“Akhirnya kamu datang. Aku pikir kamu tidak bisa datang.”Emily memperhatikan wanita yang sedang disapa pemilik pesta. Dia terlihat kesal karena jelas wanita itu tak diharapkan kedatangannya.Anya datang mewakili keluarganya, hingga tatapannya tertuju ke Emily yang duduk di sofa, lantas menoleh ke arah lain dan melihat Alaric di sana.“Ayo duduk bersama kami!” ajak wanita pemilik pesta.Anya mengangguk sambil tersenyum. Saat akan berjalan menuju orang-orang berkumpul, dia melihat Emily yang tiba-tiba saja berdiri, semua orang yang ada di sana pun terkejut.“Kamu mau ke mana?” tanya pemilik pesta.Emily melirik ke Anya dengan tatapan tak senang, lantas menoleh istri rekan bisnis suaminya sambil memulas senyum.“Aku mau ke toilet sebentar,” jawab Emily.Emily berjalan melewati Anya, hingga wanita itu melirik ke arahnya.“Aku permisi bentar,” ucap Anya lantas pergi menyusul ke mana Emily pergi.Emily berjalan menuju tempat Alaric berada, tapi siapa sangka Anya memanggilnya.“Maaf, permis
Alaric dan Emily kembali ke apartemen setelah menempuh perjalanan hampir satu jam. Mereka tidak pulang ke rumah karena sedang berada di mood yang buruk. “Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Alaric saat melihat Emily baru saja keluar dari kamar mandi. Emily terkejut mendengar suaminya kembali menanyakan itu. Dia pun mencoba tersenyum untuk melegakan hati suaminya. Emily masih tak menyangka jika Alaric akan memilih mengabaikan Anya. Awalnya Emily berpikir jika Alaric akan masuk air untuk menolong Anya seperti drama-drama yang biasa ditontonnya, tapi siapa sangka semua itu salah, suaminya bersikap sebaliknya. “Aku baik-baik saja, kamu jangan cemas,” ucap Emily sambil mengusap lengan Alaric. Alaric memulas senyum lantas mengecup kening Emily dengan lembut. “Aku sudah memesan makanan, ayo makan!” ajak Alaric sambil menggenggam telapak tangan Emily. Mereka pun makan bersama, tapi Emily terlihat banyak diam sejak kejadian tadi, mungkin karena dia masih memikirkan Anya. Wanita itu lemah l
“Apa yang harus aku lakukan ke Anya?”Billy mengerutkan alis mendengar pertanyaan Alaric.“Memangnya kamu mau melakukan apa? Maksudku, kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu? Kamu tahu, pertanyaanmu ini bikin orang salah paham.”Billy benar-benar keheranan dengan maksud ucapan Alaric.Alaric menghela napas kasar. Seharian dia tak bisa fokus bekerja karena cemburunya Emily akibat kemunculan Anya.“Hubunganku dengan Emi bisa terancam jika Anya terus muncul di hadapanku. Apalagi akhir-akhir ini Emi gampang sekali marah dan berpikiran negatif,” ujar Alaric menjelaskan.“Terus, kamu maunya gimana? Kita tidak tahu apa sebenarnya niatan Anya muncul mencarimu. Tidak mungkinkan tiba-tiba kamu bilang ke dia agar menjauhimu? Bagaimana jika ternyata dia tak ada maksud mendekatimu lagi? Bukankah kamu malah seperti terlalu percaya diri jika dia mau mengejarmu lagi?”Billy tak ingin berspekulasi dulu karena sejauh ini Anya hanya menemui Alaric tanpa memperlihatkan niat dan alasan menemui Alaric.
Emily sempat menghentikan langkah sesaat saat melihat siapa yang menunggunya, hingga akhirnya berjalan dengan cepat menghampiri orang yang sudah menunggunya.“Emily!”Emily melebarkan senyum ketika melihat wajah-wajah wanita hebat yang dikenalnya beberapa waktu lalu. Akhirnya wanita-wanita yang ditemuinya di penjara, sekarang sudah bebas dan mendatanginya di kantor.“Kapan kalian bebas?” tanya Emily senang akhirnya bisa menepati janji membantu mereka keluar dari penjara.“Pagi tadi,” jawab Susi, wanita yang mencuri ayam hanya buat makan.“Kami langsung ke sini,” timpal Ira, wanita yang mencuri di minimarket.“Bagaimana dengan Leha?” tanya Emily.“Ya, Leha bilang ga usah dikeluarkan, dia juga dihukum ga lama, terus udah biasa keluar-masuk penjara,” jawab Ira.Emily hanya membentuk huruf O menggunakan bibir.Febry yang berdiri di belakang Emily hanya mendengarkan pembicaraan atasannya itu karena tidak kenal dengan dua wanita yang sedang ditemui.“Oh ya, aku ada rapat. Bagaimana kalau ka
“Maaf, maaf.” Susi panik sampai langsung berdiri untuk meminta maaf. Bahkan Susi mengambil tisu untuk membantu membersihkan rok milik wanita yang terkena dagingnya. “Sudah, tidak apa-apa.” Wanita itu ternyata Anya. Dia mundur saat Susi ingin membersihkan roknya. Fandy dan Ira berdiri melihat hal itu, mereka juga panik melihat Susi mengotori pakaian orang. Di sisi lain Emily baru saja selesai membahas pekerjaan dan baru berpamitan dengan klien. Emily melihat Susi sedang berusaha membersihkan pakaian seorang wanita. Emily pun mendekat untuk menghampiri dan menanyakan apa yang terjadi. “Aku benar-benar minta maaf,” ucap Susi karena panik jika wanita itu marah karena dia tak sengaja mengotori pakaian wanita itu. “Sudah, tidak usah dibersihkan. Aku tidak apa-apa,” ucap Anya yang seperti enggan disentuh Susi. “Ada apa ini?” tanya Emily yang muncul di belakang Anya. Anya membalikkan badan, terkejut melihat Emily di sana. Emily sama terkejutnya karena bertemu dengan Anya. “Itu, aku
Alaric buru-buru turun dari mobil saat menjemput Emily. Siang tadi dia mendapat informasi dari Fandy kalau Emily sakit, tapi karena dia sedang menemui beberapa klien secara bergantian karena jadwal yang padat. Alaric belum bisa menemui istrinya itu, hanya sempat berbalas pesan.“Kenapa kamu tergesa-gesa?” tanya Emily saat melihat Alaric berjalan cepat ke arahnya yang baru saja keluar dari lift.“Bagaimana kondisimu?” tanya Alaric langsung menyentuh kening Emily untuk mengecek suhu tubuh istrinya itu.Staff yang melihat hal itu langsung menunduk karena tak ingin menganggu.Emily pun sangat terkejut, tak biasanya Alaric menunjukkan perhatian di tempat umum, membuatnya agak malu.“Aku baik-baik saja,” jawab Emily sambil menurunkan tangan suaminya dari kening.“Kamu yakin?” tanya Alaric memastikan lagi meski Emily sudah mengatakan kondisinya saat berbalas pesan dengannya siang tadi.“Iya, tadi ‘kan sudah aku bilang. Aku hanya telat makan, lalu makan mie, jadi lambungku tidak beres. Ini sa
Sudah dua hari semenjak Emily muntah. Dia tidak terlalu memikirkan karena mual setelah menggosok gigi, selebihnya dia baik-baik saja.Sama seperti pagi itu. Emily muntah setelah menggosok gigi, hal itu membuat Alaric cemas karena tiap pagi saat mandi, istrinya pasti muntah.“Emi, kamu serius tidak sakit? Sudah dua hari ini kamu terus muntah ketika mandi?” tanya Alaric saat istrinya itu baru saja keluar dari kamar mandi.Emily menatap Alaric yang sangat mencemaskannya. Seperti biasa dia melebarkan senyum lantas membalas, “Aku ga panas atau demam, Al. Tapi memang gara-gara makan mie waktu itu, tiap merasakan pasta gigi rasanya mau mual dan muntah.”“Jangan-jangan mienya waktu itu kadaluarsa, ya? Makanya aku jadi mual berkepanjangan? Kalau keracunan, tapi aku ga sakit?”Emily malah berpikiran sampai ke sana, tapi juga aneh karena merasa baik-baik saja.Alaric menyentuh kening istrinya, dingin karena Emily baru saja mandi.“Bagaimana kalau ke rumah sakit untuk memeriksa kondisimu? Kalau m
Emily bingung mendengar pertanyaan sang bibi. Dia ingin mengecek kalender di ponsel, tapi malah lebih dulu mendapat pesan.Sashi memperhatikan Emily yang hanya diam, hingga kemudian bertanya, “Emi, kamu ingat kapan terakhir datang bulan?”Emily terdiam sesaat, lantas memandang sang bibi yang menunggu jawaban darinya.“Bibi, tiba-tiba saja aku ada urusan. Bisakah nanti aku datang lagi untuk memastikan?” tanya Emily sambil tersenyum ke sang bibi.Sashi melihat senyum terpaksa di wajah keponakannya itu. Dia pun hanya mengangguk karena merasa urusan Emily lebih penting.“Iya, hubungi Bibi kapan pun. Kalau tidak, nanti Bibi datang ke rumahmu, ya.”Emily mengangguk masih sambil tersenyum, lantas pergi dari ruangan bibinya itu.Emily berjalan sambil memandang ponselnya. Bahkan jemari-jemari lentiknya tampak mencengkram benda pipih itu, hingga langkahnya terhenti saat melihat siapa yang berlari ke arahnya.“Bagaimana? Apa kata Bibi?” tanya Alaric saat sudah berdiri di depan Emily.Emily tampa
Vano baru saja selesai rapat saat membaca pesan dari Sabrina. Dia sangat terkejut membaca pesan dari Sabrina hingga terburu-buru meninggalkan tempat rapat begitu selesai, membuat semua orang sampai keheranan.Vano pergi ke rumah sakit. Dia mencari Sabrina di poliklinik, hingga bertemu dengan sang bibi.“Bi, Sabrina dan Mami ke sini?” tanya Vano.“Dia di ruang inap, tadi sudah diperiksa dan karena tekanan darahnya rendah serta dia pusing dan mual, jadi aku menyarankan untuk rawat inap,” jawab sang bibi.Vano sangat panik mendengar jawaban sang bibi.“Dia dirawat di ruang mana?” tanya Vano dengan wajah panik.Sang bibi tersenyum melihat kepanikan Vano, lalu memberitahu di mana Sabrina sekarang.Vano pergi ke ruang inap dengan terburu-buru, hingga akhirnya bertemu Sabrina yang berbaring lemas dengan selang infus terpasang di tangan.“Bagaimana kondisinya, Mi?” tanya Vano saat menghampiri Sabrina.“Dia baik, kamu jangan cemas,” jawab Oma Aruna.“Baik apanya, dia sampai dirawat seperti ini,
Sabrina duduk sambil menikmati cokelat hangat pagi itu, hingga satu tangannya yang bebas dari cangkir, digenggam sampai jemarinya bertautan dengan tangan lain. Sabrina menoleh Vano, melihat suaminya itu tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Vano duduk di samping Sabrina yang duduk di bangku panjang. Mereka berlibur di pantai, menikmati kebersamaan mereka setelah sah menjadi suami-istri. “Kamu tidak pesan kopi?” tanya Sabrina sambil menyandarkan kepala di pundak Vano. “Sudah, tinggal menunggu datang saja,” jawab Vano lalu memiringkan kepala hingga menyentuh kepala Sabrina. Keduanya saling bersandar satu sama lain, menatap hamparan pasir putih bersamaan dengan deburan ombak yang menghantam pantai. “Kamu yakin tidak masalah tinggal sama mami?” tanya Vano memastikan. Sabrina mengerutkan alis mendengar pertanyaan Vano. “Kenapa masih tanya lagi?” tanya Sabrina keheranan. Dia mengangkat kepala dari pundak Vano, lalu memandang suaminya itu. “Ya, aku hanya memastikan saja, takut
“Nggak mau pulang. Mau bobok sama Om Vano!” Athalia merengek menolak pulang saat kedua orang tuanya mengajak selepas pulang setelah pesta. Vano hanya mengusap tengkuk melihat kelakuan absurd keponakan satunya itu. Alaric sampai pusing, kenapa anaknya sampai bandelnya seperti itu. “Pulang beli es krim, ya.” Emily membujuk agar Athalia mau pulang. “Nggak mau!” Athalia menolak sampai memeluk kaki Vano. Sabrina menahan tawa dengan kelakuan Athalia, lalu dia ikut membujuk. “Papa mau beli bunga sama balon, Thalia nggak mau ikut?” tanya Sabrina ke Athalia. Athalia langsung menoleh ke sang papa, hingga melihat ayah dan ibunya terkejut mendengar ucapan Sabrina. “Ah, benar. Papa dan mama mau beli bunga, kamu nggak mau ikut?” tanya Emily mengiakan ucapan Sabrina. Athalia tiba-tiba bangun dan melepas kaki Vano, kemudian menggandeng tangan ibunya. “Ayo! Nanti kamarku harus dikasih bunga-bunga,” celoteh Athalia. Alaric dan Emily lega karena Athalia mau dibujuk, akhirnya mereka mengajak p
Mereka masih menautkan bibir, sampai terlena hingga sejenak lupa akan status mereka sekarang.Sabrina melepas pagutan bibir mereka, lalu sedikit mendorong dada Vano agar menjauh darinya.“Airnya sudah panas,” ucap Sabrina sambil masih menunduk karena malu.Vano mematikan mesin pemanas air, lantas kembali memandang Sabrina.Sabrina menatap Vano, melihat wajah pria itu yang merah mungkin dia juga.“Sekadar ciuman boleh, tapi jangan melebihi batas,” ujar Sabrina mengingatkan.Vano langsung mengulum bibir sambil memulas senyum.“Aku tidak mau kita berhubungan sebelum menikah. Kamu paham maksudku, kan?” tanya Sabrina kemudian agar Vano tak salah paham dengan ucapannya.“Hm … ya, tentu,” balas Vano sedikit canggung karena dia terlalu impulsif. Dia tentunya takkan marah dengan keinginan Sabrina yang mencoba menjaga diri sampai mereka benar-benar sah menjadi suami istri.Van
Setelah bertunangan, Vano dan Sabrina sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Mereka jarang jalan di tempat umum karena Raditya melarang, pria tua itu takut kalau terjadi sesuatu lagi dengan Sabrina, padahal ada Vano yang menjaganya. Seperti hari ini, mereka berada di apartemen menonton film seolah berada di bioskop. Vano duduk sambil melingkarkan tangan di belakang pundak Sabrina, sehingga gadis itu bisa bersandar di dadanya. “Besok Mami mengajak fitting gaun untuk pernikahan kita,” ucap Vano sambil melihat ke film yang sedang mereka tonton. Sabrina sedang mengunyah snack, lalu menoleh ke kalender yang ada di meja hias. Tak terasa sudah dua bulan semenjak mereka bertunangan, pantas saja Oma Aruna sudah ingin melakukan fitting baju. “Iya,” balas Sabrina menoleh sekilas ke Vano. Mereka kembali fokus ke film, hingga ponsel Sabrina yang ada di meja berdering. Sabrina menegakkan badan, lalu mengambil benda pipih itu dan melihat sang papa yang menghubungi. “Papa telepon, aku
Hari pertunangan Sabrina dan Vano pun tiba. Pertunangan mereka diadakan di rumah Vano sesuai dengan kesepakatan Raditya dan Opa Ansel.Malam itu halaman samping rumah disulap menjadi tempat pesta untuk pertunangan yang terlihat romantis. Acara itu didatangi keluarga terdekat dan rekan kerja Sabrina di divisinya.“Rumah Pak Vano ternyata sangat besar,” celetuk salah satu staff yang datang.“Pastilah, perusahaannya saja besar. Lupa kalau dia anak pemilik perusahaan,” timpal yang lain.“Iya, lupa,” balas staff itu sampai membuat yang lain tertawa.Sabrina keluar bersama ayahnya memakai gaun elegan hingga membuatnya tampak begitu cantik.Vano sudah menatap tanpa berkedip saat melihat Sabrina. Dia tak menyangka kalau hari ini tiba lalu tinggal menunggu hari lain yang luar biasa tiba.Sabrina tersenyum saat melihat Vano menatapnya, hingga akhirnya mereka berdiri berhadapan untuk melakukan prosesi pertunan
Hari berikutnya, Vano masih menemani Sabrina di apartemen. Pagi itu bersama Sabrina di sofa untuk mengganti perban gadis itu.“Tahan bentar,” ucap Vano saat membersihkan luka Sabrina sebelum diperban lagi.Sabrina melirik ke lengannya. Dia agak meringis karena terasa sedikit perih.Vano membungkus luka itu lagi dengan perlahan setelah selesai dibersihkan.Sabrina menatap Vano yang serius mengganti perban, hingga dia bertanya, “Apa kamu yakin kalau keputusanmu ingin menikah tidak terburu-buru?”Sabrina merasa Vano mengatakan itu hanya spontan saja.Vano melirik Sabrina, lalu menjawab, “Kamu juga setuju, kan? Lalu kenapa sekarang tanya?”“Ya, aku hanya syok saja. Tidak menyangka kamu akan semudah itu bilang mau menikahiku,” balas Sabrina.“Aku serius mengatakan itu,” ucap Vano sambil merapikan perban yang baru saja selesai dipasang.Vano kini menatap Sabrina, memb
Sabrina mengajak Raditya duduk agar bisa mengobrol dengan nyaman. Vano juga ikut bersama keduanya tapi hanya menjadi pendengar saja.“Bagaimana kejadiannya sampai kamu diserang seperti itu?” tanya Raditya penasaran.Sabrina menceritakan dari awal dan akhir apa yang terjadi sampai membuatnya terluka.“Aku hanya masih nggak nyangka kalau dia masih dendam karena dulu aku kabur, Pa. Dia bilang dihajar habis-habisan dan ganti rugi, makanya begitu melihatku dia mau membawaku,” ujar Sabrina menjelaskan.“Dia sudah salah karena menjualmu, lalu dengan enaknya bilang dendam. Dia benar-benar harus diberi pelajaran!” geram Raditya karena pria itu sangat jahat.“Tapi Papa tidak usah terlalu cemas, sekarang pelakunya juga sudah ditangkap,” kata Sabrina menenangkan sang papa.Saat mereka masih mengobrol, terdengar suara bel yang membuat mereka menoleh ke pintu.“Biar aku lihat siapa yang datang,” kata Vano.Vano berdiri menuju pintu, lalu mel
Sabrina terbangun karena lapar. Dia melihat Vano yang baru saja masuk kamar. “Kamu sudah bangun.” Vano langsung mendekat ke ranjang. Sabrina hendak bangun tapi kesusahan karena lengannya sakit. Vano dengan sigap membantu, lalu memastikan Sabrina duduk dengan nyaman. “Aku lapar,” ucap Sabrina karena siang tadi belum makan dan sudah ada tragedi yang membuatnya terluka. “Untung saja aku pesan makanan. Baru saja sampai dan kamu bangun. Biar aku ambilkan ke sini,” kata Vano hendak berdiri. “Aku makan di luar saja, tidak nyaman makan di sini,” kata Sabrina bersiap turun dari ranjang. Vano langsung membantu Sabrina turun dari ranjang karena lengan Sabrina yang terluka tidak bisa dibuat banyak gerak. Vano benar-benar perhatian ke Sabrina. Dia berjalan sambil memperhatikan Sabrina agar tak jatuh, padahal Sabrina bisa berjalan dengan baik karena lengannya saja yang sakit bukan seluruh tubuh. Sabrina sudah duduk di kursi meja makan. Vano membuka pembungkus makanan, lalu mengambil