;-0 mau double up?
“Namanya juga kucing dikasih ikan asin! Mana nolak?! Jadi, kamu nggak usah lebay!” ucapnya sembari menunjuk wajahku.“Asal Bapak tahu, saya nggak minta uang, rumah, bisnis, atau mobil. Saya sadar sama isi perjanjian pra nikah kita. Bapak nggak perlu takut karena saya juga nggak tertarik lagi sama uang Bapak. Tapi, yang saya … yang saya cuma minta cuma ... rumah tangga kita sakinah.”Beliau kemudian tertawa geli sembari menggeleng meningkahi ucapanku. Biarlah.“Sakinah katamu?! Itu cuma pembungkus dari kedok sok baikmu, Jihan! Kamu pura-pura menginginkan pernikahan yang langgeng tapi … setelah mendapatkan kepercayaan saya … kamu lari kayak tikus ketahuan nyuri!”“Saya … sudah berubah.” “Hanya omong kosong!" Bentaknya seraya menunjuk wajahku, "Kamu nggak bisa nipu saya untuk kedua kalinya meski … ada Papa saya dibelakang kamu! Paham?!”“Apa perjanjian pra nikah itu masih kurang menguatkan bukti kalau saya udah berubah dan mencintai Pak Akhtara sepenuhnya? Apa masih kurang, Pak?” Tanyaku
“Ng … ngapain Pak Akhtara manggil aku, Mbak Min?” Tanyaku gugup.Tidak ada perasaan bahagia sama sekali karena aku dipanggil beliau.“Kurang tahu, Mbak Jihan. Mending langsung aja ke Pak Akhtara.”Aku mulai cemas dan ingin menghilang saja.“Mungkin Pak Akhtara minta dibuatin minuman, Mbak. Soalnya beliau datang sama temannya.”Teman?Teman siapa?Dan … bukankah cukup Mbak Mini saja yang menyiapkan minuman andai beliau ingin minum?Ah … dari pada aku kembali mendapatkan amukan dari beliau, lebih baik segera saja mendatanginya.Dengan langkah pelan, aku mendekati sumber suara Pak Akhtara dan temannya yang tengah duduk di ruang tamu. Entah mereka membicarakan apa.“Permisi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” Tanyaku sopan.Beliau masih mengenakan kemeja kerja dan duduk berseberangan dengan seorang … perempuan.‘Siapa perempuan itu?’ Batinku.Dilihat dari penampilannya, ia sangat rapi dan usianya berada di atasku. Apa mungkin jika perempuan ini … kekasihnya Pak Akhtara?“Masuk ke kamar saya.
"Mending Mbak Jihan ke ruangan kerja Pak Akhtara. Biar beliau sendiri yang bilang apa maunya," ucap Mbak Mini.Apa?Ke ruangannya?Itu sama dengan aku akan mendaftar terluka!Kepalaku lantas menggeleng tegas. Tanda bahwa aku tidak mau menemui beliau. Beberapa hari ini hidupku tenang tanpa bertemu beliau sedikit pun. Aku selalu menyibukkan diri di belakang kala beliau berada di rumah. "Nggak, Mbak Min. Aku nggak mau.""Kalau Mbak Jihan nggak ikut, nanti aku kerepotan bawa belanjaannya, Mbak. Mana Rosita sakit gigi."Melihat Mbak Mini kerepotan sedang ia sudah begitu baik membelikanku kasur lantai dan lemari kecil, juga sering menghiburku ketika sedih, mana mungkin aku tega membiarkannya membawa belanjaan sendirian?Kebaikannya lebih besar dari pada ketakutanku untuk meminta izin keluar pada Pak Akhtara. "Tunggu disini ya, Mbak. Aku ... ke ruangan Pak Akhtara dulu," ucapku ragu-ragu dan takut. Bagai buah simalakama. Mendatangi Pak Akhtara itu sama dengan membuka luka di hati. Tapi t
“Itu disuruh Pak Akhtara datang ke ruangan kerjanya sama bawain kopi, Mbak.”Oh … aku pikir apa.Aku pikir beliau akan memarahiku karena baru saja membeli dua potong gamis yang bagus sekalian dengan hijabnya menggunakan kartu kreditnya.“Kok bukan Mbak Mini aja yang disuruh bawain kopi ke ruangan beliau?”“Nah itu dia, Mbak Jihan. Aku nggak tahu kenapa karena nggak bisa baca isi hati Pak Akhtara.”Kemudian tugasku menata barang-barang belanjaan ke etalase dapur diambil alih oleh Mbak Mini. Sedang aku segera memasak air untuk membuatkan kopi Pak Akhtara.“Nggak pakai gula, Mbak.”Setelah selesai membuatkan kopi, aku menaruhnya di atas baki lalu mengantarkannya ke ruang kerja Pak Akhtara. Tidak lupa mengetuk pintunya lebih dulu. Seperti mengetuk pintu hatinya agar tidak lagi membenciku.Setelah dipersilahkan masuk, aku meletakkan baki berisi kopi itu di meja.“Apa ada hal lain, Pak?” Tanyaku.Beliau mengangguk lalu mematikan laptop. Maklum, ini sudah hampir pukul sembilan malam dan baru
Dengan jarak sedekat ini, kemudian Pak Akhtara memiringkan wajahnya seraya menatap bibirku. Lalu beliau sedikit memajukan wajah namun kedua tanganku reflek menahan dadanya yang tak terbalut kaos itu. Dada yang bidang dengan perut yang rata. Menyadari keenggananku, beliau kemudian menatap kedua mataku di tengah temaramnya lampu kamar. "Kamu menolak saya?" Tanyanya tanpa basa basi. Aku menelan saliva setengah kesusahan dengan mata berkedip cepat. "Kamu mau jadi istri durhaka?" Tanyanya kembali dengan nada bicara setengah mengancam. Kepalaku reflek menggeleng karena paham sekali dengan hakikat tugas seorang istri. Hanya saja, hatiku enggan karena mengingat sikap Pak Akhtara yang benar-benar tidak bisa ditebak. "Lalu? Kenapa kamu menahan dirimu ketika saya ingin menciummu?!""Saya .... " Mendadak lidahku terasa kelu.Takut adalah alasan utamanya. Bukan takut dimarahi, namun karena takut diperdaya setelah aku kembali memberikan jiwa ragaku untuk beliau. Lalu tangan kirinya bergerak
"Kenapa, Pak?" Tanyaku keheranan.Beliau berkacak pinggang sembari menatapku tajam."Siapa yang nyuruh kamu pergi dari kamar saya, heh?! Apa ini yang kamu sebut berbakti sama suami?! Ninggalin saya gitu aja!"Ada perasaan senang sekaligus bingung menghadapi sikap Pak Akhtara yang tidak bisa ditebak apa maunya.Semalam setelah beliau puas, memilih langsung tidur dan memunggungiku. Padahal aku berharap ada sedikit obrolan selamat malam untuk menghangatkan hubungan kami.Hingga aku berpikir jika beliau hanya menginginkanku saat sedang berhasrat saja. Kemudian aku memutuskan kembali ke kamar.Tapi pagi ini, beliau justru ... terlihat manis di mataku karena sikapnya yang mendadak tidak mau kutinggalkan."Saya pikir ... Bapak nggak suka lihat saya waktu bangun. Makanya saya pergi.""Omong kosong! Bilang aja selesai melayani saya, lalu kamu sibuk telfonan sama laki-laki lain, kan?!"Baru saja aku merasa bahagia karena beliau seperti tidak suka jika aku pergi usai bercinta, kini justru menuduh
“Oh … hai?”Aku memandangi wajah perempuan yang kini berdiri dihadapan dengan penampilan kekinian. Memakai setelan kerja dengan rambut digerai indah dan ujungnya dibuat curly. Serta make up minimalis yang flawless dan lipstick pink berkilau.“Nggak nyangka gue kalau lo sekarang … “ Tangannya bergerak dari atas ke bawah untuk menilai penampilanku, “Berhijab. Pakai gamis pula.”Nada bicaranya terkesan aneh melihat perubahanku.“Persis kayak emak-emak samping rumah.”Dari dulu, sikapnya yang terang-terang memusuhiku itu tidak pernah pudar. Mulai dari kami menginjak sekolah menengah pertama hingga sudah dewasa seperti ini.Tapi ada yang aneh dengan sikap permusuhan yang ditunjukkan padaku. Keluarganya yang merampas warisan dari tangan Mama, tapi ketus terhadapku.Ah … memang keluarga tidak tahu diri!“Mana nggak ada make up lagi di wajah.” Sindirnya lagi.Kemudian ia menatap Mbak Mini yang berdiri di sebelahku.“Siapa dia, Han? Temen lo?”Aku masih diam dan hanya menatapnya lekat. Tanpa me
Istri mana yang tidak terbang hatinya ketika suami yang dicintai begitu terang-terangan menunjukkan hasratnya agar dilayani dengan penuh keistimewaan malam ini?Sekalipun aku belum tahu pasti apakah Pak Akhtara telah mencintaiku kembali atau ... entahlah. Aku tidak mau berburuk sangka pada beliau di tengah berkorbarnya hasrat itu padaku. Dan semoga saja beliau benar-benar telah berubah seperti harapan. Kemudian aku sedikit menarik kepala dan menatap kedua bola matanya yang hanya tertuju padaku. Lalu menangkup rahangnya lembut.Dan beliau tidak menunjukkan penolakan sama sekali.Beliau benar-benar berubah menjadi ‘sweat Akhtara’."Saya akan berikan yang paling istimewa. Hanya untuk Pak Akhtara."Dengan beraninya kemudian aku sedikit berjinjit untuk mencium bibirnya beberapa detik lebih lama. Sekaligus memberikan sedikit godaan padanya.Lalu beliau tersenyum lebar sembari makin menarik pinggangku hingga menempel sempurna dengan tubuhnya. Efeknya benar-benar membuatku melayang dan ikut