Alaric pulang ke rumah setelah mengantar Emily ke rumah orang tuanya. Dia pamit hendak pulang sebentar mengambil sesuatu, tapi sebenarnya ingin menemui sang mama. “Katanya Emi pulang hari ini, kenapa kamu pulang sendiri?” tanya Mia ketika melihat Alaric datang sendiri. “Emi ingin di rumah orang tuanya selama pemulihan, aku rasa itu baik untuk kesehatan tubuh dan mentalnya pasca kejadian yang menimpanya,” ujar Alaric menjelaskan. Mia agak kecewa karena Emily tidak pulang ke rumah itu, tapi karena mendengar alasan Alaric, membuat Mia mencoba memaklumi. “Di mana Kakek?” tanya Alaric karena belum melihat sang kakek semenjak pria tua itu diperbolehkan pulang. “Ada di kamarnya,” jawab Mia dengan ekspresi wajah berubah. Tampaknya wanita itu masih kecewa dengan fakta yang baru diketahuinya. Alaric melihat perubahan sikap sang mama, padahal biasanya sang mama akan antusias jika itu menyangkut soal Bobby atau dirinya, tapi sekarang sikap Mia sangatlah berubah. “Oh ya, Mama jadi ke tempa
Mobil Alaric terus melaju menuju ke suatu tempat. Jalanan yang mereka lewati semakin tampak sepi, kanan kiri terlihat hamparan tanah lapang dengan pepohonan yang berjejer di sisi kanan kiri jalan yang dilewati. Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, mereka akhirnya sampai di sebuah pemakaman umum. Alaric dan Mia pun turun dari mobil. Mia membawa bunga mawar putih yang dibelinya saat di perjalanan tadi. Alaric menggandeng tangan sang mama saat keduanya berjalan masuk ke pemakaman umum. Mereka berjalan di antara makam yang terlihat bersih dengan rumput yang menutupi tanah. Hingga mereka berhenti di salah satu makam yang tampak bersih dari rumput liar atau daun kering. Tertulis nama di sana ‘Queenza Byantara.’ Batu nisan milik mendiang adik Alaric yang meninggal 13 tahun lalu, tepat setelah ulang tahun sang adik karena sebuah tragedi. Mia berjongkok di samping batu nisan. Dia meletakkan bunga yang dibawa, lantas mengusap batu nisa itu. “Mama datang, Queen. Maaf karena sudah sanga
“Mertuamu seperti sedang banyak pikiran, ya?” tanya sang mami saat mengantar makanan ke kamar Emily.Emily menatap sang mama yang baru saja bertanya.“Entah, Al juga bilang kalau Mama sepertinya banyak pikiran, hanya saja saat menemuiku, Mama bersikap biasa, karena itu aku kurang paham,” jawab Emily.Aruna duduk di tepian ranjang, lantas memberikan makan siang untuk putrinya itu.“Waktu mama menemuinya. Mertuamu seperti sangat sedih. Aku mau tanya ke suamimu, tapi takut kalau menyinggung,” ujar Aruna penasaran.Emily mendengarkan sambil makan.“Mungkin Mama sedang banyak pikiran saja, Mi. Lihat aku kena musibah, Kakek penyakitnya kambuh. Siapa yang tidak kepikiran dan panik,” ujar Emily mencoba berpikir positif.Andai ada masalah, Emily yakin suaminya akan cerita.“Iya juga, ya. Berarti mami saja yang banyak pikiran karena cemas,” ucap Aruna.Emily mengangguk-angguk mendengar ucapan sang mami.“Kemarin papimu pergi ke kantor polisi, tanya soal laporan penyerangan. Tapi polisi masih be
Alaric tak salah lihat. Dia tetap berjalan masuk dengan tenang, hingga saat baru menginjakkan kaki lantas menoleh ke kanan. Dia melihat sang bibi berjalan dengan seorang pria menuju koridor private room.“Pak, apa ada masalah?” tanya Niko karena Alaric berhenti melangkah.Alaric menoleh ke Niko, lantas menggelengkan kepala. Dia bersama yang lain pun pergi ke arah kiri menuju private room yang ada di sisi kiri restoran.Alaric menemui klien untuk membahas kerjasama bisnis. Semua pembahasan yang terjadi berjalan lancar hingga Alaric bisa mendapatkan kontrak kerjasama yang diharapkan.“Saya menunggu kerjasama ini berjalan. Saya selalu puas dengan kinerja perusahaan Anda, saya harap setelah ini dan seterusnya pun sama,” ucap klien Alaric sambil menjabat tangan.“Kami akan senantiasa memberikan yang terbaik. Terima kasih atas kepercayaan yang sudah Anda berikan.”Alaric membalas ucapan kliennya dengan sopan. Mereka pun berpisah setelah selesai membahas binis dan makan siang bersama.“Anda
Beberapa hari pun berlalu. Tidak ada gerak-gerik aneh atau mencurigakan dari Lena atau Gio. Bahkan Alaric juga mendapat laporan jika Lena banyak di rumah beberapa hari ini.“Kamu yakin mau masuk kerja?” tanya Alaric saat melihat Emily sudah berpakaian rapi.Alaric dan Emily pun kembali ke rumah Bobby sesuai dengan janjinya.“Iya, aku juga bosan kalau lama-lama di rumah,” jawab Emily meyakinkan.Alaric mendekat ke sang istri, lantas mengusap lembut rambut istrinya itu.“Ingat pesanku, kamu--” Alaric hendak mengingatkan tapi dipotong cepat oleh Emily.“Iya ingat, aku akan selalu izin sebelum pergi. Membiarkan Fandy menemaniku setiap keluar dari gedung. Aku tidak akan keluar ruangan jika bukan untuk pekerjaan atau hal penting lainnya. Dengar, aku ingat semua pesanmu.”Emily melebarkan senyum setelah bicara, meyakinkan suaminya jika dia akan menuruti semua perkataan pria itu.Memang sedikit berlebihan, tapi semua itu demi keselamatan Emily.Alaric tersenyum mendengar ucapan Emily, lantas
[Kupikir kamu akan menikahi Selena, ternyata dia mau menikah dengan pria lain. Kasihan sekali nasibmu.]Farrel membeliakkan mata membaca pesan dari temannya yang memberitahu soal pernikahan Selena.“Dia benar-benar membuangku!” Farrel sangat geram mengetahui hal itu.Farrel mencari-cari tahu soal informasi siapa pria yang akan menikahi Selena, hingga dia sangat syok saat tahu jika calon pengantin prianya adalah Gio.“Apa-apaan ini? Apa dia ingin mempermainkanku?”Farrel begitu geram dan tak terima karena Selena akan menikah dengan Gio.Farrel pun pergi dari ruangannya. Dia hendak menemui Selena untuk meminta kejelasan, bagaimana bisa wanita itu mau menikah dengan Gio.Farrel mencari Selena di perusahaan milik keluarga wanita itu.“Maaf, Bu Selena sudah dua hari ini tidak masuk kerja,” ucap respsionis yang ditemui Farrel.“Apa kamu tahu dia di mana?” tanya Farrel penasaran.“Saya tidak yakin, mungkin Anda bisa mengecek di apartemennya karena beliau bilang sedang sakit,” ujar resepsioni
Emily pergi ke kafe untuk membeli kopi. Dia baru saja menemui klien bersama sekretarisnya, lalu sekarang mampir dikawal Fandy.“Kamu mau?” tanya Emily ke Fandy.Dia tak mungkin mengabaikan bodyguardnya itu yang sejak tadi terus memantau dirinya.“Tidak perlu,” tolak Fandy sungkan.“Kenapa menolak? Kamu menolak rezeki. Akan aku adukan ke Al kalau kamu menolak pemberianku! Sana pesen buruan!” Emily menawari tapi juga memaksa agar pengawalnya itu ikut memesan.Sekretaris dan staff yang ikut langsung mengulum bibir mendengar Emily memaksa. Jangan harap bisa menolak jika Emily sudah menawari.Fandy hanya menggosok tengkuk karena Emily memaksa, sampai akhirnya dia pun memesan sesuatu hanya untuk menyenangkan istri bosnya itu.“Kamu semeja saja dengan kami, tidak apa-apa,” kata Emily saat mereka mencari meja untuk duduk.“Saya di meja lain saja yang masih dekat dengan Anda,” tolak Fandy tidak bisa semeja dengan atasannya.Emily mengedarkan pandangan, hingga kemudian berkata, “Semua meja hamp
“Dapat sesuatu?” tanya Alaric saat Billy datang ke ruangannya.“Mau kabar yang mana dulu?” tanya Billy balik malah menawari.“Terserah kamu mau menyampaikan yang mana,” balas Alaric dengan entengnya.Billy melepas kancing jasnya, lantas duduk di depan meja Alaric.“Baiklah, aku mulai dari rencana kita. Aku sudah menyusun semuanya, akan ada kehebohan di pesta pernikahan Gio,” ucap Billy jemawa.Alaric hanya mengangguk, lantas kembali bertanya, “Lalu kabar lainnya?”“Hm … soal mamamu. Aku benar-benar tak mendapat apa pun. Dia tak pergi ke banyak tempat akhir-akhir ini, bahkan lebih banyak di rumah dan rumah sakit. Apa mungkin masalahnya dari rumah?”Billy bicara sambil menatap Alaric seolah meminta sahabatnya itu untuk mengingat apakah ada kejadian di rumah.Alaric pun berpikir sejenak saat mendengar ucapan Billy.“Kurasa tidak ada. Atau mungkin karena perdebatan Kakek dan Bibi menyangkut soal Mama, karena itu Mama sedih?”Alaric menatap Billy, kenapa dia tidak kepikiran sampai sana.“B