;-0 hayooo, ada apa lagi Akhtara???
“Ng … ngapain Pak Akhtara manggil aku, Mbak Min?” Tanyaku gugup.Tidak ada perasaan bahagia sama sekali karena aku dipanggil beliau.“Kurang tahu, Mbak Jihan. Mending langsung aja ke Pak Akhtara.”Aku mulai cemas dan ingin menghilang saja.“Mungkin Pak Akhtara minta dibuatin minuman, Mbak. Soalnya beliau datang sama temannya.”Teman?Teman siapa?Dan … bukankah cukup Mbak Mini saja yang menyiapkan minuman andai beliau ingin minum?Ah … dari pada aku kembali mendapatkan amukan dari beliau, lebih baik segera saja mendatanginya.Dengan langkah pelan, aku mendekati sumber suara Pak Akhtara dan temannya yang tengah duduk di ruang tamu. Entah mereka membicarakan apa.“Permisi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” Tanyaku sopan.Beliau masih mengenakan kemeja kerja dan duduk berseberangan dengan seorang … perempuan.‘Siapa perempuan itu?’ Batinku.Dilihat dari penampilannya, ia sangat rapi dan usianya berada di atasku. Apa mungkin jika perempuan ini … kekasihnya Pak Akhtara?“Masuk ke kamar saya.
"Mending Mbak Jihan ke ruangan kerja Pak Akhtara. Biar beliau sendiri yang bilang apa maunya," ucap Mbak Mini.Apa?Ke ruangannya?Itu sama dengan aku akan mendaftar terluka!Kepalaku lantas menggeleng tegas. Tanda bahwa aku tidak mau menemui beliau. Beberapa hari ini hidupku tenang tanpa bertemu beliau sedikit pun. Aku selalu menyibukkan diri di belakang kala beliau berada di rumah. "Nggak, Mbak Min. Aku nggak mau.""Kalau Mbak Jihan nggak ikut, nanti aku kerepotan bawa belanjaannya, Mbak. Mana Rosita sakit gigi."Melihat Mbak Mini kerepotan sedang ia sudah begitu baik membelikanku kasur lantai dan lemari kecil, juga sering menghiburku ketika sedih, mana mungkin aku tega membiarkannya membawa belanjaan sendirian?Kebaikannya lebih besar dari pada ketakutanku untuk meminta izin keluar pada Pak Akhtara. "Tunggu disini ya, Mbak. Aku ... ke ruangan Pak Akhtara dulu," ucapku ragu-ragu dan takut. Bagai buah simalakama. Mendatangi Pak Akhtara itu sama dengan membuka luka di hati. Tapi t
“Itu disuruh Pak Akhtara datang ke ruangan kerjanya sama bawain kopi, Mbak.”Oh … aku pikir apa.Aku pikir beliau akan memarahiku karena baru saja membeli dua potong gamis yang bagus sekalian dengan hijabnya menggunakan kartu kreditnya.“Kok bukan Mbak Mini aja yang disuruh bawain kopi ke ruangan beliau?”“Nah itu dia, Mbak Jihan. Aku nggak tahu kenapa karena nggak bisa baca isi hati Pak Akhtara.”Kemudian tugasku menata barang-barang belanjaan ke etalase dapur diambil alih oleh Mbak Mini. Sedang aku segera memasak air untuk membuatkan kopi Pak Akhtara.“Nggak pakai gula, Mbak.”Setelah selesai membuatkan kopi, aku menaruhnya di atas baki lalu mengantarkannya ke ruang kerja Pak Akhtara. Tidak lupa mengetuk pintunya lebih dulu. Seperti mengetuk pintu hatinya agar tidak lagi membenciku.Setelah dipersilahkan masuk, aku meletakkan baki berisi kopi itu di meja.“Apa ada hal lain, Pak?” Tanyaku.Beliau mengangguk lalu mematikan laptop. Maklum, ini sudah hampir pukul sembilan malam dan baru
Dengan jarak sedekat ini, kemudian Pak Akhtara memiringkan wajahnya seraya menatap bibirku. Lalu beliau sedikit memajukan wajah namun kedua tanganku reflek menahan dadanya yang tak terbalut kaos itu. Dada yang bidang dengan perut yang rata. Menyadari keenggananku, beliau kemudian menatap kedua mataku di tengah temaramnya lampu kamar. "Kamu menolak saya?" Tanyanya tanpa basa basi. Aku menelan saliva setengah kesusahan dengan mata berkedip cepat. "Kamu mau jadi istri durhaka?" Tanyanya kembali dengan nada bicara setengah mengancam. Kepalaku reflek menggeleng karena paham sekali dengan hakikat tugas seorang istri. Hanya saja, hatiku enggan karena mengingat sikap Pak Akhtara yang benar-benar tidak bisa ditebak. "Lalu? Kenapa kamu menahan dirimu ketika saya ingin menciummu?!""Saya .... " Mendadak lidahku terasa kelu.Takut adalah alasan utamanya. Bukan takut dimarahi, namun karena takut diperdaya setelah aku kembali memberikan jiwa ragaku untuk beliau. Lalu tangan kirinya bergerak
"Kenapa, Pak?" Tanyaku keheranan.Beliau berkacak pinggang sembari menatapku tajam."Siapa yang nyuruh kamu pergi dari kamar saya, heh?! Apa ini yang kamu sebut berbakti sama suami?! Ninggalin saya gitu aja!"Ada perasaan senang sekaligus bingung menghadapi sikap Pak Akhtara yang tidak bisa ditebak apa maunya.Semalam setelah beliau puas, memilih langsung tidur dan memunggungiku. Padahal aku berharap ada sedikit obrolan selamat malam untuk menghangatkan hubungan kami.Hingga aku berpikir jika beliau hanya menginginkanku saat sedang berhasrat saja. Kemudian aku memutuskan kembali ke kamar.Tapi pagi ini, beliau justru ... terlihat manis di mataku karena sikapnya yang mendadak tidak mau kutinggalkan."Saya pikir ... Bapak nggak suka lihat saya waktu bangun. Makanya saya pergi.""Omong kosong! Bilang aja selesai melayani saya, lalu kamu sibuk telfonan sama laki-laki lain, kan?!"Baru saja aku merasa bahagia karena beliau seperti tidak suka jika aku pergi usai bercinta, kini justru menuduh
“Oh … hai?”Aku memandangi wajah perempuan yang kini berdiri dihadapan dengan penampilan kekinian. Memakai setelan kerja dengan rambut digerai indah dan ujungnya dibuat curly. Serta make up minimalis yang flawless dan lipstick pink berkilau.“Nggak nyangka gue kalau lo sekarang … “ Tangannya bergerak dari atas ke bawah untuk menilai penampilanku, “Berhijab. Pakai gamis pula.”Nada bicaranya terkesan aneh melihat perubahanku.“Persis kayak emak-emak samping rumah.”Dari dulu, sikapnya yang terang-terang memusuhiku itu tidak pernah pudar. Mulai dari kami menginjak sekolah menengah pertama hingga sudah dewasa seperti ini.Tapi ada yang aneh dengan sikap permusuhan yang ditunjukkan padaku. Keluarganya yang merampas warisan dari tangan Mama, tapi ketus terhadapku.Ah … memang keluarga tidak tahu diri!“Mana nggak ada make up lagi di wajah.” Sindirnya lagi.Kemudian ia menatap Mbak Mini yang berdiri di sebelahku.“Siapa dia, Han? Temen lo?”Aku masih diam dan hanya menatapnya lekat. Tanpa me
Istri mana yang tidak terbang hatinya ketika suami yang dicintai begitu terang-terangan menunjukkan hasratnya agar dilayani dengan penuh keistimewaan malam ini?Sekalipun aku belum tahu pasti apakah Pak Akhtara telah mencintaiku kembali atau ... entahlah. Aku tidak mau berburuk sangka pada beliau di tengah berkorbarnya hasrat itu padaku. Dan semoga saja beliau benar-benar telah berubah seperti harapan. Kemudian aku sedikit menarik kepala dan menatap kedua bola matanya yang hanya tertuju padaku. Lalu menangkup rahangnya lembut.Dan beliau tidak menunjukkan penolakan sama sekali.Beliau benar-benar berubah menjadi ‘sweat Akhtara’."Saya akan berikan yang paling istimewa. Hanya untuk Pak Akhtara."Dengan beraninya kemudian aku sedikit berjinjit untuk mencium bibirnya beberapa detik lebih lama. Sekaligus memberikan sedikit godaan padanya.Lalu beliau tersenyum lebar sembari makin menarik pinggangku hingga menempel sempurna dengan tubuhnya. Efeknya benar-benar membuatku melayang dan ikut
"Mbak, jadi ikut apa nggak? Kok dari tadi bengong aja?" Tanya Rosita. Aku kemudian terkesiap dari lamunan lalu menatap Mbak Mini dan Rosita bergantian. "Ehm ... aku ... entahlah, Ros."Sungguh, aku bingung bagaimana cara mencari tahu Pak Akhtara. Bila aku nekat menghubungi melalui ponselku sendiri lalu bertanya sedetail itu tentang kepergiannya malam ini, apa benar beliau akan sudi menjawab dengan jujur?Sedang aku masih merasa ragu dengan perasaan beliau terhadapku meski kami sudah melalui banyak malam bersama di atas ranjangnya. Meski aku telah memberikan yang terbaik untuk menyenangkan hatinya dengan memuaskannya, tetap saja masih ada sisi ketus yang meragukan. "Ros, kamu mandi dulu sana. Biar nggak nunggu lama-lama," ucap Mbak Mini.Kemudian Rosita segera berlalu sedang aku masih dilanda kebingungan.Antara ikut ataukah mencari keberadaan Pak Akhtara?"Mbak Jihan, boleh aku tanya?" Itu suara Mbak Mini. Kepalaku pun mengangguk sebagai jawaban. Lalu ia duduk di seberangku dan mul
POV AKHTARA Satu tahun kemudian ... "Selamat, Pak. Bayinya lahir sehat. Perempuan."Aku yang sedang menemani Jihan melahirkan secara sesar itu pun tidak kuasa menahan haru dan bahagia karena kami dipercaya Tuhan untuk merawat cipataan-Nya yang sangat lucu dan menggemaskan.Adiknya Akhtira. Setelah suster membersihkan putri kami tercinta, aku segera menggendongnya. Lalu melafadzkan suara adzan di telinganya. Dengan mata berkaca-kaca, aku mencium pipinya penuh cinta. Lalu memberikannya pada Jihan yang masih terbaring di atas meja operasi. "Mau Ayah kasih nama siapa?""Aksara Badsah Ubaid."Kemudian Jihan terlihat sedikit memanyunkan bibir."Aku yang hamil susah payah, tapi nama kedua anakku mirip Ayah semua." Protesnya. "Ya udah saya ganti.""Diganti apa?""Aksara Febriana Ubaid."Jihan menganggukkan kepala setuju dengan melakukan skin ship bersama putri kami. "Namanya kelihatan ada ceweknya. Kalau yang pertama kayak laki-laki, Yah.""Apapun yang kamu mau, Sayang."Kemudian aku da
POV AKHTARARumah megahku yang berada di Bogor terasa begitu sepi, dingin, dan mati. Tidak ada suara tawa atau celotehan Akhtira.Dulu aku mendiami rumah ini hanya untuk menaruh lelap, berganti pakaian, dan berpesta dengan rekan-rekan bisnis. Bukan sebagai tempat untuk melepas kepenatan atau mendulang kebahagiaan.“Dulu saya suka pulang ke rumah ini karena ada kamu, Han,” ucapku.Sambil bergelung dengan satu selimut yang sama dengan Jihan. Di kamar yang ia tempati dulu.“Gombal. Nyatanya Bapak juga masih keluar sama Merissa padahal ada saya di rumah.”Kemudian aku membawanya dalam pelukan hingga kulit kami saling bersentuhan.“Saya nemenin Merissa belanja doang. Dan sengaja pulang agak malam biar kamu cemburu.”Tangan Jihan kemudian memukul dadaku.“Jahat!”Aku tersenyum lalu mencium kening dan memeluknya.“Saya jahat sama kamu dan jahat sama diri saya sendiri. Saya pengen cepat pulang, ketemu kamu, lalu mendapatkan hak saya. Tapi saya sengaja ngulur-ngulur waktu biar kamu cemburu. Soa
POV AKHTARA“Pa, aku sama Ayahnya Tira mau ke Bogor,” ucap Jihan ketika kami semua duduk di kursi meja makan.“Ngapain ke Bogor?!” Tanya Papanya Jihan ketus.Jihan yang sedang menyuapi Akhtira kemudian menatapku yang duduk di sebelah putraku itu.Kemudian Papanya Jihan langsung menatapku dengan ekspresi tidak suka.“Mau merencanakan apa lagi kamu, Akhtara?! Nggak usah bawa-bawa Jihan pergi jauh dari kami! Kami nggak percaya sama kamu!”Inilah alasan kuat mengapa Jihan dan Akhtira tidak diperbolehkan untuk tinggal seatap saja denganku. Mereka berpikir jika aku masihlah jahat seperti dulu. Dan sudah pasti aku harus sabar dan kuat menghadapi sikap mereka.“Aku khawatir kamu udah bikin rencana di Bogor lalu Jihan sama Tira nggak pulang-pulang! Kalau kamu mau ke Bogor, pergi aja sendiri sana!”“Meski Jihan udah kembali jadi hakmu, tapi aku sebagai Papanya nggak mau kejadian buruk itu kembali terulang!”Usai menelan makanan, aku menatap Papanya Jihan, mertuaku.Aku menyadari mengapa amarah b
POV AKHTARA Dengan jarak sedekat ini sambil menatap wajah cantik Jihan, aku benar-benar terlena. Wanita yang ada di hadapanku saat ini telah resmi menjadi istriku, pendamping hidupku. Tidak ada kata terlarang untuk menyentuh wajahnya dengan kedua tanganku. Bahkan aku dihalalkan untuk menyentuhnya lebih dari ini. Andai tidak lupa akan janjiku untuk membuatnya nyaman terlebih dahulu, mungkin aku bisa memilikinya saat ini juga.Kemudian aku menurunkan kedua tangan dari wajahnya lalu berdiri dari bersimpu dan mundur dua langkah. Sungguh, berdekatan dengan Jihan membuat naluriku sebagai seorang pria tergugah sepenuhnya.Kini aku benar-benar tahu mengapa saat bersama Merissa, aku tidak pernah sukses menjadi pria sejati. Jawabannya sudah pasti karena aku tidak mencintai dia sama sekali dan hatiku benar-benar menginginkan Jihan seorang. "Kenapa, Pak?" Aku menggeleng sembari tersenyum. "Saya cuma mau kamu nyaman dulu, Han. Saya takut kalau nggak menjaga sikap, justru kamu yang terpaksa."
POV AKHTARA Usiaku hampir menyentuh angka empat puluh lima tahun. Sedang Jihan masih berusia tiga puluh tahun. Perbedaan usia kami membuat ia lebih cocok menjadi keponakanku. Dan sebagai pria yang sudah berumur, siapa yang tidak senang jika memiliki istri yang masih muda, cantik, dan solehah?Inilah yang disebut dengan perhiasan dunia. Apalagi dia telah melahirkan keturunanku yang sehat dan tampan, Akhtira."Khilaf?" Tanya Jihan keheranan.Dengan bersedekap sambil menyandarkan punggung pada pintu kamar hotel yang kami tempati, aku fokus menikmati wajah cantik Jihan yang penuh dengan riasan pengantin dari kejauhan.Sungguh cantik!Lalu aku mengangguk sekilas. "Maksudnya?""Kalau kemarin saya cuma bisa mencintai kamu tanpa bisa memiliki, maka berbeda dengan sekarang. Saya boleh mencintai kamu sedalam apapun karena kamu resmi hanya akan menjadi milik saya aja, Han."Jihan nampak sedikit salah tingkah dengan ucapanku lalu dia membuang muka. Imut dan menggemaskan sekali.Andai aku tidak
POV AKHTARA Aku sudah tidak merasa asing lagi dengan sebutan 'perjanjian pra nikah'. Karena ketika aku akan menikahi Jihan untuk kedua kalinya dan memberinya madu dengan menikahi Merissa, aku menggunakan perjanjian pra nikah dengan alasan untuk melindungi harta bendaku. Saat itu, aku mencampuradukkan hal yang disebut cinta dan sayang dengan racun bernama dendam. Hingga aku menganggap Jihan dan Merissa adalah sama-sama perempuan yang harus kuwaspadai mana kala akan mengeruk hartaku semata.Tapi ternyata, aku keliru besar. Karena saat menikahi Jihan untuk kedua kalinya, dia benar-benar sudah berubah. Hanya aku saja yang tidak menyadari. Hingga tega menduakannya dengan Merissa. "Aku restui niat baikmu kembali menikahi Jihan untuk ketiga kalinya, Akhtara."Aku langsung tersenyum lega dengan perasaan bahagia tiada terkira mendengar ucapan Papanya Jihan. Meski beliau mengatakannya dengan ekspresi yang datar dan acuh. "Agama cuma ngasih kamu batas menikahi Jihan hanya tiga kali. Dan jang
POV AKHTARA Satu unit motor untuk kaum lelaki baru saja kubayar lunas. Dan kini motor itu tengah dinaikkan ke mobil pick up menuju alamat Farhan. "Apa Farhan mau menerimanya, Pak?" Tanya Faris yang duduk di sebelahku."Saya nggak peduli dia mau menerima hadiah dari saya atau nggak, Ris. Karena saya berniat memberikan hadiah itu sebagai ucapan terima kasih ia pernah berjasa dalam kehidupan Jihan dan Akhtira. Saya nggak mau jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Kami duduk bersebelahan dengan menatap proses motor seharga lima puluh juta itu akhirnya berhasil dinaikkan ke atas bak mobil. Segala kelengkapannya kuserahkan pada pihak penjual motor. "Kamu urus sisanya ya, Ris. Saya mau ketemu Tira."Kemudian aku menyetir mobil dan sengaja singgah sebentar ke salah satu mall untuk mengunjungi salah satu gerai yang menjual mainan. Apalagi jika bukan untuk membelikan Tira mainan baru. Putraku itu ternyata tidak mudah untuk didekati. Dan sepertinya aku harus membelikan mainan yang sangat m
POV AKHTARA Sepasang tiket VIP dari biro perjalanan ke tanah suci sudah siap di tangan. "Apa kamu yakin ini adalah cara terbaik bikin kedua orang tua Jihan mau merestui hubungan saya sama Jihan, Ris?" Tanyaku."Kita coba saja dulu, Pak. Kalau Bapak ngasih harta atau rumah baru, belum tentu orang tua Bu Jihan luluh. Justru marah yang iya. Tapi kalau hadiah sepaket perjalanan ke tanah suci, saya rasa itu adalah hadiah terbaik sepanjang masa."Apa yang dikatakan Faris ada benarnya. "Oke. Saya akan hubungi Jihan kalau nanti malam mau bertamu ke rumahnya.""Semoga semuanya lancar, Pak."Hampir satu minggu ini aku dan Faris berpikir tentang hadiah terbaik untuk kedua orang tua Jihan agar sudi menerimaku lagi. Dan pilihan kami jatuh pada tanah suci. Dan selama satu minggu itu pula, aku selalu memikirkan Jihan dan Akhtira. Apakah Jihan mendapat omongan yang tidak mengenakkan dari kedua orang tuanya karena memilihku?Ataukah semuanya baik-baik saja tidak seperti dugaanku?Sebab, satu minggu
POV AKHTARA“Maaf katamu?” Tanya Farhan dengan suara sinis.“Waktu Jihan merawat Akhtira sendirian, dihina orang lain perempuan nggak benar karena melahirkan tanpa suami, lalu Akhtira dihina anak haram, siapa yang jadi tameng untuk mereka heh?!”Aku tidak menjawab dan hanya menatap Farhan. Membiarkan dia menyelesaikan ucapannya. “Aku!” Dia menepuk dadanya dengan wajah benar-benar kesal.“Bukan kamu! Yang tiba-tiba datang ngambil semua yang aku usahakan!” ucapnya dengan menunjuk dadaku.“Kamu memang ayah kandung Akhtira, tapi aku yang lebih banyak berjasa ke mereka! Aku menyayangi mereka itu tulus!”“Dan Jihan nggak mungkin berpaling kalau bukan karena kamu pakai acara pura-pura mau mati! Biar apa, heh?! Dapat simpati Jihan dengan cara pintas? Iya?!”Kepalaku menggeleng dengan menatap Farhan yang begitu kecewa dan sakit hati.“Munafik!”“Saya nggak perlu menjelaskannya ke kamu karena saya tahu kamu nggak butuh itu, Far.”Tanpa berkata lagi, Farhan kemudian menaiki motornya dengan ekspr