Setelah dirawat semalam di ICU, akhirnya Bobby dipindah ke ruang perawatan khusus karena kondisinya yang sudah stabil. Mia masih menemani mertuanya itu. Bobby sudah sadar dan baru saja diperiksa dokter, Mia pun menunggu sampai dokter dan perawat pergi. Bobby menatap Mia yang hanya diam memandangnya. Dia menyadari jika menantunya itu pasti akan menanyakan soal Lena. “Kamu ingin penjelasan?” tanya Bobby saat dokter dan perawat sudah keluar. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Papa seolah menyembunyikan sesuatu dariku?” tanya Mia langsung meminta penjelasan. Bobby terlihat menarik napas panjang lalu menatap Mia yang menunggu penjelasan darinya. “Aku tahu sudah salah selama ini dengan menyembunyikan sesuatu yang pada akhirnya akan terkuak,” ucap Bobby lantas kembali menghela napas kasar. Mia meremas rok di atas paha saat mendengar ucapan Bobby. Dia yakin jika apa yang dikatakan ayah mertuanya itu akan sangat menyakitkan setelah ini. “Adhikara mandul dan Gio bukanlah anaknya,” uca
“Apa? Kakekmu juga masuk rumah sakit?” tanya Aruna terkejut saat mendengar ucapan Emily. Wanita paruh baya itu langsung menoleh sang menantu yang sedang menuang minum untuk Emily. “Kakek memang punya penyakit jantung, hanya saja sudah lama tidak kambuh jadi Mama agak syok karena tiba-tiba kambuh,” ujar Alaric menjelaskan saat melihat tatapan sang mertua yang seperti menginginkan penjelasan. Aruna mengangguk-angguk mendengar ucapan Alaric. “Kamu sudah nengok kakekmu?” tanya Aruna merasa simpati. “Pagi ini belum, semalam aku memang melihat kondisi Kakek yang harus masuk ICU, tapi pagi tadi Mama bilang sudah dipindah ke ruang inap biasa karena kondisi Kakek sudah stabil,” jawab Alaric. Aruna mengangguk-angguk lagi mendengar jawaban cucunya. “Mamamu pasti menjaga sendirian. Mami ke sana dulu buat lihat, ini makanannya mami kirim sebagian untuk mamamu, ya.” Aruna membayangkan jika besannya itu pasti berjaga sendirian. Alaric saling tatap dengan Emily saat mendengar ucapan mertuanya
Mia pergi ke rumah Lena setelah bisa mengontrol emosinya. Dia benar-benar tak bisa terus diam padahal sudah disakiti begitu dalam.Saat sampai di rumah sang ipar. Mia menemui Lena yang sedang duduk di ruang keluarga, wanita itu sangat terkejut ketika melihat kedatangan Mia.“Setelah semua yang sudah kamu lakukan. Ternyata kamu masih bisa bersikap santai seperti ini.” Mia bicara sambil memberikan tatapan tajam ke Lena.Lena memandang kakak iparnya itu. Dia bersikap tenang seolah tak merasa bersalah sama sekali.“Kenapa kamu datang-datang langsung marah. Aku belum sempat menjenguk Papa karena tak mau memperburuk kondisinya,” ucap Lena berpura seolah tak terjadi apa pun dan tanpa rasa bersalah.Mia sangat emosi mendengar ucapan Lena. Wanita berumur hampir 60 tahun itu meraih cangkir berisi teh di meja, lantas menyiramkan ke wajah sang adik ipar.“Mia!” teriak Lena syok dengan yang dilakukan Mia.“Kamu pikir aku bodoh? Kamu pikir aku tidak tahu dengan apa yang sudah kamu lakukan? Bahkan m
“Masih tidak ada kabar soal pelaku yang menyerangku?” tanya Emily sambil menatap Alaric yang hendak menyuapinya.Ini sudah beberapa hari semenjak kejadian Emily diserang, sampai saat ini Emily tak mendapat kabar apa pun soal pelakunya.Alaric diam memandang sendok yang dipegang saat mendengar pertanyaan Emily. Dia lantas menatap istrinya yang menunggu jawabannya kemudian tersenyum.“Belum,” jawab Alaric, “kamu jangan mencemaskan apa pun. Aku tidak akan membiarkan siapa pun lagi menyakitimu,” ucap Alaric lantas menyodorkan suapan ke Emily.Emily memulas senyum mendengar kalimat menenangkan dari suaminya itu. Dia pun membuka mulut lebar untuk menerima suapan dari Alaric.“Jika kondisimu membaik, mungkin besok sudah diperbolehkan pulang,” ucap Alaric sambil menyuapi Emily lagi.“Syukurlah, aku sudah bosan terlalu lama di sii. Kamu juga pasti harus segera kembali ke perusahaan juga,” balas Emily setelah mengunyah makanan di mulut.“Kamu mau pulang ke rumah Mami?” tanya Alaric tiba-tiba me
Alaric pulang ke rumah setelah mengantar Emily ke rumah orang tuanya. Dia pamit hendak pulang sebentar mengambil sesuatu, tapi sebenarnya ingin menemui sang mama. “Katanya Emi pulang hari ini, kenapa kamu pulang sendiri?” tanya Mia ketika melihat Alaric datang sendiri. “Emi ingin di rumah orang tuanya selama pemulihan, aku rasa itu baik untuk kesehatan tubuh dan mentalnya pasca kejadian yang menimpanya,” ujar Alaric menjelaskan. Mia agak kecewa karena Emily tidak pulang ke rumah itu, tapi karena mendengar alasan Alaric, membuat Mia mencoba memaklumi. “Di mana Kakek?” tanya Alaric karena belum melihat sang kakek semenjak pria tua itu diperbolehkan pulang. “Ada di kamarnya,” jawab Mia dengan ekspresi wajah berubah. Tampaknya wanita itu masih kecewa dengan fakta yang baru diketahuinya. Alaric melihat perubahan sikap sang mama, padahal biasanya sang mama akan antusias jika itu menyangkut soal Bobby atau dirinya, tapi sekarang sikap Mia sangatlah berubah. “Oh ya, Mama jadi ke tempa
Mobil Alaric terus melaju menuju ke suatu tempat. Jalanan yang mereka lewati semakin tampak sepi, kanan kiri terlihat hamparan tanah lapang dengan pepohonan yang berjejer di sisi kanan kiri jalan yang dilewati. Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, mereka akhirnya sampai di sebuah pemakaman umum. Alaric dan Mia pun turun dari mobil. Mia membawa bunga mawar putih yang dibelinya saat di perjalanan tadi. Alaric menggandeng tangan sang mama saat keduanya berjalan masuk ke pemakaman umum. Mereka berjalan di antara makam yang terlihat bersih dengan rumput yang menutupi tanah. Hingga mereka berhenti di salah satu makam yang tampak bersih dari rumput liar atau daun kering. Tertulis nama di sana ‘Queenza Byantara.’ Batu nisan milik mendiang adik Alaric yang meninggal 13 tahun lalu, tepat setelah ulang tahun sang adik karena sebuah tragedi. Mia berjongkok di samping batu nisan. Dia meletakkan bunga yang dibawa, lantas mengusap batu nisa itu. “Mama datang, Queen. Maaf karena sudah sanga
“Mertuamu seperti sedang banyak pikiran, ya?” tanya sang mami saat mengantar makanan ke kamar Emily.Emily menatap sang mama yang baru saja bertanya.“Entah, Al juga bilang kalau Mama sepertinya banyak pikiran, hanya saja saat menemuiku, Mama bersikap biasa, karena itu aku kurang paham,” jawab Emily.Aruna duduk di tepian ranjang, lantas memberikan makan siang untuk putrinya itu.“Waktu mama menemuinya. Mertuamu seperti sangat sedih. Aku mau tanya ke suamimu, tapi takut kalau menyinggung,” ujar Aruna penasaran.Emily mendengarkan sambil makan.“Mungkin Mama sedang banyak pikiran saja, Mi. Lihat aku kena musibah, Kakek penyakitnya kambuh. Siapa yang tidak kepikiran dan panik,” ujar Emily mencoba berpikir positif.Andai ada masalah, Emily yakin suaminya akan cerita.“Iya juga, ya. Berarti mami saja yang banyak pikiran karena cemas,” ucap Aruna.Emily mengangguk-angguk mendengar ucapan sang mami.“Kemarin papimu pergi ke kantor polisi, tanya soal laporan penyerangan. Tapi polisi masih be
Alaric tak salah lihat. Dia tetap berjalan masuk dengan tenang, hingga saat baru menginjakkan kaki lantas menoleh ke kanan. Dia melihat sang bibi berjalan dengan seorang pria menuju koridor private room.“Pak, apa ada masalah?” tanya Niko karena Alaric berhenti melangkah.Alaric menoleh ke Niko, lantas menggelengkan kepala. Dia bersama yang lain pun pergi ke arah kiri menuju private room yang ada di sisi kiri restoran.Alaric menemui klien untuk membahas kerjasama bisnis. Semua pembahasan yang terjadi berjalan lancar hingga Alaric bisa mendapatkan kontrak kerjasama yang diharapkan.“Saya menunggu kerjasama ini berjalan. Saya selalu puas dengan kinerja perusahaan Anda, saya harap setelah ini dan seterusnya pun sama,” ucap klien Alaric sambil menjabat tangan.“Kami akan senantiasa memberikan yang terbaik. Terima kasih atas kepercayaan yang sudah Anda berikan.”Alaric membalas ucapan kliennya dengan sopan. Mereka pun berpisah setelah selesai membahas binis dan makan siang bersama.“Anda
Vano baru saja selesai rapat saat membaca pesan dari Sabrina. Dia sangat terkejut membaca pesan dari Sabrina hingga terburu-buru meninggalkan tempat rapat begitu selesai, membuat semua orang sampai keheranan.Vano pergi ke rumah sakit. Dia mencari Sabrina di poliklinik, hingga bertemu dengan sang bibi.“Bi, Sabrina dan Mami ke sini?” tanya Vano.“Dia di ruang inap, tadi sudah diperiksa dan karena tekanan darahnya rendah serta dia pusing dan mual, jadi aku menyarankan untuk rawat inap,” jawab sang bibi.Vano sangat panik mendengar jawaban sang bibi.“Dia dirawat di ruang mana?” tanya Vano dengan wajah panik.Sang bibi tersenyum melihat kepanikan Vano, lalu memberitahu di mana Sabrina sekarang.Vano pergi ke ruang inap dengan terburu-buru, hingga akhirnya bertemu Sabrina yang berbaring lemas dengan selang infus terpasang di tangan.“Bagaimana kondisinya, Mi?” tanya Vano saat menghampiri Sabrina.“Dia baik, kamu jangan cemas,” jawab Oma Aruna.“Baik apanya, dia sampai dirawat seperti ini,
Sabrina duduk sambil menikmati cokelat hangat pagi itu, hingga satu tangannya yang bebas dari cangkir, digenggam sampai jemarinya bertautan dengan tangan lain. Sabrina menoleh Vano, melihat suaminya itu tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Vano duduk di samping Sabrina yang duduk di bangku panjang. Mereka berlibur di pantai, menikmati kebersamaan mereka setelah sah menjadi suami-istri. “Kamu tidak pesan kopi?” tanya Sabrina sambil menyandarkan kepala di pundak Vano. “Sudah, tinggal menunggu datang saja,” jawab Vano lalu memiringkan kepala hingga menyentuh kepala Sabrina. Keduanya saling bersandar satu sama lain, menatap hamparan pasir putih bersamaan dengan deburan ombak yang menghantam pantai. “Kamu yakin tidak masalah tinggal sama mami?” tanya Vano memastikan. Sabrina mengerutkan alis mendengar pertanyaan Vano. “Kenapa masih tanya lagi?” tanya Sabrina keheranan. Dia mengangkat kepala dari pundak Vano, lalu memandang suaminya itu. “Ya, aku hanya memastikan saja, takut
“Nggak mau pulang. Mau bobok sama Om Vano!” Athalia merengek menolak pulang saat kedua orang tuanya mengajak selepas pulang setelah pesta. Vano hanya mengusap tengkuk melihat kelakuan absurd keponakan satunya itu. Alaric sampai pusing, kenapa anaknya sampai bandelnya seperti itu. “Pulang beli es krim, ya.” Emily membujuk agar Athalia mau pulang. “Nggak mau!” Athalia menolak sampai memeluk kaki Vano. Sabrina menahan tawa dengan kelakuan Athalia, lalu dia ikut membujuk. “Papa mau beli bunga sama balon, Thalia nggak mau ikut?” tanya Sabrina ke Athalia. Athalia langsung menoleh ke sang papa, hingga melihat ayah dan ibunya terkejut mendengar ucapan Sabrina. “Ah, benar. Papa dan mama mau beli bunga, kamu nggak mau ikut?” tanya Emily mengiakan ucapan Sabrina. Athalia tiba-tiba bangun dan melepas kaki Vano, kemudian menggandeng tangan ibunya. “Ayo! Nanti kamarku harus dikasih bunga-bunga,” celoteh Athalia. Alaric dan Emily lega karena Athalia mau dibujuk, akhirnya mereka mengajak p
Mereka masih menautkan bibir, sampai terlena hingga sejenak lupa akan status mereka sekarang.Sabrina melepas pagutan bibir mereka, lalu sedikit mendorong dada Vano agar menjauh darinya.“Airnya sudah panas,” ucap Sabrina sambil masih menunduk karena malu.Vano mematikan mesin pemanas air, lantas kembali memandang Sabrina.Sabrina menatap Vano, melihat wajah pria itu yang merah mungkin dia juga.“Sekadar ciuman boleh, tapi jangan melebihi batas,” ujar Sabrina mengingatkan.Vano langsung mengulum bibir sambil memulas senyum.“Aku tidak mau kita berhubungan sebelum menikah. Kamu paham maksudku, kan?” tanya Sabrina kemudian agar Vano tak salah paham dengan ucapannya.“Hm … ya, tentu,” balas Vano sedikit canggung karena dia terlalu impulsif. Dia tentunya takkan marah dengan keinginan Sabrina yang mencoba menjaga diri sampai mereka benar-benar sah menjadi suami istri.Van
Setelah bertunangan, Vano dan Sabrina sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Mereka jarang jalan di tempat umum karena Raditya melarang, pria tua itu takut kalau terjadi sesuatu lagi dengan Sabrina, padahal ada Vano yang menjaganya. Seperti hari ini, mereka berada di apartemen menonton film seolah berada di bioskop. Vano duduk sambil melingkarkan tangan di belakang pundak Sabrina, sehingga gadis itu bisa bersandar di dadanya. “Besok Mami mengajak fitting gaun untuk pernikahan kita,” ucap Vano sambil melihat ke film yang sedang mereka tonton. Sabrina sedang mengunyah snack, lalu menoleh ke kalender yang ada di meja hias. Tak terasa sudah dua bulan semenjak mereka bertunangan, pantas saja Oma Aruna sudah ingin melakukan fitting baju. “Iya,” balas Sabrina menoleh sekilas ke Vano. Mereka kembali fokus ke film, hingga ponsel Sabrina yang ada di meja berdering. Sabrina menegakkan badan, lalu mengambil benda pipih itu dan melihat sang papa yang menghubungi. “Papa telepon, aku
Hari pertunangan Sabrina dan Vano pun tiba. Pertunangan mereka diadakan di rumah Vano sesuai dengan kesepakatan Raditya dan Opa Ansel.Malam itu halaman samping rumah disulap menjadi tempat pesta untuk pertunangan yang terlihat romantis. Acara itu didatangi keluarga terdekat dan rekan kerja Sabrina di divisinya.“Rumah Pak Vano ternyata sangat besar,” celetuk salah satu staff yang datang.“Pastilah, perusahaannya saja besar. Lupa kalau dia anak pemilik perusahaan,” timpal yang lain.“Iya, lupa,” balas staff itu sampai membuat yang lain tertawa.Sabrina keluar bersama ayahnya memakai gaun elegan hingga membuatnya tampak begitu cantik.Vano sudah menatap tanpa berkedip saat melihat Sabrina. Dia tak menyangka kalau hari ini tiba lalu tinggal menunggu hari lain yang luar biasa tiba.Sabrina tersenyum saat melihat Vano menatapnya, hingga akhirnya mereka berdiri berhadapan untuk melakukan prosesi pertunan
Hari berikutnya, Vano masih menemani Sabrina di apartemen. Pagi itu bersama Sabrina di sofa untuk mengganti perban gadis itu.“Tahan bentar,” ucap Vano saat membersihkan luka Sabrina sebelum diperban lagi.Sabrina melirik ke lengannya. Dia agak meringis karena terasa sedikit perih.Vano membungkus luka itu lagi dengan perlahan setelah selesai dibersihkan.Sabrina menatap Vano yang serius mengganti perban, hingga dia bertanya, “Apa kamu yakin kalau keputusanmu ingin menikah tidak terburu-buru?”Sabrina merasa Vano mengatakan itu hanya spontan saja.Vano melirik Sabrina, lalu menjawab, “Kamu juga setuju, kan? Lalu kenapa sekarang tanya?”“Ya, aku hanya syok saja. Tidak menyangka kamu akan semudah itu bilang mau menikahiku,” balas Sabrina.“Aku serius mengatakan itu,” ucap Vano sambil merapikan perban yang baru saja selesai dipasang.Vano kini menatap Sabrina, memb
Sabrina mengajak Raditya duduk agar bisa mengobrol dengan nyaman. Vano juga ikut bersama keduanya tapi hanya menjadi pendengar saja.“Bagaimana kejadiannya sampai kamu diserang seperti itu?” tanya Raditya penasaran.Sabrina menceritakan dari awal dan akhir apa yang terjadi sampai membuatnya terluka.“Aku hanya masih nggak nyangka kalau dia masih dendam karena dulu aku kabur, Pa. Dia bilang dihajar habis-habisan dan ganti rugi, makanya begitu melihatku dia mau membawaku,” ujar Sabrina menjelaskan.“Dia sudah salah karena menjualmu, lalu dengan enaknya bilang dendam. Dia benar-benar harus diberi pelajaran!” geram Raditya karena pria itu sangat jahat.“Tapi Papa tidak usah terlalu cemas, sekarang pelakunya juga sudah ditangkap,” kata Sabrina menenangkan sang papa.Saat mereka masih mengobrol, terdengar suara bel yang membuat mereka menoleh ke pintu.“Biar aku lihat siapa yang datang,” kata Vano.Vano berdiri menuju pintu, lalu mel
Sabrina terbangun karena lapar. Dia melihat Vano yang baru saja masuk kamar. “Kamu sudah bangun.” Vano langsung mendekat ke ranjang. Sabrina hendak bangun tapi kesusahan karena lengannya sakit. Vano dengan sigap membantu, lalu memastikan Sabrina duduk dengan nyaman. “Aku lapar,” ucap Sabrina karena siang tadi belum makan dan sudah ada tragedi yang membuatnya terluka. “Untung saja aku pesan makanan. Baru saja sampai dan kamu bangun. Biar aku ambilkan ke sini,” kata Vano hendak berdiri. “Aku makan di luar saja, tidak nyaman makan di sini,” kata Sabrina bersiap turun dari ranjang. Vano langsung membantu Sabrina turun dari ranjang karena lengan Sabrina yang terluka tidak bisa dibuat banyak gerak. Vano benar-benar perhatian ke Sabrina. Dia berjalan sambil memperhatikan Sabrina agar tak jatuh, padahal Sabrina bisa berjalan dengan baik karena lengannya saja yang sakit bukan seluruh tubuh. Sabrina sudah duduk di kursi meja makan. Vano membuka pembungkus makanan, lalu mengambil