Alaric masih memeluk Emily, mencoba menenangkan meski istrinya terus memberontak.Emily tak menangis, hanya kesal karena Alaric seperti tak keberatan ketika wanita tadi memeluk erat.“Sumpah demi Tuhan, Emi. Aku tidak pernah menyesal dia meninggalkanku. Aku juga tak pernah berpikir untuk menantinya kembali, apalagi berharap dia menemuiku. Sungguh, aku benar-benar syok saat dia datang dan langsung memeluk.”“Syok? Tapi kamu suka, kan!” Emily tetap sinis karena kejadian tadi.“Astaga, Emi.”Alaric sepertinya harus berusaha lebih keras agar bisa membujuk istrinya yang merajuk.“Sudahlah, Al.”Emily melepas paksa kedua tangan Alaric, kemudian menatap suaminya yang terkejut karena amarahnya.“Emi, jangan gini, ya. Aku berani bersumpah, bahkan mengingatnya saja tidak pernah. Apa kamu mau hubungan kita renggang hanya kedatangannya yang tak tahu tujuannya apa? Aku minta maaf jika tadi reaksiku hanya diam, aku benar-benar terkejut,” ucap Alaric mencoba menjelaskan lagi.Emily mencoba mengatur
“Anya tadi menemuiku.” Alaric langsung menatap Billy yang baru saja bicara. “Dia juga sudah menemuimu, kan?” tanya Billy sambil memandang Alaric yang terkejut. Alaric tak langsung membalas, dia terlihat mengembuskan napas kasar. “Dia tiba-tiba muncul saat aku sedang bersama Emi. Parahnya dia memelukku begitu saja, membuat Emi marah besar.” Tentu saja Alaric frustasi karena sempat bertengkar dengan Emily. Billy sangat terkejut sampai melotot mendengar ucapan Alaric. “Lebih baik kamu hindari dia, atau rumah tanggamu berantakan,” ucap Billy memperingatkan. “Aku tahu kamu dulu sangat mencintainya, hampir gila mencarinya yang tiba-tiba pergi. Tapi ingat, sekarang sudah ada Emi yang jadi istrimu, kuharap kamu benar-benar sudah membuang perasaanmu untuk Anya,” ujar Billy lagi karena tak ingin temannya itu terjebak dengan masa lalu. “Aku tahu,” balas Alaric melihat kecemasan dalam tatapan mata Billy. Billy melihat Alaric yang terlihat bingung. Dia mencondongnya tubuh ke arah sahabat
“Tumben kamu tidak pulang sama suamimu. Apa dia sedang sibuk?” tanya Aruna ketika melihat putrinya itu datang bersama Ansel.Emily memilih tak menjawab pertanyaan sang mama. Dia meletakkan tas di sofa lantas duduk dengan kasar sambil mendesau.Aruna mengerutkan alis, tumben putrinya tidak antusias membalas saat membahas soal Alaric.“Kenapa? Kalian bertengkar?” tanya Aruna lantas duduk di samping putrinya itu.“Tidak,” jawab Emily menoleh sekilas ke Aruna, lantas kembali menatap langit-langit ruangan itu.“Terus, kenapa ga jawab pertanyaan mami? Tumben kamu ga datang barengan sama Alaric?” tanya Aruna lagi karena sikap Emily yang aneh.“Oh, iya dia sibuk. Terus aku pengen ke sini juga, jadi aku minta pulang bareng Papi aja, biar dia nyusul kalau mau,” jawab Emily sambil meluruskan kaki.“Jawabanmu aneh, fix mami yakin kalau kalian sedang bertengkar,” balas Aruna.Emily hanya menoleh ke sang mami, tapi tak membalas perkataan ibunya itu.Beberapa saat kemudian, Alaric datang ke rumah me
Alaric mengurai pelukan, lantas sedikit menarik lengan Emily agar berbaring menghadap ke arahnya. Dia melihat mata istrinya merah, membuatnya sedikit menunduk lantas mendaratkan kecupan di kedua kelopak mata Emily. “Iya, aku janji akan mengikuti apa yang kamu katakan. Aku benar-benar tak bisa melihatmu marah seperti ini, Emi. Dia hanya masa lalu, aku tidak akan pernah menganggapnya karena bagiku sekarang, kamu yang utama,” ucap Alaric sekali lagi membujuk. “Jangan berkata manis-manis, aku tidak suka karena itu hanya sebuah bualan!” Emily agak aneh suaminya membujuk dengan lembut, tapi dalam hatinya juga senang karena Alaric berusaha membujuknya. “Iya, aku melakukan ini hanya kepadamu dan karenamu agar tak marah. Jika ke orang lain, aku tidak akan bicara yang manis-manis,” balas Alaric untuk menyenangkan hati Emily. Emily menahan senyum, bahkan sampai mengulum bibir. “Sudah tidak marah, kan?” tanya Alaric memastikan. Emily menggelengkan kepala menjawab pertanyaan Alaric, Emily s
“Saya sudah mengatur ulang jadwal Anda. Siang hari setelah makan siang saya kosongkan seperti biasa sesuai instruksi Anda,” ucap Niko sambil membaca daftar kegiatan Alaric yang sudah disusunnya.Alaric memang meminta Niko untuk mengosongkan jadwal setelah makan siang agar dirinya bisa lebih lama bersama Emily saat jam makan siang.Ketika mereka keluar dari lobi karena ingin pergi menemui klien. Alaric terkejut saat melihat siapa yang berdiri di lobi menunggunya. Dia sampai menghentikan langkah, ingin berbalik arah tapi sepertinya terlambat.Anya menunggu Alaric di lobi. Wanita itu tersenyum saat melihat Alaric keluar dari lift.“Al.” Anya berjalan cepat menghampiri Alaric.Alaric tak bisa menghindar, tapi terlihat seperti bersiaga untuk menjaga jarak.Anya menyapa Niko yang berdiri di samping Alaric, sedangkan Niko melirik Alaric yang terlihat waspada.“Ada apa menemuiku?” tanya Alaric dengan tatapan dingin.Anya cukup terkejut mendengar pertanyaan Alaric, apalagi tatapan pria itu ber
Alaric baru saja dari ruang kerjanya. Dia masuk kamar untuk istirahat hingga melihat istrinya masih belum tidur.Dia melihat Emily yang berbaring miring sambil menyangga kepala sedang menatap ke arahnya.“Kenapa belum tidur?” tanya Alaric sambil mendekat ke ranjang.“Aku menunggumu,” jawab Emily lantas menyingkirkan tangan dari kepala, membuatnya kini berbaring dengan masih terus menatap Alaric.Alaric agak tak nyaman dengan tatapan Emily yang berbeda. Dia sampai berpikir-pikir apakah punya kesalahan karena takut jika sampai membuat istrinya marah lagi.“Ada yang ingin kamu bicarakan?” tanya Alaric saat sudah duduk di ranjang sambil menatap Emily.Emily menatap suaminya sambil tersenyum tipis. Seperti kata Claudia, dia harus melupakan kekesalannya lalu membuat hubungan mereka semakin intim.“Ada apa, Emi?” tanya Alaric lagi karena Emily belum menjawab.Tiba-tiba saja Alaric takut dan cemas jika Emily hanya diam karena sebenarnya sedang marah. Dia cemas jika Emily tahu soal kedatangan A
Hari berikutnya. Emily pergi bersama Alaric ke pesta yang diadakan salah satu rekan kerja Alaric. Ternyata pesta itu diadakan di sebuah villa, karena itu Emily dan Alaric pergi dari rumah lebih awal agar tak terlambat ke pesta.“Pantas kamu mengajakku, ternyata pestanya di villa,” ucap Emily saat mereka sudah sampai di villa.Di sana sudah banyak mobil yang terpakir, bahkan villa mewah itu tampak terang benderang.“Karena kamu istriku, tidak mungkin aku mengajak sekretarisku,” balas Alaric dengan nada candaan.Emily hanya tersenyum mendengar balasan Alaric. Mereka pun turun dari mobil, lantas berjalan ke samping villa tempat pesta diadakan.Emily tampak cantik dengan gaun hitam berenda di bagian dada hingga lengan. Dia merangkul lengan suaminya saat diajak menemui pemilik pesta itu.“Akhirnya kamu datang,” ucap rekan bisnis Alaric terlihat senang hingga langsung menyapa.“Selamat atas hari pernikahan kalian,” ucap Alaric lantas menoleh Emily.Emily baru ingat dengan kado yang dibawa.
“Akhirnya kamu datang. Aku pikir kamu tidak bisa datang.”Emily memperhatikan wanita yang sedang disapa pemilik pesta. Dia terlihat kesal karena jelas wanita itu tak diharapkan kedatangannya.Anya datang mewakili keluarganya, hingga tatapannya tertuju ke Emily yang duduk di sofa, lantas menoleh ke arah lain dan melihat Alaric di sana.“Ayo duduk bersama kami!” ajak wanita pemilik pesta.Anya mengangguk sambil tersenyum. Saat akan berjalan menuju orang-orang berkumpul, dia melihat Emily yang tiba-tiba saja berdiri, semua orang yang ada di sana pun terkejut.“Kamu mau ke mana?” tanya pemilik pesta.Emily melirik ke Anya dengan tatapan tak senang, lantas menoleh istri rekan bisnis suaminya sambil memulas senyum.“Aku mau ke toilet sebentar,” jawab Emily.Emily berjalan melewati Anya, hingga wanita itu melirik ke arahnya.“Aku permisi bentar,” ucap Anya lantas pergi menyusul ke mana Emily pergi.Emily berjalan menuju tempat Alaric berada, tapi siapa sangka Anya memanggilnya.“Maaf, permis
Vano baru saja selesai rapat saat membaca pesan dari Sabrina. Dia sangat terkejut membaca pesan dari Sabrina hingga terburu-buru meninggalkan tempat rapat begitu selesai, membuat semua orang sampai keheranan.Vano pergi ke rumah sakit. Dia mencari Sabrina di poliklinik, hingga bertemu dengan sang bibi.“Bi, Sabrina dan Mami ke sini?” tanya Vano.“Dia di ruang inap, tadi sudah diperiksa dan karena tekanan darahnya rendah serta dia pusing dan mual, jadi aku menyarankan untuk rawat inap,” jawab sang bibi.Vano sangat panik mendengar jawaban sang bibi.“Dia dirawat di ruang mana?” tanya Vano dengan wajah panik.Sang bibi tersenyum melihat kepanikan Vano, lalu memberitahu di mana Sabrina sekarang.Vano pergi ke ruang inap dengan terburu-buru, hingga akhirnya bertemu Sabrina yang berbaring lemas dengan selang infus terpasang di tangan.“Bagaimana kondisinya, Mi?” tanya Vano saat menghampiri Sabrina.“Dia baik, kamu jangan cemas,” jawab Oma Aruna.“Baik apanya, dia sampai dirawat seperti ini,
Sabrina duduk sambil menikmati cokelat hangat pagi itu, hingga satu tangannya yang bebas dari cangkir, digenggam sampai jemarinya bertautan dengan tangan lain. Sabrina menoleh Vano, melihat suaminya itu tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Vano duduk di samping Sabrina yang duduk di bangku panjang. Mereka berlibur di pantai, menikmati kebersamaan mereka setelah sah menjadi suami-istri. “Kamu tidak pesan kopi?” tanya Sabrina sambil menyandarkan kepala di pundak Vano. “Sudah, tinggal menunggu datang saja,” jawab Vano lalu memiringkan kepala hingga menyentuh kepala Sabrina. Keduanya saling bersandar satu sama lain, menatap hamparan pasir putih bersamaan dengan deburan ombak yang menghantam pantai. “Kamu yakin tidak masalah tinggal sama mami?” tanya Vano memastikan. Sabrina mengerutkan alis mendengar pertanyaan Vano. “Kenapa masih tanya lagi?” tanya Sabrina keheranan. Dia mengangkat kepala dari pundak Vano, lalu memandang suaminya itu. “Ya, aku hanya memastikan saja, takut
“Nggak mau pulang. Mau bobok sama Om Vano!” Athalia merengek menolak pulang saat kedua orang tuanya mengajak selepas pulang setelah pesta. Vano hanya mengusap tengkuk melihat kelakuan absurd keponakan satunya itu. Alaric sampai pusing, kenapa anaknya sampai bandelnya seperti itu. “Pulang beli es krim, ya.” Emily membujuk agar Athalia mau pulang. “Nggak mau!” Athalia menolak sampai memeluk kaki Vano. Sabrina menahan tawa dengan kelakuan Athalia, lalu dia ikut membujuk. “Papa mau beli bunga sama balon, Thalia nggak mau ikut?” tanya Sabrina ke Athalia. Athalia langsung menoleh ke sang papa, hingga melihat ayah dan ibunya terkejut mendengar ucapan Sabrina. “Ah, benar. Papa dan mama mau beli bunga, kamu nggak mau ikut?” tanya Emily mengiakan ucapan Sabrina. Athalia tiba-tiba bangun dan melepas kaki Vano, kemudian menggandeng tangan ibunya. “Ayo! Nanti kamarku harus dikasih bunga-bunga,” celoteh Athalia. Alaric dan Emily lega karena Athalia mau dibujuk, akhirnya mereka mengajak p
Mereka masih menautkan bibir, sampai terlena hingga sejenak lupa akan status mereka sekarang.Sabrina melepas pagutan bibir mereka, lalu sedikit mendorong dada Vano agar menjauh darinya.“Airnya sudah panas,” ucap Sabrina sambil masih menunduk karena malu.Vano mematikan mesin pemanas air, lantas kembali memandang Sabrina.Sabrina menatap Vano, melihat wajah pria itu yang merah mungkin dia juga.“Sekadar ciuman boleh, tapi jangan melebihi batas,” ujar Sabrina mengingatkan.Vano langsung mengulum bibir sambil memulas senyum.“Aku tidak mau kita berhubungan sebelum menikah. Kamu paham maksudku, kan?” tanya Sabrina kemudian agar Vano tak salah paham dengan ucapannya.“Hm … ya, tentu,” balas Vano sedikit canggung karena dia terlalu impulsif. Dia tentunya takkan marah dengan keinginan Sabrina yang mencoba menjaga diri sampai mereka benar-benar sah menjadi suami istri.Van
Setelah bertunangan, Vano dan Sabrina sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Mereka jarang jalan di tempat umum karena Raditya melarang, pria tua itu takut kalau terjadi sesuatu lagi dengan Sabrina, padahal ada Vano yang menjaganya. Seperti hari ini, mereka berada di apartemen menonton film seolah berada di bioskop. Vano duduk sambil melingkarkan tangan di belakang pundak Sabrina, sehingga gadis itu bisa bersandar di dadanya. “Besok Mami mengajak fitting gaun untuk pernikahan kita,” ucap Vano sambil melihat ke film yang sedang mereka tonton. Sabrina sedang mengunyah snack, lalu menoleh ke kalender yang ada di meja hias. Tak terasa sudah dua bulan semenjak mereka bertunangan, pantas saja Oma Aruna sudah ingin melakukan fitting baju. “Iya,” balas Sabrina menoleh sekilas ke Vano. Mereka kembali fokus ke film, hingga ponsel Sabrina yang ada di meja berdering. Sabrina menegakkan badan, lalu mengambil benda pipih itu dan melihat sang papa yang menghubungi. “Papa telepon, aku
Hari pertunangan Sabrina dan Vano pun tiba. Pertunangan mereka diadakan di rumah Vano sesuai dengan kesepakatan Raditya dan Opa Ansel.Malam itu halaman samping rumah disulap menjadi tempat pesta untuk pertunangan yang terlihat romantis. Acara itu didatangi keluarga terdekat dan rekan kerja Sabrina di divisinya.“Rumah Pak Vano ternyata sangat besar,” celetuk salah satu staff yang datang.“Pastilah, perusahaannya saja besar. Lupa kalau dia anak pemilik perusahaan,” timpal yang lain.“Iya, lupa,” balas staff itu sampai membuat yang lain tertawa.Sabrina keluar bersama ayahnya memakai gaun elegan hingga membuatnya tampak begitu cantik.Vano sudah menatap tanpa berkedip saat melihat Sabrina. Dia tak menyangka kalau hari ini tiba lalu tinggal menunggu hari lain yang luar biasa tiba.Sabrina tersenyum saat melihat Vano menatapnya, hingga akhirnya mereka berdiri berhadapan untuk melakukan prosesi pertunan
Hari berikutnya, Vano masih menemani Sabrina di apartemen. Pagi itu bersama Sabrina di sofa untuk mengganti perban gadis itu.“Tahan bentar,” ucap Vano saat membersihkan luka Sabrina sebelum diperban lagi.Sabrina melirik ke lengannya. Dia agak meringis karena terasa sedikit perih.Vano membungkus luka itu lagi dengan perlahan setelah selesai dibersihkan.Sabrina menatap Vano yang serius mengganti perban, hingga dia bertanya, “Apa kamu yakin kalau keputusanmu ingin menikah tidak terburu-buru?”Sabrina merasa Vano mengatakan itu hanya spontan saja.Vano melirik Sabrina, lalu menjawab, “Kamu juga setuju, kan? Lalu kenapa sekarang tanya?”“Ya, aku hanya syok saja. Tidak menyangka kamu akan semudah itu bilang mau menikahiku,” balas Sabrina.“Aku serius mengatakan itu,” ucap Vano sambil merapikan perban yang baru saja selesai dipasang.Vano kini menatap Sabrina, memb
Sabrina mengajak Raditya duduk agar bisa mengobrol dengan nyaman. Vano juga ikut bersama keduanya tapi hanya menjadi pendengar saja.“Bagaimana kejadiannya sampai kamu diserang seperti itu?” tanya Raditya penasaran.Sabrina menceritakan dari awal dan akhir apa yang terjadi sampai membuatnya terluka.“Aku hanya masih nggak nyangka kalau dia masih dendam karena dulu aku kabur, Pa. Dia bilang dihajar habis-habisan dan ganti rugi, makanya begitu melihatku dia mau membawaku,” ujar Sabrina menjelaskan.“Dia sudah salah karena menjualmu, lalu dengan enaknya bilang dendam. Dia benar-benar harus diberi pelajaran!” geram Raditya karena pria itu sangat jahat.“Tapi Papa tidak usah terlalu cemas, sekarang pelakunya juga sudah ditangkap,” kata Sabrina menenangkan sang papa.Saat mereka masih mengobrol, terdengar suara bel yang membuat mereka menoleh ke pintu.“Biar aku lihat siapa yang datang,” kata Vano.Vano berdiri menuju pintu, lalu mel
Sabrina terbangun karena lapar. Dia melihat Vano yang baru saja masuk kamar. “Kamu sudah bangun.” Vano langsung mendekat ke ranjang. Sabrina hendak bangun tapi kesusahan karena lengannya sakit. Vano dengan sigap membantu, lalu memastikan Sabrina duduk dengan nyaman. “Aku lapar,” ucap Sabrina karena siang tadi belum makan dan sudah ada tragedi yang membuatnya terluka. “Untung saja aku pesan makanan. Baru saja sampai dan kamu bangun. Biar aku ambilkan ke sini,” kata Vano hendak berdiri. “Aku makan di luar saja, tidak nyaman makan di sini,” kata Sabrina bersiap turun dari ranjang. Vano langsung membantu Sabrina turun dari ranjang karena lengan Sabrina yang terluka tidak bisa dibuat banyak gerak. Vano benar-benar perhatian ke Sabrina. Dia berjalan sambil memperhatikan Sabrina agar tak jatuh, padahal Sabrina bisa berjalan dengan baik karena lengannya saja yang sakit bukan seluruh tubuh. Sabrina sudah duduk di kursi meja makan. Vano membuka pembungkus makanan, lalu mengambil