:-0 tetap jalur hukum atau nikah lagi aja?
"Apa ini bagian dari skenario anda, Pak Ubaid?! Menekan keluarga kami yang hanya dari kalangan biasa dengan kekuasaan dan uang yang anda punya?!" ucap Papa dengan nada kesal tidak terima."Bukan skenario saya, Pak Rusli. Tapi skenario Akhtara yang bodoh! Lalu skenarionya hampir membunuh dan melecehkan anak anda. Sekarang saya tanya, apakah ada hukuman yang pantas untuk Akhtara selain menikahi Jihan kembali demi mempertanggungjawabkan perbuatannya?"Papa terdiam mendengar penuturan bijak Papanya Pak Akhtara. Sedang aku hanya memperhatikan dan memegang lengan Papa. "Dalam keadaan setengah sadar, Akhtara berani melecehkan Jihan di hari pertama kedatangannya di rumah ini. Saya lihat semua bukti cctv-nya."Lalu Papanya menoleh ke arah Pak Akhtara yang menunduk dan membuang pandangan."Benar begitu kan, Tara!?"Pak Akhtara hanya diam."Tara! Papa tanya!" Seru Papanya.Barulah kepala Pak Akhtara mengangguk terpaksa. Sedang ekspresi Mamanya berubah tidak menyangka dengan perbuatan Pak Akhtar
"Air putihnya mana, Han?" Tanya Papa begitu aku baru menapakkan kaki di kamar kami bertiga. Air putih? "Air putih apa, Pa?" Tanyaku kembali. "Lha, katanya kamu ambil air putih? Mana? Papa minta." Astaga ... Aku kan tadi berkata pada Papa jika ingin mengambil air putih. Padahal yang sebenarnya, aku sedang mengejar Mbak Mini lalu bertanya tentang pergaulan Pak Akhtara ketika menyelenggarakan pesta di rumahnya ini. Alhasil, jawaban Mbak Mini tadi membuat kepalaku serasa penuh dan melupakan kebohongan yang kukarang sendiri. "Udah aku minum di dapur, Pa." Bohongku. "Bisa minta tolong kamu ambilin?" Kepalaku mengangguk lalu kembali keluar kamar. Ketika tiba di dapur, tidak ada pembantu satu pun. Mungkin mereka sedang mengerjakan pekerjaan yang lain. Lalu aku mengambil segelas air putih lalu kembali ke kamar. Namun, langkahku terhenti ketika melihat Pak Akhtara dan Papanya sedang duduk di kursi santai yang berada di pinggir kolam renang. Dan entah mengapa kakiku begitu lancang
âJangan mengharap lebih dari pernikahan ini! Dan jangan berani sekali-kali bilang apa yang terjadi soal pernikahan ini ke siapapun! Ngerti kamu?!â Bisik Pak Akhtara.Seketika aku langsung menelan ludah susah payah. Dan remasan tangannya masih terasa begitu erat bahkan mulai menyakiti tanganku.âPasang senyum terbaikmu, ja***g!âAstaga, aku masih disebut buruk oleh suamiku sendiri.Ayolah, Jihan. Cukup tambah kesabaranmu hingga Pak Akhtara malu sendiri.Kemudian Pak Akhtara menarik wajahnya dan melepas cengkeraman tangannya.Seketika itu pula aku tersenyum seperti apa yang beliau perintahkan. Dan beliau tetap saja memasang wajah biasa dan datar.Sedang Papa mertuaku ikut tersenyum melihatku yang seakan-akan bahagia dengan pernikahan ini.Mungkin beliau berpikir jika Pak Akhtara membisikkan doa seusai ijab kabul. Padahal, yang ada justru sebaliknya.Berulang kali pula aku meletakkan telapak tangan kanan ke arah dada bagian atas yag tidak tertutup brokat kebaya. Rasanya sangat malu diliha
Aku lebih memilih masuk kamar!Segera kuputar kunci kamar lalu menjauh dari pintu. Kulit dadaku terlihat jelas naik turun gugup karena memakai kebaya brokat pernikahan yang menerawang ini. Semoga saja, Pak Akhtara tidak kemari atau mengetuk ....Brak!Brak!Brak!"Jihan! Buka!"Belum selesai aku membatin, beliau sudah menggedor pintu kamar yang kutempati. Bukan diketuk perlahan selayaknya akan bertamu pada kamar orang lain. Beliau benar-benar seenaknya sendiri dan tetaplah .... jahat!"Jihan! Saya bilang bu-ka!"Kepalaku yang masih memakai sanggul pengantin dengan hiasan bunga melati dan mawar juga cunduk mentul sebanyak lima biji, lalu menggeleng pelan dengan perasaan tidak karuan takutnya. Kali ini, apa yang akan Pak Akhtara lakukan padaku setelah kedua orang tua kami pergi dari rumah ini?"Jihan! Jangan buat kesabaran saya habis!"Aku menelan ludah susah payah sambil memandangi pintu kamar yang terus digedor dari luar oleh Pak Akhtara. "Saya hitung sampai tiga! Kalau kamu masih
âPak Akhtara kenapa, Mbak Min?!âMbak Mini menghampiriku dengan raut cemas dan khawatir.âPak Akhtara, Mbak! Tangannya berdarah-darah!ââHah?! Kok bisa?ââAku juga nggak tahu, Mbak! Ayo kita ke ruang tengah.âDengan langkah yang tidak leluasa karena masih mengenakan jarik, aku berjalan lamban menuju ruang tengah.Setahuku, tadi saat beliau berpamitan akan keluar, tubuhnya masih baik-baik saja. Tapi mengapa pulang-pulang tangannya berdarah-darah?âMbak Mini! Ambilin kapas atau apapun itu!â Seru Pak Akhtara.Beliau sedang duduk di sofa bed ruang tengah dengan mendekap tangan kirinya yang terluka. Kemeja putihnya juga terkena cipratan darah.Dari mana beliau hingga terluka seperti itu?Mbak Mini segera berlalu untuk mengambilkan perlengkapan pertolongan pertama. Sedang aku berjalan mendekati beliau yang nampak meringis kesakitan.âPak, kenapa bisa terluka?â Tanyaku.âDiem!â Bentaknya.Dan itu tidak luput dari pandangan Rosita yang termangu dengan apa yang terjadi pada majikannya itu.Lalu
Kemudian tangan beliau turun membelai pundakku tapi wajahnya masih setia berada di dekat pipiku.Beliau kembali melabuhkan ciuman hangat dan manis di pipiku. Perlakuannya ini membuatku teringat akan sikapnya dulu yang begitu romantis. Penuh kelembutan dan cinta.Dan tidak kupungkiri jika aku seperti mendapat hujan di tengah sahara.Aku sedang berjuang untuk perasaan cintaku pada Pak Akhtara sekaligus mengembalikan cintanya padaku yang telah hilang. Semoga saja, aku masih mendapatkan sisa cinta itu.âJihaaan ⌠,âBeliau kembali menyebut lirih namaku di sela mencium pipiku.âYa, Pak?â Tanyaku dengan seulas senyum tipis.Lalu tangannya turun dari pundak menuju pinggangku. Kubiarkan saja beliau ingin melakukan apa padaku. Toh, aku sudah kembali menjadi istrinya dan aku ingin membaktikan hidupku untuknya.âKenapa kamu wangi banget?â Bisiknya.Bahkan nafasnya yang menerpa daun telingaku seperti sebuah isyarat alam yang mampu membangkitkan hasratku. Detik itu juga.âKamu mau kemana?â Tanyanya
Tanpa busana, aku ikut bergelung di bawah selimut yang sama dengan suamiku, Pak Akhtara. Sembari tidur menyamping ke kanan dan memperhatikan wajah dewasanya yang terlelap setelah merengkuh kenikmatan dunia bersamaku.Kenikmatan dunia yang didapat dengan kondisi setengah sadar. Namun, aku tetap menyukainya dan bahagia dengan sentuhan yang beliau berikan.Kemudian aku sedikit merapat ke arahnya yang terlelap miring lalu membelai pipinya lembut. Pria dewasa berusia empat puluh tiga tahun ini benar-benar telah mencuri hatiku. Aku sungguh tidak mengapa meski jarak usia kami terpaut lima belas tahun jauhnya. Beliau adalah jodohku dari Tuhan. Dan sudah sepatutnya aku mensyukuri itu dari pada tidak memiliki jodoh hingga akhir hayat. âSaya sangat mencintai Pak Akhtara,â ucapku tulus nan lirih.Dan dengan nakalnya, aku memberanikan diri kembali memberi satu kecupan di bibirnya yang entah mengapa seperti sebuah kesenangan baru bagiku.âSaya harap Bapak masih mencintai saya. Lalu tolong maafin
âNamanya juga kucing dikasih ikan asin! Mana nolak?! Jadi, kamu nggak usah lebay!â ucapnya sembari menunjuk wajahku.âAsal Bapak tahu, saya nggak minta uang, rumah, bisnis, atau mobil. Saya sadar sama isi perjanjian pra nikah kita. Bapak nggak perlu takut karena saya juga nggak tertarik lagi sama uang Bapak. Tapi, yang saya ⌠yang saya cuma minta cuma ... rumah tangga kita sakinah.âBeliau kemudian tertawa geli sembari menggeleng meningkahi ucapanku. Biarlah.âSakinah katamu?! Itu cuma pembungkus dari kedok sok baikmu, Jihan! Kamu pura-pura menginginkan pernikahan yang langgeng tapi ⌠setelah mendapatkan kepercayaan saya ⌠kamu lari kayak tikus ketahuan nyuri!ââSaya ⌠sudah berubah.â âHanya omong kosong!" Bentaknya seraya menunjuk wajahku, "Kamu nggak bisa nipu saya untuk kedua kalinya meski ⌠ada Papa saya dibelakang kamu! Paham?!ââApa perjanjian pra nikah itu masih kurang menguatkan bukti kalau saya udah berubah dan mencintai Pak Akhtara sepenuhnya? Apa masih kurang, Pak?â Tanyaku
POV AKHTARA Sepasang tiket VIP dari biro perjalanan ke tanah suci sudah siap di tangan. "Apa kamu yakin ini adalah cara terbaik bikin kedua orang tua Jihan mau merestui hubungan saya sama Jihan, Ris?" Tanyaku."Kita coba saja dulu, Pak. Kalau Bapak ngasih harta atau rumah baru, belum tentu orang tua Bu Jihan luluh. Justru marah yang iya. Tapi kalau hadiah sepaket perjalanan ke tanah suci, saya rasa itu adalah hadiah terbaik sepanjang masa."Apa yang dikatakan Faris ada benarnya. "Oke. Saya akan hubungi Jihan kalau nanti malam mau bertamu ke rumahnya.""Semoga semuanya lancar, Pak."Hampir satu minggu ini aku dan Faris berpikir tentang hadiah terbaik untuk kedua orang tua Jihan agar sudi menerimaku lagi. Dan pilihan kami jatuh pada tanah suci. Dan selama satu minggu itu pula, aku selalu memikirkan Jihan dan Akhtira. Apakah Jihan mendapat omongan yang tidak mengenakkan dari kedua orang tuanya karena memilihku?Ataukah semuanya baik-baik saja tidak seperti dugaanku?Sebab, satu mingg
POV AKHTARAâMaaf katamu?â Tanya Farhan dengan suara sinis.âWaktu Jihan merawat Akhtira sendirian, dihina orang lain perempuan nggak benar karena melahirkan tanpa suami, lalu Akhtira dihina anak haram, siapa yang jadi tameng untuk mereka heh?!âAku tidak menjawab dan hanya menatap Farhan. Membiarkan dia menyelesaikan ucapannya. âAku!â Dia menepuk dadanya dengan wajah benar-benar kesal.âBukan kamu! Yang tiba-tiba datang ngambil semua yang aku usahakan!â ucapnya dengan menunjuk dadaku.âKamu memang ayah kandung Akhtira, tapi aku yang lebih banyak berjasa ke mereka! Aku menyayangi mereka itu tulus!ââDan Jihan nggak mungkin berpaling kalau bukan karena kamu pakai acara pura-pura mau mati! Biar apa, heh?! Dapat simpati Jihan dengan cara pintas? Iya?!âKepalaku menggeleng dengan menatap Farhan yang begitu kecewa dan sakit hati.âMunafik!ââSaya nggak perlu menjelaskannya ke kamu karena saya tahu kamu nggak butuh itu, Far.âTanpa berkata lagi, Farhan kemudian menaiki motornya dengan eksp
POV AKHTARA [Pesan dariku : Han, saya mau ke rumahmu malam ini. Apa boleh?]Aku menunggu jawaban Jihan dengan sangat tidak sabaran. Menit demi menit itu terasa sangat lama sekali. Kemana dia? Mengapa sedang tidak online?Setelah lima menit dan mondar-mandir sendiri di dalam apartemen, aku kembali melihat ponsel yang masih saja belum menunjukkan ada notifikasi dari Jihan.Baru kemarin Jihan bertamu ke apartemenku, dan hari ini aku langsung bergerak cepat. Memangnya mau menunggu apa?Ting âŚAku segera meraih ponsel yang ada di meja dengan harap-harap cemas semoga saja itu dari Jihan.Dan ...[Pesan dari Jihan : Maaf, Pak. Mau apa memangnya?]Kemudian aku langsung menekan gambar telfon dan terhubung ke nomer Jihan. Aku merasa berbicara langsung itu lebih jelas dan gamblang dari pada mengatakannya melalui pesan singkat.âHalo?ââSaya mencintai kamu, Han.âIni mungkin terlihat sangat frontal dan tidak sabaran. Karena aku langsung mengatakan isi hatiku kepada Jihan tanpa ada basa basi sama
POV AKHTARAJihan kemudian menoleh dengan mata berkaca-kaca kemudian dia berdiri tanpa membawa paper bag. Lalu dia berjalan ke arahku hingga terlihat jelas ekspresi wajahnya.Kecewa, sedih, dan marah bercampur menjadi satu.âKetika Bapak mau pergi meninggalkan saya dan Akhtira, setelah nyuruh Faris datang ke rumah dengan memberikan deretan surat berharga beserta rekening berisi uang yang nggak main-main banyaknya, kenapa Bapak nggak angkat telfon saya?ââKenapa Bapak main pergi aja waktu itu?âLalu air matanya kembali jatuh setetes membasahi pipi.âBapak ngasih saya dan Akhtira harta sebanyak itu lalu pergi gitu aja, saya kayak merasa semuanya bisa Bapak hargai pakai uang!âKemudian air mata Jihan makin deras membasahi pipinya. Bahkan bibirnya ikut bergetar menahan isak tangis.âSaya tahu Bapak itu kaya, tapi kenapa semuanya selalu Bapak putuskan sendiri tanpa dengerin saya dulu! Kenapa Bapak selalu menilainya pakai uang?! Bapak punya hati dan cinta kan?! Kenapa nggak mencoba menggunak
POV AKHTARATujuh hari aku berada di tanah suci untuk benar-benar menghambakan diri pada Tuhan. Segala urusan duniawi kukesampingkan.Aku benar-benar mengharap ampunan turun bersama dengan kesungguhanku saat bersujud, menengadahkan tangan, dan tetesan air mata penyesalan.Kugunakan waktu itu sebaik mungkin dengan memperbanyak ibadah. Aku hanya pulang ke hotel jika benar-benar mengantuk.Aku tidak tahu apakah pemeriksaan keseluruhan terhadap kesehatanku itu lolos ataukah tidak. Bila lolos dan dinyatakan cocok, setidaknya aku telah membasuh jiwaku di tanah suci sebelum kembali pada sang Khaliq.Tapi bila tidak lolos, aku harap Tuhan memberi jalan kehidupan yang lebih baik. Karena aku sudah tidak lagi muda dan waktunya lebih fokus pada ibadah serta keluarga.Faris melambaikan tangannya begitu aku keluar dari pintu kedatangan penerbangan luar negeri. Dengan menggeret koper, aku menghampirinya yang menatapku dengan pandangan berkaca-kaca.Dia sudah kuanggap seperti adik dan langsung merangk
POV AKHTARA Faris yang berdiri di samping itu kemudian menatapku penuh keterkejutan. Pun dengan dokter yang kuajak berbicara dan masih memegang hasil laboratorium pasien yang menderita sakit keras itu. "Pak, apa ... maksudnya?" Tanya dokter itu. "Maksud saya seperti yang dokter pikirkan."Dokter itu kemudian menatap Faris dengan penuh keterkejutan. Pasalnya mana ada orang yang sudi mendonorkan hatinya dengan terang-terangan seperti aku?Mungkin mereka pikir aku sedang main-main dengan hal ini. Padahal aku benar-benar merasa bahwa ini adalah titik balik untuk memperbaiki diri dan mendapatkan ampunan dari Tuhan atas semua kesalahanku. "Pak Akhtara, maaf. Ini bukan perkara sederhana, Pak. Mendonorkan hati itu tidak sama dengan mendonorkan ginjal. Manusia punya dua ginjal dan masih bisa bertahan hidup dengan satu ginjal. Tapi kalau hati ... manusia hanya punya satu, Pak. Kalau itu diambil, maka --- ""Saya mati. Begitu kan alurnya?" Jawabku tenang. Dokter dan Faris saling bertatapan d
POV AKHTARAâMas, mau gendong Tira nggak?â Tanya Abid dengan suara sangat lirih.Aku yang tengah duduk di bangku belakang sambil menatap keluar jendela mobil pun beralih atensi pada adikku itu.Dia tengah memangku putraku, Akhtira, yang sudah tertidur dengan lelap. Sedang kedua anaknya masing-masing dipangku istrinya dan Papa. Hanya aku saja yang tidak memangku anak kecil.Kemudian aku melongok ke arah putraku itu. Dia benar-benar damai terlelap di atas pangkuan adikku. Dan selalu enggan untuk berdekatan denganku.âApa dia nanti nggak kebangun, Bid?â Tanyaku dengan suara sama lirihnya.âPelan-pelan aja, Mas.âLalu aku mengusap pipi halusnya itu dengan ibu jari untuk memastikan apakah Akhtira benar-benar sangat terlelap. Ternyata putraku itu tetap tidur dengan sangat pulas.âKayaknya dia kecapekan habis main air terus perutnya kenyang. Jadi deh ngorok.âAku menahan tawa karena guyonan Abid lalu mengangguk dengan mengulurkan kedua tangan untuk menerima putraku.Galau di hati yang sedari
POV AKHTARAAku harus tetap professional dengan tidak mencampuradukkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Meski terasa sulit dengan tidak memikirkan penolakan Jihan saat aku sedang bekerja seperti ini.Permintaan Jihan yang tidak bersedia rujuk adalah sebuah keputusan yang tidak boleh kupaksa. Dia memiliki hak yang harus kuhormati sekalipun itu melukai hatiku.Cintaku pada sesama manusia telah habis di Jihan.Meski Humaira begitu baik secara sifat dan iman, tetap saja aku selalu terbayang Jihan. Bukankah akan makin menyakiti Humaira jika dia mengerti jika hatiku masih tertambat pada Jihan?âMungkin jika Bu Jihan sudah menikah lagi, Bapak akan benar-benar bisa melepas dan melupakannya. Karena pintu untuk mendapatkannya benar-benar telah tertutup,â ucap Faris.Aku menghela nafas panjang dengan menatap gelas minumku yang mengembun. Kami sedang makan malam bersama karena aku tidak mau makan malam sendirian. Kebetulan tempat tinggal Faris tidak jauh dari apartemen tempatku berteduh.âM
POV AKHTARAKarena putraku, Akhtira, sedang duduk di pangkuan seorang lelaki dengan menghadap wajah orang itu. Bahkan senyum putraku terlihat mengembang penuh tawa apalagi saat lelaki itu menyerukkan kepalanya ke arah dada putraku.Tira kembali tertawa terpingkal karena geli dan mencengkeram rambut lelaki itu. Semakin Tira terpingkal, dia semakin menyerukkan kepalanya ke dada putraku hingga tawa keduanya menguar bebas dan membuatku ⌠iri.Lelaki yang masih memakai kemeja putih dan celana kain hitam khas pakaian ASN itu, apakah dia yang bernama Farhan?Seorang aparatur sipil negara yang berstatus duda dan sedang mendekati Jihan.Karena lelaki itu sibuk menyerukkan kepalanya di dada putraku, dia tidak menyadari kehadiranku yang menatap ke arahnya dengan penuh rasa iri dan sedih.Iri karena putraku bisa seakrab itu dengannya. Padahal aku ini ayah biologisnya.Dan sedih karena aku belum pernah sekalipun menggendong putraku sama sekali.Sudah berapa lama mereka bersama? Sudah berapa lama le