Beberapa hari pun berlalu. Tidak ada gerak-gerik aneh atau mencurigakan dari Lena atau Gio. Bahkan Alaric juga mendapat laporan jika Lena banyak di rumah beberapa hari ini.“Kamu yakin mau masuk kerja?” tanya Alaric saat melihat Emily sudah berpakaian rapi.Alaric dan Emily pun kembali ke rumah Bobby sesuai dengan janjinya.“Iya, aku juga bosan kalau lama-lama di rumah,” jawab Emily meyakinkan.Alaric mendekat ke sang istri, lantas mengusap lembut rambut istrinya itu.“Ingat pesanku, kamu--” Alaric hendak mengingatkan tapi dipotong cepat oleh Emily.“Iya ingat, aku akan selalu izin sebelum pergi. Membiarkan Fandy menemaniku setiap keluar dari gedung. Aku tidak akan keluar ruangan jika bukan untuk pekerjaan atau hal penting lainnya. Dengar, aku ingat semua pesanmu.”Emily melebarkan senyum setelah bicara, meyakinkan suaminya jika dia akan menuruti semua perkataan pria itu.Memang sedikit berlebihan, tapi semua itu demi keselamatan Emily.Alaric tersenyum mendengar ucapan Emily, lantas
[Kupikir kamu akan menikahi Selena, ternyata dia mau menikah dengan pria lain. Kasihan sekali nasibmu.]Farrel membeliakkan mata membaca pesan dari temannya yang memberitahu soal pernikahan Selena.“Dia benar-benar membuangku!” Farrel sangat geram mengetahui hal itu.Farrel mencari-cari tahu soal informasi siapa pria yang akan menikahi Selena, hingga dia sangat syok saat tahu jika calon pengantin prianya adalah Gio.“Apa-apaan ini? Apa dia ingin mempermainkanku?”Farrel begitu geram dan tak terima karena Selena akan menikah dengan Gio.Farrel pun pergi dari ruangannya. Dia hendak menemui Selena untuk meminta kejelasan, bagaimana bisa wanita itu mau menikah dengan Gio.Farrel mencari Selena di perusahaan milik keluarga wanita itu.“Maaf, Bu Selena sudah dua hari ini tidak masuk kerja,” ucap respsionis yang ditemui Farrel.“Apa kamu tahu dia di mana?” tanya Farrel penasaran.“Saya tidak yakin, mungkin Anda bisa mengecek di apartemennya karena beliau bilang sedang sakit,” ujar resepsioni
Emily pergi ke kafe untuk membeli kopi. Dia baru saja menemui klien bersama sekretarisnya, lalu sekarang mampir dikawal Fandy.“Kamu mau?” tanya Emily ke Fandy.Dia tak mungkin mengabaikan bodyguardnya itu yang sejak tadi terus memantau dirinya.“Tidak perlu,” tolak Fandy sungkan.“Kenapa menolak? Kamu menolak rezeki. Akan aku adukan ke Al kalau kamu menolak pemberianku! Sana pesen buruan!” Emily menawari tapi juga memaksa agar pengawalnya itu ikut memesan.Sekretaris dan staff yang ikut langsung mengulum bibir mendengar Emily memaksa. Jangan harap bisa menolak jika Emily sudah menawari.Fandy hanya menggosok tengkuk karena Emily memaksa, sampai akhirnya dia pun memesan sesuatu hanya untuk menyenangkan istri bosnya itu.“Kamu semeja saja dengan kami, tidak apa-apa,” kata Emily saat mereka mencari meja untuk duduk.“Saya di meja lain saja yang masih dekat dengan Anda,” tolak Fandy tidak bisa semeja dengan atasannya.Emily mengedarkan pandangan, hingga kemudian berkata, “Semua meja hamp
“Dapat sesuatu?” tanya Alaric saat Billy datang ke ruangannya.“Mau kabar yang mana dulu?” tanya Billy balik malah menawari.“Terserah kamu mau menyampaikan yang mana,” balas Alaric dengan entengnya.Billy melepas kancing jasnya, lantas duduk di depan meja Alaric.“Baiklah, aku mulai dari rencana kita. Aku sudah menyusun semuanya, akan ada kehebohan di pesta pernikahan Gio,” ucap Billy jemawa.Alaric hanya mengangguk, lantas kembali bertanya, “Lalu kabar lainnya?”“Hm … soal mamamu. Aku benar-benar tak mendapat apa pun. Dia tak pergi ke banyak tempat akhir-akhir ini, bahkan lebih banyak di rumah dan rumah sakit. Apa mungkin masalahnya dari rumah?”Billy bicara sambil menatap Alaric seolah meminta sahabatnya itu untuk mengingat apakah ada kejadian di rumah.Alaric pun berpikir sejenak saat mendengar ucapan Billy.“Kurasa tidak ada. Atau mungkin karena perdebatan Kakek dan Bibi menyangkut soal Mama, karena itu Mama sedih?”Alaric menatap Billy, kenapa dia tidak kepikiran sampai sana.“B
Saat malam hari. Alaric menemui Mia setelah mereka makan malam. Pria itu datang ke kamar Mia untuk menanyakan kondisi sang mama. “Bagaimana kondisi Mama? Beberapa hari ini Mama terlihat pucat, apa benar jika baik-baik saja?” tanya Alaric yang cemas. Mia tersenyum mendengar pertanyaan putranya itu, kemudian mencoba meyakinkan. “Iya, mama baik-baik saja, Al. Mungkin mama hanya lelah saja, makanya kelihatan tidak sehat,” jawab Mia. Alaric menggenggam telapak tangan sang mama, hingga kemudian berkata, “Jika ada masalah, bicarakan denganku, Ma. Jangan disimpan sendiri.” “Mama sudah menyimpan banyak beban sendiri. Setidaknya sekarang berbagilah jika memang beban yang Mama rasakan terlalu berat,” ujar Alaric mencoba meyakinkan sang mama jika tak sendiri. Mia menatap putranya yang sangat mencemaskan dirinya. Andai bibirnya bisa berucap, dia pun ingin bicara. Namun, isi kepalanya berteriak jangan, membuat Mia hanya bisa memendamnya. “Iya, kamu tenang saja. Sekarang fokuslah ke rumah tang
Hari pernikahan Gio dan Selena pun tiba. Alaric sebenarnya enggan datang, tapi karena ada yang ingin dilihatnya, membuat pria itu bersiap-siap pergi ke hotel tempat pesta diadakan.“Apa kamu yakin ingin pergi?” tanya Emily memastikan.Alaric menoleh Emily, lantas membalas, “Tentu saja.”Alaric menjawab sambil mengancingkan manik ujung lengan.“Sepertinya Mama tidak akan ikut. Aku lihat dia belum keluar dari kamar sama sekali sejak pagi,” ucap Emily.Alaric terdiam mendengar ucapan Emily. Sudah satu minggu mencari tahu alasan perubahan sikap sang mama, tapi ternyata Alaric masih belum juga menemukan jawabannya.Dia ingin melihat rekaman Cctv di ruang kerja sang kakek untuk tahu alasan perdebatan antara sang bibi dan kakek, tapi sayangnya data Cctv masuk ke sistem sang kakek yang membuatnya tak bisa mencari tahu lebih banyak.“Aku sedikit curiga, tapi aku tidak langsung menuduh,” ujar Alaric.“Curiga kalau sikap Mama berubah karena ulah bibimu?” tanya Emily memastikan.“Ya, kira-kira be
Di kamar tempat pengantin dirias. Selena merasa mual tapi terus ditahan. Dia belum memutuskan harus bagaimana menghadapi kehamilannya, apalagi beberapa hari ini harus mempersiapkan pernikahan itu.“Anda baik-baik saja?” tanya perias yang melihat Selena seperti ingin mual.Selena tak mungkin berkata jika sedang hamil. Dia pun membalas, “Aku belum makan sejak semalam, sepertinya asam lambungku naik jadi merasa agak mual.”“Kenapa tidak bilang? Saya akan minta agar seseorang mengirim makanan ke sini,” kata perias lantas meletakkan alat make up.Perias itu keluar mencari pelayan untuk membawakan makanan, dia pergi sendiri karena asistennya sedang ditugaskan mengambil barang di mobil.Saat perias itu pergi. Mia masuk ke ruangan itu lantas menghampiri Selena yang masih menahan mual.“Bibi.” Selena sangat terkejut melihat Mia di sana.Selena berdiri sambil mengangguk ramah ke Mia.Mia memperhatikan Selena dari ujung kaki hingga kepala. Tatapannya menunjukkan rasa tak senang ke wanita itu. Di
“Kamu bilang menantikan sesuatu. Apa kamu sedang merencanakan sesuatu?” tanya Emily penasaran.Emily duduk di kursi yang berjajar di depan altar pernikahan bersama Alaric. Dia penasaran dengan apa yang dikatakan Alaric saat di rumah.“Tunggu saja,” balas Alaric, “aku hanya ingin memberi sedikit pelajaran ke Gio,” imbuhnya.“Kenapa main rahasia-rahasiaan?” tanya Emily yang benar-benar tak sabaran.“Biar kamu menikmatinya, kalau aku beritahukan dulu, kamu takkan terkejut sama sekali dan biasa saja,” jawab Alaric malah menggoda istrinya yang sudah sangat penasaran.“Ish … padahal aku sudah kepo. Apa acaranya akan berantakan?” tanya Emily lagi.“Bisa jadi,” jawab Alaric enteng.Emily benar-benar penasaran, tapi tak mau menebak karena takut salah. Dia pun akhirnya diam, menunggu sampai kejutan yang dimaksud suaminya dimunculkan.Alaric mengedarkan pandangan, hingga melihat sang mama yang baru saja masuk ke ballroom, tapi terlihat berpapasan dengan Lena. Dia pun tampak menajamkan pandangan
Vano baru saja selesai rapat saat membaca pesan dari Sabrina. Dia sangat terkejut membaca pesan dari Sabrina hingga terburu-buru meninggalkan tempat rapat begitu selesai, membuat semua orang sampai keheranan.Vano pergi ke rumah sakit. Dia mencari Sabrina di poliklinik, hingga bertemu dengan sang bibi.“Bi, Sabrina dan Mami ke sini?” tanya Vano.“Dia di ruang inap, tadi sudah diperiksa dan karena tekanan darahnya rendah serta dia pusing dan mual, jadi aku menyarankan untuk rawat inap,” jawab sang bibi.Vano sangat panik mendengar jawaban sang bibi.“Dia dirawat di ruang mana?” tanya Vano dengan wajah panik.Sang bibi tersenyum melihat kepanikan Vano, lalu memberitahu di mana Sabrina sekarang.Vano pergi ke ruang inap dengan terburu-buru, hingga akhirnya bertemu Sabrina yang berbaring lemas dengan selang infus terpasang di tangan.“Bagaimana kondisinya, Mi?” tanya Vano saat menghampiri Sabrina.“Dia baik, kamu jangan cemas,” jawab Oma Aruna.“Baik apanya, dia sampai dirawat seperti ini,
Sabrina duduk sambil menikmati cokelat hangat pagi itu, hingga satu tangannya yang bebas dari cangkir, digenggam sampai jemarinya bertautan dengan tangan lain. Sabrina menoleh Vano, melihat suaminya itu tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Vano duduk di samping Sabrina yang duduk di bangku panjang. Mereka berlibur di pantai, menikmati kebersamaan mereka setelah sah menjadi suami-istri. “Kamu tidak pesan kopi?” tanya Sabrina sambil menyandarkan kepala di pundak Vano. “Sudah, tinggal menunggu datang saja,” jawab Vano lalu memiringkan kepala hingga menyentuh kepala Sabrina. Keduanya saling bersandar satu sama lain, menatap hamparan pasir putih bersamaan dengan deburan ombak yang menghantam pantai. “Kamu yakin tidak masalah tinggal sama mami?” tanya Vano memastikan. Sabrina mengerutkan alis mendengar pertanyaan Vano. “Kenapa masih tanya lagi?” tanya Sabrina keheranan. Dia mengangkat kepala dari pundak Vano, lalu memandang suaminya itu. “Ya, aku hanya memastikan saja, takut
“Nggak mau pulang. Mau bobok sama Om Vano!” Athalia merengek menolak pulang saat kedua orang tuanya mengajak selepas pulang setelah pesta. Vano hanya mengusap tengkuk melihat kelakuan absurd keponakan satunya itu. Alaric sampai pusing, kenapa anaknya sampai bandelnya seperti itu. “Pulang beli es krim, ya.” Emily membujuk agar Athalia mau pulang. “Nggak mau!” Athalia menolak sampai memeluk kaki Vano. Sabrina menahan tawa dengan kelakuan Athalia, lalu dia ikut membujuk. “Papa mau beli bunga sama balon, Thalia nggak mau ikut?” tanya Sabrina ke Athalia. Athalia langsung menoleh ke sang papa, hingga melihat ayah dan ibunya terkejut mendengar ucapan Sabrina. “Ah, benar. Papa dan mama mau beli bunga, kamu nggak mau ikut?” tanya Emily mengiakan ucapan Sabrina. Athalia tiba-tiba bangun dan melepas kaki Vano, kemudian menggandeng tangan ibunya. “Ayo! Nanti kamarku harus dikasih bunga-bunga,” celoteh Athalia. Alaric dan Emily lega karena Athalia mau dibujuk, akhirnya mereka mengajak p
Mereka masih menautkan bibir, sampai terlena hingga sejenak lupa akan status mereka sekarang.Sabrina melepas pagutan bibir mereka, lalu sedikit mendorong dada Vano agar menjauh darinya.“Airnya sudah panas,” ucap Sabrina sambil masih menunduk karena malu.Vano mematikan mesin pemanas air, lantas kembali memandang Sabrina.Sabrina menatap Vano, melihat wajah pria itu yang merah mungkin dia juga.“Sekadar ciuman boleh, tapi jangan melebihi batas,” ujar Sabrina mengingatkan.Vano langsung mengulum bibir sambil memulas senyum.“Aku tidak mau kita berhubungan sebelum menikah. Kamu paham maksudku, kan?” tanya Sabrina kemudian agar Vano tak salah paham dengan ucapannya.“Hm … ya, tentu,” balas Vano sedikit canggung karena dia terlalu impulsif. Dia tentunya takkan marah dengan keinginan Sabrina yang mencoba menjaga diri sampai mereka benar-benar sah menjadi suami istri.Van
Setelah bertunangan, Vano dan Sabrina sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Mereka jarang jalan di tempat umum karena Raditya melarang, pria tua itu takut kalau terjadi sesuatu lagi dengan Sabrina, padahal ada Vano yang menjaganya. Seperti hari ini, mereka berada di apartemen menonton film seolah berada di bioskop. Vano duduk sambil melingkarkan tangan di belakang pundak Sabrina, sehingga gadis itu bisa bersandar di dadanya. “Besok Mami mengajak fitting gaun untuk pernikahan kita,” ucap Vano sambil melihat ke film yang sedang mereka tonton. Sabrina sedang mengunyah snack, lalu menoleh ke kalender yang ada di meja hias. Tak terasa sudah dua bulan semenjak mereka bertunangan, pantas saja Oma Aruna sudah ingin melakukan fitting baju. “Iya,” balas Sabrina menoleh sekilas ke Vano. Mereka kembali fokus ke film, hingga ponsel Sabrina yang ada di meja berdering. Sabrina menegakkan badan, lalu mengambil benda pipih itu dan melihat sang papa yang menghubungi. “Papa telepon, aku
Hari pertunangan Sabrina dan Vano pun tiba. Pertunangan mereka diadakan di rumah Vano sesuai dengan kesepakatan Raditya dan Opa Ansel.Malam itu halaman samping rumah disulap menjadi tempat pesta untuk pertunangan yang terlihat romantis. Acara itu didatangi keluarga terdekat dan rekan kerja Sabrina di divisinya.“Rumah Pak Vano ternyata sangat besar,” celetuk salah satu staff yang datang.“Pastilah, perusahaannya saja besar. Lupa kalau dia anak pemilik perusahaan,” timpal yang lain.“Iya, lupa,” balas staff itu sampai membuat yang lain tertawa.Sabrina keluar bersama ayahnya memakai gaun elegan hingga membuatnya tampak begitu cantik.Vano sudah menatap tanpa berkedip saat melihat Sabrina. Dia tak menyangka kalau hari ini tiba lalu tinggal menunggu hari lain yang luar biasa tiba.Sabrina tersenyum saat melihat Vano menatapnya, hingga akhirnya mereka berdiri berhadapan untuk melakukan prosesi pertunan
Hari berikutnya, Vano masih menemani Sabrina di apartemen. Pagi itu bersama Sabrina di sofa untuk mengganti perban gadis itu.“Tahan bentar,” ucap Vano saat membersihkan luka Sabrina sebelum diperban lagi.Sabrina melirik ke lengannya. Dia agak meringis karena terasa sedikit perih.Vano membungkus luka itu lagi dengan perlahan setelah selesai dibersihkan.Sabrina menatap Vano yang serius mengganti perban, hingga dia bertanya, “Apa kamu yakin kalau keputusanmu ingin menikah tidak terburu-buru?”Sabrina merasa Vano mengatakan itu hanya spontan saja.Vano melirik Sabrina, lalu menjawab, “Kamu juga setuju, kan? Lalu kenapa sekarang tanya?”“Ya, aku hanya syok saja. Tidak menyangka kamu akan semudah itu bilang mau menikahiku,” balas Sabrina.“Aku serius mengatakan itu,” ucap Vano sambil merapikan perban yang baru saja selesai dipasang.Vano kini menatap Sabrina, memb
Sabrina mengajak Raditya duduk agar bisa mengobrol dengan nyaman. Vano juga ikut bersama keduanya tapi hanya menjadi pendengar saja.“Bagaimana kejadiannya sampai kamu diserang seperti itu?” tanya Raditya penasaran.Sabrina menceritakan dari awal dan akhir apa yang terjadi sampai membuatnya terluka.“Aku hanya masih nggak nyangka kalau dia masih dendam karena dulu aku kabur, Pa. Dia bilang dihajar habis-habisan dan ganti rugi, makanya begitu melihatku dia mau membawaku,” ujar Sabrina menjelaskan.“Dia sudah salah karena menjualmu, lalu dengan enaknya bilang dendam. Dia benar-benar harus diberi pelajaran!” geram Raditya karena pria itu sangat jahat.“Tapi Papa tidak usah terlalu cemas, sekarang pelakunya juga sudah ditangkap,” kata Sabrina menenangkan sang papa.Saat mereka masih mengobrol, terdengar suara bel yang membuat mereka menoleh ke pintu.“Biar aku lihat siapa yang datang,” kata Vano.Vano berdiri menuju pintu, lalu mel
Sabrina terbangun karena lapar. Dia melihat Vano yang baru saja masuk kamar. “Kamu sudah bangun.” Vano langsung mendekat ke ranjang. Sabrina hendak bangun tapi kesusahan karena lengannya sakit. Vano dengan sigap membantu, lalu memastikan Sabrina duduk dengan nyaman. “Aku lapar,” ucap Sabrina karena siang tadi belum makan dan sudah ada tragedi yang membuatnya terluka. “Untung saja aku pesan makanan. Baru saja sampai dan kamu bangun. Biar aku ambilkan ke sini,” kata Vano hendak berdiri. “Aku makan di luar saja, tidak nyaman makan di sini,” kata Sabrina bersiap turun dari ranjang. Vano langsung membantu Sabrina turun dari ranjang karena lengan Sabrina yang terluka tidak bisa dibuat banyak gerak. Vano benar-benar perhatian ke Sabrina. Dia berjalan sambil memperhatikan Sabrina agar tak jatuh, padahal Sabrina bisa berjalan dengan baik karena lengannya saja yang sakit bukan seluruh tubuh. Sabrina sudah duduk di kursi meja makan. Vano membuka pembungkus makanan, lalu mengambil