“Aku menolak pernikahan ini karena seharusnya dia bertanggung jawab, bukan malah menikahi wanita lain!”Semua orang sangat syok dengan yang terjadi. Emily sampai melongo ketika melihat wanita yang baru saja berteriak lantang.“Dia, dia hamil anak siapa?” tanya Emily sangat syok melihat perut Aster sedikit membuncit.“Siapa lagi kalau bukan Gio,” jawab Alaric dengan entangnya.Emily semakin terkejut dengan rasa tak percaya. Hampir saja suaminya itu terjebak dengan Aster kalau tidak menikahinya, bisa saja Alaric harus mengakui anak yang bukan darah dagingnya.“Kejutanmu luar biasa,” gumam Emily.“Sudah kubilang bukan?” Alaric membalas dengan jemawa.“Lalu, bagaimana dengan Si Kabel Paralel?” tanya Emily karena Farrel juga datang ke sana.“Entah, mungkin kebetulan,” jawab Alaric yang tak tahu soal kedatangan Farrel.“Jadi, apa Selena hamil anak Farrel? Ini sangat luar biasa.” Emily ingin sekali bertepuk tangan, tapi tahu ini bukan waktu yang pas.Bobby hanya diam melihat kedatangan Aster
“Apa maksudmu bukan?”Aster sangat terkejut mendengar ucapan Gio. Dia sampai menarik lengan pria itu agar menatap ke arahnya.Gio memandang Aster yang tampak kesal, hingga kemudian dia mengeluarkan ponsel, lantas memperlihatkan foto ke sang kakek.“Dia juga tidur dengan pria lain, bagaimana kalau itu benih dari pria lain dan bukan benihku?” Gio begitu percaya diri dengan ucapannya.Aster megap-megap mendengar ucapan Gio. Dia tak berkutik karena memang benar kalau sebelumnya pernah tidur dengan pria lain hanya agar mendapat posisi aman di dunia permodelingan.Bobby meletakkan ponsel Gio di meja, lantas menatap Aster yang sedang panik.Lena menatap tajam ke Aster yang dianggapnya tak tahu diri.“Aku yakin ini anak Gio, Kek. Aku berani tes DNA.” Aster mencoba membela dirinya.“Kamu atau Selena sama saja. Kalian ternyata hamil anak pria lain, lalu sekarang berani menantang? Apa jaminannya kalau kamu tidak hamil anak Gio? Apa kamu mau mengganti kerugian yang kami alami?” Lena langsung mene
Dua hari sebelum pernikahan Gio.Mia terlihat berjalan di koridor apartemen. Dia berhenti di depan pintu salah satu unit apartemen di sana. Hingga beberapa saat kemudian datang seorang cleaning service menghampiri.“Kamu sudah bawa kuncinya?” tanya Mia sambil menoleh cleaning service itu.“Sudah, tapi apa Anda yakin akan merahasiakan keterlibatan saya?” tanya balik cleaning service itu.Mia menoleh ke cleaning service itu, lantas memulas senyum dan berkata, “Kamu tenang saja, rahasiamu aman. Aku tidak akan melibatkanmu sama sekali andai yang kulakukan terbongkar.”Cleaning service itu pun percaya dengan ucapan Mia, lantas mengeluarkan kunci dan membuka.Mia masuk ke unit apartemen itu, begitu juga dengan cleaning service yang berpura akan membersihkan unit itu.Mia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan itu, lantas berjalan masuk kamar yang ada di sana.Dia ternyata mendatangi unit apartemen Selena. Mia sudah mencari tahu semua soal Selena, hingga sekarang mencoba mencari sesuatu unt
“Bibimu pasti sangat malu,” ucap Emily saat sudah berada di kamar bersama Alaric.Emily dan Alaric pulang setelah Bobby membuat keputusan agar dilakukan tes DNA.“Kurasa tidak. Aku yakin dia akan mencari pembelaan agar orang-orang tak menyalahkannya,” balas Alaric lalu duduk di ranjang bersama istrinya.“Iya juga, aku yakin dia akan melakukan segala upaya untuk membuat nama baiknya dan Gio bersih,” ujar Emily.Alaric memandang Emily yang terlihat banyak berpikir, apalagi yang dipikirkan ternyata masalah keluarganya.“Ada keriput di dahimu karena kamu banyak memikirkan masalah keluargaku,” seloroh Alaric tapi raut wajahnya terlihat serius.“Apa? Keriput?” Emily sangat terkejut hingga buru-buru mengambil ponsel untuk melihat apa benar dia punya keriput.Alaric terkejut melihat respon Emily. Dia melihat istrinya itu sedang berkaca dari kamera ponsel.“Kamu takut keriputan?” tanya Alaric terkejut tapi juga merasa lucu.“Iyalah, umurku baru berapa sudah keriputan. Nanti aku tidak terlihat m
“Apa Papa akan terus mempertahankan Lena sebagai keluarga, sedangkan Papa tahu kalau dia sudah banyak membuat malu?”Mia menemui Bobby di ruang kerja saat malam hari.Bobby menghela napas kasar mendengar ucapan sang menantu. Dia tahu jika apa yang dikatakan Mia benar, tapi banyak pertimbangan pula yang dipikirkan jika ingin mengeluarkan Lena dari keluarga.“Bukannya aku ingin mempertahankan mereka, Mia. Aku memiliki banyak pertimbangan yang harus dipikirkan. Keinginan putraku, janji pada keluarganya,” ucap Bobby menjelaskan.Mia langsung menatap sang mertua, tak pernah dia memberikan tatapan tak sopan, tapi sekarang adalah pengecualian.“Kenapa Papa masih menjaga perasaan orang yang sudah tiada ketimbang menjaga perasaanku atau perasaan Al yang masih setia bersama Papa? Kurang apa kami? Andai Papa melanggarnya, apakah itu akan membuat mereka bangkit dari kubur lantas membalas Papa?”Mia sadar ucapannya keterlaluan, tapi dia tak ingin terus tersakiti dengan keberadaan Lena.Bobby terke
Siang itu, Selena, Aster, dan Gio diminta ke rumah sakit untuk pengambilan sampel darah. Usia kandungan Aster sudah lima bulan, sedangka Selena sudah 12 minggu yang artinya bisa melakukan tes DNA pada janinnya.Selena melirik tajam ke Aster, dalam hati mengumpat kenapa tiba-tiba ada wanita itu, apalagi perut Aster lebih besar darinya.“Apa pun nanti hasilnya, aku tidak mau ada masalah lagi.” Bobby bicara tanpa memandang ke orang-orang yang ada di sana.Lena hanya diam mendengar ucapan Bobby, lantas menoleh ke Aster dan Selena yang duduk bersisian. Wanita itu duduk dengan tenang karena bagaimanapun nanti keduanya bersikeras, hasilnya sudah direncanakan.Gio lebih dulu diminta mengambil sampel, baru kemudian Aster dan Selena.Bobby dan Lena menunggu di luar ruangan. Kejadian ini tentunya mengingatkan Bobby pada kejadian bertahun-tahun silam saat Lena hamil dan Bobby mencurigai janin di rahim menantunya itu.Namun, karena hasil menunjukkan jika janin itu cocok dengan DNA Aryan, membuat B
[Aku tahu rahasia soal Alaric dan Gio. Kamu mau tahu? Jika ya, datanglah ke tempatku. Aku tidak bermaksud apa-apa, hanya saja aku kasihan kepadamu yang seperti hanya menjadi bahan permainan saja.]Emily tampak tak senang membaca pesan itu. Belum juga dia membalas, sudah ada lagi pesan masuk berisi alamat yang dimaksud.[Aku tidak akan menutupi apa pun. Datanglah dan aku pastikan kamu mendapatkan kebenaran.]Emily menggenggam erat ponsel itu. Dia sudah curiga jika pasti ada rahasia di keluarga Alaric. Akhirnya Emily pun berdiri lantas berjalan keluar dari ruangannya.“Anda mau ke mana, Bu?” tanya sekretaris Emily.“Aku ada urusan sebentar, aku akan segera kembali,” jawab Emily.Sekretaris Emily pun mengangguk membiarkan atasannya itu pergi.Emily hendak pergi sendiri, tapi teringat akan kejadian sebelumnya, membuat Emily memilih mengajak Fandy.“Anda mau ke mana?” tanya Fandy karena Emily menghampiri di parkiran.“Aku hendak memastikan sesuatu, tolong antar ke sana,” jawab Emily.“Apa
“Tidak! Aku tidak membunuhnya. Aku ….” Emily membela diri dengan suara bergetar. Bahkan tubuhnya pun gemetar saat melihat mayat juga mendengar tuduhan yang dilayangkan kepadanya.“Aku mendengar suara teriakan tadi, lalu lihat dia sudah terkapar bersimbah darah. Bahkan tanganmu berlumuran darah!” Seorang wanita kekeh menuduh Emily yang membunuh.Polisi yang datang bersama wanita itu pun melihat tangan Emily yang berlumuran darah, staff apartemen itu juga sangat syok dengan apa yang dilihat.Emily menatap kedua tangannya, dia baru sadar jika tangannya berlumuran darah, membuat rambut dan wajahnya ikut terkena karena tadi dia menyentuhnya.“Aku tidak membunuhnya! Aku benar-benar tak tahu apa yang terjadi. Tadi aku diserang di jalan, lalu tiba-tiba aku di sini.”Emily mencoba membela diri karena tak bersalah. Dia pun bingung kenapa bisa ada di sana dan bagaimana bisa bersama Aster yang sudah bersimbah darah.“Anda ikut kami ke kantor polisi, lalu jelaskan semua di sana. Anda berhak diam s
Vano baru saja selesai rapat saat membaca pesan dari Sabrina. Dia sangat terkejut membaca pesan dari Sabrina hingga terburu-buru meninggalkan tempat rapat begitu selesai, membuat semua orang sampai keheranan.Vano pergi ke rumah sakit. Dia mencari Sabrina di poliklinik, hingga bertemu dengan sang bibi.“Bi, Sabrina dan Mami ke sini?” tanya Vano.“Dia di ruang inap, tadi sudah diperiksa dan karena tekanan darahnya rendah serta dia pusing dan mual, jadi aku menyarankan untuk rawat inap,” jawab sang bibi.Vano sangat panik mendengar jawaban sang bibi.“Dia dirawat di ruang mana?” tanya Vano dengan wajah panik.Sang bibi tersenyum melihat kepanikan Vano, lalu memberitahu di mana Sabrina sekarang.Vano pergi ke ruang inap dengan terburu-buru, hingga akhirnya bertemu Sabrina yang berbaring lemas dengan selang infus terpasang di tangan.“Bagaimana kondisinya, Mi?” tanya Vano saat menghampiri Sabrina.“Dia baik, kamu jangan cemas,” jawab Oma Aruna.“Baik apanya, dia sampai dirawat seperti ini,
Sabrina duduk sambil menikmati cokelat hangat pagi itu, hingga satu tangannya yang bebas dari cangkir, digenggam sampai jemarinya bertautan dengan tangan lain. Sabrina menoleh Vano, melihat suaminya itu tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Vano duduk di samping Sabrina yang duduk di bangku panjang. Mereka berlibur di pantai, menikmati kebersamaan mereka setelah sah menjadi suami-istri. “Kamu tidak pesan kopi?” tanya Sabrina sambil menyandarkan kepala di pundak Vano. “Sudah, tinggal menunggu datang saja,” jawab Vano lalu memiringkan kepala hingga menyentuh kepala Sabrina. Keduanya saling bersandar satu sama lain, menatap hamparan pasir putih bersamaan dengan deburan ombak yang menghantam pantai. “Kamu yakin tidak masalah tinggal sama mami?” tanya Vano memastikan. Sabrina mengerutkan alis mendengar pertanyaan Vano. “Kenapa masih tanya lagi?” tanya Sabrina keheranan. Dia mengangkat kepala dari pundak Vano, lalu memandang suaminya itu. “Ya, aku hanya memastikan saja, takut
“Nggak mau pulang. Mau bobok sama Om Vano!” Athalia merengek menolak pulang saat kedua orang tuanya mengajak selepas pulang setelah pesta. Vano hanya mengusap tengkuk melihat kelakuan absurd keponakan satunya itu. Alaric sampai pusing, kenapa anaknya sampai bandelnya seperti itu. “Pulang beli es krim, ya.” Emily membujuk agar Athalia mau pulang. “Nggak mau!” Athalia menolak sampai memeluk kaki Vano. Sabrina menahan tawa dengan kelakuan Athalia, lalu dia ikut membujuk. “Papa mau beli bunga sama balon, Thalia nggak mau ikut?” tanya Sabrina ke Athalia. Athalia langsung menoleh ke sang papa, hingga melihat ayah dan ibunya terkejut mendengar ucapan Sabrina. “Ah, benar. Papa dan mama mau beli bunga, kamu nggak mau ikut?” tanya Emily mengiakan ucapan Sabrina. Athalia tiba-tiba bangun dan melepas kaki Vano, kemudian menggandeng tangan ibunya. “Ayo! Nanti kamarku harus dikasih bunga-bunga,” celoteh Athalia. Alaric dan Emily lega karena Athalia mau dibujuk, akhirnya mereka mengajak p
Mereka masih menautkan bibir, sampai terlena hingga sejenak lupa akan status mereka sekarang.Sabrina melepas pagutan bibir mereka, lalu sedikit mendorong dada Vano agar menjauh darinya.“Airnya sudah panas,” ucap Sabrina sambil masih menunduk karena malu.Vano mematikan mesin pemanas air, lantas kembali memandang Sabrina.Sabrina menatap Vano, melihat wajah pria itu yang merah mungkin dia juga.“Sekadar ciuman boleh, tapi jangan melebihi batas,” ujar Sabrina mengingatkan.Vano langsung mengulum bibir sambil memulas senyum.“Aku tidak mau kita berhubungan sebelum menikah. Kamu paham maksudku, kan?” tanya Sabrina kemudian agar Vano tak salah paham dengan ucapannya.“Hm … ya, tentu,” balas Vano sedikit canggung karena dia terlalu impulsif. Dia tentunya takkan marah dengan keinginan Sabrina yang mencoba menjaga diri sampai mereka benar-benar sah menjadi suami istri.Van
Setelah bertunangan, Vano dan Sabrina sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Mereka jarang jalan di tempat umum karena Raditya melarang, pria tua itu takut kalau terjadi sesuatu lagi dengan Sabrina, padahal ada Vano yang menjaganya. Seperti hari ini, mereka berada di apartemen menonton film seolah berada di bioskop. Vano duduk sambil melingkarkan tangan di belakang pundak Sabrina, sehingga gadis itu bisa bersandar di dadanya. “Besok Mami mengajak fitting gaun untuk pernikahan kita,” ucap Vano sambil melihat ke film yang sedang mereka tonton. Sabrina sedang mengunyah snack, lalu menoleh ke kalender yang ada di meja hias. Tak terasa sudah dua bulan semenjak mereka bertunangan, pantas saja Oma Aruna sudah ingin melakukan fitting baju. “Iya,” balas Sabrina menoleh sekilas ke Vano. Mereka kembali fokus ke film, hingga ponsel Sabrina yang ada di meja berdering. Sabrina menegakkan badan, lalu mengambil benda pipih itu dan melihat sang papa yang menghubungi. “Papa telepon, aku
Hari pertunangan Sabrina dan Vano pun tiba. Pertunangan mereka diadakan di rumah Vano sesuai dengan kesepakatan Raditya dan Opa Ansel.Malam itu halaman samping rumah disulap menjadi tempat pesta untuk pertunangan yang terlihat romantis. Acara itu didatangi keluarga terdekat dan rekan kerja Sabrina di divisinya.“Rumah Pak Vano ternyata sangat besar,” celetuk salah satu staff yang datang.“Pastilah, perusahaannya saja besar. Lupa kalau dia anak pemilik perusahaan,” timpal yang lain.“Iya, lupa,” balas staff itu sampai membuat yang lain tertawa.Sabrina keluar bersama ayahnya memakai gaun elegan hingga membuatnya tampak begitu cantik.Vano sudah menatap tanpa berkedip saat melihat Sabrina. Dia tak menyangka kalau hari ini tiba lalu tinggal menunggu hari lain yang luar biasa tiba.Sabrina tersenyum saat melihat Vano menatapnya, hingga akhirnya mereka berdiri berhadapan untuk melakukan prosesi pertunan
Hari berikutnya, Vano masih menemani Sabrina di apartemen. Pagi itu bersama Sabrina di sofa untuk mengganti perban gadis itu.“Tahan bentar,” ucap Vano saat membersihkan luka Sabrina sebelum diperban lagi.Sabrina melirik ke lengannya. Dia agak meringis karena terasa sedikit perih.Vano membungkus luka itu lagi dengan perlahan setelah selesai dibersihkan.Sabrina menatap Vano yang serius mengganti perban, hingga dia bertanya, “Apa kamu yakin kalau keputusanmu ingin menikah tidak terburu-buru?”Sabrina merasa Vano mengatakan itu hanya spontan saja.Vano melirik Sabrina, lalu menjawab, “Kamu juga setuju, kan? Lalu kenapa sekarang tanya?”“Ya, aku hanya syok saja. Tidak menyangka kamu akan semudah itu bilang mau menikahiku,” balas Sabrina.“Aku serius mengatakan itu,” ucap Vano sambil merapikan perban yang baru saja selesai dipasang.Vano kini menatap Sabrina, memb
Sabrina mengajak Raditya duduk agar bisa mengobrol dengan nyaman. Vano juga ikut bersama keduanya tapi hanya menjadi pendengar saja.“Bagaimana kejadiannya sampai kamu diserang seperti itu?” tanya Raditya penasaran.Sabrina menceritakan dari awal dan akhir apa yang terjadi sampai membuatnya terluka.“Aku hanya masih nggak nyangka kalau dia masih dendam karena dulu aku kabur, Pa. Dia bilang dihajar habis-habisan dan ganti rugi, makanya begitu melihatku dia mau membawaku,” ujar Sabrina menjelaskan.“Dia sudah salah karena menjualmu, lalu dengan enaknya bilang dendam. Dia benar-benar harus diberi pelajaran!” geram Raditya karena pria itu sangat jahat.“Tapi Papa tidak usah terlalu cemas, sekarang pelakunya juga sudah ditangkap,” kata Sabrina menenangkan sang papa.Saat mereka masih mengobrol, terdengar suara bel yang membuat mereka menoleh ke pintu.“Biar aku lihat siapa yang datang,” kata Vano.Vano berdiri menuju pintu, lalu mel
Sabrina terbangun karena lapar. Dia melihat Vano yang baru saja masuk kamar. “Kamu sudah bangun.” Vano langsung mendekat ke ranjang. Sabrina hendak bangun tapi kesusahan karena lengannya sakit. Vano dengan sigap membantu, lalu memastikan Sabrina duduk dengan nyaman. “Aku lapar,” ucap Sabrina karena siang tadi belum makan dan sudah ada tragedi yang membuatnya terluka. “Untung saja aku pesan makanan. Baru saja sampai dan kamu bangun. Biar aku ambilkan ke sini,” kata Vano hendak berdiri. “Aku makan di luar saja, tidak nyaman makan di sini,” kata Sabrina bersiap turun dari ranjang. Vano langsung membantu Sabrina turun dari ranjang karena lengan Sabrina yang terluka tidak bisa dibuat banyak gerak. Vano benar-benar perhatian ke Sabrina. Dia berjalan sambil memperhatikan Sabrina agar tak jatuh, padahal Sabrina bisa berjalan dengan baik karena lengannya saja yang sakit bukan seluruh tubuh. Sabrina sudah duduk di kursi meja makan. Vano membuka pembungkus makanan, lalu mengambil