dendam. Dia benar-benar harus diberi pelajaran!” geram Raditya karena pria itu sangat jahat.“Tapi Papa tidak usah terlalu cemas, sekarang pelakunya juga sudah ditangkap,” kata Sabrina menenangkan sang papa.Saat mereka masih mengobrol, terdengar suara bel yang membuat mereka menoleh ke pintu.“Biar aku lihat siapa yang datang,” kata Vano.Vano berdiri menuju pintu, lalu mel
Sabrina terbangun karena lapar. Dia melihat Vano yang baru saja masuk kamar. “Kamu sudah bangun.” Vano langsung mendekat ke ranjang. Sabrina hendak bangun tapi kesusahan karena lengannya sakit. Vano dengan sigap membantu, lalu memastikan Sabrina duduk dengan nyaman. “Aku lapar,” ucap Sabrina karena siang tadi belum makan dan sudah ada tragedi yang membuatnya terluka. “Untung saja aku pesan makanan. Baru saja sampai dan kamu bangun. Biar aku ambilkan ke sini,” kata Vano hendak berdiri. “Aku makan di luar saja, tidak nyaman makan di sini,” kata Sabrina bersiap turun dari ranjang. Vano langsung membantu Sabrina turun dari ranjang karena lengan Sabrina yang terluka tidak bisa dibuat banyak gerak. Vano benar-benar perhatian ke Sabrina. Dia berjalan sambil memperhatikan Sabrina agar tak jatuh, padahal Sabrina bisa berjalan dengan baik karena lengannya saja yang sakit bukan seluruh tubuh. Sabrina sudah duduk di kursi meja makan. Vano membuka pembungkus makanan, lalu mengambil